Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengalaman umat Hindu di Bali terhadap ajaran Agamanya, dengan jelas dapat
disaksikan melalui pelaksanaan suatu upacara. Upacara-upacara keagamaan di
Bali yang tercakup dalam Panca yadnya, banyak sekali mempergunakan sarana
berupa upakara atau banten. Banten itu bahannya memakai beberapa tanaman,
Menurut Nala (2004), Tanaman Upacara
Pemilihan bahan upacara yang terdiri tanaman, binatang, logam atau
bahan lainnya, selalu dipilih dari bahan yang mudah diperoleh, praktis dan efisien
sesuai dengan makna filosofis yang terkandung dalam dalam bahan tersebut yang
akan dipergunakan dalam satu upacara. Beberapa tanaman yang sering
dimanfaatkan dalam upacara panca yadnya di Bali, sesuai desa-kala-patra,
ditinjau dari daun, bunga buah, biji, umbi, batang, rimpang dan akar, adalah
sebagai berikut:
Daun
Daun terutama merupakan lambang utpatti (srsti atau tumbuh) dari
Bhatar atau Dewa Brahma. Dapat pula daun ini berfungsi sebagai lambang Sthiti
(kehidupan) dari Bhatara atau Dewa Wisnu, bila ditinjau dari warna daunnya,
daun dapat pula berfungsi sebagai lambang pralina atau udara dari Bhatara atau
Dewa Iswara kalau dikaitkan dengan baunya yang harum.
Setiap alas, wadah, dasar atau aled senagai bagian terbawah dari sebuah
banten akan mempergunakan daun sebagai kekuatan dasar untuk tumbuh (mentik).
Daun kelapa muda (janur Cocos nucifera), daun kelapa hijau tua (slepan), daun
rontal (ental) , ron (daun enau, Arenga pinata), daun pisang (musa paradisiaca),
merupakan pilihan utama sebagai desa-kala-patra (daerah, zaman, tersurat)
sebagai bahan dasar untuk alas sebuah banten.bagian dari banten yang merupakan
alasa berasal dari daun kelapa muda (janur, warna putih kuning) atau daun kelapa

1
tua (slepan, warna hijau tua) adalah celemik (berbentuk segi tiga dari janur tanpa
lidi) ituk-ituk ( bentuk segitiga dari janur dengan lidinya), kekojong (bentuk
kerucut), tangkih (bentuk satu sudut), tetampak ( silang), taledan (segi empat
besar). Sedangkan yang mempergunakan janur, slepan, ron atau daun rontal
adalah taledan bundar, taledan sesayut (bundar, ditengah-tengahnya ada uresan,
lambang perputaran swastika), ceper (segi empat kecil), bedogan (slinder) dan
tamas (bundar). Bentuk segi tiga, mengambil sifat api yang menyala membentuk
segi tiga merupakan lambang kekuatan Bhatara atau Dewa Brahma, bentuk segi
empat seperti sifat air yang selalu mendatar sebagai lambang kekuatan Bhatara
atau Dewa Wisnu dan bentuk bundar, sifat udara yang selalu memenuhi segenap
penjuru ruang merupakan lambang Bhatara atau Dewa Siwa.
Selain itu warna daun dimanfaatkan pula sebagai lambang kesaktian
dari para Bhatara atau Dewa, yang merupakan sinar suci dari Hyang Widhi,
Tuhan Yang Maha Kuasa (lontr Yadnya Prakerti). Misalnya:
1. Daun manggis (Garsinia manggostana L. yang berwarna merah dipergunakan
sebagai simbol keperkasaan Bhatara atau Dewa Brahma.
2. Daun mangga (Mangifera indica L.) yang berwarna hijau tua dimanfaatkan
sebagai lambang kekuatan Bhatara atau Dewa Wisnu.
3. Daun durian ( Dorio zibethinus L) yang berwana putih, dipergunakan sebagai
niasa kemahakuasaan Bhatara atau Dewa Iswara.
4. Daun ceroring (Lansium deomesticum Corr) yang berwana kuning
dipergunakan sebagai simbol kekuatan Bhatara atau Dewa Siwa.
5. Daun salak (Salacca edulis L.) yang berwarna campuran dimanfaatkan
sebagai lambang kemahakuasaan Bhatara atau Dewa Siwa.
Kadang-kadang daun itu disimbolkan sebagau kemahakuasaan Bhatara
atau Dewa Wisnu, bukan Bhatara atau Dewa Brahma kerena dilihat dari
warnanya. Salah satu dari daun yang dipergunakan sebagai lambang sthiti,
tumbuh dan berkembang dari Bhatara atau Dewa Wisnu adalah kakap (piper betle
L.) yakni daun sirih tua berwana hijau tua kehitaman. Berdasarkan atas warnanya
ini daun sirih menduduki peranan penting dalam beberapa banten. Porosan yang
terbuat dari daun sirih tua (hijau kehitaman, lambang Bhatara/Dewa Wisnu) serta

