PENDAHULUAN
Pengalaman umat Hindu di Bali terhadap ajaran Agamanya, dengan jelas dapat
disaksikan melalui pelaksanaan suatu upacara. Upacara-upacara keagamaan di
Bali yang tercakup dalam Panca yadnya, banyak sekali mempergunakan sarana
berupa upakara atau banten. Banten itu bahannya memakai beberapa tanaman,
Menurut Nala (2004), Tanaman Upacara
Pemilihan bahan upacara yang terdiri tanaman, binatang, logam atau
bahan lainnya, selalu dipilih dari bahan yang mudah diperoleh, praktis dan efisien
sesuai dengan makna filosofis yang terkandung dalam dalam bahan tersebut yang
akan dipergunakan dalam satu upacara. Beberapa tanaman yang sering
dimanfaatkan dalam upacara panca yadnya di Bali, sesuai desa-kala-patra,
ditinjau dari daun, bunga buah, biji, umbi, batang, rimpang dan akar, adalah
sebagai berikut:
Daun
Daun terutama merupakan lambang utpatti (srsti atau tumbuh) dari
Bhatar atau Dewa Brahma. Dapat pula daun ini berfungsi sebagai lambang Sthiti
(kehidupan) dari Bhatara atau Dewa Wisnu, bila ditinjau dari warna daunnya,
daun dapat pula berfungsi sebagai lambang pralina atau udara dari Bhatara atau
Dewa Iswara kalau dikaitkan dengan baunya yang harum.
Setiap alas, wadah, dasar atau aled senagai bagian terbawah dari sebuah
banten akan mempergunakan daun sebagai kekuatan dasar untuk tumbuh (mentik).
Daun kelapa muda (janur Cocos nucifera), daun kelapa hijau tua (slepan), daun
rontal (ental) , ron (daun enau, Arenga pinata), daun pisang (musa paradisiaca),
merupakan pilihan utama sebagai desa-kala-patra (daerah, zaman, tersurat)
sebagai bahan dasar untuk alas sebuah banten.bagian dari banten yang merupakan
alasa berasal dari daun kelapa muda (janur, warna putih kuning) atau daun kelapa
1
tua (slepan, warna hijau tua) adalah celemik (berbentuk segi tiga dari janur tanpa
lidi) ituk-ituk ( bentuk segitiga dari janur dengan lidinya), kekojong (bentuk
kerucut), tangkih (bentuk satu sudut), tetampak ( silang), taledan (segi empat
besar). Sedangkan yang mempergunakan janur, slepan, ron atau daun rontal
adalah taledan bundar, taledan sesayut (bundar, ditengah-tengahnya ada uresan,
lambang perputaran swastika), ceper (segi empat kecil), bedogan (slinder) dan
tamas (bundar). Bentuk segi tiga, mengambil sifat api yang menyala membentuk
segi tiga merupakan lambang kekuatan Bhatara atau Dewa Brahma, bentuk segi
empat seperti sifat air yang selalu mendatar sebagai lambang kekuatan Bhatara
atau Dewa Wisnu dan bentuk bundar, sifat udara yang selalu memenuhi segenap
penjuru ruang merupakan lambang Bhatara atau Dewa Siwa.
Selain itu warna daun dimanfaatkan pula sebagai lambang kesaktian
dari para Bhatara atau Dewa, yang merupakan sinar suci dari Hyang Widhi,
Tuhan Yang Maha Kuasa (lontr Yadnya Prakerti). Misalnya:
1. Daun manggis (Garsinia manggostana L. yang berwarna merah dipergunakan
sebagai simbol keperkasaan Bhatara atau Dewa Brahma.
2. Daun mangga (Mangifera indica L.) yang berwarna hijau tua dimanfaatkan
sebagai lambang kekuatan Bhatara atau Dewa Wisnu.
3. Daun durian ( Dorio zibethinus L) yang berwana putih, dipergunakan sebagai
niasa kemahakuasaan Bhatara atau Dewa Iswara.
