Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH HUKUM KETENAGAKERJAAN

ANALISIS PEKERJA HARIAN LEPAS (PHL)


DI INDONESIA
Tugas Hukum Ketenagakerjaan

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Dr. I Made Sarjana,SH.MH

Disusun Oleh:
Ni Ketut Devi Damayanti 2004551085
Pande Made Vania Bernika Krisna 2004551086
Santa Maria Hutapea 2004551087
Kadek Sandra Putri Saniamarani 2004551088
Ni Putu Arista Ratna Dewi 2004551089

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 1
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 2
1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................................................................. 2

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................ 3

1.3 Tujuan Makalah ................................................................................................................... 3

BAB 2 PEMBAHASAN ........................................................................................................... 4


2.1. Definisi daripada Pekerja Harian Lepas. .................................................................................. 4

2.2. Ketentuan Perjanjian Kerja dalam Pekerja Harian Lepas. .................................................. 5

2.3. Pengaturan Secara Yuridis Terhadap Pekerja Harian Lepas .............................................. 6

2.4. Komparasi Daripada Pekerja Harian Lepas dengan Outsourcing ...................................... 9

2.5. Perlindungan Secara Yuridis Pekerja Harian Lepas ......................................................... 10

2.6. Penanggulangan Hambatan Dalam Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Pekerja Harian


Lepas ........................................................................................................................................ 14

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 24


3.1. Kesimpulan ....................................................................................................................... 20

3.2. Saran ................................................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 23

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pekerja dan Buruh di Indonesia merupakan komponen yang sangat penting untuk ada di
Indonesia. Pekerja memiliki posisi yang sangat unik di masyarakat tanpa adanya pekerja ini
tidak akan berjalannya kegiatan produksi, tidak akan ada pihak yang menjalankan bahkan tidak
adanya bentuk pengaturan secara komprehensif dalam manajemen lebih lanjut dengan
hubungan subordinatif secara langsung menegaskan bahwa pekerja sendiri sebagai pelaku dan
tujuan pembangunan di Indonesia. Tanpa pekerja pembangunan nasional tidak akan terjadi
sehingga terhambatnya faktor terpenting dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu untuk menjaga
daripada kepentingan tersebut, maka sangat penting untuk memberikan regulasi yang
dimaktubkan dalam hukum guna melindungi daripada kepentingan pekerja termasuk pihak-
pihak yang akan berhubungan dalam perancangan perjanjian kerjanya demi menciptakan
keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan hukum.

Pekerja harian berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia


dapat dibagi menjadi tiga dengan salah satunya adalah Pekerja Harian Lepas atau PHL. Dimana
dalam pengertiannya PHL ini disebut pula sebagai pekerja yang mengerjakan pekerjaan yang
sifatnya tidak terus menerus tetapi bersifat musiman1. Mempekerjakan dan Menjadi Pekerja
Harian Lepas tidaklah dapat dilakukan sembarangan perlakuan kepada pekerja haruslah
mengutamakan pedoman sebagaimana telah ditetapkan pada Ius Constitutum yang berlaku, tak
lain dan tak bukan bertujuan untuk melindungi pekerja dari segi pemenuhan Hak Asasi
Manusia baik dari Pekerja Harian Lepas sendiri dan pihak yang mempekerjakan mereka. Demi
terbentuknya Ius Constituendum yang membawa semangat progesifitas hukum untuk membuat
hukum menjadi lebih kuat dan lebih baik. Maka dari itu penting untuk analisis daripada Pekerja
Harian Lepas sebagai salah satu komponen penting untuk meningkatkan kesejahteraan yang
ada terutama di Indonesia.

1
Djumadi, 2004, Hukum Perburuhan, Perjanjian Kerja, Jakarta: Grafindo Persada, Hal. 23.
2
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa Definisi daripada Pekerja Harian Lepas?
1.2.2. Bagaimana Ketentuan Perjanjian Kerja dalam Pekerja Harian Lepas?
1.2.3. Bagaimana Pengaturan Secara Yuridis Terhadap Pekerja Harian Lepas?
1.2.4. Bagaimana Komparasi Daripada Pekerja Harian Lepas dengan Outsourcing?
1.2.5. Bagaimana Perlindungan Secara Yuridis Pekerja Harian Lepas?
1.2.6. Bagaimana Penanggulangan Hambatan dalam Pelaksanaan Perlindungan Hukum
Terhadap Pekerja Harian Lepas?

