Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AGAMA

DISUSUN OLEH:
KADEK SURYA ANGGARA PUTRA

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Pengertian Yadnya” ini dapat tersusun hingga
selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata pelajaran
Pemasangan dan Konfigurasi Jaringan. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar
menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Pada awalnya banyak orang mengartikan bahwa Yadnya semata upacara ritual
keagamaan. Pemahaman ini tentu tidak salah karena upacara ritual keagamaan adalah bagian
dari Yadnya. Pada dasarnya Yadnya bukanlah sekedar upacara keagamaan, lebih dari itu
segala aktivitas manusi dalam rangka sujud bhakti kepada Sang Hyang Widhi adalah Yadnya.

Yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta dari akar kata “Yaj” yang artinya memuja.
Secara etimologi pengertian Yadnya adalah korban suci secara tulus Ikhlas dalam rangka
memuja Sang Hyang Widhi. Pada dasarnya Yadnya adalah penyangga dunia dan alam
semesta, karena alam dan manusia diciptakan oleh Sang Hyang Widhi melalui Yadnya.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………………………………2

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………………………………3

BAB 1

PENGERTIAN YADNYA…………………………………………………………………………………………………………4

BAB 2

BAGIAN-BAGIAN YADNYA…………………………………………………………………………………………………6

BAB 3

SYARAT-SYARAT YADNYA……………………................................................................................10

BAB 4

NITYA YADNYA…………………………………………………………………………………………………………………….12

BAB 5
KUALITAS YADNYA…………………………………………………………………………..15
BAB 6
TINGKATAN YADNYA…………………………………………………………………………16
BAB 5 PENUTUP

SARAN……………………………………………………………………………………………………………………….............17

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..18

3
BAB 1
PENGERTIAN YADNYA

Secara etimologi, kata yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu dari urat kata
“yaj” yang artinya mempersembahkan atau berkorban. Dari kata “yaj” yang kemudian
menjadi kata “yadnya”yang berarti persembahan atau pengorbanan atau korban suci (Kiriana,
2008:151). Yadnya adalah korban suci secara tulus ikhlas atas dasar kesadaran dan cinta kasih
yang keluar dari hati sanubari sebagai pengabdian yang sejati kepada Tuhan Yang Maha Esa
Wasa

Yadnya menurut ajaran agama Hindu, merupakan suatu bentuk kewajiban yang harus
dilakukan oleh umat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan menciptakan
manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka hendaklah manusia
memelihara dan mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya sebagai jalan untuk
memperbaiki dan mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti yang termuat dalam Kitab Bhagawadgita III.10 disebutkan bahwa:

Sahayajñāḥ prajāḥ sṛṣtvā

Purovāca prajāpatiḥ,

anena prasaviṣyadhvam

eṣa vo’ stv iṣta-kāma-dhuk.

Artinya:

Dahulu kala Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati), menciptakan manusia dengan jalan
yadnya, dan bersabda: "dengan ini (yadnya) engkau akan berkembang dan mendapatkan
kebahagiaan (kamadhuk) sesuai dengan keinginanmu" Tuhan Yang Maha Esa menciptakan
alam semesta beserta segala isinya termasuk manusia di dalamnya didasarkan atas korban
suci-Nya, cinta kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya ini termasuk manusia
dan makhluk-makhluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup dan berkembang dengan baik.
Tuhan Yang Maha Esalah yang mengatur peredaran alam semesta berserta segala isinya
dengan hukum kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan mahluk dengan menciptakan zat-zat
hidup yang berguna bagi mahluk hidup tersebut sehingga teratur dan harmonis. Jadi untuk

4
dapat hidup yang harmonis dan berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya
melaksanakan yadnya, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta semua manifestasi-Nya,
maupun kepada sesama makhluk hidup. Semua yadnya yang dilakukan ini akan membawa
manfaat yang amat besar bagi kelangsungan hidup makhluk di dunia.