2
pinang (merah, lambang Bhatara/Dewa Brahma) dan kapur (putih, lambang
Bhatara/Dewa Iswara) merupakan inti pada setiap canang (canang genten,
buratwangi, tubungan, sari, pangrawes, pasucian, raka) dan kawangen (ka +
wangi + an). Porosan di dalam kawangen terdiri dari dua buah daun sirih, yang
satu tampak tundun ( punggung, bagian kasar daun) dan yang satu tampak basang
( perut, bagian halus daun), lambang purusha dan pradana yang menyatu
sehingga porosan jenis ini disebut porosan silih asih, lambang kasih dari Hyang
Widhi kepada umatNya. Tanpa adanya porosan ini canang atau kwangen itu tidak
ada artinya karena tidak bernilai religius, walaupun sudah beralaskan plawa
(berbagai daun) serta berisi beraneka bunga warn awarni dan sampian urasari,
lambang padma astadala (lontar Aji Kembang).
Di dalam mitos, umat Hindu percaya tentang keberadaan panca
wriksha, yakni lima jenis pohon yang tumbuh di surga. Tanaman tersebut adalah
beringin (Ficus benyamina L), ancak (ara jawi-jawi, Fiscus rumphii BL), pisang
(Musa sapientum L), uduh (Caryita mitis) dan peji (Dryomophloeus olivaeformis
Mart). Umat Hindu di Bali sewaktu melaksanakan yadnya atau upacara tertentu
membangun sanggar tawang, sanggar tutuwan atau panggungan yang dianggap
sebagai simbol parhyangan, surga tempat bersthana para Dewa. Surga di niskala
yang tidak tampak dihadirkan atau diturunkan ke bumi menjadi surga di sekala
sehingga menjadi tampak. Wajarlah kalau pada upacara tersebut dilibatkan
tanmana panca wriksha, terutama dalam bentuk daun sebagai pohon surga.
Identik dengan jalan pikiran ini maka pelinggih atau bangunan suci di
Pura, disimbolkan sebagai sthana atau istana para Bhatara atau Dewa. Oleh sebab
itu tanaman surga sering pula merupakan salah satu bahan upakara yang
dihadirkan di tempat tersebut. Malahan phon beringin sering kali tumbuh subur di
halaman sebuah Pura.

Bunga
Fungsi utama adalah sebagai lamban sthiti, simbol hidup dan
berkembang dari Bhatara/ Dewa Wisnu. Tetapi karena bunga itu warna warni
maka sudah wajar bila warna bunga ini dipergunakan pula sebagai simbol

