Anda di halaman 1dari 13

0

PURA LUHUR BATUKARU SEBAGAI PURA KESEJAHTERAAN

OLEH:
SULANDJARI

Hasil penelitian ini ditampilkan dalam acara Diskusi Bulanan di Pusat Kajian Bali
Pada Tanggal 22 Juni 2016
i

DAFTAR ISI :

HALAMAN

Pendahuluan ..................................................................................................... 1

Sejarah Berdirinya Pura ..................................................................................... 2

Dinamika Fungsi dan Peranan Pura .................................................................... 4

Makna Kesejahteraan ......................................................................................... 7

Penutup .............................................................................................................. 9
1

Pendahuluan
Menarik untuk disimak bahwa pura yang sangat kental dengan sifat relegius dan
kesakralan, dalam perkembangannya sanggup menyentuh nilai keduniawiaan, yakni makna
kesejahteraan hidup manusia. Seperti halnya Pura Luhur Batukaru yang dalam
perkembangannya nampaknya memiliki makna yang lebih dari nilai spiritual.Tingkat relasi
yang tinggi antara manusia dengan leluhurnya, telah menempatkan bangunan suci yang
terletak di lereng Gunung Batukaru ini sebagai pusat persembahyangan untuk memohon
perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan. Gunung selain sebagai tempat arwah leluhur,
juga diyakini meliki kekuatan yang bisa memberikan kemakmuran dan kesuburan , karena
merupakan muara sungai yang menjadi kebutuhan primer bagi manusia. Poin ini setidaknya
memberikan petunjuk terhadap gambaran tentang multi fungsi dan makna Pura Luhur
Batukaru, serta perannya dalam mengelola lingkungan hidup. Bagaimana mekanisme
pertautan antara fungsi, makna dan peran Pura Luhur Batukaru sebagai sumber kesejahteraan
hidup manusia dan lingkungannya?

Sejarah Berdirinya Pura Luhur Batukaru


Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wangaya Gde Kecamatan Penebel Kabupaten
Tabanan. Lokasinya tepat di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung Batukaru.
Kemungkinan besar nama pura ini diambil dari nama Gunung Batukaru ini. Menurut A.J.
Bernet Kempers di pura ini ada peninggalam megalithik berupa menhir di lereng Gunung
Batukaru pada ketinggian sekitar 650 meter di atas permukaan laut. Penemuan itu dibenarkan
oleh peneliti berikutnya. Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan
batu ( I Gusti Gede Ardana, dkk ,1994: 32-33 ). Onggokan atau gundukan batu yang dililit
bedawang, ular ini berfungsi sebagai tempat pemujaan leluhur keluarga Kubayan ( I Gusti
Ngurah Tara Wiguna,1991: 59 ). Penduduk lokal menyebutnya sebagai Palinggih Kampuh ( I
Gusti Gede Ardana,dkk., op.cit : 32 ). Kesimpulan itu didasarklan pada karakteristik zaman
megalitik yang berpusat pada penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang atau arwah
pemimpin yang disegani ( http://google.com/19 Januari 2013) Batukaru adalah salah satu
dari sekian banyak pura di Bali yang asal muasalnya bukan dari India, melainkan zaman
megalithik, seperti disebutkan oleh Goris dan Dronkers (1954:28). Kesimpulan itu
dibenarkan oleh para peneliti lokal seperti Sutaba (1985) dan Darsana, 1969) ( I Gusti Ketut
Ardana, dkk., :33 ).
Selain yang disebutkan di atas, menyangkut data kepurbakalaan ditemukan pula
peninggalan berupa arca, candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak. Arca kuno ditemukan
2

