Anda di halaman 1dari 13

Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan [jenis
laporan] yang berjudul [judul laporan].

Terima kasih saya ucapkan kepada [bapak/ibu] [nama guru/dosen] yang


telah membantu kami baik secara moral maupun materi. Terima kasih juga
saya ucapkan kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung
kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Kami menyadari, bahwa laporan [jenis laporan] yang kami buat ini masih


jauh dari kata sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun
penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan agar penulis
bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga laporan [jenis laporan] ini bisa menambah wawasan para pembaca


dan bisa bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu
pengetahuan.

[tempat, tanggal pembuatan laporan]

Penulis’

Canang Sari merupakan upakāra (perlengkapan) keagamaan umat Hindu di Bali untuk persembahan tiap
harinya. Persembahan ini dapat ditemui di berbagai Pura, tempat sembahyang kecil di rumah-umah, dan
di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah persembahan yang lebih besar lagi. Dikutip dari berbagai
bersumber menyebutkan bahwa canang sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi
sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih.

Canang sari ini dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti
(kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap banten atau yadnya apa pun selalu
berisi Canang Sari. Canang berasal dari kata “Can” yang berarti indah, sedangkan “Nang” berarti tujuan
atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari
bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa
(manifestasi) Nya secara skala maupun niskala.
Unsur-unsur dari canang sari pun mempunyai makna dan simbolisme yaitu sebagai berikut:

1. Ceper, merupakan sebuah alas dari canang yang memiliki bentuk segi empat dan melambangkan
angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk angga-sarira, yaitu Panca Maha
Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper
merupakan simbol Ardha Candra, sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari
Windhu.

2. Beras (Wija/Pija), merupakan sebuah lambang Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi
hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
wujud Ātma.

3. Porosan, biasanya terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang melambangkan Tri-
Premana, yang terdiri dari Bayu (perbuatan), Sabda (perkataan), dan Idep (pikiran).Ketiganya membuat
tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas. Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa
(kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma (gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus
mempunyai hati (poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.

4. Jajan,Tebu & Pisang, ketiga itu merupakan simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan
Upetti, Stiti, dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta.

5. Sampian Uras / Duras, melambangkan roda kehidupan dengan astaa iswaryanya (“delapan
karakteristik’) yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.

6. Bunga, merupakan salah satu bagian yang membuat canang terlihat lebih menarik. Dan setiap warna
dan peletakan bunga pada canang mempunyai makna atau melambangkan sesuatu.

Bunga berwarna Putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.

Bunga berwarna Merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma.

Bunga berwarna Kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa.

Bunga berwarna Biru atau Hijau disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu.

Kembang Rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.

7. Kembang Rampai, memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Bermacam-macam bungai ada
yang harum dan ada yang tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau
susah. Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan.

8. Lepa/ Boreh Miyik, merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik. Perilaku menentukan
penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang.
9. Minyak Wangi, melambangkan ketenangan jiwa atau pengendalian diri. Dalam menata kehidupan,
manusia hendaknya hendaknya menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik.