3
kemahakuasaan para Bhatara atau Dewa, bukan hanya untuk Bhatara/Dewa
Wisnu saja. Bunga yang berwarna merah dipergunakan sebagai lambang
kemahakuasaan Bhatara/Dewa Brahma. Bunga yang berwarna biru atau hijau
dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan Bhatara/Dewa Wisnu. Bunga yang
berwarna putih sebagai lambang kemahakuasaan Bhatara/Dewa Iswara. Bunga
yang berwarna kuning dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan
Bhatara/Dewa Mahadewa. Disamping itu bau harum dari bunga merupakan faktor
utama dalam pemilihan bunga. Selain dilihat dari keindahan warna, bau bunga
dapat dipergunakan untuk melambangkan unsur udara sebagai simbol
kemahakuasaan Bhatara/Dewa Iswara.
Menurut isi lontar Aji Kembang dan Siwa Pakarana, bunga tunjung atau
teratai (Nymphaea sp.) merupakan lambang Dewata Nawasanga, Bhatara/Dewa
yang berada disembilan arah mata angin sebagai pangider-ider bhuana. Bungan
tujung atau teratai merupakan simbol utama dalam ajaran Siwa. Hal ini
disebabkan tumbuhan ini mampu melambangkan kehidupan tri bhuana, tiga alam
jagat. Pertama, akarnya berada di tanah. Kedua, batangnya terendam serta
daunnya melayang di air. Ketiga, bunganya menyembul di udara. Selain itu warna
bunganya dapat pula dipergunakan sebagai simbol kemahakuasaan para
Bhatara/Dewa. Teratai berwarna putih lambang kesaktian Bhatara/Dewa Iswara,
teratai merah lambang kesaktian Bhatara/Dewa Brahma, teratai biru tua simbol
kesaktian Bhatara/Dewa Wisnu, teratai kuning lambang kesaktian Bhatara/Dewa
Mahadewa dan seterusnya. Di dalam lontar Jiwatman disebutkan bahwa bunga
tunjung sebagai lambang jiwatman manusia.
Di samping bunga teratai, bunga ratna (Gomphrena globosa L) juga
mempunyai kedudukan yang cukup penting dalam kepercayaan umat Hindu Siwa
Siddhanta di Bali. Diceritakan dalam kitab Adiparwa, Bhatara/Dewa Brahma
melalui Dewa Wiswakarma menciptakan seorang dewi yang amat cantik dengan
sarana bunga ratna. Tujuannya adalah memusnahkan dua orang raksasa kembar
yang mata sakti dan tekun bersemadi. Para Dewa khawatir akan kesaktian kedua
raksasa ini yang semakin hari akan semakin meningkat, karena bertapa dan
bersemadi dengan tekun sehingga kelak akan membahayakan kedamaian

4
kahyangan. Dewi ciptaan yang diberinama Dewi Tilotama ini ternyata mampu
mengadu domba dua orang raksasa kembar dan sakti tersebut, yang bernama
Sunda dan Aupasunda sehingga keduanya tewas dalam perang tanding. Untuk
mengenang jasa dari bunga ratna maka bunga ini diberi anugerah (tirobhawa)
dapat diperbunakan sebagaisarana persembahyangan sejajar kedudukannya
dengan bunga teratai.
Bunga yang paling tepat dipergunakan untuk memuja Bhatara/Dewa
Siwa menurut lontar Siwaratri Kalpa adalah bunga angsoka, cempaka, gambir
gajah, kecubung, kenyeri, kutat, medori putih, menuh, nagarsari, seroja (biru,
merah dan putih), sulasih (selasih, sarana terbaik untuk memuja di pagi hari) dan
tenguli bakula. Semua bunga ini hendaknya sengaja dipetik dari pohonnya untuk
sarana pemujaan dan tanpa ada cacat karena dimakan serangga. Bunga yang telah
jatuh dengan sendirinya sebaiknya jangan sipergunakan sebagai sarana
persembahyangan.
Bunga medori putih (widuri, Calotropis gugantea D) dan bambu buluh
(Bambusa sp) dapat dipergunakan dalam upacara Pitra Yadnya atma wedhana
(nyekah, nyekar), sebagai bahan atau sarana membuat puspa lingga yakni badan
tempat atma bersthana (lontar Brahmokta Widisastra). Sebagai lambang wujud
dari suksma sarisa (badan halus) atau sekah dalam upacara atma wedhana,
dipergunakan bunga medori putih (Calotropis gigantea D), sulasih (Ocimum
bacilicum L), pudak (Pandanus sp), padma, tunjung (Nymphaea sp), serta
dilengkapi dengan daun beringin dan daun medori. Sekah (sekar = bunga) ini
dibakar untuk memperceoat proses kembalinga atma ke tempat asalnya, menyatu
pada Sang Hyang Paramatma (lontar Ligya, dan Yama Purana Tattwa).
Dalam lontar Kusuma Dewa Indik Tatandingan ditulis bahwa banten
sesayut kusumajati hanya boleh mempergunakan satu warna bunga yakni bunga
yang berwarna putih tetapi berasal dari lima jenis bunga. Sedangkan sesayut
purba subha hanya boleh menggunakan dua macam warna bunga yaitu bunga
putih dan kuning. Kedua sesayut itu dipersembahkan di Pura Kawitan (Pura asal
keluarga besar) untuk memuja Bhatara atau Dewa Pitara leluhur.