di Beji pura ini. Arca serupa dengannya juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung
Penulisan, Kintamani. Dilihat dari coraknya, arca semacam itu diperkirakan merupakan
peninggalan periode Bali Kuno sekitar abad X-XII. Sementara untuk bukti tertulis, Ketut
Soebandi menyatakan Pura Batu Karu disebutkan secara selintas dalam sejumlah babad,
antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad Pasek Toh Jiwa, serta Babad Buleleng ( Ktut
Soebandi, 1983 : 111-118 ). Babad Pasek memberikan penjelasan, “lagi ada tiba putera dari
Bhatara Pacupati dari Gunung Semeru (Jawa Timur) di Pulau Bali, itulah yang dipuja di
Pulau Bali ikut dengan Bhatara Putrajaya dan Bhatara Gnijaya, Bhatara Tumuwuh
berparhyangan di Gunung Batukaru, Sang Hyang Manikgumawang berparhyangan di Pejeng,
Sanghyang Tugu berparhyangan di Andakasa” ( Ktut Soebandi., log.cit : 114 ). Sedangkan I
Gusti Gede Ardana, dkk., menyebutkan beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah
Mada, Padma Bhuwana, Kusuma Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem,
Widisastra, Empu Kuturan, Dewa Purana Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan
pura ini.
Jika hasil-hasil temuan Arkeologis dipadukan dengan sumber-sumber tertulis lainnya,
dapat diduga Pura Luhur Batukaru ini berdiri pada abad XI, pada zaman pemerintahan Raja
Kembar Çri Masula-Masuli. Akan tetapi dalam Lontar Usana Bali disebutkan pendirinya
adalah Mpu Kuturan alias Mpu Rajakretha. Dalam lontar itu disebut pula Mpu Kuturan
berkenan mendirikan semua parhyangan (Pura atau Kahyangan) yang konsep asalnya dibawa
dari Majapahit (Jawa Timur), meliputi, Bhatara di Besakih, Bhatara di Batu Madeg, Bhatara
di Batumanyeneng, Bhatara di Pintuaji, Bhatara di Kadaton, Bhatara di Tengah Mel, Bhatara
di Tulukbiyu, Bhatara di Tampurhyang, Bhatara di Batukaru.” ( Ktut Soebandi,1983., op.cit:
114 ).
Sejumlah ahli mengatakan Mpu Kuturan mendirikan Sad Kahyangan Jagat untuk
memotivasi umat menjaga keseimbangan eksistensi Sad Kerti yaitu Atma Kerti, Samudra
Kerti, Wana Kerti, Danu Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti ( I Ketut Gobyah, 2013 ). Ada juga
yang mengatakan Mpu Kuturan membangun Pura untuk memotivasi masyarakat agar
menjaga keseimbangan jiwa, laut, hutan, danau, bumi, dan individu. Beberapa waktu
mungkin tempat ini telah digunakan oleh orang-orang sebagai tempat meditasi untuk
memperoleh kedamaian rohani dan untuk mencapai keseimbangan hidup.
Dalam lontar Kusuma Dewa, Mpu Kuturan bukan hanya mendirikan, melainkan juga
mengadakan penyempurnaan palinggih-palinggih (bangunan suci) di Bali yang sudah ada
sebelumnya termasuk Pura Batukaru. Dengan melihat adanya sumber air dan berbagai jenis
patung, ada kemungkinan pura atau kahyangan ini sering digunakan oleh para pertapa
3

