Anda di halaman 1dari 23

RESUME

NAMA : NYOMAN ARSAME, S.Ag


NUPTK : 5651761663200042
NO URUT : 182
KELAS : 10
GROUP : 2
A. Konsep Dasar Yadnya
1. Pengertian Yadnya
Secara etimologi, kata yadnya berasal dari kata yaj (bahasa Sanskerta) yang berarti korban suci dan
pemujaan. Yadnya berarti upacara korban suci. Sebagai pemujaan yang memakai korban suci maka
yadnya memerlukan dukungan sikap mental yang suci pula, di samping adanya sarana yang
dipersembahkan/dikorbankan. Yadnya adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri
antara manusia dengan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) beserta semua manifestasi-Nya untuk
memeroleh kesuciaan jiwa dan persatuan Atman dengan Paramatman.
Sarana yang melengkapi pelaksanaan suatu yadnya disebutu upakara/alat berupa berbagai bentuk
sesajen. Secara etimologi upakara mengandung pengertian pelayanan yang ramah tamah atau
kebaikan hati.
Secara harfiah tata pelaksanaan suatu yadnya disebut upacara. Kata upacara dalam bahasa
Sanskerta berarti mendekati.
yadnya merupakan unsur yang sangat penting, bagaikan kulit telor yang membungkus dan
melindungi bagian dalamnya yang merupakan inti dari telor itu sendiri. Walaupun yadnya adalah
kulit luar namun peranan kulit pada setiap benda akan bersifat melindungi dan menentukan
keberadaan isi dari benda itu. Demikian pula yadnya akan sangat menentukan eksistensi ajaran
agama Hindu dalam implemntasinya. Yadnya tidak hanya menandakan identitas keagamaan, tetapi
lebih dari pada itu yadnya merupakan pengejawantahan ajaran agama Hindu itu sendiri. Di dalam
Atharva Veda dijelaskan sebagai berikut:

satyam brhad rtam ugra


diksa tapo brahma yajnah
prthivim dharayanti.
sa no bhutasya bhavyasya
patni urum lokam prthivi nah krnotu (Atharvaveda XII.1.1)
Artinya:

Kebenaran (satya) hukum yang agung, yang kokoh dan suci (rta), tapa brata, doa dan yadnya inilah
yang menegakkan bumi. Semoga bumi ini, ibu kami sepanjang masa memberikan tempat yang lega
bagi kami.

Umat Hindu dalam mewudkan tujuan hidupnya yaitu jagathita (kesejahteraan di Dunia) serta moksa
(kebahagiaan abadi) maka di samping melakukan tapa dan brata, juga melakukan yadnya.

Ada beberapa unsur yang mutlak yang terkandung dalam yadnya. Unsur-unsur tersebut yaitu:

1) Karya (perbuatan)
2) Sreya (tulus ikhlas)

3) Bhakti (persembahan)

Dengan demikian maka semua perbuatan yang berlandaskan dharma dan dilakukan dengan tulus
ikhlas dapat disebut yadnya. Dalam Bhagawaadgita ditegaskan bahwa belajar dan mengajar yang
didasari oleh keikhlasan serta penuh pengabdian tergolong yadnya. Jadi jelaslah yadnya itu bukanlah
terbatas pada aktivitas keagamaan saja.

2. Dasar Pelaksanaan Yadnya

Tri Rna adalah istilah dalam bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata tri dan rna.
Tri artinya tiga dan rna artinya hutang. Dengan demikian maka pengertian Tri Rna adalah
tiga rasa berhutang manusia di dunia. Tri Rna terdiri atas: Dewa Rna, Pitra Rna, dan Rsi
Rna. Ketiga rasa berhutang manusia inilah yang merupakan dasar pelaksanaan yadnya
bagi umat Hindu.

1. Dewa Rna

Dewa Rna adalah rasa berhutang manusia kepada Hyang Widhi karena Beliau telah
memberikan kehidupan serta menciptakan alam semesta beserta isinya sehingga manusia
dapat hidup di dunia ini. Atas dasar itu maka manusia (umat Hindu) merasa wajib untuk
membayar hutang itu dengan pelaksanaan yadnya berupa Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya

2. Pitra Rna

Pitra Rna adalah rasa berhutang manusia kepada Pitra atau leluhur. Kata Pitra
(bahasa Sanskerta Pitr) berarti ayah atau leluhur. Hutang yang dimaksud adalah
hutang jasa dari orang tua yang telah melahirkan, merawat dan mendidik sehingga
seseorang menjadi suputra. Rasa berhutang ini yang selanjutnya dibayar dengan
pelaksanaan yadnya yaitu Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.

3. Rsi Rna

Rsi Rna adalah manusia kepada Rsi. Kata Rsi sering diidentikkan pengertiannya
dengan Pandita atau Guru Suci. Atas dasar adanya rasa berhutang kepada para Rsi atau
Guru Suci itulah maka dilaksanakan Rsi Yadnya. Jadi Tri Rna sebagai dasar timbulnya Panca
Yadnya.

B. Tujuan Pelaksanaan Yadnya

Umat manusia pada hakikatnya mempunyai tiga macam hutang ( Tri Rna).
Sehubungan dengan itu ada lima jenis yadnya yang patut dilaksanakan oleh setiap umat
Hindu untuk melunasi hutangnya itu. Lima jenis yadnya tersebut adalah Dewa Yadnya,
Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Oleh karena itu maka yadnya
yang dilakukan oleh manusia tentu bertujuan untuk mencapai tujuan hidup manusia menurut
ajaran agama Hindu yakni jagathita dan moksa (kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin).

Tujuan pelaksanaan yadnya dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Sebagai Pengejawantahan Ajaran Weda

Yang dijelaskan dalam Rgveda X.71.11 berikut.


Seorang bertugas mengucapkan sloka-sloka weda seorang melakukan nyanyian-
nyanyian pujian dalam dalam Sakwari; seorang lagi yang menguasai pengetahuan
weda mengajarkan isi weda dan yang lain mengajarkan tata cara melaksanakan korban
suci (yadnya).

Kebesaran dan keagungan Hyang Widhi (Tuhan) yang dipuja, perasaan hati pemujanya,
maupun wujud persembahan, semuanya dilukiskan dalam bentuk niyasa (simbol-simbol)
yang dicerminkan dalam berbagai bentuk upakara yang menyertai suatu yadnya. Dengan
niyasa yang diwujudkan dalam bentuk upakara menjadi lebih menyentuh dan lebih
mudah dihayati.

2. Untuk Menyampaikan Rasa Terima Kasih

Didalam Bhagawad Gita Bab III.30 dijelaskan sebagai berikut.

Saha-yajnah prajah srstva


purovaca prajapatih,
anena prasavisyadhvam
esa vo’stv ista-kamadhuk
Yang artinya

Pada zaman dahulu kala Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan
bersabda: dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari
keinginanmu.

Ada tiga jenis ketergantungan dalam hidup manusia yang membawa ikatan hutang

(rna), ketiga hutang (Tri Rna) tersebut adalah:

a) Ketergantungan manusia pada Tuhan yang telah menciptakan kehidupan, memelihara


dan memberikan kebutuhan hidup, membawa ikatan hutang jasa yang dikenal dengan
Dewa Rna.

b) Ketergantungan kepada leluhur yang telah melahirkan, mengasuh dan


membesarkan diri manusia membawa ikatan hutang jasa yang dikenal dengan Pitra Rna.

c) Jasa para maha rsi yang telah memberikan pengetahuan suci untuk membebaskan
hidup ini dari kebodohan menuju kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir batin
membawa ikatan hutang jasa yang dikenal dengan Rsi Rna.

3. Untuk Meningkatkan Kualitas Diri

yadnya pada hakikatnya merupakan pengorbanan suci dimaksudkan untuk mengurangi rasa
keakuan (ego).