Yadnya/upacara itu sendiri juga dimaksudkan untuk menciptakan suasana suci dan
membahagiakan (Tim Penyusun, 2004:103). Maksud dari yadnya adalah agar manusia siap
untuk berkorban guna mencapai tujuan hidupnya, yaitu mencapai kebahagiaan yang kekal
dan abadi (moksa) serta menciptakan dunia yang aman, damai dan Sejahtera (jagaddhita).
Tanpa berani berkorban tujuan hidup ini takkan tercapai. Manusia harus berani berkorban,
mengorbankan jiwa raganya serta harta bendanya dengan tulus Ikhlas demi tercapainya
kehidupan yang bahagia serta kesejahteraan dunia yang abadi (Nala, 2012:214). Dalam tata
laksana kehidupan beragama, yadnya tidak hanya mencakup masalah persembahan atau
kebhaktian dalam upakara pada upacara saja. Menyangkut masalah hubungan manusia
dengan Tuhan, manusia dengan Maharsi, manusia dengan leluhur, manusia dengan
sesamanya, dan manusia dengan butha, dalam wujud upakara dan upacara.

Yadnya itu mengandung pula pengertian yang lebih luas, yaitu seluruh pengorbanan
yang patut dilakukan oleh umat manusia untuk mencapai moksa dan jagaddhita, dengan
berlandaskan dharma. Dalam kenyataannya umat Hindu telah melaksanakan yadnya yang
benar. Demi tegaknya dharma mereka rela mengorbankan diri dan harta miliknya. Nama baik
keluarga dan leluhur akan dipertahankan dan dibela mati-matian, asal berada di pihak yang
benar. Harta benda yang mereka miliki, yang dikumpulkan dengan susah payah rela
dikorbankan dan dipersembahkan demi tegaknya keharmonisan di jagat raya.

Pelaksanaan yadnya berupa upacara keagamaan hanyalah sebagian dari yadnya yang
telah dilakukan oleh umat Hindu dalam menjalani hidupnya di dunia ini, untuk mencapai
moksa dan menciptakan jagaddhita berdasarkan dharma. Pelaksanaan upacara keagamaan
dari yadnya, bertujuan untuk mempertebal iman, bahwa apa yang mereka laksanakan adalah
benar. Upacara keagamaan merupakan yadnya untuk mengisi moral manusia, menambah
tekad mereka bahwa berkorban itu merupakan kewajiban dari umat manusia agar tercipta
moksartham jagaddhitaya ca iti dharma dan berterima kasih kepada Tuhan atas karunia-Nya

5
BAB 2
BAGIAN-BAGIAN YADNYA
Panca yadnya atau sering di sebut dengan Panca Maha Yadnya memiliki bagian-
bagiannya . Bagian panca yadnya tersebut terdiri dari 5 bagian yang akan di jelaskan beserta
dengan contoh-contohnya .

1. DEWA YADNYA
Dewa yadnya adalah suatu bentuk persembahan atau korban suci dengan tulus
iklas yang di tujukan kepada sang pencipta (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) beserta
dengan manifestasinya dalam bentuk TRI MURTI . Dewa Brahma sebagai pencipta
alam semesta , Dewa Wisnu sebagai pemelihara isi dari alam semesta , dan Dewa
Siwa sendiri sebagai pelebur atau praline dari alam semesta.
Adapun ketentuan-ketentuan yang di ketahui dalam melaksanakan Dewa Yadnya :
a. Tempat pelaksana dewa yadnya di tempat yang bersih dan memiliki suasana
suci seperti pura .
b. Memiliki sanggah surya sebagai pengganti padmasana
c. Menghaturkan sesajen dengan bahan utama terdiri dari api , air bersih , buah
dan bunga .