5
Bunga dapat pula dipergunakan sebagai lambang keperwiraan. Dalam
lontar Dasanama bunga pucuk bang (kembang sepatu merah, Hibiscus rosa-
sinensis) dianggap sebagai simbol wirakusuma, lambang sifat yang gagak berani.
Para prajurit atau teruna senang sekali menyumpangkang bunga ini di atas daun
telinganya agar tampak gagah.
Bunga yang mekar dan harum baunya merupakan lambang aksara suci
wijaksara (bijaksara) yang mampu membentengi tubuh manusia dari degala mara
bahaya yang akan mengganggu dan masuk ke dalam dirinya. Oleh sebab itu umat
Hindu di Bali sering sekali menyelipkan bunga diatas daun telinganya sebagai
lambang penolak bahaya.
Upakara-upakara tersebut menyebabkab perayaan suatu upacara

keagamaan tampaknya menjadi semarak dan meriah. Upakara-upakara itu

merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sangat unik dan rumit. Keunikannya

bila dikaji secara mendalam mempunyai makna simbolis dan filosofis. Upakara

seperti Banten Pejatimisalnya; kelihatannya sangat sering dipergunakan, baik

sebagai awal, puncak, maupun akhir dari pelaksanaan suatu upacara. Banten

Pejati merupakan sekelompok banten, yang masing-masing mempunyai makna

dan maksud tertentu, apalagi setelah digabung atau dikelompokkan menjadi satu.

Banten dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan rasa sujud bhakti dan

juga untuk memohon keselamatan kedapa Ida Sang Hyang Widhi Wasa/

manivestasi-Nya yang dihadirkan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahannya sebagai berikut:

6
1. Apakah pengertian dari Banten Pejati tersebut?

2. Bagaimana penggunaan Banten Pejati dikalangan masyarakat Hindu di

Bali?

3. Apa sajakah yang menjadi bagian-bagian serta sarana perlengkapan dari

Banten Pejati?

4. Apa makna simbolis dari sarana yang digunakan dalam membuat Banten

Pejati?

1.3 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah mengetahui apa yang

dimaksud dengan Banten Pejati, serta bagaimana penggunaan, bagian, dan makna

simbolik dari Banten Pejati tersebut.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan

pengetahuan dan informasi kepada masyarakat mengenai apa yang dimaksud

dengan Banten Pejati, serta bagaimana penggunaan, bagian, dan makna simbolik

dari Banten Pejati tersebut, sehingga nantinya dapat mempermudah dalam

pembuatan Banten Pejati.

7
BAB II

MATERI DAN METODE

2.1 Metodelogi

Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah studi

pustaka mengenai Banten Pejati antara lain di Perpustakaan Daerah Bali,

Denpasar, dan wawancara langsung dengan beberapa tukang banten, serta

beberapa orang yang mengerti tentang banten. Mulai bulan Mei sampai dengan

bulan Juli 2016

8
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Banten Pejati

Banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap didasari dengan

hati yang tulus dan suci. Banten dapat diartikan sebagai Wali. Kata Wali berarti

Wakil. Banten dalam suatu upacara dipakai sebagai wakil untuk berhubungan

dengan yang dipuja atau yang dimuliakan. Selain itu pula, kata Waliberarti

kembali. Dalam pengertian ini, banten dimaksudkan kembali dipersembahkan,

yang pada mulanya semua sarana banten itu berasal atau bersumber dari ciptaan

Sang Hyang Widhi Wasa. Maksud dari persembahan kembali ini adalah untuk

mewujudkan keseimbangan, antara Beliau/ Hyang Widhi Wasa yang telah

menciptakan, dengan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang paling banyak

menerima dan menikmati, agar dapat lestari sepanjang masa.

Pejati berasal dari kata Jati mendapat awalan pe-, menjadi Pejati. Kata

ini adalah kata dalam bahasa Bali. Jati artinya sungguh-sungguh, benar-benar.

Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk

menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi Wasa/ manifestasi-

Nya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan

agar memperoleh keselamatan.

9
3.2 Penggunaan Banten Pejati

Banten Pejati sering dipergunakan pada upacara panca yadnya.

Penggunaanya dapat sebagai awal akan mengambil suatu upacara, yang berfungsi

sebagai permakluman menganai tahapan dan tingkatan yang mana akan

diselenggarakan. Adapun inti dari permakluman itu adalah memohon restu

keselamatan.

Berikutnya digunakan pada puncak acara, berfungsi sebagai tanda

ataupun bukti kesungguhan hati terhadap permakluman sebelumnya, bahwa

upacara tersebut segera akan diselenggarakan, dimohonkan pula persaksian-Nya.

Selain itu juga dipergunakan pada akhir pelaksanaan upacara,yaitu

menjelang penutupan atau upacara mesineb, berfungsi sebagai permakluman

mengandung ucapan terimakasih dan memohon maaf atas kekurangan yang

mungkin terjadi, mengenai upacara yang telah dilaksanakan itu, akan segera

diakhiri.