Dalam pelaksanaan yadnya dikembangkan sikap yang paling sederhana dalam kehidupan yaitu
cinta kasih dan pengorbanan.

Melalui yadnya itu pula tersirat adanya pengakuan akan keterbatasan, kekurangan
dan kepapaan hidup. Hal ini terlukis dalam doa maupun upakara yang dikenal dengan
nama Guru Piduka.

4. Untuk Menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Dipuja


Upacara/yadnya bagi umat Hindu juga merupakan pelaksanaan yoga.Penyucian diri
bukan hanya secara jasmani, hal yang tidak kalah pentingnya adalah pembersihan secara
rohani dengan tirtha penglukatan/pamarisudha sebelum memasuki areal tempat
mempersiapkan suatu yadnya yang disucikan.

5. Untuk Penyucian Diri

Kesucian adalah merupakan landasan yang utama yang patut ditegakkan dalam
pelaksanaan ajaran agama Hindu. Oleh karena itu, upacara yang bermakna menyucikan
seperti itu hampir selalu dijumpai pada setiap pelaksanaan suatu yadnya lebih-lebih pada
tingkatan yadnya yang besar.

Jadikanlah aktivitas sehari-hari sebagaai yadnya. Laksanakan kewajiban diri sendiri


dengan penuh kesadaran dan keikhlasan sehingga masuk dalam kategori yadnya. Dengan
demikian maka setiap kegiatan yang dilakukan selalu memberikan kesucian pada diri
pribadi. Demikian untuk kesucian alam dan lingkungan lakukan upacara/ritual sesuai
dengan sastra agama sehingga akaan senantiasa berada pada lingkunganyang suci, yang
memberikan kehidupan yang suci juga bagi manusia.

C. Jenis Yadnya

Jenis atau penggolongan yadnya yang telah umum dikenal adalah didasarkan atas
tujuan atau sasaran yadnya itu dipersembahkan. Dalam hubungan ini Agastya Parwa
menguraikan tentang jenis jenis Yadnya sebagai berikut :

1) Dewa Yadnya
2) Rsi Yadnya
3) Pitra Yadnya
4) Bhuta Yadnya, dan
5) Manusa Yadnya.
Kelima jenis yadnya tersebut erat kaitannya dengan Tri Rna yaitu tiga jenis rasa
berhutang yang patut dibayar dalam kehidupan ini. Dengan adanya Dewa Rna yaitu
hutang urip atau jiwa pada Hyang Widhi yang telah menciptakan kehidupan serta segala
yang menunjang kehidupan di alam semesta ini, menimbulkan pelaksanaan Dewa Yadnya
dan Bhuta Yadnya.
Dalam Bhagawadgita juga menuraikan tentang jenis penggolongan yadnya yang
didasarkan atas sarana yang dipersembahkan serta caranya dalam melaksanakan yaitu :
1. Tapa Yadnya, adalah pengorbanan/yadnya yang dilaksanakan dengan jalan
mengekang/mengendalikan indria.
2. Drawya Yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan dengan mengorbankan materi atau
harta benda miliknya, atas dasar rasa bakti yang tulus dan ikhlas.
3. Jnana Yadnya adalah suatu persembahan kepada Hyang Widhi dengan cara
mengamalkan pengetahuan dan kebijaksanaan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan
kehidupan di dunia ini.
4. Yoga Yadnya adalah Yoga Yadnya adalah persembahan/yadnya dengan cara melaksanakan
yoga yaitu mengatur nafas memusatkan pikiran dan melaksanakan aturan-aturan yoga lainnya.

Yadnya ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu Nitya Yadnya dan Naimitaka Yadnya.
1) Nitya Yadnya
Nitya Yadnya adalah yadnya yang dilakukan secara rutin setiap hari. Yadnya ini antara lain
dalam bentuk persembahan yang berupa yadnya sesa, atau persembahyangan sehari-
ahari. Bagi sulinggih dapat dengan melakukan surya sewana.
2) Naimita Yadnya
Naimitika Yadnya adalah yadnya yang dilakukan secara berkala atau waktu-waktu
tertentu. Yadnya ini terutama yadnya dalam bentuk persembahan/upakara yaitu upacara
piodalan, sembahyang saat Purnama dan Tilem, dan pada hari suci atau hari raya
keagamaan lainnya.
D. Tingkatan Yadnya
Tingkatan yadnya yang didasarkan atas besar kecilnya upakara yang dipersembahkan
dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu: Kanistha, Madhyama, dan Uttama.
Dilihat dari segi kualitas Tri Guna yang melatarbelakangi pelaksanaan yadnya
Bhagawadgita membedakan kualitas yadnya menjadi tiga tingkatan, yaitu
1. Sattwika Yadnya
Adalah yadnya yang dilaksanakan dengan keikhlasan tanpa mengharapkan hasilnya,
dilaksanakan semata-mata sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan serta sesuai
dengan sastranya.
2. Rajasika Yadnya
Adalah yadnya yang dipersembahkan dengan motivasi untuk memamerkan kemampuan
serta terikat dengan keinginan untuk memeroleh buahnya.
3. Tamasika Yadnya
Adalah yadnya yang dilaksanakan secara sembarangan, tidak sesuai dengan ketentuan
sastranya tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra syair yang
dinyanyikan, tidak ada daksina, serta tidak dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaan.
Dalam tingkatan ini besar kecilnya upakara tidak menjadi ukuran. Tingkat kualitas
spiritual suatu persembahan/yadnya lebih ditentukan oleh sraddha, kebhaktian,
keikhlasan serta jauh dari rasa ego.
RESUME KB 2
KONSEP DASAR TEMPAT SUCI