4. Daun ceroring (Lansium deomesticum Corr) yang berwana kuning
dipergunakan sebagai simbol kekuatan Bhatara atau Dewa Siwa.
5. Daun salak (Salacca edulis L.) yang berwarna campuran dimanfaatkan
sebagai lambang kemahakuasaan Bhatara atau Dewa Siwa.
Kadang-kadang daun itu disimbolkan sebagau kemahakuasaan Bhatara
atau Dewa Wisnu, bukan Bhatara atau Dewa Brahma kerena dilihat dari
warnanya. Salah satu dari daun yang dipergunakan sebagai lambang sthiti,
tumbuh dan berkembang dari Bhatara atau Dewa Wisnu adalah kakap (piper betle
L.) yakni daun sirih tua berwana hijau tua kehitaman. Berdasarkan atas warnanya
ini daun sirih menduduki peranan penting dalam beberapa banten. Porosan yang
terbuat dari daun sirih tua (hijau kehitaman, lambang Bhatara/Dewa Wisnu) serta
2
pinang (merah, lambang Bhatara/Dewa Brahma) dan kapur (putih, lambang
Bhatara/Dewa Iswara) merupakan inti pada setiap canang (canang genten,
buratwangi, tubungan, sari, pangrawes, pasucian, raka) dan kawangen (ka +
wangi + an). Porosan di dalam kawangen terdiri dari dua buah daun sirih, yang
satu tampak tundun ( punggung, bagian kasar daun) dan yang satu tampak basang
( perut, bagian halus daun), lambang purusha dan pradana yang menyatu
sehingga porosan jenis ini disebut porosan silih asih, lambang kasih dari Hyang
Widhi kepada umatNya. Tanpa adanya porosan ini canang atau kwangen itu tidak
ada artinya karena tidak bernilai religius, walaupun sudah beralaskan plawa
(berbagai daun) serta berisi beraneka bunga warn awarni dan sampian urasari,
lambang padma astadala (lontar Aji Kembang).
Di dalam mitos, umat Hindu percaya tentang keberadaan panca
wriksha, yakni lima jenis pohon yang tumbuh di surga. Tanaman tersebut adalah
beringin (Ficus benyamina L), ancak (ara jawi-jawi, Fiscus rumphii BL), pisang
(Musa sapientum L), uduh (Caryita mitis) dan peji (Dryomophloeus olivaeformis
Mart). Umat Hindu di Bali sewaktu melaksanakan yadnya atau upacara tertentu
membangun sanggar tawang, sanggar tutuwan atau panggungan yang dianggap
sebagai simbol parhyangan, surga tempat bersthana para Dewa. Surga di niskala
yang tidak tampak dihadirkan atau diturunkan ke bumi menjadi surga di sekala
sehingga menjadi tampak. Wajarlah kalau pada upacara tersebut dilibatkan
tanmana panca wriksha, terutama dalam bentuk daun sebagai pohon surga.
Identik dengan jalan pikiran ini maka pelinggih atau bangunan suci di
Pura, disimbolkan sebagai sthana atau istana para Bhatara atau Dewa. Oleh sebab
itu tanaman surga sering pula merupakan salah satu bahan upakara yang
dihadirkan di tempat tersebut. Malahan phon beringin sering kali tumbuh subur di
halaman sebuah Pura.
Bunga
Fungsi utama adalah sebagai lamban sthiti, simbol hidup dan
berkembang dari Bhatara/ Dewa Wisnu. Tetapi karena bunga itu warna warni
maka sudah wajar bila warna bunga ini dipergunakan pula sebagai simbol
3
kemahakuasaan para Bhatara atau Dewa, bukan hanya untuk Bhatara/Dewa
Wisnu saja. Bunga yang berwarna merah dipergunakan sebagai lambang
kemahakuasaan Bhatara/Dewa Brahma. Bunga yang berwarna biru atau hijau
dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan Bhatara/Dewa Wisnu. Bunga yang
berwarna putih sebagai lambang kemahakuasaan Bhatara/Dewa Iswara. Bunga
yang berwarna kuning dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan
Bhatara/Dewa Mahadewa. Disamping itu bau harum dari bunga merupakan faktor
utama dalam pemilihan bunga. Selain dilihat dari keindahan warna, bau bunga
dapat dipergunakan untuk melambangkan unsur udara sebagai simbol
kemahakuasaan Bhatara/Dewa Iswara.