Sebagai suatu contoh nyata, misalnya dalam upacara manusa yadnya,

terhadap seorang anak yang dilahirkan, dibuatkan Banten Pejati yang akan

dipersembahkan ke Merajan ataupun Pura-pura dalam lingkungan Desanya adalah

berfungsi sebagai sarana permakluman dan perkenalan, agar pada hari-hari

selanjutnya tidak mendapat halangan atau hal-hal yang tidak diinginkan.

Demikian pula pada pelaksanaan-pelaksanaan upacara seperti Pemangku ataupun

Pendeta yang menyelesaikan penyelenggaraan upacaranya, sebelumnya

dihaturkan Banten Pejati, sebagai tanda ikut menyaksikan dan menyelesaikan

pelaksanaan upacaranya.

10
Demikan pula pada upacara-upacara berikutnya bila akan melaksanakan

upacara, sebelumnya dibuatkan Banten Pejati, misalnya pada upacara Otonan,

Naik Dewasa/ Menek Deha Truna, kawin sampai mengakhiri hidupnya, yaitu

mati, baik itu akan dikuburkan atau langsung diabenkan, juga diawali dengan

memohonkan dewasa/ hari yang baik kepada Pendeta yang akan menyelesaikan

pelaksanaan upacaranya.

3.3 Bagian-bagian Banten Pejati

Banten Pejati adalah merupakan kumpulan dari beberapa buah banten.

Bagian-bagian Banten Pejati itu terdiri dari :

1. Daksina.

2. Peras

3. Ajuman

4. Tipat Kelanan

3.4 Sarana Banten Pejati dan Makna Simbolis yang Terkandung

Didalamnya

A. Daksina

Daksina adalah nama sebuah banten, yang mengandung unsur lengkap

dan dikatakan sebagai lambang dari Hyang Guru, Hyang Tunggal, yang mana

kedua nama tersebut merupakan nama lain daripada Dewa Siwa.

11
Perlengkapan Sarana Daksina

1. Wakul Daksina atau Bebedogan

Dibuat dari bahan janur atau selepan. Bentuk dibagian bawahnya dibuat

bundar seperti bakul (wakul daksina), sebagai tempat untuk mengatur semua

perlengkapannya. Bentuk bundar pada dasar daksina merupakan lambing dari

kebulatan atau pemusatan pikiran terhadap Hyang Widhi Wasa.

2. Tampak

Dibuat dari bahan janur atau selepan. Bentuknya dibuat menyilang,

sehingga akan kelihatan seperti Tampak Dara (+). Bentuk tampak ini merupakan

lambang dari Swastika dalam bentuk yang masih netral.

3. Benang Tukeman

Adalah sehelai benang kapas putih yang diletakkan diatas tampak.

Fungsinya sebagai akar dan sebagai lambang penghubung.

4. Beras

Beras merupakan sarana makanan pokok bagi manusia. Beras

melambangkan kemakmuran.

5. Base Tampelan

Base Tampelan ini dibuat dari dua lembar daun sirih. Satu lembar dipakai

sebagai alasnya, dan satu lembar lagi ditempelkan diatasnya diisi kapur dan

pinang, kemudian dilipat naik turun lalu dijarit menjadi satu keduanya. Base

Tampel ini melambangkan perwujudan rasa bhakti.

12
6. Kelapa

Dipergunakan sebutir kelapa yang sudah dikupas bersih pada batoknya.

Kelapa adalah salah satu jenis tumbuhan yang semua bagian-bagiannya dapat

dipakai sarana upakara/banten. Kelapa ini digunakan sebagai lambang dari alam

semesta, yang sering dikenal dengan sebutan Bhuwana Agung.

7. Telur

Untuk telur daksina digunakan telur itik yang mentah sebutir.

Penggunaan telur itik itu didasarkan pada binatang itik merupakan salah satu

binatang yang bersifat bijaksana. Telur daksina untuk Banten Pejati, agar selalu

diusahakan memakai telur itik, karena ditujukan kepada Hyang Widhi Wasa/

manifestasi-Nya. Telur itik sebagai simbol lebih banyak menunjukkan sifat

sattwam. Apabila sangat sulit memperoleh telur itik, maka telur ayam dapat

digunakan. Ayam adalah binatang yang lebih banyak menunjukkan sifat rajas dan

tamas.