sebagai tempat untuk melakukan yoga. Keberadaan mata air di pura ini, memberikan
bayangan seorang pertapa akan memilih pegunungan yang ada mata airnya dalam
melaksanakan pelajaran pada tingkat wanaprasta. Selain itu, adanya beberapa buah bangunan
seperti Bale Tengkudak, Pasek, dan lain sebagainya mengindikasikan tempat ini sering
digunakan untuk melakukan persembahyangan atau semadhi ( Ktut Soebandi, op.cit.,: 112 ).
Pendapat lain menyatakan Pura Luhur Batukaru sebelumnya sudah dijadikan tempat
pemujaan dan tempat bertapa sebagai media Atma Kerti oleh tokoh-tokoh spiritual di daerah
Tabanan dan Bali pada umumnya. Pandangan itu didasarkan pada adanya penemuan sumber-
sumber air dan dengan berbagai jenis arca Pancuran. Dari adanya sumber-sumber mata air ini
dapat disimpulkan bahwa daerah ini pernah dijadikan tempat untuk bertapa bagi para
Wanaprastin untuk menguatkan hidupnya menjaga Sad Kerti tersebut. Pura Batakaru
kemudian diperluas dan diperindah oleh Arya Kenceng dan keturunannya yang kemudian
memerintah Kerajaan Badung dan Kerajaan Tabanan di Bali (
http://w.w.w.tourguidebali.com/19 Januari 2013 ).
Penjelasan lain disebutkan dalam Babad Buleleng. Diceritakan, Kerajaan Buleleng
sudah sangat aman tidak ada lagi musuh yang berani menyerangnya. Sang Raja ingin
memperluas wilayah kerajaan dengan cara melakukan ekspansi ke Tabanan. Pasukan
dipimpin langsung Raja Buleleng Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Setelah tiba di Pura Batukaru,
mereka langsung merusak dan mengobrak-abriknya. Di luar perhitungan mereka tiba-tiba
datang tawon dalam jumlah banyak yang galak menyengat entah dari mana asalnya. Ki Panji
Sakti beserta prajuritnya diserang habis-habisan oleh tawon yang galak dan berbisa itu.
Mereka lari terbirit-birit dan mundur teratur dan membatalkan niatnya untuk menyerang
kerajaan Tabanan. Karena pura itu dirusak oleh Ki Panji Sakti maka bangunan palingih rusak
total. Tinggal onggokan berupa puing-puing saja.
Berdasarkan cerita lokal, Tara Wiguna mengatakan, pada saat Ki Panji Sakti
melakukan serangan, leluhur Kubayan “moksah” persis di onggokan batu itu ( I Gusti Ngurah
Tara Wiguna, op.cit., : 61 ). Dalam Babad Pasek (Tohjiwa) disebutkan Kyayi Agung
Kubayan menguasai wilayah Desa Bayad sampai dengan wangaya dan menduduki jabatan
Kubayan di Batukaru dan Penulisan Songan (Senganan). Ini merupakan pendukung puri yang
diberikan kekuasaan di daerahnya masing masing dan merupakan keputusan dari Çri Baginda
Gajahwaktra pada 1257 Ç atau tahun 1335 M.
Tahun 1928 R. Goris, seorang ahli ilmu arkeologi mengadakan penelitian di Pura
Batukaru dan menemukan patung yang di pusarnya berisi pancuran air seperti di Goa Gajah .
Bedanya patung di Goa Gajah berdiri, sedangkan yang di Pura Batukaru duduk bersila. Goris
4