Menurut isi lontar Aji Kembang dan Siwa Pakarana, bunga tunjung atau
teratai (Nymphaea sp.) merupakan lambang Dewata Nawasanga, Bhatara/Dewa
yang berada disembilan arah mata angin sebagai pangider-ider bhuana. Bungan
tujung atau teratai merupakan simbol utama dalam ajaran Siwa. Hal ini
disebabkan tumbuhan ini mampu melambangkan kehidupan tri bhuana, tiga alam
jagat. Pertama, akarnya berada di tanah. Kedua, batangnya terendam serta
daunnya melayang di air. Ketiga, bunganya menyembul di udara. Selain itu warna
bunganya dapat pula dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan para
Bhatara/Dewa. Teratai berwarna putih lambang kesaktian Bhatara/Dewa Iswara,
teratai merah lambang kesaktian Bhatara/Dewa Brahma, teratai biru tua simbol
kesaktian Bhatara/Dewa Wisnu, teratai kuning lambang kesaktian Bhatara/Dewa
Mahadewa dan seterusnya. Di dalam lontar Jiwatman disebutkan bahwa bunga
tunjung sebagai lambang jiwatman manusia.
Di samping bunga teratai, bunga ratna (Gomphrena globosa L) juga
mempunyai kedudukan yang cukup penting dalam kepercayaan umat Hindu Siwa
Siddhanta di Bali. Diceritakan dalam kitab Adiparwa, Bhatara/Dewa Brahma
melalui Dewa Wiswakarma menciptakan seorang dewi yang amat cantik dengan
sarana bunga ratna. Tujuannya adalah memusnahkan dua orang raksasa kembar
yang mata sakti dan tekun bersemadi. Para Dewa khawatir akan kesaktian kedua
raksasa ini yang semakin hari akan semakin meningkat, karena bertapa dan
bersemadi dengan tekun sehingga kelak akan membahayakan kedamaian
4
kahyangan. Dewi ciptaan yang diberinama Dewi Tilotama ini ternyata mampu
mengadu domba dua orang raksasa kembar dan sakti tersebut, yang bernama
Sunda dan Aupasunda sehingga keduanya tewas dalam perang tanding. Untuk
mengenang jasa dari bunga ratna maka bunga ini diberi anugerah (tirobhawa)
dapat diperbunakan sebagaisarana persembahyangan sejajar kedudukannya
dengan bunga teratai.
Bunga yang paling tepat dipergunakan untuk memuja Bhatara/Dewa
Siwa menurut lontar Siwaratri Kalpa adalah bunga angsoka, cempaka, gambir
gajah, kecubung, kenyeri, kutat, medori putih, menuh, nagarsari, seroja (biru,
merah dan putih), sulasih (selasih, sarana terbaik untuk memuja di pagi hari) dan
tenguli bakula. Semua bunga ini hendaknya sengaja dipetik dari pohonnya untuk
sarana pemujaan dan tanpa ada cacat karena dimakan serangga. Bunga yang telah
jatuh dengan sendirinya sebaiknya jangan sipergunakan sebagai sarana
persembahyangan.
Bunga medori putih (widuri, Calotropis gugantea D) dan bambu buluh
(Bambusa sp) dapat dipergunakan dalam upacara Pitra Yadnya atma wedhana
(nyekah, nyekar), sebagai bahan atau sarana membuat puspa lingga yakni badan
tempat atma bersthana (lontar Brahmokta Widisastra). Sebagai lambang wujud
dari suksma sarisa (badan halus) atau sekah dalam upacara atma wedhana,
dipergunakan bunga medori putih (Calotropis gigantea D), sulasih (Ocimum
bacilicum L), pudak (Pandanus sp), padma, tunjung (Nymphaea sp), serta
dilengkapi dengan daun beringin dan daun medori. Sekah (sekar = bunga) ini
dibakar untuk memperceoat proses kembalinga atma ke tempat asalnya, menyatu
pada Sang Hyang Paramatma (lontar Ligya, dan Yama Purana Tattwa).