8. Bijaratus

Bijaratus berasal dari kata bija, yaitu biji dan ratus berarti paduan.

Bijaratus adalah padauan dari lima jenis biji-bijian yang berwarna 5 macam,

terdiri dari :

1. Biji godem hitam

2. Biji jawa berwarna putih

3. Biji jagung nasi berwarna merah

4. Biji jagung biasa berwarna kunimg

5. Bijin jali-jali berwarna brumbun (warna-warni).

13
Semua biji-bijian dicampur dan dibungkus dengan daun pisang kering yang

disebut keraras.

9. Gantusan

Gantusan ini dibuat dari campuran beberapa jenis bumbu, garam dan ikan

teri, kemudian dibungkus dengan daun pisang kering/keraras.

10. Peselan

Peselan ini juga disebut pelawa peselan. Bahanya terdiri dari lima jenis

daun kayu yang mempunyai warna lima jenis seperti : daun salak, duku, manggis,

mangga, dan durian. Digulung kecil-kecil memanjang diikat menjadi satu.

11. Pangi

Yang dipakai adalah buahnya sebutir yang sudah lepas darikulitnya, yang

bentuknya menyerupai dagu.

12. Kemiri.

Yang dipakai adalah buahnya sebutir yang sudah lepas darikulitnya, yang

bentuknya menyerupai jakun.

13. Uang Kepeng

Dipergunakan sebanyak dua buah.

14. Pisang.

Pisang yang dipergunakan adalah pisang kayu yang masih mentah

sebanyak dua buah. Pisang kayu atau biu kayu dalam lontar “Tegesing Sarwa

Banten” disebutkan : biu kayu nga; hyuning citta maring hayu; yang dimaksudnya

sebagai lambang ada atau mempunyai pikiran untuk berbuat baik secara lahir dan

batin.

14
15. Canang Genten.

Dipergunakan satu tanding. Canang genten dalam lontar “Tegesing

Sarwa Banten”, nga; becik helinge ring sarwa mahurip mwang sarwa tumuwuh;

maksudnya:baik ingatannya terhadap segala yang hidup dan tumbuh.

Sebagai alas dapat dipakai sebuah ituk-ituk ataupun ceper yang diatasnya

secara berturut-turut diisi pelawa/daun kayu sebagai lambang ketenangan hati,

kemudian daun sirih sebagai lambang dari Dewa Wisnu, kapur sebagai lambang

dari Dewa Siwa, dan Pinang sebagai lambang Dewa Brahma. Di atasnya disusun

lagi dengan jajahitan yang bernama “wadah lengis” yaitu sebagai tempat minyak

wangi/harum, bunga-bungaan, rampe, dan uang. Wadah lengis ini dibuat dengan

meringgit janur. Reringgitan merupakan lambang ketulusan hati, bungannya

sebagai lambang kesucian hati, dan rampe sebagai lambang alat perangsang

pikiran kearah pemusatan untuk berhubungan dengan Hyang Widhi Wasa. Paling

atas diisi sesari berupa uang, sesuai dengan tingkatan upacara dan kemampuan

yang beryadnya, merupakan sarining manah, yaitu sari atau inti daripada pikiran

yang juga berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang mungkin masih ada.

Daksina dalam Banten Pejati berfungsi sebagai Tapakan, Pelinggih,

Sthana dari Hyang Widhi Wasa/manifestasi-Nya yang akan dihadirkan dan

didekati untuk dimohoni keselamatan dalam rencana pelaksanaan upacara yang

akan diselenggarakan. Selain sebagai tapakan, juga daksina dalam kelompok

banten yang lain, berfungsi sebagai sarana persembahan untuk menyampaikan

terimakasih kepada mereka yang dimohon atau diminta untuk dibantu

15
menyelenggarakan upacara tersebut. disamping itu juga daksina berfungsi sebagai

persembahan biasa (haturan) untuk melengkapi suatu upakara atau banten.

B. Peras

Peras adalah nama sebuah jenis banten yang pengguanannya sebagai

pelengkap sesajen-sesajen yang lainnya. diikutsertakan banten peras sebagai

pelengkap. Mempunyai tujuan-tujuan tertentu, terutama untuk pencapaian

keberhasilan atau kesuksessan yang diinginkan.

Dalam Banten Pejati, banten peras memegang peranan penting, yaitu sebagai

saran untuk permakluman dengan kesungguhan hati untuk mendapatkan

keberhasilan.