berpendapat, patung yang terdapat di Batukaru sezaman dengan patung di Goa Gajah (
Wiana,2013 ). Baru pada tahun 1959 Pura Luhur Batukaru mendapat perbaikan sehingga
bentuknya seperti apa yang ada sekarang ini. Pada tahun 1977 secara bertahap barulah ada
perhatian dari pemerintah daerah berupa bantuan. Hingga saat ini Pura Luhur Batukaru
keadaannya sudah semakin baik.
Pura Luhur Batukaru denahnya dibagi menjadi tiga mandala. Bangunan utama di
bagian jeroan, atau Utama Mandala berupa candi yang bentuknya sangat mirip dengan
bentuk candi di Jawa Timur. Palinggih utama ini berbentuk candi bukan meru. Ini jelas
merupakan pengaruh arsitektur Jawa Timur dan India. Bentuknya ramping atapnya terdiri
atas perpaduan tingkatan (punden berundak-undak). Candi utama ini diapit oleh candi
perwara, serta di ujung kiri dan kanannya diapit oleh Padmasana. Jadi pada deretan bangunan
utama terdapat lima bangunan atau palingih. Pada candi utama inilah dipuja Dewa
Mahadewa. Masyarakat menyebutnya Ratu Hyang Tumuwuh. Mengapa Dewa Mahadewa
diberi gelar Ratu Hyang Tumuwuh. Karena untuk menjaga keterpaduan air, udara dan
tumbuh-tumbuhan di bumi ini. Agar semua alam tersebut terpadu adanya, sebagai langkah
awal umat mohon tuntunan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh. Karena Tuhanlah sebagai
mahapencipta semua unsur alam tersebut. Sebutan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh
memang sebutan lokal Bali. Tetapi dibaliknya terdapat nilai-nilai universal tentang etika
perlakuan sumber-sumber alam ciptaan Tuhan. Kalau udara kotor, sumber-sumber air tak
terlindungi maka tumbuh-tumbuhan pun akan merana. Kalau tumbuh-tumbuhan merana
hidup manusia pun akan menderita kekurangan bahan makanan dan obat-obatan ( Wiana
,2013 ).
Dinamika Fungsi dan Peranan
Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru sebagai
suatu pemujaan untuk memotivasi umat manusia agar secara nyata melakukan langkah
melindungi Tri Chanda sebagaimana dinyatakan dalam Mantra Atharvaveda XVIII.17. Tri
Chanda itu adalah air, tumbuh-tumbuhan dan udara. Kalau keberadaan tiga benda yang
menutupi bumi ini tidak terganggu oleh ulah manusia yang mau hidup berlebihan maka Tri
Chanda itulah yang berfungsi untuk menjadi sumber yang menumbuhkan kehidupan ini. Tri
Chanda itulah yang menyebabkan keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat alami sesuai
dengan tattwa yang melatarbelakangi keberadaan Pura Luhur Batukaru. Demikian juga Pura
Presanak atau Jajar Kemiri dari Pura Luhur Batukaru ini melambangkan nilai-nilai spiritual
yang memotivasi umat agar senantiasa menjaga kelestarian eksistensi Tri Chanda tersebut.
Penampilan fisik Pura Luhur Batukaru tersebut amat artistik mengikuti rona alam di
5

lingkungan pura. Di Pura Luhur Batukaru ini di samping ada bangunan utama, di sebelah
timurnya terdapat sumber mata air terdiri atas dua komplek. Ada komplek yang berlokasi di
jeroan (dalam) pura pokok yang dipergunakan khusus untuk memohon Tirtha (air suci) untuk
kepentingan upacara. Komplek yang kedua adalah untuk kepentingan mandi dan cuci muka
sebagai pembersihan diri dalam rangka persiapan untuk bersembahyang.
Di sudut timur laut dan barat laut terdapat Palinggih Padma Ratu Bagus Panji dan
Ratu Puseh Kubayan. Di pojok barat daya ada dua bangunan Gedong paling selatan berjejer.
Dua Gedong itu sebagai Pedharman Raja Badung dan Raja Tabanan. Dapat dikatakan pura
luhur Batukaru juga sebagai tempat dipujanya leluhur raja-raja Badung dan Tabanan. Kedua
Raja ini adalah satu klan. Di areal jeroan, utama mandala terdapat tidak kurang dari 24
bangunan penting dan pelengkap. Di areal kedua yang disebut jaba tengah, madya mandala
ada sebuah Palingih Gedong stana Ratu Pasek sebagai tempat memohon suksesnya upacara
yadnya. Di pojok barat laut ada Gedong Simpen untuk tempat menyimpan Pratima. Di
selatan Gedong Simpen tersebut terdapat bangunan Balai Agung dengan dua belas tiang.
Balai Agung ini tempat berkumpulnya semua simbol sakral terutama saat Melasti.
Selain sebagai Pura Sad Kahyangan, Pura Batukaru juga berkedudukan sebagai Pura
Catur Loka Pala sebagaimana disebutkan dalam Lontar Purana Bali. Di timur Pura
Lempuyang Luhur, di selatan Pura Andakasa, di Barat Pura Luhur Batukaru dan utara Pura
Pucak Mangu. Pura Luhur Batukaru juga sebagai Pura Padma Bhuwana yaitu sembilan pura
yang mengelilingi Pulau Bali. Pura Padma Bhuwana merupakan lambang pemujaan Tuhan
yang ada di mana-mana di sembilan penjuru alam semesta. Tidak ada bagian alam semesta
ini tanpa kehadiran Tuhan. Keberadaan Tuhan seperti itulah yang diekspresikan di sembilan
pura di Pulau Bali. Kalau penerapan konsep ketuhanan agama Hindu di Bali ini benar-benar
dihayati, maka umat Hindu tidak akan berhenti pada sembahyang dengan upacara yadnya
saja dalam mengamalkan ajaran. Itu baru langkah mengarah pada aspek niskala untuk
membangun daya spiritual umat. Aspek niskala itu seharusnya di-sekala-kan dalam perilaku
hidup sehari-hari untuk secara aktif menjaga eksistensi Tri Chanda tersebut sesuai dengan
sifat alaminya.
Upacara piodalan di Pura Batukaru jatuh setiap Kamis Wuku Dungulan sehari setelah
hari raya Galungan setiap 210 hari sekali menurut Penanggalan Pawukon. Suatu yang unik di
Pura Luhur Batukaru adalah mengenai upacara piodalan dan upacara besar lainnya tidak
pernah dipimpin oleh pandita, melainkan cukup dipimpin oleh pemangku yang disebut Jero
Kubayan ( Ida Bagus Kade Subhiksu,2006 :27-29 ). Belakangan ini, sejak Galungan, umat
sudah banyak datang ke pura ini dan puncak keramaain terjadi pada saat piodalan. Selama
6