1.3. Tujuan Makalah


1.3.1. Untuk Memahami Definisi daripada Pekerja Harian Lepas.
1.3.2. Untuk Memahami Ketentuan Perjanjian Kerja dalam Pekerja Harian Lepas.
1.3.3. Untuk Meganalisis Pengaturan Secara Yuridis Terhadap Pekerja Harian Lepas.
1.3.4. Untuk Menganalisis Komparasi Daripada Pekerja Harian Lepas dengan Outsourcing.
1.3.5. Untuk Memahami Perlindungan Secara Yuridis Pekerja Harian Lepas.
1.3.6. Untuk Memahami Cara Penanggulangan Hambatan dalam Pelaksanaan Perlindungan
Hukum Terhadap Pekerja Harian Lepas.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Daripada Pekerja Harian Lepas (HPL)

Pekerja Harian Lepas adalah pekerja yang dipekerjaan untuk pekerjaan tertentu yang
berubah-ubah dalam hal waktu dan pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran 2 atau
dengan kata lain Pekerja Harian Lepas Dapat diartikan sebagai pekerja yang bekerja pada suatu
perusahaan dimana waktu dari pekerjaan mereka tidak ditentukan secara pasti. Bentuk dari
perjanjian yang diberikan setiap perusahaan kepada pekerja harian lepas adalah perjanjian
secara lisan. Untuk pekerjaan yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta
upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian ini sebagai salah satu
bentuk terpendek dari perjanjian kerja waktu tertentu. Hubungan kerja dengan membuat
perjanjian ini dapat dilakukan dengan ketentuan, pekerja bekerja kurang dari 21 (dua puluh
satu) hari dalam 1 (satu) bulan. Apabila pekerja telah bekerja selama 21 (dua puluh satu) hari
atau lebih, selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas
harus berubah menjadi perjanjian kerja waktu tertentu. 3

Disebut sebagai Pekerja Harian Lepas karena yang bersangkutan tidak ada kewajiban untuk
masuk kerja dan tidak mempunyai hak yang sama seperti pekerja tetap. Umumnya Pekerja
Harian Lepas adalah pekerja yang mengerjakan pekerjaan yang sifatnya tidak terus menerus
tetapi bersifat musiman. Ditinjau dari sudut pengusaha, adanya Pekerja Harian Lepas akan
menguntungkan karena pengusaha dapat mengkonsentrasikan pemikirannya untuk menangani
bisnisnya sedangkan pekerjaan-pekerjaan penunjang dapat diserahkan kepada tenaga kerja dari
luar sehingga perusahaan tidak terbebani biaya tenaga kerja lainnya. Dengan demikian
pengusaha tidak perlu memiliki organisasi yang besar dengan jumlah tenaga kerja yang banyak.
Demikian juga permasalahan ketenagakerjaan dapat dieliminir dengan adanya perusahaan lain
yang menangani pekerjaan penunjang, dimana hubungan kerja pekerja langsung ditangani
pemborong atau penyedia jasa tenaga kerja. Sementara ditinjau dari segi kepentingan pekerja,
adanya pekerja harian lepas (PHL) membutuhkan adanya ketegasan hubungan kerja yang jelas

2
Erizka Permatasari, S.H., Ini Bedanya Pekerja Harian Lepas dengan Pekerja Bulanan, diakses dari
https://www.hukumonline.com/ pada 24 November 2021 pukul 15.40 WITA.
3
Siti Nur Abidah, http://repository.ump.ac.id/4588/3/SUFI%20NUR%20ABIDAH%20BAB%20II.pdf pada 24
November 2021 pukul 15. 55 WITA.