PENGERTIAN DAKSINA DALAM AGAMA HINDU, Daksina Adalah kekuatan Brahman yang
memiliki sifat  Nirguna Brahman, dilihat dari kata daksina adalah selatan, selatan dalam pengideran
disimbulkan sebagai agni dengan Prabhawanya sebagai kekuatan Brahma, memiliki fungsi sebagai
pencipta sehingga dapat sebutan sebagai “Brahman”, kemudian Brahman bermanifestasi menjadi 13
(tiga belas) kekuatan sebagai pesaksi umat Hindu dalam beryadnya antara lain :
 Serobong daksina adalah sebagai simbul alam semesta dengan Prabhawanya sebagai Sang
Hyang Ibu Pertiwi.
 Berisi tetampak adalah sebagai simbul adanya Hukum sebab akibat (RTA) dengan Prabhawanya
sebagai Sang Hyang Ruwa Bhineda.
 Berisi beras adalahsebagai simbul adanya udara dengan Prabhawanya sebagai Sang Hyang
Bayu.
 Berisi porosan silih asih adalah sebagai adanya kekuatan Kama dengan Prabhawanya sebagai
Sang Hyang Semara.
 Berisi sebutir pangi adalah sebagai simbul samudra dengan Prabhawanya sebagi Sang Hyang
Baruna.
 Berisi gebantusan adalah sebagai simbul adanya gaib di alam semesta ini dengan prabhawanya
sebagai Sang Hyang Indra.
 Berisi pepeselan adalah sebagai simbul tumbuh-tumbuhan di alam semesta dengan
prabhawanya sebagai Sang Hyang Sangkara.
 Berisi kelapa adalah simbul Matahari dengan prabhawanya sebagai Sang Hyang Surya.
 Berisi sebutir telur itik adalah sebagai simbul planet Bulan dengan prabhawanya sebagai Sang
Hyang Wulan.
 Berisi sebutir buah kemiri adalah seabagi simbul bintang dengan prabhawnaya sebagai Sang
Hyang Tranggana.
 Berisi seuntai benang putih adalah sebagai simbul awan dengan prabhawanya sebagai Sang
Hyang Aji Akasa.
 Berisi wang kepeng bolong satu kepeng adalah sebagai simbul ruang angkasa dengan
prabhawanya sebagai Sang Hyang Sunia Mertha.
 Berisi sebuah canang sari adalah sebagai simbul adanya kekuatan mata angin Timur, Selatan,
Barat, Utara dan di tengah dengan prabhawanya sebagai Sang Hyang Panca Dewata (Lontar Pelutaning
Yadnya).
Melihat dari penjelasan di atas, maka dapat dihubungkan dengan stavanya sang Hyang Siwa Raditya
maka 13 (tiga belas) kekuatan tersebut mendapat sebutan sebagai Sang Hyang Triodasa Saksi sesuai
dengan sahannya antara lain :

"PUKULUN PADUKA BATHARA SANG HYANG SIWA RADITYA SANG HYANG WULAN
LINTANGTRANGGANA, MERAGA SANG HYANG TRIODASA SAKS"

Oleh karena itu isi dari daksana tersebut tidak boleh kurang ataupun lebih dari 13 (tiga belas) komponen,
kalau seandainya  lebih atau kurang maka tidak ssuai dengan sahannya (Stavanya). Kalau daksina ini
dipandang dari ajaran Siwa Tattwa, maka daksina tersebut sebagai simbul suci dari keberadaan Sang
HyangWidhi, yang masih memiliki prabhwa murni yang disebut dalam Weda masih bersifat "NIRGUNA
BRAHMAN".
Beliau masih dalam keadaan murni dan langgeng, dalam artian Belaiu belum memiliki guna, namun
karena umat ingin memohon panugrahan suatu kekuatan untuk kehidupan maka umat memohon
kehadapanNya agar Beliau bermanifestasi Guna Prabhawa, oleh karena itulah umat membuat  banten
soda dan banten peras karena banten sodanya sebagai simbul kekuatan Acetanan (Yoni), sedangkan
banten perasnya sebagai simbul kekuatan Cetana (Lingga). Setelah  Sang Hyang Widhi  bermanifestasi
menjadi 2 (dua) kekuatan maka kedua kekuatan tersebut menyatu kembali dan lahirlah kekuatan
penciptaan  (menjadikan diri beliau sendiri) sehingga lahirlah kekuatan Sang Hyang Widhi dengan
sebutan “Bethara”. Karena  kata Bethaa berasal dari kata “Bathr” yang artinya kekuatan pelindung, maka
lahirlah kekuatan Bathara-Bhatari. Setelah terciptanya kekuatan pelindung dengan sebutan Bathara
maka umat Hindu menghaturkan stananya berupa sebuah banten penyeneng dengan maksud “Pang
Nyeneng” (bahasa Bali), maksudnya supaya Bathara-Bhatari berstana di alam ini. Maka dari itu daksina
disertakan sebuah penyeneng dan setelah keberadaan Beliau bersifat Bhatara dan berstana pada
penyeneng maka umat memohon kehadapan Bathara-Bhatari agar Beliau menganugerahkan kekuatan
pelebur segala pengaruh Sad Ripu baik pengaruhnya-pengaruhnya terhadap Bhuwana Agung maupun
terhadap Bhuwana Alit, agar menjadi kekuatan Amertha Sad Guna yaitu: Dharma, Satya, Jaya,
Pradnyan, Sauda dan Guna Kahuripan. Oleh karena itulah daksina disertakan juga dengan Tipat Sari
Ekelan (enam bungkul), sesuai dengan yang diungkapkan dalam Reg Weda :