piodalan Ida Bhatara nyejer hingga tiga hari dan disangga oleh para pangempon. Mereka
berasal dari desa-desa pakraman sekitarnya yakni Desa Pakraman Wongaya Gede (yang
terdiri dari empat banjar pakraman yakni Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya Kelod,
dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Penganggahan dan
Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma). Sedangkan
pangemong/penanggung jawab pelaksanaan upacara adalah Jro Kebayan ( I Wayan Arya,
2003 : 1-2 ).
Orang yang ingin melakukan persembahyangan ke Pura Luhur Batukaru beberapa
diantaranya terlebih dahulu sembahyang di Pura Jero Taksu. Pura Jero Taksu yang letaknya
agak jauh dari Pura Luhur Batukaru. Langkah awal dimaksudkan sebagai sebagai
permakluman agar persembahyangan di Pura Luhur Batukaru mendapatkan keberhasilan.
Pura Taksu ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Pura Luhur Batukaru. Prosesi
selanjutnya barulah menuju pancuran yang letaknya di bagian tenggara dari pura utama
namun tetap berada dalam areal Pura Luhur Batukaru. Air pancuran ini dimanfaatkan untuk
menyucikan diri dengan jalan berkumur, cuci muka dan cuci kaki di pancuran dan dilanjutkan
sembahyang di Palingih Pura Pancuran. Ini dilakukan sebagai tanda penyucian sekala dan
niskala atau lahir batin yang merupakan syarat utama agar pemujaan dapat dilakukan dengan
kesucian jasmani dan rohani.

Makna Kesejahteraan
Persembahyangan di Pura Luhur Batukaru dimaksudkan untuk memuja Tuhan Ida
Sang Hyang Widhi wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Dewa yang yang
membesarkan tumbuh-tumbuhan dengan mempergunakan air secara benar. Oleh karena itu,
pura ini juga disebut sebagai tempat pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh, sebutan
Tuhan sebagai yang menumbuhkan. Tuhan sebagai sumber yang mempertemukan air dengan
tanah memunculkan kekuatan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan
itu akan tumbuh subur dengan daunnya yang hijau mengandung klorofil sebagai zat yang
menyelamatkan hidup. Atas dasar itu pemujaan kepada Tuhan di Pura Luhur Batukaru
diharapkan bisa dijadikan media untuk membangun daya spiritual yang membangun
semangat hidup untuk secara sungguh-sungguh menjaga kesuburan tanah dan sumber-sumber
air. Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh memiliki makna yang dalam bagi
kehidupan umat manusia di bumi ini. Dengan ini membuat tersadar akan nilai yang
terkandung di balik Pemujaan Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru ( I Ketut
Gobyah, 2013 ).
7