Dalam lontar Kusuma Dewa Indik Tatandingan ditulis bahwa banten
sesayut kusumajati hanya boleh mempergunakan satu warna bunga yakni bunga
yang berwarna putih tetapi berasal dari lima jenis bunga. Sedangkan sesayut
purba subha hanya boleh menggunakan dua macam warna bunga yaitu bunga
putih dan kuning. Kedua sesayut itu dipersembahkan di Pura Kawitan (Pura asal
keluarga besar) untuk memuja Bhatara atau Dewa Pitara leluhur.
5
Bunga dapat pula dipergunakan sebagai lambang keperwiraan. Dalam
lontar Dasanama bunga pucuk bang (kembang sepatu merah, Hibiscus rosa-
sinensis) dianggap sebagai simbol wirakusuma, lambang sifat yang gagak berani.
Para prajurit atau teruna senang sekali menyumpangkang bunga ini di atas daun
telinganya agar tampak gagah.
Bunga yang mekar dan harum baunya merupakan lambang aksara suci
wijaksara (bijaksara) yang mampu membentengi tubuh manusia dari degala mara
bahaya yang akan mengganggu dan masuk ke dalam dirinya. Oleh sebab itu umat
Hindu di Bali sering sekali menyelipkan bunga diatas daun telinganya sebagai
lambang penolak bahaya.
Upakara-upakara tersebut menyebabkab perayaan suatu upacara
merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sangat unik dan rumit. Keunikannya
bila dikaji secara mendalam mempunyai makna simbolis dan filosofis. Upakara
sebagai awal, puncak, maupun akhir dari pelaksanaan suatu upacara. Banten
dan maksud tertentu, apalagi setelah digabung atau dikelompokkan menjadi satu.
Banten dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan rasa sujud bhakti dan
juga untuk memohon keselamatan kedapa Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
6
1. Apakah pengertian dari Banten Pejati tersebut?
Bali?
Banten Pejati?
4. Apa makna simbolis dari sarana yang digunakan dalam membuat Banten
Pejati?
1.3 Tujuan
dimaksud dengan Banten Pejati, serta bagaimana penggunaan, bagian, dan makna
1.4 Manfaat
dengan Banten Pejati, serta bagaimana penggunaan, bagian, dan makna simbolik
7
BAB II
2.1 Metodelogi
beberapa orang yang mengerti tentang banten. Mulai bulan Mei sampai dengan
8
BAB III
hati yang tulus dan suci. Banten dapat diartikan sebagai Wali. Kata Wali berarti
Wakil. Banten dalam suatu upacara dipakai sebagai wakil untuk berhubungan
dengan yang dipuja atau yang dimuliakan. Selain itu pula, kata Waliberarti
yang pada mulanya semua sarana banten itu berasal atau bersumber dari ciptaan
Sang Hyang Widhi Wasa. Maksud dari persembahan kembali ini adalah untuk
Pejati berasal dari kata Jati mendapat awalan pe-, menjadi Pejati. Kata
ini adalah kata dalam bahasa Bali. Jati artinya sungguh-sungguh, benar-benar.
Nya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan
9
3.2 Penggunaan Banten Pejati
Penggunaanya dapat sebagai awal akan mengambil suatu upacara, yang berfungsi
keselamatan.
mungkin terjadi, mengenai upacara yang telah dilaksanakan itu, akan segera
diakhiri.
terhadap seorang anak yang dilahirkan, dibuatkan Banten Pejati yang akan
pelaksanaan upacaranya.