Perlengkapan banten peras

1. Tumpeng

Bahanya adalah beras yang dimasak menjadi nasi dan dibentuk seperti

sebuah kerucut dengan memakai daun pisang. Fungsinya adalah sebagai suguhan

kehadapan Hyang Widhi Wasa. Bentuk kerucut yang lancipnya diatas

melambangkan Hyang Widhi itu tunggal.

2. Rerasmen

Alasnya dipakai tangkih/celemik, selain itu juga dipakai kojong rangkat.

Isinya terdiri dari kacang yang digoreng, terung, saur, sambal, kecarum,

mentimun.

16
3. Buah-buahan

Jenis buah-buahan yang digunakan dapat disesuaikan dengan keadaan

setempat.

4. Jajan

Jajan Untuk Banten Peras, Dipergunakan :

1. Gina/begina, adalah lambang mengetahui

2. Uli merah dan uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti

terhadap guru rupaka/ayah ibu.

3. Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia

4. Wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra.

5. Bantal adalah lambang hasil yang sungguh-sungguh dan tidak.

6. Satuh adalah lambang dari yang patut ditirukan.

5. Sampian peras

Mempergunakan janur, serta memakai porosan yang berisi sirih, kapur,

pinang sebagai lambang Tri Murti.

C. Ajuman

Merupakan banten yang fungsinya sebagai suguhan berupa nasi /

persembahan makanan terhadap Hyang Widhi Wasa/manifestasinya.

Perlengkapan banten ajuman

Perlengkapan banten ajuman ini sebagian besar terbuat dari janur, yang

terdiri dari:

1. Taledan

17
2. Ceper

3. Piring dan ingka

4. Tamas

5. Telempokan

6. Sampian kepet-kepetan dan pelaus.

D. Tipat Kelanan

Tipat kelanan adalah nama salah satu jenis banten, yang fungsinya sama

dengan ajuman. Sarana perlengkapannya terdiri dari ketupat atau tipat sebanyak 6

buah yang biasa disebut dengan akelan. Biasanya dipergunakan tipat nasi,

sebagai alasnya digunakan taledan, tamas, ceper, pirirng, atau ingka.

Disampingnya diisi rerasmen, di bagiam belakang diisi buah-buahan, jajan dan

sampiat kepet-kepetan, atau pelaus yang sudah lengkap tetandinganya.

18
Tabel jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam membuat banten pejati.

NO Nama Indonesia Nama Daerah Nama Ilmiah Suku Kegunaan

1 Padi Padi Oryza sativa L. Gramineae Daksina, peras,

ajuman, tipat

kelanan

2 Cendana Cenana Santalum album Santalaceae Canang daksina,

Linn. ajuman

3 Duku Ceroring Lansium Meliaceae Peras

domesticum

Correa.

4 Durian Duren Durio Bombacaceae Peras

zibetthinus L.

5 Godem Godem Panicum viride Gramineae Daksina

Linn.

6 Jagung Jagung Zea mays Gramineae Daksina

7 Jali-jali Jali Coix lacryma - Poaceae Dakisna

jobi linn.

8 Kapas Kapas Gossypium sp Malvaceae Daksina, peras

9 Kelapa Nyuh Cocos nucifera Arecaceae Daksina, peras,

ajuman, tipat

kelanan

10 Kemangi Kecarum Ocimum Labiatae Peras, ajuman,

19
basilicum L. tipat kelanan.

11 Kemiri Tingkih Aleurites Euphorbiaceae Daksina

moluccana Wild

12 Manggis Manggis Garcinia Guttiferae Peras

mangostana L

13 Mentimun Timun Cucumis sativus Cucurbitaceae Peras, ajuman

L.

14 Pandan wangi Pandan arum Pandanus Pandanaceae Daksina, peras,

tectorius Soland ajuman

15 Pangi Pangi Pangium edule Flacourtlceae Daksina

Reinw.

16 Salak Salak Salacca edulis Palmae Peras

Reinw.

17 Pinang Buah Areca cathecu arecaceae Peras

18 Pisang Biu Musa sp. Musaceae Peras

19 Sirih Base Piper betle L. Piperaceae Peras

20
Koleksi pribadi

21
Koleksi pribadi

22
Koleksi pribadi

23
Koleksi pribadi

24
Koleksi pribadi

25
26
Sumber:internet

27
Sumber:internet

28
Sumber:internet

29
Sumber:internet

30
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai

berikut :

1. Banten pejati merupakan sekolompok banten yang dipakai sarana untuk

menyatakan kesungguhan hati ke hadapan Hyang Widhi Wasa/manifestasi-

Nya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan

tujuan agar memperoleh keselamatan.