NAMA : NYOMAN ARSAME, S.Ag


NUPTK : 5651761663200042
NO URUT : 182
KELAS : 10
GROUP : 2

A. Istilah Tempat Suci


1. Pengertian Tempat Suci

Tempat suci adalah tempat yang dibangun secara khusus menurut peraturan-
peraturan yang telah ditentukan secara khusus pula Tempat suci adalah tempat untuk
melakukan kegiatan yadnya/ibadah agama yang suci, tempat untuk sujud, menghaturkan
bhakti dan menyembah.
Sembahyang di tempat suci merupakan pernyataan kepatuhan dan ketaatan umat
manusia kepada Tuhan-Nya. Karena itu tempat suci sebagai tempat sembahyang dan
berbhakti , hendaklah disucikan dan dipelihara serta dilestarikan kesuciannya. Umat Hindu
tidak boleh masuk ke tempat suci ketika dalam keadaan cuntaka atau sebel, dan juga
tidak boleh berbuat dan berkata-kata yang tidak baik di tempat suci.
2. Istilah tempat suci
Tempat suci umat Hindu, dapat disebutkan dengan bermacam-macam istilah,
seperti:
1. Pura
Istilah Pura berasal dari kata Pur, yang artinya kota, benteng atau kota yang berbenteng.
Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi
tembok. Hampir semua Pura (tempat suci), dikelilingi atau dibentengi dengan tembok
atau pagar untuk memisahkan dengan dunia sekitarnya yang dianggap tidak suci. Awalnya
istilah Pura dipakai menyebut nama istana seperti
: istana raja di Samprangan (Linggarsapura), istana raja Gelgel (Suwecapura), istana raja di
Klungkung (Semarapura). Istilah Pura saat itu dimaksudkan sebagai tempat terhormat,
dan selanjutnya sebagai tempat yang disucikan, dan tempat suci. Setelah itu Pura
ditetapkan sebagai sebutan tempat suci untuk memuja Hyang Widhi dan arwah suci
leluhur, dan Puri dipakai menyebut istana raja. Kini Pura sebagai tempat suci diartikan
sama dengan Kahyangan atau Parhyangan.
2. Parhyangan
Pada zaman Bali Kuna tidak ditemukan istilah Pura sebagai tempat suci, tetapi
yang dipakai adalah Hyang. Hyang sebagai tempat suci termuat dalam prasasti Sukawana
(882 M), dan prasasti Trunyan (891), juga prasasti Kehen (Hyang Karimana, Hyang Api,
Hyang Tanda). Ketika pemerintahan Dharma Udayana Warmadewa (989-1001)
penggunaan Hyang berubah menjadi Kahyangan. Mpu Kuturan mengajarkan agar
masyarakat membuat Kahyangan di Bali. Istilah Pura baru muncul setelah pemerintahan
Raja Gelgel, Sri Kresna Kepakisan, yang membawa tradisi Jawa Timur ke Bali. Kahyangan
atau Parhyangan berasal dari kata hyang, (biasanya dihubungkan dengan sang, dang),
merupakan kata sandang yang ditempakan di depan sesuatu yang dimuliakan, dihormati.
Istilah-istilah lainnya adalah Pangayatan, Panyawangan, Pangubengan, Pangayengan,
Dewagrha- Mandira, Pasimpangan, Kuil, Prasada, dan Bale Basarah.
3. Candi
Candi artinya Siwa. Bentuk pokoknya adalah segi tiga (A), yaitu lambang Purusa
sebagai wisesanya Hyang Widhi untuk mencipta atau mengadakan. Sedangkan istilah
Candi Bentar yang juga disebut Supit Urang berasal dari kata Candika (Candi), berfungsi
sebagai pintu gerbang. Candika atau Candi Bentar ini sesungguhnya adalah lambang
Durgha (saktinya Siwa) dalam melakukan pralina, mengembalikan ciptaan Tuhan ini ke
asalnya.
B. Syarat-syarat pembuatan tempat suci
Pura sebagai tempat suci yang dikeramatkan oleh umat Hindu pada waktu
permulaan pendiriannya diharapkan mengikuti proses atau ketentuan-ketentuan sebagai
berikut. Umat Hindu setempat mengadakan pemufakatan untuk mendirikan sebuah
tempat suci (Pura) atau yang lain. Hasil pemufakatan itu disampaikan kepada orang suci
misalnya Pandita (Sulinggih) agar beliau memilihkan tanah (tempat) yang baik untuk
tujuan dimaksud. Pemilihan tempat yang cocok untuk bisa dibangun sebuah Pura oleh
sulinggih didasarkan atas yoganya. Setelah itu melalui yoganya didapat inpirasi, apakah
tempat itu cocok atau tidak. Di samping itu yang perlu diperhatikan adalah bau dari tanah
itu, apakah harum atau busuk, dan yang harum menjadi pilihan. Hal-hal lain yang perlu
diperhatikan adalah posisi letak tanahnya.
Setelah tempat diketemukan, maka mulailah pekerjaan mengukur tanah dengan
menggunakan pedoman lontar-lontar seperti Asta Kosala Kosali, yaitu lontar yang
memuat perihal seni bangunan. Setelah tanah didapatkan dan diukur, selanjutnya
dilaksanakan upacara pamariudha tanah (pembersihan tanah). Dalam hal ini disertakan
dengan sesajen antara lain daksina dan sodaan, yang ditujukan kepada Hyang Widhi
dalam manifestasi- Nya sebagai Dewi Pertiwi untuk merelakan tanah di bawah kekuasaan-
Nya untuk dijadikan tempat suci (Pura) sebagaimana diuraikan dalam lontar Wiswakarma
dan Bhama Kertih. Mengenai tata letak palinggih dalam suatu Pura termuat pada lontar
Padma Bhuwana
Letak areal untuk tempat suci seperti Pura menurut keyakinan umat Hindu adalah
di hulu, umumnya berpedoman kepada arah matahari terbit atau letak gunung.
Setelah penentuan letak diperoleh persyaratan selanjutnya diselenggarakan
pembangunannya dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Upacara Ngruwak
Upacara Ngruak (merubah status tanah) adalah upacara permohonan kehadapan Bhuta
Kala yang menempati tanah tersebut untuk dijadikan tempaat pendirian bangunan.
2) Upacara Nyukat Karang
Upacara Nyukat Karang dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti tata letak
bangunan palinggih yang akan didirikan dan laus masing-masing mandala (palemahan)
pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang sesuai dengan aturan yang termuat baik
dalam Lontar Asata Kosala Kosali maupun Asta Bhumi.
3) Upacara Nasarin
Upacara Nasarin atau peletakan batu pertama, sesuai dengan sastra agama, sebagai
berikut.
a) Dasar pertama dengan bata bang (batu bata merah) yang bergambarkan
Badawangnala, dengan wijaksara ANG.
b) Klungah kelapa gading makasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan wijaksara OM kara.
c) Di atas upakara tadi, ditindih dengan batu bang (batu bata merah), bertuliskan
Dasaksara. Kemudian ditindih dengan batu hitam ( batu bulitan), yang bertuliskan Tri
Aksara (ANG UNG MANG).
d) Yang paling atas adalah kwangen dengan uangnya 11 kepeng, bertuliskan OM
karamertha.

4) Upacara Mamakuh

Apabila bangunan telah selesai dibangun, dilanjutkan dengan upacara mamakuh. Upacara
mamakuh adalah upacara yadnya yang dilakukan setelah selesai mendirikan suatu
bangunan suci atau palinggih dengan tujuan menguatkan bangunan secara niskala agar
kokoh.
5) Upacara Mlaspas
Upacara mlaspas dilakukan setelah selesai upacara mamakuh, yakni upacara panyucian.
Upacara ini ditandai dengan pemasangan Orti. Orti lambang ketenangan/kebahagiaan,
juga simbol komunikasi, sebagai permohonan dalam perlengkapan upacara pada
pamakukan atau pamlaspasan.
6) Upacara Mapadagingan
Untuk bangunan suci upacara ini amat penting, karena tanpa upacara Mapadagingan,
bangunan tersebut atau palinggih itu belum siap sebagai tempat sthana Dewa
(Dewagrha). Fungsi Upacara Mapadagingan adalah menyucikan bangunan dalam tingkat
lanjut, agar para Dewa berkenan bersthana pada palinggih tersebut. Setelah palinggih itu
diisi padagingan, para Dewata dilinggakan (Dewa Pratistha) barulah bangunan itu sebagai
media persembahyangan.
7) Upacara Ngenteg Linggih
Upacara Ngenteg Linggih dilakukan setelah Upacara Mapadagingan dengan harapan
Dewata yang dilinggakan selalu berkenan menganugrahkan keselamatan kepada para
umat Hindu atau panyiwinya. Upacara Ngenteg Linggih mempunyai makna upacara
penyucian dan pensakralan niyasa tempat memuja Hyang Widhi
C. Fungsi Tempat Suci dan Jenis-jenis Tempat Suci
1. Fungsi Tempat Suci
Sebagaimana disebutkan dalam sastra agama, maka fungsi tempat suci (Pura) itu adalah
sebagai berikut:
1) Tempat melakukan bhakti persembahan/beribadat, tempat manusia mendekatkan
dirinya kepada Hyang Widhi. Pura adalah tempat manusia mengabdi dan berbhakti
kepada Hyang Widhi, tempat memohon dan bersujud kehadapan Hyang Widhi (Tuhan
Yang Maha Pencipta).
2) Tempat mempelai mengikrarkan sumpahnya di atas persaksian Hyang Widhi untuk
memasuki hidup baru.
3) Tempat untuk memuja roh-roh suci (yang dipandang suci), baik roh suci leluhur, roh
para Rsi maupun raja-raja yang dianggap telah menjadi Dewa-Dewi.
4) Tempat para pejuang untuk memohon restu kehadapan Hyang Widhi dalam
memperjuangkan dan membela tanah airnya dari para penjajah.
tempat mengadakan kegiatan-kegiatan sosial dan pendidikan dalam hubungan keagamaan
baik pendidikan watak, pendidikan ke arah rasa persaudaraan, pendidikan ke arah jiwa
demokrasi dan pendidikan ke arah rasa perikemanusiaan.
2. Jenis-Jenis Tempat Suci
Pura di Bali ada beberapa jenis dan letaknya dikelompok- kelompokkan. Tujuan
pengelompokan itu adalah untuk:
1) Meningkatkan pengertian dan kesadaran umat terhadap Pura sebagai tempat suci
umat
Hindu.
2) Menghindari adanya salah tafsir bahwa dengan adanya banyak palinggih di suatu pura,
agama Hindu dianggap politeistik.
Berdasarkan fungsinya Pura itu digolongkan menjadi 2 kelompok:

1) Pura Jagat, yaitu tempat memuja Hyang Widhi dalam segala prabhawa/manifestasi-
Nya.
2) Pura Kawitan, yaitu tempat memuja atma sidha dewata/roh suci leluhur. Berdasarkan
karakterisasi fungsinya pura digolongkan menjadi 4 kelompok:
1) Pura Kahyangan Jagat
Yaitu pura tempat pemujaan Hyang Widhi dalam segala prabhawa-Nya seperti Sad
Kahyangan dan Pura Jagat lainnya.
2) Pura Kahyangan Desa (Teritorial)
Yaitu pura yang disungsung oleh desa adat, contohnya seperti Pura Kahyangan Tiga
3) Pura Swagina (Pura Fungsional)
Yaitu pura yang panyungsungnya terikat oleh ikatan swagina (kekaryaan) yang
mempunyai profesi sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti Pura Subak, Pura
Melanting dan lain sejenisnya.
4) Pura Kawitan
Yaitu pura yang panyungsungnya ditentukan oleh ikatan wit atau leluhur berdasarkan
garis kelahiran (genealogis) seperti Sanggah/Mrajan. Pura Ibu, Pura Panti, Pura Dadia,
dan Pura Padharman.
D. Pembagian Denah Pura, Macam-Macam dan Bentuk-Bentuk Palinggih
1. Pembagian Denah Pura
Yang dimaksud struktur halaman Pura di sini adalah lay out atau tata ruang halaman Pura.
Halaman Pura di Bali dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
1) Pura hanya dengan satu halaman.
2) Pura dengan halaman yang terbagi dalam dua halaman.
3) Pura dengan halaman yang terbagi dalam tiga halaman.
4) Pura dengan halaman yang terbagi menjadi tujuh halaman.
Pura yang mempunyai satu halaman saja didasarkan pada konsep Ekabhuwana
dimana alam atas dan alam bawah dianggap menyatu ( manunggal). Sedangkan Pura yang
memiliki halaman terbagi menjadi dua bagian, didasarkan pada konsep alam atas ( urdhah)
dan alam bawah (ardhah) yang terpisah yaitu akasa dan pertiwi. Sedangkan Pura yang
mempunyai halaman terdiri atas tujuh bagian seperti Pura Besakih mempergunakan
konsep Saptaloka atau tujuh lapisan alam atas (Bhurloka, Bhuwahloka, Swahloka,
Mahaloka, Janaloka, Tapaloka dan Satyaloka).
Sebagian besar Pura di Bali halamannya terbagi dalam tiga bagian, ini didasarkan
kepada konsep Triloka atau tiga lapisan alam yaitu bumi ( Bhurloka), langit (Bhuwahloka)
dan Surgaloka (Swahloka). Halaman Pura yang mengikuti konsep ini dibagi menjadi tiga
bagian (Tri Mandala) dan diberi nama sebagai berikut:
1) Nista Mandala atau Jaba Pura yang merupakan halaman luar dan terletak paling depan.
2) Madya Mandala atau Jaba Tengah yang merupakan halaman tengah.
3) Utama Mandala atau Jeroan Pura merupakan halaman dalam sebagai tempat yang
dianggap paling suci.
Keseluruhan halaman Pura dipandag sakral dan biasanya dikelilingi tembok panyengker
yang di setiap pojoknya dilengkapi dengan paduraksa yang berfungsi sebagai penyangga
sudut tembok Pura.
2. Macam-Macam dan Bentuk-Bentuk Palinggih
1) Jaba Pura dipergunakan sebagai tempat Bale Kulkul, Wantilan, Pawaregan, dan
Lumbung.
2) Jaba Tengah dipergunakan sebagai tempat Bale Gong dan Bale Agung.
3) Jeroan Pura dimanfaatkan untuk tempat palingih-palinggih sebagai sthana Hyang
Widhi dan Para Dewa atau Bhatara-Bhatari manifestasi-Nya, yang bentuk serta letaknya
disesuaikan dengan fungsinya masing-masing. Adapun bangunan-bangunan dimaksud
adalah Padmasana, Meru, Manjangan Sluang, Pangaruman, Piasan, Panyimpenan dan
lain-lain.
Candi Bentar yang merupakan pintu masuk pertama dari Jaba Pura ke Jaba
Tengah menuju Jeroan umat melalui Pamedal Agung (Kori Agung atau Candi Kurung atau
Gelung Agung). Di sebelah kanan dan kiri depan Candi Bentar biasanya ditempatkan
patung Dwarapala atau patung Pangapit Lawang berbentuk raksasa (Nandiswara dan
Mahakala) yang berfungsi sebagai penjaga pintu atau pengawal Pura. Patung bermotif
Dewa biasanya ditempatkan di kanan-kiri di depan Pamedal Agung. Sedangkan pada
bagian atas pintu Pamedal Agung diberikan hiasan kepala raksasa yang dinamakan
Bhoma. Tujuan penempatan Bhoma itu agar jika ada orang jahat masuk Pura akan
dihalangi oleh kekuatan raksasa itu dan jika ada orang yang berhati suci masuk ke dalam
Pura akan memeroleh rakhmat-Nya.
RESUME KB 3
KONSEP DASAR ORANG SUCI

NAMA : NYOMAN ARSAME, S.Ag


NUPTK : 5651761663200042
NO URUT : 182
KELAS : 10
GROUP : 2

A. Pengertian Pandita dan Pinandita

1. Pengertian Pandita

Dilihat dari tingkat penyuciannya umumnya hanya dibedakan atas dua golongan yaitu: 1)
Pandita dan 2) Pinandita.

Rohaniwan yang tergolong Dwijati, dengan sebutan Pandita atau Sulinggih. Dalam istilah
nasional sering juga disebut Pendeta. Kata dwijati berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata dwi
yang artinya dua dan jati berasal dari akar kata ja artinya lahir. Lahir yang pertama adalah dari
kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang Guru Suci yang disebut Nabe. Maka dari
itulah dalam upacara madiksa, yaitu upacara pengesahan untuk menjadi seorang Sulinggih atau
Pandita dilakukan nuwum atau juga disebut matapak.

Istilah Pandita juga berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya: terpelajar, pintar, bijaksana
(orang arif bijaksana). istilah Wiku erat hubungannya dengan Bhiksu (Bahasa Sanskerta) yang
berasal dari kata Biksu artinya minta-minta. Bhiksu artinya Pendeta minta-minta.

rohaniwan yang tergolong Dwi Jati, antara lain: Rrsi, Empu, Pedanda, Bujangga, Senggu,
Dukuh, Danghyang, Bagawan. Untuk di daerah luar Bali juga ada sebutan sejenis seperti Tomina (di
Tana Toraja) Dukun di Tengger, Basir di Kalimantan dan sebagainya.

2. Pengertian Pinandita

Rohaniwan yang tergolong Eka Jati, dengan sebutan Pinandita Pemangku, Wasi dan sejenisnya.
Pinandita adalah rohaniwan yang bertugas selaku pembantu mewakili Pandita.