10
Demikan pula pada upacara-upacara berikutnya bila akan melaksanakan
Naik Dewasa/ Menek Deha Truna, kawin sampai mengakhiri hidupnya, yaitu
mati, baik itu akan dikuburkan atau langsung diabenkan, juga diawali dengan
memohonkan dewasa/ hari yang baik kepada Pendeta yang akan menyelesaikan
pelaksanaan upacaranya.
1. Daksina.
2. Peras
3. Ajuman
4. Tipat Kelanan
Didalamnya
A. Daksina
dan dikatakan sebagai lambang dari Hyang Guru, Hyang Tunggal, yang mana
11
Perlengkapan Sarana Daksina
Dibuat dari bahan janur atau selepan. Bentuk dibagian bawahnya dibuat
bundar seperti bakul (wakul daksina), sebagai tempat untuk mengatur semua
2. Tampak
sehingga akan kelihatan seperti Tampak Dara (+). Bentuk tampak ini merupakan
3. Benang Tukeman
4. Beras
melambangkan kemakmuran.
5. Base Tampelan
Base Tampelan ini dibuat dari dua lembar daun sirih. Satu lembar dipakai
sebagai alasnya, dan satu lembar lagi ditempelkan diatasnya diisi kapur dan
pinang, kemudian dilipat naik turun lalu dijarit menjadi satu keduanya. Base
12
6. Kelapa
Kelapa adalah salah satu jenis tumbuhan yang semua bagian-bagiannya dapat
dipakai sarana upakara/banten. Kelapa ini digunakan sebagai lambang dari alam
7. Telur
Penggunaan telur itik itu didasarkan pada binatang itik merupakan salah satu
binatang yang bersifat bijaksana. Telur daksina untuk Banten Pejati, agar selalu
diusahakan memakai telur itik, karena ditujukan kepada Hyang Widhi Wasa/
sattwam. Apabila sangat sulit memperoleh telur itik, maka telur ayam dapat
digunakan. Ayam adalah binatang yang lebih banyak menunjukkan sifat rajas dan
tamas.
8. Bijaratus
Bijaratus berasal dari kata bija, yaitu biji dan ratus berarti paduan.
Bijaratus adalah padauan dari lima jenis biji-bijian yang berwarna 5 macam,
terdiri dari :
13
Semua biji-bijian dicampur dan dibungkus dengan daun pisang kering yang
disebut keraras.
9. Gantusan
Gantusan ini dibuat dari campuran beberapa jenis bumbu, garam dan ikan
10. Peselan
Peselan ini juga disebut pelawa peselan. Bahanya terdiri dari lima jenis
daun kayu yang mempunyai warna lima jenis seperti : daun salak, duku, manggis,
11. Pangi
Yang dipakai adalah buahnya sebutir yang sudah lepas darikulitnya, yang
12. Kemiri.
Yang dipakai adalah buahnya sebutir yang sudah lepas darikulitnya, yang
14. Pisang.
sebanyak dua buah. Pisang kayu atau biu kayu dalam lontar “Tegesing Sarwa
Banten” disebutkan : biu kayu nga; hyuning citta maring hayu; yang dimaksudnya
sebagai lambang ada atau mempunyai pikiran untuk berbuat baik secara lahir dan
batin.
14
15. Canang Genten.
Sarwa Banten”, nga; becik helinge ring sarwa mahurip mwang sarwa tumuwuh;
Sebagai alas dapat dipakai sebuah ituk-ituk ataupun ceper yang diatasnya
kemudian daun sirih sebagai lambang dari Dewa Wisnu, kapur sebagai lambang
dari Dewa Siwa, dan Pinang sebagai lambang Dewa Brahma. Di atasnya disusun
lagi dengan jajahitan yang bernama “wadah lengis” yaitu sebagai tempat minyak
wangi/harum, bunga-bungaan, rampe, dan uang. Wadah lengis ini dibuat dengan
sebagai lambang kesucian hati, dan rampe sebagai lambang alat perangsang
pikiran kearah pemusatan untuk berhubungan dengan Hyang Widhi Wasa. Paling
atas diisi sesari berupa uang, sesuai dengan tingkatan upacara dan kemampuan
yang beryadnya, merupakan sarining manah, yaitu sari atau inti daripada pikiran
yang juga berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang mungkin masih ada.