Adapun tata cara melaksanakan Dewa Yadnya :

a) Pelinggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa diberi upacara penyucian .


b) Memohon dengan pujaan semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa datang dan
bersthana (tinggal) di pelinggih tersebut dipakai puja upeti .
c) Menghantarkan upacara penyucian dengan diantar oleh puja sthihi .
d) Sembahyang yang diakhiri dengan metirta
e) Upacara penutup disebut “nyimpen” dengan memakai puja praline

6
Contoh-contoh pelaksanaan Dewa Yadnya dalam kehidupan :

1. Melaksanakan puja Tri Sandhya setiap hari .


2. Melaksanakan persembahyangan pada hari purnama dan tilem .
3. Melaksanakan persembahyangan pada hari raya di pura seperti piodalan , hari
saraswati , siwaratri , galungan dan kuningan .
4. Selalu berdoa sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan
5. Menjaga kesucian tempat suci / pura
6. Mempelajari dan mempraktekan ajaran agama dalam kehidpan sehari-hari

2. PITRA YADNYA
Pitra Yadnya adalah suatu bentuk persembahan atau korban suci yang di
tujukan kepada roh-roh para leluhur dan bhatara-bhatara karena mereka lah yang
membuat kita ada di dunia hingga kita dewasa . Pitra yadnya ini bertujuan
menyucikan roh-roh para leluhur agar mendapatkan tempat yang layak di kahyangan .

Contoh-contoh pelaksanaan Pitra Yadnya:

1) Menghormati orang tua


2) Menuruti nasehat orang tua
3) Merawat orang tua ketika orang tua kita sedang sakit
4) Melaksanakan upacara pengabenan bagi orang tua atau leluhur kita yang telah
meninggal .
3. RSI YADNYA
Rsi Yadnya adalah suatu bentuk persembahan karya suci yang di tujukan
kepada para rsi , orang suci , pinandita , pandita , sulinggih , guru , dan orang suci

7
yang berhubungan dengan agama hindu .Rsi adalah orang-orang yang bijaksana dan
berjiwa suci . Sulinggih maupun guru juga termasuk orang suci karena beliau orang
bijaksana yang memberikan arahan kepada siswa-siswi nya .

Contoh-contoh pelaksanaan Rsi Yadnya

1. Menghormati guru dan perintah yang diberikannya .


2. Menjaga kesehatan dan kesejahteraan orang suci .
3. Membangun tempat-tempat pemujaan untuk orang suci
4. Memberi sesari atau punia kepada orang suci
4. MANUSA YADNYA
Manusa Yadnya adalah suatu upacara suci yang bertujuan untuk memelihara
hidup , mencapai kesempurnaan dalam kehidupan dan kesejahteraan manusia selama
hidupnya.

Contoh-contoh pelaksanaan Manusa Yadnya


1. Upakara/upacara bayi selama didalam kandungan (Garbha Wadana / pagedong-
gedongan )
2. Upakara/upacara bayi yang baru lahir kedunia
3. Upakara/upacara bayi kepus puser

8
4. Upakara/upacara bayi berumur 42 hari (Tutug Kambuhan)
5. Upakara/upacara bayi berumur 105 hari (nyambutin) atau biasanya di sebut telu
bulan karena lama nya hari itu 3 bulanan wuku bali
6. Upakara/upacara oton (otonan) yang biasanya di rayakan setiap 6 bulan sekali di
dalam kalender wuku bali .
7. Upakara/upacara potong gigi (Mepandas , metatah , mesangih)
8. Upakara/upacara perkawinan (Pawiwahan)

5. BHUTA YADNYA
Bhuta yadnya adalah suatu upakara/upacara suci yang ditujukan kepada bhuta
kala atau makluk bawah . Bhuta kala adalah kekuatan yang ada di alam yang bersifat
negative yang perlu dilebur agar kembali kesifat positif agar tidak mengganggu
kedamaian hidup umat manusia yang berada di bumi dalam menjalankan aktifitasnya.