Selaku pembantu mewakili Pendeta/Pandita ditetapkan adanya Pinandita terdiri

dari:

a) Pemangku b) Wasi

c) Mangku Balian/Dukun

d) Mangku Dalang
e) Pengemban

Pemangku umumnya terkait dengan adanya suatu pura tempatnya bertugas, sedangkan
Wasi, atau Pinandita, Mangku Dalang, Mangku Balian/Dukun, Pengemban tidak selalu memiliki
ikatan dengan suatu tempat suci tertentu. tugas selaku rohaniwan yang bersifat umum, seperti
melaksanakan upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lainnya.

B. Status Pandita dan Pinandita

1. Status Pandita

Ikatan disiplin yang pertama-tama yang patut dilaksanakan oleh seorang diksita dikenal
dengan istilah Catur Bandana Dharma artinya empat ikatan disiplin kehidupan kerohanian meliputi;

1) Amari Aran

Artinya yang bersangkutan sejak diresmikan menjadi seorang Pandita melalui upacara diksa tersebut
wajib mengganti namanya yang dipakai saat masih walaka dengan nama yang baru sesuai dengan
pemberian Nabe.

2) Amari Sesana

Artinya meninggalkan tugas dan kewajibannya semula saat sebelum madiksa dan mengganti dengan
sesana kawikon. Yaitu tugas dan kewajiban serta disiplin kehidupan Pandita. Misalnya tan wenang
adol atuku (tidak boleh berjua beli), dan sebagainya.

3) Amari Wesa

Artinya meninggalkan dan mengganti atribut/tanda-tanda kewalakaannya dengan

wesa atau ciri-ciri/identitas Pandita.

Misalnya dalam tata busana tidak lagi boleh bercukur, melainkan bagi Pandita Siwa yang laki-laki
biasanya mengenakan dandanan rambut yang disebut aketujata memakai mahkota rambut yang
diikat sedemikian rupa atau disebut pula dengan malingga mudra di Bali dikenal dengan maprucut.
Bagi yang wanita memakai dandanan rarnbut yang disebut anyondong.

Pakaian saat memuja memakai:

a) Sampet, yaitu secarik kain yang dilipat pada dadanya

b) Rudraksa, yaitu hiasan dari rangkaian buah ganitri yang dikenakan pada kedua bahunya.

c) Kundala yaitu anting-anting yang umumnya juga terbuat dari rangkaian buah ganitri.

d) Kantha bharata yaitu hiasan pada leher. e) Karna bharata, hiasan pada telinga

f)Guduha, yaitu gelang rangkaian biji/buah ganitri yang dikenakan pada kedua pergelangan
tangannya.

g) Bhawa, yaitu hiasan pada kepala sering disebut dengan ketu


Peralatan pemujaan yang disebut Siwopakarana serta gerakan yang bersifat magis yang
disebut mudra atau patanganan.

Pakaian sehari-hari setelah menjadi Pandita antara lain:

a) Bagi Pandita laki-laki, mengenakan: kain putih, kampuh kuning bertepi putih, ikat pinggang putih,
bila keluar rumah memakai tongkat. Boleh juga memakai jubah yang disebut kawaka rajeg.

b) Pandita istri, memakai kain yang dasarnya kuning, boleh dengan motif kembang, baju warna
putih, selendang kuning, ikat pinggang putih.

4) Umulahaken Kaguru Susrusan

Yaitu melaksanakan dengan patuh dan berdisiplin ajaran guru (Nabe) serta selalu hormat dan patuh
kepada guru (Nabe) termasuk keluarganya.

2. Status Pinandita

Upacara yang dilakukan untuk seorang Pinandita hanya sampai pada tingkat pawintenan.
Upacara pawintenan ini boleh dilakukan berkali-kali. Berbeda dengan upacara Padiksaan yang hanya
boleh dilakukan hanya sekali saja (tan wenang anyusuni diksa).

Seorang Pinandita/Pemangku masih boleh bercukur, berpakaian sebagai layaknya


masyarakat biasa, masih memiliki tugas dan kewajiban dalam hubungan kemasyarakatan sebagai
seorang walaka. Namanya juga tidak diganti dengan nama yang baru, sebagaimana bhiseka seorang
Pandita/Sulinggih.

Pelanggaran dalam hal ini disebut nyumuka artinya angwikoni awaknya dawak yang artinya
menjadikan dirinya sendiri selaku Pandita yang sesungguhnya belum berwenang untuk itu. Bagi
seorang Pinandita/Pemangku memiliki sesana khusus yang disebut Sesananing Pemangku antara
lain:

1) Gagelaran/Agem-agem/tata cara Pemangku melaksanakan tugasnya disesuaikan dengan


ketentuan dalam lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih serta Gagelaran Pemangku.

2) Bagi Pemangku Dalang, sesananya/gagelaran/agem-agemnya sesuai dengan

Dharmaning Padalangan, Panyudamalan dan Nyapu Leger.

Ciri-ciri umum yang dipergunakan bagi seorang Pinandita/Pemangku adalah:

1) Rambut panjang atau boleh juga bercukur.

2) Pakaian: memakai destar putih, baju putih, kampuh putih (dalam hal melaksanakan
tugasnya/melakukan upacara). Sedangkan di luar itu masih dibenarkan berpakaian sebagaimana
umat lainnya.

3) Dalam melakukan pemujaan memakai: genta, pasepan, bunga, gandaksata, tempat

tirtha (kumba).

C. Wewenang Pandita dan Pinandita

1. Wewenang Pandita
Pandita/Pendeta berwenang dalam menyelesaikan segala upacara/upakara Panca Yadnya
yang dilaksanakan oleh umat Hindu.
Untuk berwenang menggunakan weda dan menyelesaikan upacara-upacara tingkat
sederhana seorang Sulinggih/Pandita yang telah madiksa harus melaksanakan upacara
Ngalinggihang Weda yang disaksikan oleh Nabenya serta Wiku Saksi lainnya.
Untuk dapat menyelesaikan upacara tingkat yang benar (upacara yang menggunakan
Sanggar Tawang Rong Tiga). Seorang Pandita/Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam
penguasaan Weda yang diistilahkan apasang lingga, yaitu tingkat tertentu dalam penguasaan Weda.
Bagi Sulinggih yang telah berhasil melewati tahapan penguasaan Weda sebagaimana
tersebut di atas, maka tugas pokok seorang Pandita/Pendeta/Sulingggih adalah Ngloka Parasraya
yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk mohon bantuan/membantu umat dalam hal
kehidupan keagamaan secara umum. Dalam praktiknya lebih banyak membantu dalam pelaksanaan
upacara agama.

Pendeta/Pandita juga disebut sebagai Guru Loka atau Dang Acarya yang artinya guru (di
dunia ini) terutama dalam kehidupan keagamaan. Hubungan antara Pendeta/Pandita dengan umat
dilukiskan sebagai hubungan Siwa dengan sisyanya, dimana Pendeta/Pandita dipandang sebagai
Siwa, terutama pada saat beliau muput atau menyelesaikan suatu upacara, ngarga tirtha atau
membuat tirtha, serta melaksanakan tugas-tugas Kepanditaannya.

Umat dipandang sebagai sisyanya yang artinya sebagai murid dari


Pandita/Pendeta/Sulinggih yang bersangkutan. Sedangkan bagi Pandita yang hanya melaksanakan
penyucian diri (madiksa) semata-mata untuk kesucian diri-sendiri, Beliau tidak melaksanakan tugas
Loka Para Sraya terutama yang berhubungan dengan tugas membantu umat dalam menyelesaikan
upacara agama. Tugas dan kewajiban sebagai guru loka dalam arti membimbing dan memberi
petunjuk tentang ajaran agama tetap dilaksanakan sesuai dengan permintaan umat.