2. Banten pejati dipergunakan pada awala, pucak, maupun akhir dari suatu

upacara.

3. Adapun bebanten yang dipakai untuk membuat banten pejatui antara lain :

daksina, peras, ajuman, dan tipat kelanan.

4.2 Saran.

Agar pembuatan suatu jenis banten dapat tepat mengenai sasaran,

hendaknya perlu diketahui makna simbolis dari berbagai jenis sarana bebanten.

Agar jika tidak ada sarana yangf dimaksud, dapat digantikan denhgan saran

lainnya yang mempunyai makna yang sama dengan makna simbolis dari sarana

yang umumnya dipakai untuk bebanten tersebut.

31
DAFTAR PUSAKA

Backer, C.A. and R.C Bakhuizen van de Brink, Jr.,1968. Flora of java. Wolters-
Noordhoff NV. Groningen The Nederland.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya.


Jakarta .

Nala,N (2004), Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara


Agama Hindu UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya”
LIPI. Bali, 7 Oktober 2004. 9-28.

Irawan, B, 2004. Inthuk-inthuk sebagai budaya tradisonal masyarakat Jawa untuk


mendekati saudara 4:5 Pancer (Tinjauan dan Aspek Pemanfaatan
Tanamannya). Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara
Agama Hindu UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya”
LIPI. Bali, 7 Oktober 2004. 314-321.

Sudharta, T.R. 1993. Manusia Hindu dari kandungan sampai perkawinan.


Yayasan Darma Naradha. PT.BP. Denpasar.

Surayin, I.A.P. 2002. Manusia Yadnya. Seri IV Upakara Yadnya. Paramita


Surabaya.

32
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Karena berkat anugerah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah

yang berjudul : “Jenis Tumbuhan yang Digunakan dalam Membuat Banten Pejati

di Bali”, tepat pada waktunya.

Makalah ini merupakan salah satu bahan mata kuliah Etnobotani pada

fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi Universitas

Udayana.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,

sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang menunjang

kesempurnaan makalah ini.

Selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan teman-teman sejawat

yang penulis dapatkan. Untuk itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih

kepada berbagai pihak yang ikut membantu penyelesaian makalah ini.

Denpasas, Juli 2016

Penulis.

33
DAFTAR ISI
ii
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
INTISARI......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar belakang. .................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah. ............................................................... 6
1.3 Tujuan ................................................................................. 7
1.4 Manfaat .............................................................................. 7

BAB II MATERI DAN METODE .............................................................. 8

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 9


3.1 Pengertian Banten Pejati ............................................................ 9
3.2. Penggunaan Banten Pejati ........................................................ 10
3.3. Bagian-bagian banten Pejati ..................................................... 11
3.4. Sarana Banten Pejati dan Makna Simbolis yang
Terkandung Didalamnya .......................................................... 12

BAB IV KESIMPULAN ............................................................................... 31


4.1 Kesimpulan ............................................................................... 31
4.2 Saran ......................................................................................... 31

KEPUSTAKAAN

34
INTISARI
iii

Agama Hindu merupakan agama yang sarat akan hari raya atau upacara.

Dalam penyelenggaraanya, sering menggunakan sesajen atau yang dapat disebut

dengan banten. Salah satunya adalah Banten Pejati yang biasa digunakan pada

Upacara Panca Yadnya. Berdasarkan hasil studi kepustakaan dan wawancara,

menunjukkan bahwa Banten Pejati merupakan kumpulan dari beberapa buah

banten yang terdiri dari Daksina, Peras, Ajuman, dan Tipat Kelanan, yang

mempunyai arti simbolis sendiri-sendiri. Dan, banten ini dapat digunakan pada

awal, puncak, ataupun akhir dari suatu upacara, serta menggunakan berbagai jenis

tumbuhan dalam pembuatan sarananya.

Kata kunci : Banten Pejati, Upacara Panca Yadhya Agama Hindu

35
JENIS TUMBUHAN YANG DIGUNAKAN DALAM MEMBUAT BANTEN

PEJATI DI BALI

OLEH:

PANDE KETUT SUTARA

NIP : 1952082191984031001

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR – BALI

2016

36

Anda mungkin juga menyukai