Contoh-contoh pelaksanaan Bhuta Yadnya:


1. Upacara Mecaru (Membersihkan area baik itu pura maupun natah di rumah)
2. Ngaturang segehan untuk menetralkan sifat-sifat negative yang berada di bumi
3. Upacara panca wali krama (10 tahun sekali) di laksanakan di pura agung besakih
4. Upacara eka dasa rudra (100 tahun sekali) dilaksanakan di pura agung besakih

9
BAB 3

SYARAT-SYARAT YADNYA

Bagian terpenting dalam pelaksanaan yadnya bukanlah kuantitasnya, melainkan


kualitasnya yang terlihat dari niatan pribadi seorang penyelenggara yadnya tersebut. Besar-
kecil, mewah-sederhana tidaklah mempengaruhi kualitas suatu yadnya. Hal yang
mempengaruhi adalah pemenuhan ketujuh syarat yadnya.

Dalam pelaksanaan yadnya terdapat tujuh syarat yang harus dilaksanakan agar tercapainya
yadnya yang Satvika :

1. Sraddha
Yadnya haruslah dilaksanakan dengan penuh keyakinan serta kepercayaan kepada Ida
Sang Hyang Widhi. Tanpa adanya sraddha maka yadnya yang dilakukan tidak bernilai
apa-apa.
2. Lascarya
Pengorbanan suci yang dilaksanakan baik secara besar-besaran maupun sederhana
hendaklah selalu dilaksanakan dengan rasa tulus ikhlas tanpa pamrih. Kesadaran
untuk melaksanakan yadnya harus hadir dari hati masing-masing, tanpa paksaan
orang lain.
3. Sastra
Sastra berarti bahwa Yadnya yang dilaksanakan harus mengikuti pedoman dari kitab
suci umat Hindu yaitu Veda. Yadnya tidak bisa dilaksanakan dengan semena-mena.
4. Daksina
Daksina berarti sari yang diberikan kepada pemimpin upacara yadnya. Hal ini berarti
setiap pelaksanaan yadnya haruslah memberi penghormatan dalam bentuk harta benda
atau uang kepada pemangku, pinandita atau pandita.
5. Gita
Gita adalah nyanyian, lagu-lagu. Hal ini berarti setiap yadnya yang dilaksanakan
harus diiringi dengan lantunan kidung-kidung atau lagu-lagu suci sesuai dengan
pedoman sastra.

10
6. Annasewa
Annasewa berarti setiap yadnya yang dilaksanakan harus memberikan jamuan makan
kepada tamu-tamu yang hadir dan turut terlibat dalam prosesi yadnya
7. Nasmita
Nasmita berarti yadnya yang dilaksanakan tanpa bertujuan untuk memamerkan harta,
kemewahan ataupun kekayaan dengan maksud agar tamu-tamu yang hadir kagum
akan kekayaannya.

11
BAB 4
NITYA YADNYA

1. NITYA YADNYA
Nitya Karma atau nitya adalah yajña yang dilaksanakan setiap hari, seperti Tri
Sandya dan yajña Sesa. Yajña sesa dilaksanakan setelah kita selesai memasak nasi dan
sebelum makan. Yajña sesa diaturkan kepada Bhatara-Bhatari di pemerajan Hyang
Wisnu di Sumur (tempat penyimpanan air) Hyang Raditya di atap rumah, Hyang
pertiwi dan Bhuta-bhuta di halaman rumah, penunggu karang di tugu, dan tempat-
tempat lainnya yang dianggap suci.

JENIS-JENIS NITYA YAJÑA

Pelaksanaan yajña yang dilakukan setiap hari meliputi banyak hal seperti :

1. Surya sewana (pemujaan setiap hari kepada Dewa Surya), pemujaan ini dilakukan
oleh seorang sulinggih untuk mendapatkan kerahayuan alam semesta.
2. Ngejot (upacara saiban, biasanya setelah memasak hidangan).

Yajña sesa yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta
manifestasinya, setelah memasak atau sebelum menikmati makanan. Tujuannya
adalah menyampaikan rasa syukur dan trimakasih kepada-Nya. Adapun tempat –
tempat melaksanakan persembahyangan yajña sesa adalah sebagai berikut:

Di atas atap rumah, diatas tempat tidur (pelangkiran), persembahan ini ditujukan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawa beliau sebagai ether.