"EKA TVA, ANEKA TVA, SWALAKSANAN BATHARA"

Maksudnya :
Sang Hyang Widhi meraga tunggal, namun Beliau bisa berwujud banyak, Setelah Beliau berphrabhawa
Bathara.

Setelah daksina itu dilengkapi dengan adanya banten Soda, baten peras ketipat sari akelan dan sebuah
penyeneng, amka menjadi satu rangkaian upakara yang disebut dengan "BANTEN PEJATI". Dikatakan
banten pejati sebagai intinya  upakara karena banten pejati memiliki tattwa yang tinggi dan sangat dalam
serta bersifat universal karena setiap ada pelaksanaan  upacara keagamaan, banten pejatilah yang
menjadi pokok sebagai pesaksi.

 Di pulau Bali  yang mayoritas warganya adalah umat Hindu, yang mana adat,budaya dan ajaran
agama sangat erat,saling berkaitan dan saling melengkapi. Sehingga bisa dikatakan adat,budaya
dan agama menjadi satu kesatuan.

Khusunya di Bali sendiri dikenal ada yang namanya Banten.  Banten adalah persembahan dan
sarana bagi umat Hindu mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang
Maha Kuasa.  Banten juga merupakan wujud rasa terima kasih, cinta dan bakti pada beliau karena
telah dilimpahi wara nugraha-Nya. Secara mendasar  dalam agama Hindu, banten juga dapat
dikatakan sebagai bahasa agama.

Pengertian Banten Pejati

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-“. Jati berarti sungguh-sungguh,


benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan
makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.

Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”.  Banten Pejati adalah sekelompok banten
yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan
manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar
mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan
dalam Panca Yadnya.
Unsur dan Makna Banten Pejati

Pada Banten Pejati terdapat empat unsur utama yang disebut Catur Loka Phala, yaitu terdiri dari;
Daksina, Banten Peras, Penyeneng/Tehenan/Pabuat, Tipat/Ketupat Kelanan. Selain itu, di alam
banten Pejati juga terdapat; Soda/Ajuman, Pasucian, dan Segehan, beserta sarana-sarana
pelengkap lainnya. Makna dari setiap unsur banten pejati, yaitu sebagai berikut:

1. Daksina

Daksina disebut Juga “YadnyaPatni” yang artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina juga
dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten
yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya
Prakertidisebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru / Hyang Tunggal kedua nama
tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.

2. Banten Peras

Kata “Peras” dapat diartikan “sah” atau resmi, seperti kata: “meras anak” mengesahkan anak,
“Banten pemerasan”, yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu
kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya “tan
perasida”, yang dapat diartikan “tidak sah”, oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-
sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada prinsipnya memiliki fungsi
sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha)

Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-
banten yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada
alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah
selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada “kulit-peras”,
dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras
melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.

3. Penyeneng/Tehenan/Pabuat

Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon
(nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat untuk
menuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Beliau berkenan hadir dalam upacara yang
diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak
dari baru lahir hingga meninggal.

Yang membentuk Penyeneng:

1. Ruang 1, berisi Nasi segau yaitu nasi dicampur dengan abu/aon adalah lambang dari dewa
Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan
semua kotoran (dasa mala).
2. Ruang 2 berisi porosan, plawa dan bunga lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam
semesta ini,
3. Ruang 3 berisi tepung tawar, bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan
kunir, beras dan air cendana melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara
dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar,
meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma.
4. Tipat/Ketupat Kelanan

Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh
rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu
maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

5. Soda/Ajuman

Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun
melengkapi daksina, suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya
diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-
buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper / ituk-ituk,
diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian,
canang burat wangi atau yang lain.