15
menyelenggarakan upacara tersebut. disamping itu juga daksina berfungsi sebagai
B. Peras
Dalam Banten Pejati, banten peras memegang peranan penting, yaitu sebagai
keberhasilan.
1. Tumpeng
Bahanya adalah beras yang dimasak menjadi nasi dan dibentuk seperti
sebuah kerucut dengan memakai daun pisang. Fungsinya adalah sebagai suguhan
2. Rerasmen
Isinya terdiri dari kacang yang digoreng, terung, saur, sambal, kecarum,
mentimun.
16
3. Buah-buahan
setempat.
4. Jajan
2. Uli merah dan uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti
5. Sampian peras
C. Ajuman
Perlengkapan banten ajuman ini sebagian besar terbuat dari janur, yang
terdiri dari:
1. Taledan
17
2. Ceper
4. Tamas
5. Telempokan
D. Tipat Kelanan
Tipat kelanan adalah nama salah satu jenis banten, yang fungsinya sama
dengan ajuman. Sarana perlengkapannya terdiri dari ketupat atau tipat sebanyak 6
buah yang biasa disebut dengan akelan. Biasanya dipergunakan tipat nasi,
18
Tabel jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam membuat banten pejati.
ajuman, tipat
kelanan
Linn. ajuman
domesticum
Correa.
zibetthinus L.
Linn.
jobi linn.
ajuman, tipat
kelanan
19
basilicum L. tipat kelanan.
moluccana Wild
mangostana L
L.
Reinw.
Reinw.
20
Koleksi pribadi
21
Koleksi pribadi
22
Koleksi pribadi
23
Koleksi pribadi
24
Koleksi pribadi
25
26
Sumber:internet
27
Sumber:internet
28
Sumber:internet
29
Sumber:internet
30
BAB IV
4.1 Kesimpulan
berikut :
2. Banten pejati dipergunakan pada awala, pucak, maupun akhir dari suatu
upacara.
3. Adapun bebanten yang dipakai untuk membuat banten pejatui antara lain :
4.2 Saran.
hendaknya perlu diketahui makna simbolis dari berbagai jenis sarana bebanten.
Agar jika tidak ada sarana yangf dimaksud, dapat digantikan denhgan saran
lainnya yang mempunyai makna yang sama dengan makna simbolis dari sarana
31
DAFTAR PUSAKA
Backer, C.A. and R.C Bakhuizen van de Brink, Jr.,1968. Flora of java. Wolters-
Noordhoff NV. Groningen The Nederland.
32
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
yang berjudul : “Jenis Tumbuhan yang Digunakan dalam Membuat Banten Pejati
Makalah ini merupakan salah satu bahan mata kuliah Etnobotani pada
Udayana.
yang penulis dapatkan. Untuk itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih
Penulis.
33
DAFTAR ISI
ii
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
INTISARI......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar belakang. .................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah. ............................................................... 6
1.3 Tujuan ................................................................................. 7
1.4 Manfaat .............................................................................. 7
KEPUSTAKAAN
34
INTISARI
iii
Agama Hindu merupakan agama yang sarat akan hari raya atau upacara.
dengan banten. Salah satunya adalah Banten Pejati yang biasa digunakan pada
banten yang terdiri dari Daksina, Peras, Ajuman, dan Tipat Kelanan, yang
mempunyai arti simbolis sendiri-sendiri. Dan, banten ini dapat digunakan pada
awal, puncak, ataupun akhir dari suatu upacara, serta menggunakan berbagai jenis
35
JENIS TUMBUHAN YANG DIGUNAKAN DALAM MEMBUAT BANTEN
PEJATI DI BALI
OLEH:
NIP : 1952082191984031001
JURUSAN BIOLOGI
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR – BALI
2016
36