Di pura Batukaru juga ada upacara unik yang tidak dijumpai di tempat lainnya,
disebut a Marebu Kulak. Upacara ini diikuti oleh seluruh pengempon pura (disebut warga
Pekandelan) yang baru menikah. Mula-mula pasangan pengantin baru bersembahyang di
Pura Pengakan Pasek, kemudian naik turun tangga di Bale Agung. Bila salah satu pasangan
tidak lengkap, misalnya karena istrinya hamil, wajib digantikan oleh salah seorang
kerabatnya. Sebelum melaksanakan upacara ini, pasangan pengantin baru ini tidak boleh naik
di Bale Agung di Jaba Tengah. Ada kepercayaan di sini yaitu anak yang gigi susunya belum
pernah berganti (tonden maketus) tidak boleh masuk ke halaman dalam pura karena sering
menangis menjerit-jerit tanpa alasan, seperti pernah terjadi pada suatu piodalan pada tahun
2002 ( http://w.w.w. tourguidebali.com/ 19 januari 2013 ). Hingga kini belum diketahui
secara jelas tentang kapan berdirinya Pura Batu Karu. Suatu hal yang menonjol justru terjadi
proses osmosis dari benda-benda peninggalan masyarakat pra Hindu ke masyarakat Hindu.
Benda-benda peninggalan itu dapat dilihat dari keberadaan menhir yang kemudain berubah
menjadi pura milik raja-raja di Bali. Raja terakhir yang menguasai Pura Batukaru berasal dari
Kerajaan Bali. Di zaman kemerdekaan Pura Batukaru menajdi milik pemerintah provinsi
Bali. Bersaman dengan itu, fungsinya sebagai pura kerajaan berubah menjadi sad kahyangan,
dengan spesikasi pura kesejahteraan. Hal ini terkait dengan fungsi Pura Batukaru sebagai
Pura kesejahteraan terutama terhadap kelestarian lingkungan hidup. Poin inilah yang
menjadikan bangunan suci itu disebut sebagai pura kesejahteraan. Bagi masyarakat Hindu
Bali, pura selain berfungsi sebagai pusat pemujaan terhadap Tuhan, juga menjadi tempat
memuja roh leluhur. Pura biasanya dibangun di gunung-gunung atau tempat sumber daya
alam lainnya. Di tempat suci ini terwujud keseimbangan hubungan antara manusia – alam –
Tuhan yang harmonis dan berkelanjutan. Demikian pula dengan Pura Luhur Batukaru yang
termasuk sebagai Sad Kahyangan atau Kahyangan Jagad dibangun di kaki gunung Batukaru.
Jadi nama pura ini berasal dari nama gunung Batukaru, dan kata Luhur pada Pura Luhur
Batukaru , dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pura ini terletak di dataran tinggi . Oleh
karena itu Tuhan atau Hyang Mahadewa yang bersemayam di pura itu disebut sebagai Dewa
Gunung. Atau kata itu dipakai sebagai tanda kehormatan terhadap ketinggian nilai dari pura
tersebut ( I Gusti Gede Ardana,op.cit.,: 1-3 ).
Dalam kehidupan keagamaan , masyarakat Hindu di Bali memiliki tanggung jawab
untuk melaksanakan upacara, memelihara pura, dan melakukan penghormatan serta
pemujaan terhadap roh leluhur. Dasar filosofisnya adalah kepercayaan bahwa tanah adalah
milik Tuhan. Terkait dengan adanya sebutan Dewa Gunung, terdapat kemungkinan bahwa itu
merupakan suatu kepercayaan yang berkembang sejak masa pra sejarah, yang menganggap
8