6. Pasucian

Secara umum pesucian dapat dikatakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida
Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa
sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan
karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati
dan menerima karunia Beliau.

7. Segehan

Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain
adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan
manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan
menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya
hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).

Penerima Banten Pejati

Banten Pejati dihaturkan kepada Sang Hyang Catur Loka Phala. Secara lebih detail sebagai
berikut:

1. Peras : kepada Sang Hyang Iswara


2. Daksina : kepada Sang Hyang Brahma
3. Ketupak Kelanan : kepada Sang Hyang Wisnu
4. Soda/Ajuman : kepada Sang Hyang Mahadewal

Di Bali Upakara di Populerkan dengan Istilah Banten, yang dimana Banten


artinya wali. Maka dari itu Upakara Dewa Yadnya sering disebut Puja Wali. Wali
yang berarti wakil mengandung pengertian Simbolis dan Filosofis, bahwa banten
itu merupakan Wakil dari pada isi Alam semesta yang ciptakan oleh Hyang
Widhi / Tuhan Yang Maha Esa.
Banten memiliki banyak Jenis dan bentuknya serta bermacam – macam
bahannya, banten kelihatannya unik dan rumit. Banten mengandung arti Simbolik
dan Filosofis yang tinggi serta berpadu dengan Seni Rupa dan Seni Rias yang
mengagumkan sebagai Ungkapan Rasa Syukur Umatnya Kepada Sang Pencipta.
Faktor Seni dalam Banten mempunyai arti penting karena dapat menuntun
Pikiran kearah keindahan menuju ketenangan Jiwa. Ketenangan Jiwa inilah
faktor yang sangat penting untuk mencapai pemusatan pikiran dalam menuju
Hyang Widhi, maka dari itu faktor Seni dalam Keagamaan adalah Positif karena
berperan sebagai unsur penunjang pelaksanaan Upacara Agama.

Banten terdiri dari Tiga Unsur yaitu :

1. Mataya adalah Bahan Banten yang berasal dari yang Tumbuh atau Tumbuh
– tumbuhan seperti Daun, Bunga dan Buah
2. Maharya adalah Bahan Banten yang Berasal dari yang lahir di wakili oleh
Binatang seperti Babi, Kambing, Kerbau, Sapid an lain Lain.
3. Mantiga adalah Bahan Banten yang berasal dari binatang yang lahir dari
Telur itu sendiri, seperti Ayam, Itik, Angsa, Telur Ayam, Telur Itik dan
Telur Angsa.

Sebagai pelengkap dalam Upacara Banten juga disertai dengan Air, dan Api
( Dupa ).