Tugas dan kewajiban Pandita/Pendeta/Sulinggih setiap harinya adalah melaksanakan


pemujaan yang dikenal dengan Nyurya Sewana. Nyurya Sewana yaitu melaksanakan pemujaan
untuk menyucikan diri serta mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di dunia ini
(sarwa prani hitakkarah).

Sesuai dengan Keputusan Maha Sabha II Parisada Hindu Dharma Pusat Tahun 1968, ditetapkan
fungsi/tugas kewajiban Pandita sebagai berikut: Fungsi/tugas kewajiban Pendita (Ngloka Para Sraya)
:

a) Memimpin umat dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan lahir batin,

b) Melakukan pemujaan penyelesaian yadnya

Pandata sejak mendapat ijin ngloka para sraya bagi kemantapan ngalinggihang weda, harus
melakukan tirtha yatra pemujaan pada tempat-tempat suci, terutama Pura- pura yang sangat
keramat.

seorang Pandita juga sangat diharapkan untuk melaksanakan tugas-tugas:

1) Dalam memimpin upacara yadnya menyesuaikan dengan ucap sastra (pustaka lontar)

yang mengaturnya.
2) Pandita agar berkenan membimbing untuk meningkatkan kesucian dan kemampuan para
Pinandita/Pemangku.

3) Aktif mengikuti paruman dalam rangka menyesuaikan, memantapkan dan meningkatkan ajaran
agama dihubungkan dengan perkembangan kemajuan zaman.

4) Pandita di samping memimpin menyelesaikan upacara yadnya, juga patut memberikan Upadesa
untuk memantapkan pengertian dan pengalaman ajaran agama Hindu.

2. Wewenang Pinandita

Adapun kewenangan Pinandita atau Pemangku sebagai berikut. Dalam Keputusan Seminar
Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, batas kewenangan seorang
Pinandita/Pemangku dijabarkan sebagai berikut :

1) Nganteb upakara upacara pada kahyangan yang diamongnya.

2) Dapat ngeloka para sraya sampai dengan Madudus Alit, sesuai dengan tingkat

pawintenannya dan juga atas panugrahan Sulingggih.

3) Waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih, dandanan rambut wenang agotra,
berambut panjang, anyondong, menutup kepala dengan destar.

Dalam hubungannya dengan pelaksanaan Panca Yadnya, maka kewenangan


Pinandita/Pemangku adalah sebagai berikut:

1) Menyelesaikan Upacara Pujawali atau Piodalan sampai tingkat Piodalan pada Pura yang
diemongnya..

2) Apabila Pinandita menyelesaikan upacara diluar Pura yang diemongnya atau Upacara Yadnya
tersebut bersifat rutin, seperti Pujawali atau Piodalan, Manusa Yadnya,Butha Yadnya

Yadnya, yang seharusnya dipuput dengan tirtha Sulinggih, maka Pinandita boleh menyelesaikan
dengan menggunakan tirtha Sulinggih selengkapnya.

3) Pinandita berwenang untuk menyelesaikan upacara rutin di dalam Pura dengan Nganteb atau
Masaa serta memohon kehadapan Hyang Widhi dan Bhatara Bhatari yang malinggih atau
disthanakan di Pura tersebut termasuk yadnya membayar kaul.

4) Dalam penyelesaian Upacara Bhuta Yadnya atau Caru, Pinandita diberi wewenang muput
Upacara Bhuta Yadnya tersebut maksimal sampai dengan tingkat Panca Sata dengan menggunakan
tirtha Sulinggih.

5) Dalam hubungan dengan muput Upacara Manusa Yadnya, Pinandita diberi wewenang mulai dari
Upacara Bayi Lahir sampai dengan Otonan biasa dengan menggunakan tirtha Sulinggih.

6) Dalam hubungan dengan muput Upacara Pitra Yadnya, Pinandita diberi wewenang sampai
Mendem Sawa sesuai Dreta yang berlaku.

D. Syarat-syarat Calon Pandita dan Pinandita

1. Syarat-Syarat Calon Pandita


Secara umum syarat-syarat calon Pandita telah ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma dalam
Keputusan Maha Sabha II Tahun 1968 bahwa umat Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat
dapat disucikan (didiksa).

Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:

1) Laki yang sudah kawin.

2) Laki-laki yang Nyukla Brahmacari

3) Wanita yang sudah kawin.

4) Wanita yang tidak kawin (Kanya)

5) Pasangan suami-istri.

6) Umur sudah dewasa

7) Paham dalam bahasa Kawi, Sanskerta, dan Indonesia. Memiliki pengetahuan umum, mendalami
intisari ajaran-ajaran agama (filsafat, etika dan ritual).) Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu,
tidak (cacat tubuh) dan berbudi luhur.
9) Mendapat tanda kesediaan dari Pandita calon Nabenya yang akan menyucikan.

Setelah memenuhi syarat tersebut, seorang calon Pandita masih harus memenuhi prosedur
administrasi yang telah ditentukan yaitu:

1) Calon diksa mengajukan permohonan untuk kepada Parisada Hindu Dharma setempat yang
mewilayahinya selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari padiksaan.

2) Permohonan disertai/dilampiri dengan surat:

a) Keterangan berbadan sehat b) Surat keterangan kecakapan

c) Keterangan tidak tersangkut prakara d) Keterangan berkelakuan baik

e) Riwayat hidup

2. Syarat-syarat Calon Pinandita

Seseorang Pinandita/Pemangku dalam proses penyuciannya tidak memerlukan seorang


Nabe seperti pada padiksan seorang Sulinggih.

Ada beberapa cara yang telah umum dilakukan dalam pemilihan Calon

Pinandita/Pemangku antara lain:

1) Melalui Nyanjan

Cara ini ditempuh dengan bantuan seorang mediator yang mampu menghubungkan diri dengan
dunia gaib.

2) Melalui Keturunan

Pemangku yang sudah tua tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya secara otomatis akan digantikan
oleh keturunannya (anaknya).
3) Melalui Pemilihan

Cara ini sering dilakukan bilamana cara-cara lain ternyata tidak berhasil dilaksanakan.

RESUME KB 4
KONSEP DASAR HARI SUCI

NAMA : NYOMAN ARSAME, S.Ag


NUPTK : 5651761663200042
NO URUT : 182
KELAS : 10
GROUP : 2

A. Hari Suci Nyepi dan Siwaratri

1. Hari Suci Nyepi

Hari Suci Nyepi merupakan hari suci agama Hindu yang dirayakan setiap satu tahun sekali.
Hari suci ini berdasarkan pada pengalihan Purnama dan Tilem.

Hari suci Nyepi dirayakan setiap awal Sasih Kadasa atau sehari setelah hari Tilem Sasih Kasanga.
Biasanya jatuh pada bulan Maret pada tahun Masehi. Perhitungan penetapannya berdasarkan pada;

1) Peredaran matahari dan bulan mengelilingi bumi.

2) Pergantian musim.

Rangkaian Hari Suci Nyepi :

1) Melis/Mekiyis/Melasti

Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widhi/manifestasi Beliau yang bersthana
di laut sebagai sumber air, membersihkan semua alam beserta isinya, yang telah setahun lamanya
berada dalam arena dunia manusia dengan berbagai noda dan gangguan hingga kotor.

2) Pacaruan/Bhuta Yadnya

Upacara ini dilaksanakan dari masing-masing perumahan, banjar, desa, kecamatan, kabupaten dan
provinsi, dengan mengambil tempat melalui lebuh (depan pintu masuk pekarangan), perempatan
jalan, alun-alun/lapangan. Adapun tujuannya adalah memohon pada Hyang Widhi/manifestasi-Nya
sebagai Dewata Nawa Sanga (penguasa penjuru mata angin) di alam raya ini agar menyucikan dan
mengharmoniskan kembali alam semesta beserta isinya menjadi bersuasana baru.