bahwa roh leluhur bermukim di puncak gunung dan menyatu dengan spirit gunung tersebut (
DR.R.Goris, 2012 : ix ). Jadi roh leluhur yang sudah menjadi Dewa yang menjadi subyek
pemujaan bagi masyarakat, disebut sebagai Dewa Gunung.
Kepercayaan pada masa pra sejarah terutama peninggalan dari tradisi megalithik,yang
berpangkal pada pemujaan roh leluhur, dijumpai di pura-pura di Bali yakni berupa menhir
dan arca yang bercorak megalithik. Beberapa menhir dan onggokan batu di halaman dalam /
jero Pura Luhur Batukaru , yang disebut sebagai Palinggih Kampuh menjadi media
pemujaan roh suci golongan kubayan/kebayan yang dianggap berjasa bagi masyarakat
setempat , sehingga memiliki nilai sakral bagi masyarakat setempat guna memohon
perlindungan , keselamatan dan kesejahteraan. Segala bidang kehidupan masyarakat berpusat
kepada penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang atau pemimpin yang disegani.
Masyarakat percaya bahwa arwah leluhur itu tinggaldi puncak gunung atau bukit dan
memiliki kekuatan gaib yang dapat menolak bahaya serta memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat. Agar kesejahteraan masyarakat selalu terpelihara dengan baik, maka hubungan
dengan arwah perlu dijaga dengan baik. Bangunan suci padma yang ada di Pura Luhur
Batukaru sekarang, dulunya sebagian besar berupa onggokan batu. Gunung tidak saja
dipercaya sebagai tempat arwah para leluhur, tetapi juga sebagai sesuatu yang menyimpan
kekuatan alam yang terkadang bisa membawa bencana, namun di sisi lain memberikan
kemakmuran dan kesuburan .Gunung bisa memberikan kesuburan , karena gunung
merupakan tempat asal air sungai yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan
machluk lainnya. Kepercayaan kepada kekuatan yang ada pada gunung yang sangat
berpengaruh pada saat meluasnya agama Hindu di Bali, menjadi alasan kuat mengapa Pura
Luhur Batukaru dibangun di lereng gunung Batukaru. Jadi pendirian Pura Luhur Batukaru
sangat dilatarbelakangi oleh konsepsi kepercayaan kepada roh leluhur yang menyatu dengan
kekuatan alam atau kekuatan gunung ( I Gusti Gede Ardana, op.cit : 32-34 ). Konsepsi yang
dibangun dari unsur – unsur keyakinan terhadap roh leluhur dan kekuatan alam/gunung,
sebagai daya untuk mendatangkan kesejahteraan manusia, mempermudah atau membantu
dalam mengidentifikasi dan memahami dinamika Pura Luhur Batukaru dalam sejarah dan
fungsinya. Dengan demikian konsep-konsep tersebut dapat membantu memudahkan dalam
memecahkan permasalahan, dan pada gilirannya dengan konsep memungkinkan dilakukan
eksplanasi ( Helius Sjamsuddin, 1996 : 36-37 ), yakni menjelaskan atau menjawab beberapa
pertanyaan sekitar Pura Luhur Batukaru sebagai Pura Pemujaan Roh Leluhur, Dewa Gunung
dan Konsep Kesejahteraan.
9