beragama di zaman modern seperti saat ini, tidak dapat disamakan dengan kehidupan
beragama pada masa silam. Kehidupan masyarakat masa lalu yang secara profesi, intensitas
waktu dan aktivitas masih sangat terbatas, sangat berbeda dengan fenomena masyarakat masa
kini dengan padatnya rutinitas, aktivitas, dan semakin kompleksnya kebutuhan hidup
masyarakatnya. Adanya perbedaan kondisi masyarakat tersebut merupakan salah satu sebab
adanya indikasi perubahan maupun pergeseran pada praktek agama, khususnya pada tataran
ritual. Tingkat pemahaman, cara berpikir, dan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh
masyarakat masa kini, juga menjadi faktor bergesernya praktek keagamaan tersebut. Pergeseran
agama yang dimaksudkan pada tulisan ini, adalah khusus pada pelaksanaan ritual masayarakat
Hindu di Bali, yang kental dengan penggunaan upakara dan uparengga sebagai sarana pokok
dalam ritual pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. 
Pemakaian upakara di Bali oleh umat Hindu merupakan sebuah simbol atau niyasa dari
Tuhan dan pengharapan dari umat Hindu itu sendiri. Kita mengenal beberapa istilah
yaitu Upasana, Upacara, Upakara, dan Uparengga. Upasana merupakan atuan-atuaran atau
pedoman pelaksanaan persembahyangan, Upacara adalah bentuk ritual dan persembahyangan
yang dilakukan oleh umat. Sedangkan Upakara berasal dari kata Upa yang berarti dekat
dan kara berarti tangan. Jadi Upakara adalah sebuah sarana dalam sebuah upacara keagamaan
yang dibuat dan diciptakan melalui hasil karya dari tangan. Selain daripada itu, yang dimaksud
dengan uparengga adalah sarana dan prasarana dalam membuat upakara yang digunakan
sebagai pelengkap suatu upakara.
Guna mencapai persatuan dan pemusatan diri dengan Tuhan, ada empat jalan untuk
mencapai tujuan tersebut yang dikenal dengan Catur Marga Yoga. Adapun bagian dari Catur
Marga Yoga tersebut adalah Bhakti Marga Yoga yaitu dengan jalan sembah bhakti dan cinta
kasih, Karma Marga Yoga yaitu dengan jalan bekerja secara tulus ikhlas dan pelayanan, Jnana
Marga Yoga yaitu dengan jalan ilmu pengetahuan suci, serta Raja Marga Yoga yaitu dengan
jalan melaksanakan Astangga Yoga. Bagi umat Hindu di Bali, yang lebih dominan dilaksanakan
adalah Bhakti dan Karma Marga Yoga yang diwujudnyatakan dengan bentuk pelaksanaan
upacara yadnya yang bersaranakan upakara dan uparengga tersebut.
Upakara di Bali sejatinya sangat banyak dan beragam bentuk, macam, dan fungsinya.
Peredaan tersebut sesuai dengan situasi, kondisi, kebiasaan, dan kreatifitas si pembuatnya. Hal
tersebut tidak menjadi masalah, akan tetapi unsur pokok yang digunakan harus selalu ada. Unsur
pokok dari upakara tersebut adalah bunga, daun, buah, dan air seperti yang termuat dalam kitab
Bhagawadgita IX. 26 berikut ini
’ Patram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayachati, tad aham bhaktyupahritam asnami
prayatatmanah’
” Siapapun yang sujud kepada-Ku dengan persembahan seangkai daun, sekuntum bunga, sebiji
buah-buahan, atau seteguk air, Aku terima sebagai bhakti dari orang yang berhati suci ”

