makna perkata dari kata Canang dan Sari. Kata Canang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang
pada mulanya berarti sirih, yang disuguhkan pada tamu (atiti) yang sangat dihormati (Wiana,
1992 : 26). Tamu yang dimaksud adalah tamu sekala yang sekedar mampir atau bertandang
ke rumah seseorang.
Adalah sebuah kearifan sosial dari zaman dahulu bahwa bertandang ke rumah seseorang
adalah bentuk menyama braya, tuan rumah yang dikunjungi akan sangat berbahagia karena
pemahaman orang Bali yang dijiwai oleh Spirit Hindu memandang Tamu sebagai Dewa
Manyekala. Rasa simpati dan bahagia tuan rumah, mereka cetuskan dengan
mempersembahkan sesuatu kepada tamu yang biasanya adalah sirih.
Kemudian kata Sari berarti inti, pokok, sumber dan yang terpenting/utama
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan Canang Sari adalah sirih yang
menjadi pokok utama, itulah mengapa Canang Sari belum bisa dikatakan bernilai filosofis
religius jika belum dilengkapi porosan yang bahan pokoknya tiada lain adalah sirih. Lewat
sentuhan jiwa seni, Canang Sari bukan berbentuk sirih biasa, tapi merupakan perpaduan yang
sedemikian rupa antara bunga, janur, daun, buah, tetuwesan dan jejahitan. Canang Sari
adalah persembahan kepada "Tamu Niskala" yang agung yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa
yang dipersembahkan oleh umat Hindu melalui "sapaan akrab" upacara agama agar beliau
mendekat dan berkenan memberkati upacara yang dilaksanakan. Menurut kepercayaan
masyarakat Hindu Bali, Canang Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang
menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih.
Terjemahan:
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah-
buahan atau air, persempahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci,
Aku terima (Wiana, 1992 : 25)
Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika
dan tattwa, harus sesuai dengan Pengider-ider Panca Dewata.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun
untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari
(Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar
memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan
dan Kewibawaan.
Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu)
disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari
Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha
Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan
Bunga adalah sebagai perlambang kedamaian dan ketulusan hati. Pada sebuah Canang Sari
bunga akan ditaruh di atas sebuah Sampian Uras, sebagai lambang di dalam kita menjalani
roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat
mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
Bunga sebagai salah satu unsur sarana persembahyangan. Dalam Bhagawadgita IX.26,
disebutkan unsure-unsur pokok persembahan yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi
adalah bunga, disamping daun, buah-buahan dan air. Adapun bunyi slokanya sebagai berikut:
Pattram puspam phalam puspam phalam toyam
Yome bhaktya prayaccati
Tad aham bhaktyu pakrtam
Asnami prayatat manah.
Terjemahan:
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah-
buahan atau air, persempahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci,
Aku terima (Wiana, 1992 : 25)
Beras atau Wija sebagai lambang Sang Hyang Atma, yang menjadikan badan ini bisa hidup,
Beras atau wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan atau kehidupan diawali oleh benih
yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Atma.
Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran
Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya menunggu
kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai
lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan
Klesa, Ātma menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan
terjadinya klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan
kekurangannya.
Porosan bisa dikatakan bahan terpenting dan inti yang terdapat dalam Canang Sari, karena
tanpanya Canang Sari belum bisa dikatakan memilki nilai religius.
Di atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" (terdiri dari daun sirih, pamor (kapur) dan
dimasukkan dalam jepitan janur) sebagai simbol "Silih Asih" dan Poros/Pusat yang
bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh
hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya,
demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya. Sebuah Porosan terbuat
dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana,
Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan).
Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-
premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan),
Jambe/Gambir/buah pinang sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana
sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan),
Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Siwa, dalam bentuk Tri-premana sebagai
lambang/nyasa Idep (pikiran).
Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan
tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah
kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat
menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun
Tri-kaya.
Di lain pihak Surayin (2004: 59-60) mengatakan bagian dari Porosan diantaranya sirih
menggambarkan Hyang Wisnu, Kapur menggambarkan Hyang Siwa dan Buah Pinang
menggambarkan Hyang Brahma. Jika dilihat dari 2 konsepsi di atas ada perbedaan antara
sarana porosan-nya pada gambir dan buah pinang, namun sebenarnya pada intinya adalah
sama yaitu Porosan merupakan simbolisasi dari Tri Murti
Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan
seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang amrtha
(kesejahteraan/kehidupan).
Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan Tri Pramana
yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktifitaslah kita dapat
mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai
lambang Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam implementasinya
berupa Tri Kaya yang meliputi aktifitas berpikir, berbicara dan berbuat.
1.7 Sampian Uras/Uras Sari.
Sampian Uras atau Uras Sari dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk
bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda
kehidupan dengan delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia (Asta
Iswarya). Yaitu : Dahrma (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati
(ketajaman, intelektualitas), Kama (Kesenangan), Aiswarya (kepemimpinan), Krodha
(kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan
karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan
aktifitas, dalam menjalani roda kehidupannya. Ada pula yang mengatakan Uras Sari itu
merupakan simbolis arah mata angin Asta Dewata
Dari kata Kembang Rampai memiliki dua arti, yaitu: Kembang berarti bunga dan Rampai
berarti macam-macam, sesuai dengan arah Pengider-ider, Kembang Rampai ditempatkan di
tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga.
Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak
memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan
dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak
akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata
kehidupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan. Selain sebagai simbol kebijaksanaan,
jika dikaitkan dengan pemujaan Ista Dewata maka Kembang Rampai merupakan simbol
Sang Hyang Siwa.
1.9 Plawa
Plawa adalah daun-daunan, disebutkan dalam Lontar Yadnya
Prakerti bahwa Plawa merupakan lambang tumbuhnya pikiran
yang hening dan suci, sehingga dapat menangkal pengaruh buruk
dari nafsu duniawi yang menyesatkan umat manusia.
Canang Sari terbentuk dari beberapa unsur seperti dijelaskan di
atas dan dapat ditarik kesimpulan bahwa Canang Sari
mengandung arti dan makna perjuangan hidup manusia dengan selalu memohon bantuan dan
perlindungan tuhan, untuk menciptakan, memelihara, dan meniadakan. Memohon agar tuhan
selalu berkenan dekat dengan manusia, sebagai "tamu" yang membiimbingnya dalam rumah
tangga kehidupan. Semuanya demi suksesnya cita-cita hidup manusia yakni kebahagiaan.
Begitu tingginya filsafat yang dimiliki oleh Canang Sari yang divisualisasikan dalam bentuk
Banten yang indah. Dengan kata lain Canang Sari adalah bahasa agama Hindu dalam bentuk
simbol yang dapat memberikan berbagai keterangan tentang arti dan makna hidup di dunia
ini.