Bagi umat Hindu, Pura Luhur Batukaru memiliki makna penting karena bukti
peninggalan sejarah ini menjadi pusat pemujaan bagi masyarakat Bali, terhadap Tuhan
sebagai Hyang Mahadewa atau Hyang Tumuwuh atau Ratu Hyang Tumuwuh. Disebut
demikian karena Tuhan berfungsi sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
dengan mempergunakan air secara benar. Jadi sebutan Ratu Hyang Tumuwuh mengacu
kepada arti Tuhan sebagai yang menumbuhkan dan menjadi sumber yang mempertemukan
air dengan tanah, sehingga muncul kekuatan untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Zat
hijau daun yang mengandung klorofil bisa menyelamatkan hidup manusia. Pemujaan Tuhan
di Pura Luhur Batukaru dianggap sebagai media untuk membangun daya spiritual dalam
memupuk mentalitas agar secara bersungguh-sungguh menjaga kesuburan tanah dan sumber-
sumber air. Sumber air yang terjaga akan membawa pada kesuburan tanah, dan itu akan
menyuburkan tumbuh-tumbuhan yang akan terus berlanjut kesuburannya, jika tidak terjadi
pencemaran udara. Udara yang tercemar dapat menimbulkan hujan asam yang merusak
pucuk tumbuh-tumbuhan. Apabila tanah subur dan tumbuh-tumbuhan bisa berkembang
dengan baik, maka manusia yang memanfaatkan hasil tumbuh-tumbuhan itu , akan
berkembang kehidupannya dengan kesejahteraannya. Alasan inilah yang menjadi nilai
penting dibalik pemujaan terhadap Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru ( I Ketut
Gobyah, 2007 ).
Tuhan sebagai Dewa Mahadewa mendapat gelar sebagai Ratu Hyang Tumuwuh, karena
fungsi dan kemampuannya untuk menjaga keterpaduan air , udara dan tumbuh-tumbuhan di
bumi . Unsur-unsur alam itu akan mencapai sinergi dalam menjalankan fungsinya untuk
menyejahterakan manusia di bumi, dengan tuntunan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh,
karena Tuhanlah sebagai mahapencipta semua unsur alam tersebut. Sebutan Tuhan sebagai
Sang Hyang Tumuwuh memang merupakan nama lokal Bali, tetapi dibaliknya terdapat nilai-
nilai universal yang mengandung etika perlakuan terhadap sumber-sumber alam ciptaan
Tuhan tersebut. Jika udara kotor, sumber-sumber air tak terlindungi maka tumbuh-tumbuhan
juga akan merana. Kalau tumbuh-tumbuhan merana , maka hidup manusia juga akan
menderita karena kekurangan bahan makanan dan obat-obatan ( Wiana, 2007 ).

Penutup

Suatu hal yang sangat menarik bahwa ternyata masyarakat Bali memiliki sebuah pura
yang khusus untuk memuja dewa kesejahteraan, yakni Dewa Mahadewa yang diberi gelar
Ratu Hyang Tumuwuh. Dewa ini bertugas menjaga keterpaduan air, udara dan tumbuh-
10

tumbuhan di bumi ini. Agar unsur-unsur alam semesta itu bisa terpadu, maka manusia harus
memohon kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa kesejahteraan. Sekaligus pula
menjaga sumber-sumber alam ciptaan Tuhan agar tercapai kelestarian lingkungan hidup yang
aman dan tercapai kesejahteraan hidup , khususnya bagi masyarakat Hindu Bali.

Daftar Pustaka

Ardana,I Gusti Gede., dkk. 1994. Pura Luhur Batukaru. Denpasar: Dinas Kebudayaan
Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Anonim. 2013. “ Pura Luhur Batukaru-Tempat Stana Dewa Mahadewa atau Hyang
Tumuwuh”. http://google.com/19 Januari 2013.

Arya, I Wayan. 2003. Tutur Indik Kubayan Wongaya Gede . Tidak diterbitkan.

Gobyah, I Ketut. 2007. http://w.w.w.balipost.co.id/balipostcetak/2007/12/12/bd2.htm.


_____________. 2013. “Sanghyang Tumuwuh di Pura Batukaru”.
http://w.w.w.balipost.co.id/19 Januari 2013.

Goris, R. 2012. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan Di Bali. Terjemahan oleh Sunaryono
Basuki Ks. Denpasar ; Udayana University Press.

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Soebandi, Ktut. 1983. Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali. Denpasar ; C.V Kayumas
Agung.

Subhiksu, Ida Bagus Kade, dkk. 2006. Purana Pura Luhur Batukaru, Teks Dan Terjemahan.
Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali

Wiana. 2007. “Melindungi “Tri Chandra” di Pura Luhur Batukaru”.


http://w.w.w..balipost.co.id/balipostcetak/2007/12/12bd1.htm
11

Wiguna,I Gusti Ngurah Tara. 1991. “Peranan Kepurbakalaan dalam Kehidupan Beragama di
Pura Luwur Batu Karu”. Temple Festival in Bali. Research and Exchange Program of
Osaka University with the South Pacific Region. h. 55-71.

Anda mungkin juga menyukai