Berdasarkan kutipan sloka di atas, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwasannya semua
upakara yang ada di Bali terbentuk dan tersusun berdasarkan unsur tersebut. Seperti yang telah
disampaikan di awal tadi, bahwa ada beragam bentuk upakara di Bali, akan tetapi ada satu
upakara pokok atau inti yang selalu ada dalam semua upakara. Upakara pokok tersebut di
antaranya canang dan daksina. Daksina memiliki beberapa arti diantaranya berarti persembahan
sebagai wujud bhakti; persembahan kepada guru suci sebagai wujud terimakasih; upah; arah
selatan. Pada kasus ini, Daksina berarti persembahan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Daksina memiliki kedudukan penting dalam setiap upakara yaitu sebagai huluning
upakara/ hulu atau ”kepala” dari upakara/ bebantenan yang dihaturkan oleh
umat. Daksina  dijadikan sebagai huluning bebantenan karena di dalamnya terdapat unsur-unsur
sebagai simbolisasi dari Ida Sang Hyang Widhi, yang dipersonifikasikan sebagai Sang Hyang
Triodasa Saksi, yaitu tiga belas manifestasi Sang Hyang Widhi yang memberikan perlindungan
kepada bhuana agung dan bhuana alit. Adapun unsur-unsur dari daksina adalah:
1.      Bebedogan/ wakul daksina; sebagai alas daksina yang berupa tamas, dimana bagian
pinggirannya/ tagelan-nya agak tinggi lalu di-sibeh.  Kadangkala bebedogan/ wakul ini terbuat
dari anyaman bambu/ aluminium. Bebedogan/ wakul adalah simbol dari Ibu Pertiwi, yang kita
mohonkan agar senantiasa memberikan kesuburan pada tanah dan bumi ini.
2.      Serobong/ serembeng daksina;  sebagai simbol Sang Hyang Aji Akasa, yaitu penguasa langit/
antariksa, dengan pengharapan diberikan kejernihan pikiran dan pemikiran yang luas.
3.      Tapak dara; jejahitan yang menyerupai tanda tambah yang diletakkan paling bawah. Tapak
dara adalah simbol dari Sang Hyang Rwa Bhineda, dengan pengharapan kita diberikan kesidhian
dan wiweka untuk dapat membedakan antara yang benar dan salah.
4.      Beras; takarannya kurang lebih segenggaman tangan, yang diletakkan di atas tapak dara. Beras
sebagai simbol dari Sang Hyang Anantabhoga, dengan pengharapan diberikan kemurahan dalam
memenuhi Tri Bhoga, yaitu Bhoga: bahan pangan, Upabhoga: bahan sandang, dan Paribhoga:
perhiasan dan harta benda lainya. Takaran beras segenggam itu juga sebagai simbol bahwa
dengan adanya pemenuhan Tri bhoga tersebut diharapkan mampu memberikan kekuatan bagi
setiap manusia.
5.      Porosan Silih Asih; yaitu dua lembar porosan yang dijarit menjadi satu, sebagai simbol Sang
Hyang Semara Ratih. Porosan pada hakekatnya adalah Simbol Tri Murti yaitu tiga kekuatan
kehidupan, yang mana khususnya pada porosan jenis ini juga menyimbolkan Sang Hyang
Semara Ratih, dengan tujuan memohon cinta kasih Tuhan, agar kehidupan ini senantiasa diliputi
oleh rasa cinta kasih, dan kerukunan dengan sesama maupun keserasian serta keharmonisan
dengan alam.
6.      Pangi; dialasi dengan kojong diletakkan di dasar wakul, yaitu simbol Sang Hyang Siwa Baruna,
yaitu dewa penguasa samudera. Pangi sebagai simbol lautan dan segala isinya, dengan
pengharapan semoga lautan dan segala yang ada di dalamnya dapat diberikan keselamatan serta
hasil laut yang melimpah untuk kesejahteran manusia itu sendiri.
7.      Pepeselan; yaitu gabungan dari lima buah dedaunan yang diikat menjadi satu (mapesel), sebagai
simbol Dewa Sangkara, dewa penguasa tumbuh-tumbuhan. Adapun dedaunan itu merupakan
senjata dari Panca Dewata, yang ditugaskan untuk menjaga umat manusia dari berbagai bentuk
gangguan dan marabahaya. Adapun lima daun yag dimaksudkan adalah daun salak simbol bajra
dari Dewa Iswara, daun manggis simbol gada dari Dewa Brahma, daun durian simbol nagapasa
dari Dewa Mahadewa, daun nangka simbol cakra dari Dewa Wisnu, dan daun duku simbol
Padma Anglayang dari Dewa Siwa.
8.      Gegantusan/ bijaratus; yaitu berbagai biji-bijian yang dibungkus dengan daun pisang yang