1. Di tungku atau kompor, dipersembahkan kehadapan dewa Brahma


2. Di tempat air dipersembahkan kehadapan Dewa Wisnu.
3. Di halaman rumah, dipersembahkan kepada Dewi Pertiwi

12
2. NAIMITIKA KARMA
Sedangkan Naimitika Karma adalah pelaksanaan yajña yang dilaksanakan
pada waktu-waktu tertentu, misalnya berdasarkan sasih maupun pawukon (Adiputra,
2003). Naimitika Karma yang lain berdasarkan adanya peristiwa yang dianggap perlu
untuk di adakan pelaksanaan yajña, seperti puja wali, selesai pembangunan Candi,
galungan, Kuningan, Saraswati, Nyepi, Siwaratri.
Naimitika yajña merupakan yajña yang dipersembahkan atau yang dilakukan oleh
umat hindu, hanya pada hari atau waktu-waktu tertentu saja. Adapun jenisnya antara
lain:
1. Berdasarkan perhitungan sasih atau bulan. Yajña yang dilaksanakan atau
dipersembahkan berdasarkan perhitungan sasih atau bulan kehadapan Tuhan Yang
Maha Esa beserta manifestasinya antara lain : purnama tilem, siwaratri, nyepi atau
tahun baru saka, hari raya Kasodho bagi umat Hindu yag ada di lereng gunung
Bromo.
2. Berdasarkan adanya peristiwa atau kejadian yang dipandang perlu untuk
melaksanakan yajña. Peristiwa atau kejadian dalam hal ini adalah suatu kejadian
yang terjadi dengan keanehan-keanehan tertentu, sangat tidak diharapkan, lalu
semua itu terjadi. Dalam bentuk dan kehidupan ini banyak peristiwa-peristiwa
penting yang sulit diharapkan bisa terjadi. Adapun bentuk-bentuk pelaksanaan
yajña yan dipersembahkan antara lain : upacara ngulapin untuk orang jatuh, yajña
rsi gana, yadnya sudi-wadani dan yang lainnya. Untuk upacara Hindu Kaharingan
di Kalimantan Tengah ada ritual penting yang disebut dengan upacara Tiwah yaitu
ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah bertujuan untuk menghantarkan
arwah ke surga.
3. Berdasarkan perhitungan wara. Perpaduan antara tri wara dengan panca wara,
seperti hari kajeng kliwon. Kemudian perpaduan antara sapta wara dengan panca
wara, seperti buda wage, buda kliwon, dan anggara kasih. Kliwon datang 5 hari
sekali ketika beryoganya Sang Hyang Siwa Kajeng Kliwon dilaksanakan 15 hari
sekali dengan memuja Hyang Siwa, segehan dihanturkan kepada hyang Durgha
Dewi. Di bawah pada sang Hyang Buchari, Sang Kala Buchari dan Sang Durgha
Bucar.
4. Berdasarkan atas perhitungan wuku. Pelaksanaan hari raya, seperti Galungan,
Kuningan, Saraswati, dan Pagerwesi. Selain hal tersebut perlu juga diketahui
bahwa pada prinsipnya yajña harus dilandasi oleh Sraddhā, ketulusan, kesucian,
13
dan pelaksanaannya sesuai sastra agama serta dilaksanakannya sesuai dengan
desa, kala, dan patra (tempat, waktu, dan keadaan).
Dilihat dari kuantitasnya maka yajña dibedakan menjadi berikut:
a. Nista
b. Madya
c. Utama

Keberhasilan sebuah yajña bukan dari besar kecilnya materi yang


dipersembahkan, namun sangat ditentukan oleh kesucian dan ketulusan hati.
Selain itu juga ditentukan oleh kualitas dari yadnya itu sendiri. Dalam Kitab
Bhagavadgītā, XVII. 11, 12, 13 disebutkan ada tiga pembagian yajña yang dilihat
dari kualitasnya, yaitu:

1. Tamasika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan tanpa mengindahkan


petunjuk-petunjuk sastra, mantra, kidung suci, daksina dan sradha.
2. Rajasika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan dengan penuh harapan akan
hasilnya dan bersifat pamer serta kemewahan.
3. Satwika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan beradasarkan sraddhā,
lascarya, sastra agama, daksina, mantra, gina annasewa, dan nasmita.