3) Pelaksanaan Nyepi

Pelaksanaan Nyepi bertujuan untuk menyepikan diri. Pelaksanaan Nyepi dilakukan melalui Catur
Baata Panyepian untuk dapat sepi, sipeng lahir dan batin. Keempat brata tersebut adalah:

a. Amati Geni

Maksudnya tidak menyalakan api secara lahir.


b. Amati Karya

Maksudnya tidak bekerja secara lahir.

c. Amati Lelungaan

Maksudnya tidak pergi yaitu menyediakan waktu untuk memusatkan pikiran melaksanakan tapa,
brata yoga dan samadhi, mawas diri.

d. Amati Lelanguan

Maksudnya menekan atau meredakan tuntutan hawa nafsu/kesenangan terhadap Sad Ripu, Sad
Atatayi, Sapta Timira dan lain sejenisnya.

Besoknya setelah perayaan Nyepi berakhir, dilanjutkan dengan upacara Ngembak Geni
maksudnya mengakhiri masa pelaksanaan Catur Brata Panyepian itu.

2. Hari Suci Siwaratri

Hari suci Siwaratri merupakan hari suci umat Hindu yang dirayakan setiap tahun sekali, perayaannya
dilaksanakan pada hari Panglong XIV, sehari sebelum Tilem Sasih Kapitu pada umumnya jatuh pada
bulan Februari tahun Masehi.

Pada hari suci Siwaratri diwajibkan untuk melaksanakan brata sebagai berikut:

a) Monabrata, yaitu tidak berbicara atau berkata-kata

b) Upawasa, yaitu tidak makan dan minum

c) Jagra, yaitu tidak tidur dari pagi hingga malam hari sampai pagi lagi.

Siwaratri ini ada diungkapkan pada pustaka Padma

Purana, Kakawin Siwaratri Kalpa, Puja Siwaratri, dan Tutur Lubdhaka. Tata cara pelaksanaan
hari suci Siwaratri sebagai berikut:

a) Melaksanakan brata-brata tersebut di atas seperti monabrata, upawasa, dan jagra.

b) Pemujaan oleh Pandita Siwa dan Buddha

c) Masing-masing umat membersihkan diri pribadinya pada pagi harinya dan sore dilanjutkan
dengan upacara maprayascitta.

d) Sembahyang sebanyak 3 kali yaitu menjelang malam, tengah malam, dan pagi.

B. Hari Suci Saraswati

1. Pengertian Hari Suci Saraswati

Hari suci Saraswati merupakan hari turunnya ilmu pengetahuan ke dunia. Hari suci
Saraswati juga disebut piodalan Sang Hyang Aji Saraswati, yang dilaksanakan setiap enam bulan
sekali (210 hari), yaitu pada hari Sabtu Umanis, Wuku Watugunung. Saraswati terdiri atas dua kata
yaitu “saras” dan “wati”. Kata Saras berasal dari urat kata “sr” (bahasa Sanskerta) yang artinya
mengalir atau melahirkan, dan wati artinya memiliki sifat. Jadi Saraswati artinya memiliki sifat
mengalirkan atau melahirkan. Dewi Saraswati merupakan Dewanya ilmu pengetahuan atau Weda,
sehingga sering disebut sebagai “Dewaning Pangweruh”. Selain itu Dewi Saraswati juga sering diberi
gelar Dewa Kecerdasan dan Dewa Kapujanggaan.

Pada perayaan hari suci Saraswati, upakara inti yang digunakan adalah banten Saraswati.
Salah satu unsur dari banten ini adalah jajan Saraswati, yang terbuat dari tepung beras berwarna
putih, dan berisi lukisan cecak. Menurut ahli Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki
kepercayaan bahwa binatang melata seperti cecak memiliki kekuatan dan kepekaan pada geraran-
getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak memberi inspirasi bahwa ilmu
pengetahuan tidak hanya mengembangkan rasio atau pikiran saja, melainkan harus mampu
mendorong, menumbuhkan kepekaan intuisi sehingga dapat mengungkap getaran-getaran rohani
manusia.

2. Simbol Saraswati

Simbol-simbol tersebut sebagai berikut:

a) Dewi adalah simbol kekuatan yang indah, cantik, menarik, lemah lembut dan mulia yang
merupakan sifat dari ilmu pengetahuan itu.

b) Alat musik adalah simbol seni budaya yang agung.

c) Genitri, adalah simbol dari kekekalan dan tak terbatasnya ilmu pengetahuan itu. d) Pustaka suci,
adalah simbol dari ilmu pengetahuan suci

e) Teratai, adalah simbol kesucian Hyang Widhi

f) Angsa adalah simbo l dari kebijaksanaan untuk membedakan antara yang baik dengan yang buruk.

3. Upakara dan Upacara Hari Suci Saraswati

Pembersihan atau penyucian sekala yaitu dibersihkan dari kotoran atau debu yang melekat padanya,
sedangkan secara niskala memerciki pustaka tersebut dengan air suci disertai puja:

Aum, Ung Saraswati pat astraya namah

Aum Ang Gangga Saraswati suddhaya namah

Umat Hindu bisa memilih penggunaan bebanten untuk Hari Saraswati sesuai kemampuan
masing-masing.

a) Upakara yang besar terdiri dari 3 buah tumpeng serta raka-raka galahan, sodaan 3 warna
menjadi satu dulang.

b) Upakara yang sedang, menggunakan suci, peras, daksina palinggih, kembang payas, kembang
cane, canang biasa, banten Saraswati, sesayut Saraswati, rayunan perangkatan putih kuning dan
raka dan wangi-wangi selengkapnya.

c) Upakara yang kecil, yaitu benten Saraswati, berisi jajan Saraswati, sodaan putih kuning,

dan canang selengkapnya.


Bila dilakukan upacara dengan persembahyangan bersama misalnya dilaksanakan di Pura
perkantoran atau sekolah atau kampus, upacara sedapat mungkin diusahakan dilaksanakan pada
dengan urutan sebagai berikut:

a) Mengatur tempat upacara sesuai fungsinya/ penggelar banten.

b) Pemujaan persembahyangan dipimpin pandita (sulinggih) atau pinandita (pemangku).

c) Persembahyangan dipimpin pemangku atau yang ditugasi untuk itu. d) Mohon tirtha dan bija.

e) Nglebar

4. Sesana dan Brata Saraswati

Mengenai sesana dan brata Saraswati di dalam lontar Tutur Saraswati dinyatakan sebagai
berikut:

Upacara pemujaan Saraswati dilakukan pada hari atau sebelum tengah hari, dan apabila
dilaksanakan pada siang hari adalah tidak bermanfaat karena Hyang Saraswati sudah
kembali ke tempatnya. Dan lagi apabila lewat tengah hari tidak diperkenankan membaca
atau menulis mantra atau kesusastraan. Bila melanggarnya niscaya hasilnya tidak
mendapat kertawara nugraha Hyang Saraswati

Bagi umat yang melaksanakan brata Saraswati secara penuh, tidak diperkenankan membaca
dan menulis selama 24 jam, juga berpuasa tidak makan dan minum.

C. Hari Suci Galungan dan Kuningan

1. Pengertian Hari Suci Galungan

Hari raya Galungan merupakan hari raya suci agama Hindu berdasarkan pawukon yang
datangnya setiap 6 bulan (210 hari) sekali, tepatnya hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan. Hari suci
Galungan juga disebut hari Pawedalan Jagat mengandung makna untuk pemujaan kehadapan
Hyang Widhi karena telah diciptakan dunia dengan segala isinya, selain itu juga hari suci Galungan
diperingati sebagi hari kemenangan dharma melawan adharma. Hari suci Galungan diperkirakan
sudah ada di Indonesia sejak abad XI. Hal ini didasarkan atas antara lain: Kidung Panji Malat Rasmi
dan Pararaton kerajaan Majapahit. Perayaan semacam ini di India dinamakan hari raya Sraddha
Wijaya Dasami.