sudah kering/ keraras, sebagai simbol Dewa Indra. Dewa Indra sebagai dewa hujan, yang
memberikan kesuburan bagi segala yang hidup di dunia ini. Secara filosofis gegantusan adalah
simbol dari benih pikiran dan perasaan manusia, yang merupakan sumber dari dasar pemikiran,
ide dan gagasan yang mengilhami munculnya perilaku. Diharapkan manusia dapat memiliki
benih pikiran yang suci, sesuai dengan Dharma.
9.      Kelapa; diletakkan di atas unsur-unsur tadi, dipilih kelapa yang sudah dibersihkan dari serabut-
serabutnya, ujungnya diruncingkan, dan pada ujunggnya itu dililitkan benang tebus. Kelapa
adalah simbol dari Dewa Surya, yaitu dewa matahari. Matahari merupakan pusat energi,
sehingga di dalamnya mengandung unsur permohonan agam manusia diberikan energi positif
dalam menjalankan kehidupannya.
10.  Telur itik, biasanya dibungkus dengan anyaman janur membentuk  tipat taluh,  yaitu simbol dari
Sang Hyang Candra, dewa bulan. Tujuannya adalah memohonkan kehadapan Sang Hyang
Candra agar diberikan kesejukan, ketabahan hati, dan wajah yang senantiasa menunjukkan
keramahan, sehingga mampu membahagiakan sesama. Secara filososfis pemanfaatan telur itik
ini adalah sebagai simbol dari penanaman karakter satwika dalam diri manusia. Itik/ bebek
adalah hewan yang menyimbolkan karakter satwika yaitu karakter yang bijaksana,
berpengetahuan, dan cerdas. Hal itu dikarenakan, perilaku yang dilakukan oleh itik menunjuukan
sikap bijaksana, yang ditunjukkan saat itik mencari makanan di dalam lumpur, yang dimakan
hanya makanan itu saja, sedangkan lumpurnya di saring lalu dibuang. Selain secara mitologi itik
adalah kendaraan Dewa Brahma dan mendampingi Dewi Saraswati, sebagai dewa pencipta ilmu
pengetahuan.
11.  Kemiri; diletakkan dalam sebuah kojong sebagai simbol Sang Hyang Lintang/ Wintang.
Menunjukkan isi antariksa yang dipenuhi berjuta bintang-bintang, yang dipercaya mempengaruhi
kehidupan seluruh makhluk di bumi ini. Maka dari itu dimohonkan agar Sang Hyang Lintang,
senantiasa melindungi segala makhluk dan bhuana agung ini agar tetap berjalan sesuai Rta-Nya.
12.  Uang Kepeng; biasanya sebanyak tiga kepeng dan diletakkan dalam sebuah kojong. Uang
kepeng simbol dari Sang Hyang Windhu Suniya, yaitu antariksa yang maha luas dan segala
planet,  asteroid, dan benda-benda langit lainnya. Harapannya agar seisi bhuana agung dapat
berjalan dengan baik dan memberikan dampak positif pada bhuana alit.
13.  Canang Sari dan Pesucian; dengan urutan canang berada di atas pesucian, dan diletakkan pada
bagian puncak daksina itu sendiri. Canang merupakan sarana terkecil dari upakara, akan tetapi
merupakan inti pokok yang harus selalu ada dalam semua upakara. Canang secara etimologis
berasal dari bahasa Kawi yaitu dari urat kata Ca yang artinya indah, dan Nang yang berarti
untuk mencapai tujuan. Jadi Canang secara semantik dapat diterjemahkan sebagai sarana bahasa
Weda untuk memohonkan keindahan (Sundaram) kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi. Canang  juga dapat ditafsirkan sebagai pusat dari segala kemuliaan sinar suci Tuhan (Can
: sinar; Inang: pusat/inti), sehingga canang dikatakan sebagai inti dari upakara. Sedangkan
pesucian sendiri merupakan upakara yang bertujuan untuk menyucikan sarana upakara tersebut,
yang bentunya berupa ceper/ taledan mapekir yang di atasnya berisi lima buah tangkih yang
berisi kekosok  (jajan begina yang dibakar), serbuk cendana dan tebu, tepung, daun dapdap, daun
dan bunga kembang sepatu yang dipotong-potong, dan berisi kapas yang diolesi minyak wangi.
Selain itu dilengkapi dengan takir yang berisi toya anyar, bunga-bunga yang berbau harum
khususnya bunga teratai, kamboja/jepun, dan bunga kenanga/sandat, serta dilengkapi dengan
reringitan yang menyerupai alat-alat berias yaitu suah petat, suah serit, dan meka/kasna.
Ketiga belas unsur yang terdapat dalam daksina tersebut merupakan simbol dari Sang Hyang
Triodasa Saksi, yaitu tiga belas manifestasi Tuhan yang dimohonkan kehadirannya dalam suatu