14
BAB 5

KUALITAS YADNYA

Dalam pelaksanaan Bhakti Marga Yoga dapat dilakukan dengan menunjukkan rasa Bhakti
dan cinta kasih sepenuhnya untuk Brahman dan melalui persembahan kepada Tuhan. Di Bali,
jalan Bhakti dapat dilihat dari pelaksanaan Upacara Yadnya yang dilakukan oleh
masyarakatnya. Dalam pelaksanaan Upacara Yadnya ini, tentu saja penerapannya dipengaruhi
oleh Tri Guna yang telah dibawa oleh manusia sejak lahir, yaitu Guna Sattwam, Guna Rajas,
dan Guna Tamas.

Pengaruh Tri Guna dalam pelaksanaan Upacara Yadnya, menyebabkan pelaksanaan Yadnya
memiliki kwalitas yang berbeda sesuai dengan motif dari Yadnya yang dilaksanakan.
Kwalitas Yadnya dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:

 Sattwika Yadnya, yang pelaksanaanya lebih banyak dipengaruhi oleh guna sattwa.
Sehingga pelaksanaan Yadnya yang sattwika dilakukan sesuai dengan arahan dari
sastra dan pelaksanaannya mengandung unsur Karya, Sreya, Budhi, dan Bhakti. Bila
keempat unsur tersbut telah ada dalam pelaksanaan Yadnya, maka Yadnya yang
dilakukan tergolong dalam Sattwika Yadnya.
 Rajasika Yadnya, pelaksanaan Upacara Yadnya-ny dipengaruhi oleh guna rajas.
Wujud dari pelaksanaan Rajasika Yadnya adalah pelaksanaan Yadnya lebih pada
pengharapan dan hasilnya. Pelaksanaan Yadnya yang Rajasika bersifat pamer
sehingga tujuannya membuat orang yang melihat menjadi terkagum-kagum dan
takjub. Dalam pelaksanaan Yadnya yang Rajasika, unsur tanpa pamrihnya tidak
kelihatan.
 Tamasika Yadnya, adalah Yadnya yang dilakukan tanpa mengindahkan petunjuk-
petunjuk sastra, mantra, kidung suci, daksina, dan sraddha. Keyakinan seseorang
yang melaksanakan Yadnya tidaklah Nampak. Demikian juga keseimbangan dari
Upacara Yadnya tidak terlihat. Penerapan Yadnya lebih pada paksaan. Sehingga
banyak umat yang memiliki watak guna tamas akan selalu mengeluh dalam
melaksanakan Yadnya.

Demikianlah kwalitas Yadnya yang dilakukan sesuai dengan sifat-sifat manusia yang
melakukan. Kewajiban umat adalah agar dapat melaksanakan Yadnya yang Sattwika
dengan mengendalikan sifat Rajas dan Tamas yang bergejolak dalam diri.

15
BAB 6

TINGKATAN YADNYA

Sesuai yang terdapat di dalam Kitab Artharwa Weda, dijelaskan bahwa yadnya merupakan
satu pilar penyangga tegaknya kehidupan dunia ini. Terdapat juga dasar atau latar belakang
melaksanakan Yadnya adalah Tri Rna. Maka dari Tri Rna tersebut muncul Panca Yadnya.Tri
Rna terdiri dari, Dewa Rna muncul dari Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Dari Rsi Rna
muncul Rsi Yadnya, sedangkan dari Pitra Rna muncul Manusa Yadnya dan Pitra Yadnya.
Sedangkan dari waktu pelaksanaannya, yadnya dapat dibagi menjadi tiga. Terdiri dari tingkat
nista, tingkat madya, dan tingkat utama. Dari ketiga tingkatan itu pun dapat juga menjadi tiga
bagian kembali. Mulai nista ning nista, nista ning madya, dan nista ning madya.