Di Bali sebelum pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, perayaan Galungan pernah tidak dilaksanakan,
oleh karena raja-raja pada jaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut dapat
mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita. Setelah Sri Haji Jayakusunu naik tahta dan
setelah mendapatkan pawarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya, maka Galungan
kembali dirayakan dengan suatu ketetapan tidak ada Galungan Buwung atau tidak ada Galungan
batal.

2. Rangakaian Upacara Hari Suci Galungan

a) Tumpek Wariga

Yaitu 25 hari sebelum hari suci Galungan yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga
(disebut Tumpek Wariga). Tumpek ini juga disebut dengan nama Tumpek Pengatag, Pengarah,
Bubuh, dan Uduh, yang intinya memohonkan keselamatan kepada semua jenis tumbuh-
tumbuhan agar dapat hidup dengan sempurna dan dapat memberikan hasil untuk bekal
merayakan Galungan.

b) Hari Sugihan Jawa

Dirayakan setiap 210 hari atau 6 bulan sekali pada hari Kamis Wage Wuku Sungsang yaitu

6 hari sebelum hari suci Galungan. Perayaan saat ini bermakna memohonkan kesucian terhadap
bhuwana agung (alam semesta).

c) Hari Sugihan Bali

Dirayakan setiap 210 hari sekali atau 6 bulan sekali pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang,
yaitu 5 hari sebelum hari suci Galungan. Perayaan saat ini bermakna memohonkan kesucian
terhadap diri pribadi (bhuwana alit).

d) Hari Panyekeban

Jatuh pada hari Minggu Paing Wuku Dunggulan yaitu 3 hari sebelum hari suci Galungan. Hari ini
merupakan awal wuku Dunggulan yang bermakna patut waspada karena para Bhuta Kala (Sang
Tiga Wisesa) mulai turun menggoda kemampuan dan keyakinan manusia dalam wujud Bhuta
Galungan. Panyekeban bermakna anyekung jnana sudha nirmala agar terhindar dari godaan-
godaannya.

e) Hari Panyajaan Galungan

Yaitu pada hari Senin Pon Wuku Dunggulan, 2 hari sebelum hari suci Galungan. Hari ini
dipergunakan sebagai hari persiapan membuat jajan. Juga dimaksudkan sebagai hari-hari yang
patut diwaspadai terhadap godaan Sang Kala Tiga Wisesa dalam wujud Bhuta Dunggulan. Hari
Panyajaan bermakna sebagai hari kesungguhan hati untuk menyambut dan merayakan hari suci
Galungan.

f) Hari Panampahan Galungan

Jatuh pada hari Selasa Wage Wuku Dunggulan yaitu sehari sebelum hari suci Galungan. Pada
hari ini dilaksanakan untuk memotong hewan, membuat sate dan lawar untuk perlengkapan
sesajen. Pada hari ini juga patut diwaspadai, karena merupakan hari yang terakhir bagi Sang
Kala Tiga dalam wujud sebagai Bhuta Amangkurat untuk mengganggu manusia.

g) Hari Suci Galungan

Jatuh setiap hari Rabu Kliwon Wuku Dunggulan, merupakan puncak upacara peringatan
terhadap hari kemenangan dharma melawan adharma sebagai hari Pawedalan Jagat dengan
mempersembahkan upakara sesajen pada setiap tempat-tempat suci dilanjutkan dengan
pelaksanaan sembahyang.

2. Hari Suci Kuningan

Hari suci Kuningan merupakan hari suci agama Hindu yang dirayakan setiap 6 bulan (210
hari) sekali, yaitu setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Kuningan, 10 hari setelah hari suci Galungan.
Hari suci Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma
melawan adharma yang pemujaannya ditujukan kepada para Dewa dan Pitara yang turun
melaksanakan pensucian serta mukti atau menikmati sesajen-sesajen yang dipersembahkan. Dalam
lontar Sundarigama ada dinyatakan bahwa Kuningan adalah hari suci penyongsongan diri.
Penyelenggaraan upacara hari suci Kuningan diisyaratkan supaya dilaksanakan semasih pagi dan
tidak dibenarkan setelah matahari condong ke barat. Menurut lontar Sundarigama tersebut bahwa
persembahyangan itu sebaiknya dilakukan pada pagi hari. Karena pada hari suci Kuningan para Dewa
dan roh leluhur turun ke dunia pada pagi hari untuk memberikan anugrah keselamatan dan
kesejahteraan kepada umat dan mereka akan kembali ke sorga sebelum tengah hari. Dengan
demikian perayaan hari suci Kuningan yang dilakukan sore atau malam hari dianggap kurang baik
atau dianggap sia-sia.

Tujuan pelaksanaan upacara hari suci Kuningan ini adalah untuk memohon kesentosaan,
kadirgayusan serta perlindungan dan tuntunan lahir dan batin.

D. Hari Suci Purnama dan Tilem

1. Hari Suci Purnama

Purnama adalah saat bulan bersinar penuh, dipandang sebagai hari suci agama Hindu dan patut
dirayakan.

Pada saat hari suci Purnama umat Hindu patut mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang
Candra dan Aditya karena keduanya itu sangat besar bantuannya terhadap alam dengan segala
isinya dalam kehidupan.

Sesajen yang dipersembahkan pada hari suci Purnama adalah penek kuning dengan lauk daging
ayam putih siungan panggang, prayascita luih, dan reresik, serta dilengkapi dengan segehan agung
1 tanding.

Di antara bulan purnama yang dianggap paling purna adalah bulan purnama yang jatuh pada masa
keempat yang disebut Purnama Kapat atau Purnama Kartika (sekitar bulan Oktober). Ada
kemungkinan Purnama Kapat atau Purnama Kartika dikatakan sakral karena Purnama Kapat
merupakan peralihan yakni waktu berakhirnya musim kemarau dan awal musim penghujan. Karena
itu pula lontar Sundarigama menyarankan kepada umat Hindu melakukan persembahyangan,
dhyana, yoga dan samadhi pada saat bulan purnama terutama pada saat Purnama Kapat.

Di samping Purnama Kapat, Purnama Kadasa juga diungkapkan dalam lontar Sundarigama
sebagai hari suci karena pada hari itu diyakini Sanghyang Suksmamerta beryoga di Sad Kahyangan
Wisesa. Dilihat dari nama dewa yang diyakini beryoga pada saat Purnama Kadasa yakni Sanghyang
Suksmamerta mengindikasikan bahwa Purnama Kadasa merupakan batas waktu peralihan dari
musim penghujan ke musim kemarau. Upakara yang patut dibuat dan dihaturkan pada Purnama
Kasada adalah: suci, daksina, pras ajuman, rayunan parangkat,lauk daging serba suci, canang
wangi dan raka kembang payas, pangresikan selengkapnya, dilengkapi dengan segehan agung 1
tanding dan segehan sasah 6 tanding memakai lauk bawang jahe.

2. Hari Suci Tilem


Hari suci Tilem adalah saat bulan tidak memberikan sinarnya (bulan mati). Pemujaan pada hari
suci Tilem baik dipergunakan untuk memohon pembersihan diri dengan malukat seluruh kekotoran
yang berada pada anggota badan.

Menurut lontar Sundarigama pada saat Tilem merupakan waktu untuk melebur segala bentuk
nnoda, kotoran, kepapaan, pnderitaan dan bencana yang menimpa diri manusia (wenang mupuga
lara roga wighna ring sarisa). Di antara Tilem yang diyakini paling sakral adalah Tilem Kasanga.
Pada Tilem Kasanga diyakini sebagai waktu dari para dewa menyucikan diri di tengah samudra
sambil mengambil intisari air suci kehidupan abadi yang disebut amerta kamandalu. Upacara caru
itu dilaksanakan di jalan keluar-masuk perumahan ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Sang Kala
Raja

Anda mungkin juga menyukai