upacara. Secara Teologis, melalui upakara ini, umat Hindu diajarkan tentang ajaran dan kosep
bhakti kepada Tuhan yang berwujud (Saguna Brahman), di mana umat dituntun untuk
memahami Tuhan dalam berbagai gelar kemahakuasaan beliau yang memberikan kesejahteraan
pada umat manusia. Sedangkan secara filosofis daksinan merupakan simbol dari alam semesta
dan segala macam isinya. Menunjukkan betapa besar keterkaitan bhuana agung dengan bhuana
alit, serta bagaimana hubungan timbal balik di dalamnya. Maka dari itulah sangatlah penting
adanya harmonisasi dan penyelarasan antara manusia, dengan Tuhan, dengan sesamanya, serta
dengan lingkungannya, atau di Bali kita kenal dengan konsep Tri Hita Karana Tersebut.
Terkait dengan upakara tersebut, juga ada unsur sarana pemujaan dalam agama Hindu,
khususnya di Bali yang kita kenal dengan uparengga yang berupa kelabang/
klangsah. Kelabang adalah sebuah anyaman dari daun kelapa tua yag pelepahnya masih utuh,
sehingga kelihatan seperti sebidang dinding. Kelabang berasal dari suku kata yaitu:
”Kala  dan Abang”, di mana kata Kala dapat diartikan suatu kekuatan Sang Hyang Widhi yang
bermutu ”Asuri Sampad” (keraksasaan). Dengan adanya kekuatan kala, akan
menimbulkan kesidian,  karena kala tersebut adalah merupakan manifestasi Tri
Guna yaitu Rajasika sehingga hal tersebut akan menjadi kekuatan gaib tertentu. Sedangkan
kata ”Abang” diilustrasikan sebagai Brahma, sedangkan Brahma adalah merupakan kekuatan
pencipta, dalam menciptakan perlindungan sebagai proteksi dan menciptakan suatu kehidupan
secara spiritual. Pada beberapa daerah. kelabang lebih dikenal dengan klangsah. Secara bentuk
dan maknanya pada dasarnya sama. Secara etimologis, klangsah berasal dari
kata kala dan pasah. Kala berarti kekuatan negatif, dan pasah berarti terpisah. Jadi secara
semantik dapat kita maknai klangsah ini adalah uparengga yang digunakan sebagai sarana untuk
memisahkan kekuatan negatif agar tidak mengganggu kehidupan manusia dalam beryadnya.
Mengingat begitu penting dan luhurnya makna filosofis dalam uparengga tersebut, maka
sudah selayaknya umat hindu khususnya yang ada di Bali, mampu membuatnya. Klangsah/
kelabang  ini biasanya digunakan sebagai tembok pembatas dalam sebuah areal pelaksanaan
yadnya, sebagai atap dalam bangunan adat, tetaring, dan juga biasanya sebagai alas dari tempat
meletakkan upakara yadnya. Hal itu terjadi karena secara filosofis, klabang dipercaya mampu
memisahkan unsur-unsur negatif di lingkungan sekitar agar tidak dapat mengganggu kesucian
dari sarana persembahan yadnya tersebut.
           Pada intinya, masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu sebaiknya bijak dalam
memakai dan memanfaatkan sarana upacara dan simbol keagamaannya. Bentuk dari upakara/
uparengga boleh berbeda, akan tetapi spirit dan pemaknaan dalam membuat upakara dan
uparngga tersebut haruslah sama. Hal itu dapat tercapai apabila antara Tattwa, Susila, dan Acara
umat Hindu dapat diseimbangkan. Apabila Acara (upacara dan praktek keagamaan) tanpa
didasari oleh Tattwa (ajaran pokok keagamaan, filsafat dan teologi) maka akan menjadi gugon
tuwon di masyarakat. Apabila Susila (ajaran etika dan perilaku) tanpa didasari Tattwa, maka
akan menjadi boomerang yang membahayakan bagi orang tersebut. Sedangkan bagi mereka yang
mempelajari Tattwa tetapi tidak dipraktekkan kedalam Susila dan Acara maka dia akan menjadi
pembohong dan penipu bagi dirinya sendiri. Hal yang utama dalam sebuah yadnya, upakara,
maupun uparengga adalah karya, sreya, budhi dan bhakti. Karya berarti harus ada
perbuatan, Sreya  berarti keikhlasan, Budhi berarti kesadaran, dan bhakti berarti sembah bhakti
dan sarana pemujaan. Bukan kuantitas yang diutamakan akan tetapi kualitas yang paling penting,
bukan sekadar pamer dan gengsi akan tetapi keikhlasan dan ketulusan untuk memuja kebesaran
Ida Sang Hyang Widhi.

Anda mungkin juga menyukai