Berarti yadnya itu pada tingkatan terendah. Dalam terendah itu ada terendah dari terendah,
terendah yang menengah, dan terendah yang utama. Begitu juga pada tingkatan madya
maupun di tingkatan utama.

16
BAB 7

PENUTUP

KESIMPULAN

Hakikat sebuah yadnya merupakan pengorbanan suci untuk mengurangi rasa keakuan (ego).
Setiap pelaksanaan yadnya dikembangkan sikap yang paling sederhana dalam kehidupan
yaitu cinta kasih dan pengorbanan. Tiap-tiap pengorbanan adalah memberi jalan pada
pertumbuhan jiwa agar ikhlas mencapai tujuan yang lebih mulia. Yadnya tidak hanya
mencakup masalah persembahan atau kebhaktian dalam upakara pada upacara yang
menyangkut masalah hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan Maharsi, manusia
dengan leluhur, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan butha. Lebih luas yadnya
bisa dilakukan dengan perbuatan yang dilakukan dengan tulus iklas seperti menolong orang
yang sedang kesusahan.

Yadnya memiliki beberapa tujuan yaitu sebagai pengejawantahan Weda, untuk penyucian,
untuk meningkatkan kualitas diri, sebagai sarana menghubungkan diri dengan Tuhan, sebagai
ungkapan rasa terima kasih, dan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. Dengan
beberapa tujuan tersebut, sehingga yadnya merupakan suatu hal yang wajib untuk
dilaksanakan oleh umat Hindu.

Yadnya dapat menumbuhkan solidaritas sosial baik itu dalam beryadnya menolong sesama
ataupun melaksanakan sebuah upacara. Contoh solidaritas sosial pelaksanaan yadnya bisa
dilihat dari pelaksanaan piodalan dalam sebuah pura. Dalam tradisi masyarakat Hindu Bali,
ketika ada upacara piodalan maka masyarakat baik pria atau wanita diwajibkan untuk terjun
ngayah. Dalam acara ngayah kebersamaan lebih terlihat dimana umat saling membantu untuk
mempersiapkan jalannya upacara.

SARAN

Dalam proses penyusunan makalah ini, kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kami sebagai penulis memohon kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini.

17
DAFTAR PUSTAKA
Jana, I Ketut. 2009. Upacara Pemendak Agung pada Piodalan Kuningan di Pura Dalem
Sakenan, Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kodya Denpasar (Kajian Bentuk,
Fungsi, dan Makna). Skripsi Program Sarjana IHDN Denpasar.

Kiriana, I Nyoman. 2008. Yadnya Sebagai Praktik Pendidikan Humaniora Dalam Perspektif
Metode Refleksitas Epistemik Pierre Bordieu. Jurnal Pangkaja Volume VIII No.2, Agustus
2008, IHDN Denpasar.
Kajeng, I Nyoman. 1997. Sarasamuscaya. Jakarta: Hanuman Sakti.
Lawang, Robert.1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Terbuka.
Mantra, I.B. 2007. Bhagawadgita. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
Morris, Brian. 2007. Antropologi Agama Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer.
Yogyakarta: AK Group
Nala, I Gusti Ngurah dan I.G.K. Adia Wiratmadja. 2012. Murddha Agama Hindu.
Denpasar:Upada Sastra.
Pudja, I Gede. 2004. Kitab Suci Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita.
Subagiasta, I Ketut. 2008. Sraddha dan Bhakti. Surabaya: Paramita.
Tim Penyusun. 1996. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi.
Jakarta:Hanuman Sakti.
Tim Penyusun. 2004. Dasar-Dasar Agama Hindu. Jakarta: Lestari Karya Megah.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Walgito, Bimo. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). 1999. Yogyakarta: Andi.

18
19

Anda mungkin juga menyukai