4
sehingga pemenuhan hak-hak pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan jelas penanggungjawabnya. Untuk itu pekerja harus diikat dengan perjanjian
kerja dengan perusahaan yang memperkerjakannya. 4

2.2. Ketentuan Perjanjian Kerja dalam Pekerja Harian Lepas

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai ketentuan perjanjian kerja harian lepas, adapun
yang harus dipahami terlebih dahulu yaitu mengenai hubungan kerja antara pekerja dan
pemberi kerja beserta akibat hukumnya diatur di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UUK) beserta peraturan pelaksanaannya. Di dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan, dikenal dengan dua bentuk perjanjian kerja yaitu Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu atau disingkat dengan PKWTT dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau dapat
disingkat dengan PKWT, sebagaimana disebutkan dan diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) UUK.
Lebih lanjut, menurut Pasal 56 ayat (2) UUK, pelaksanaan PKWT didasarkan pada jangka
waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu. sebagaimana disebutkan dan diatur di dalam
Pasal 56 ayat (1) UUK. Lebih lanjut, menurut Pasal 56 ayat (2) UUK, pelaksanaan PKWT
didasarkan pada jangka waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu. Ketentuan mengenai
PKWT diatur di dalam UUK dari Pasal 56 s.d Pasal 59, yang mana di bagian akhir dari Pasal
59 yaitu pada ayat (8) disebutkan bahwa: “Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini
akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri”5. Ketentuan inilah yang kemudian
mendasari terbitnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor Kep-100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (KEPMEN No. 100 Tahun 2004). KEPMEN No. 100 Tahun 2004 tersebut
merupakan peraturan pelaksanaan dari UUK mengenai PKWT, yang di dalamnya mengatur
juga mengenai Perjanjian Kerja Harian Lepas. Dengan demikian, Perjanjian Kerja Harian
Lepas menurut KEPMEN ini merupakan bagian dari PKWT sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 10 s.d. Pasal 12 KEPMEN No. 100 Tahun 2004. Namun demikian, Perjanjian Kerja
Harian Lepas ini mengecualikan beberapa ketentuan umum PKWT, yang mana dalam
Perjanjian Kerja Harian Lepas dimuat beberapa syarat antara lain :6

4
Diakses dari, http://eprints.ums.ac.id/38834/4/BAB%20I.pdf pada 24 November 2021 pukul 15.55
5
Heri Aryanto, S.H., Aturan Tentang Pekerja Harian Lepas, diakses dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51d291d7a6680/aturan-tentang-pekerja-harian-lepas/ pada
24 November 2021 pukul 15:40
6
Ibid
5
a. Perjanjian Kerja Harian Lepas dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang
berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada
kehadiran

b. Perjanjian kerja harian lepas dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang
dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan

c. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi
PKWTT.7

Dalam hal kontrak kerja, pengusaha wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara
tertulis, yang dapat dibuat berupa daftar pekerja yang melakukan pekerjaan, dan sekurang-
kurangnya memuat :

a. Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja;

b. Nama/alamat pekerja/buruh;

c. Jenis pekerjaan yang dilakukan;

d. Besarnya upah dan/imbalan lainnya.

Yang mana daftar pekerja tersebut nantinya disampaikan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak
mempekerjakan pekerja harian lepas.8

2.3. Pengaturan Secara Yuridis Terhadap Pekerja Harian Lepas

Pengaturan secara yuridis daripada Pekerja Haria Lepas tidak hanya menyangkut
pengertian daripada Pekerjaan Harian Lepas, tetapi termasuk pula dengan pemenuhan hak
daripada Pekerja Harian Lepas yaitu upah.

1) Landasan Yuridis Pengertian Pekerja Harian Lepas

Aturan tentang tenaga kerja harian lepas ada dalam Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun
2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasal 10 yaitu9:

7
Ibid
8
Ibid
9
Perlindungan hukum terhadap Pekerja Harian Lepas, 2017. Sufi Nur Abida, Fakultas Hukum UMP. Hlm 42-
43.

6
a. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah daam hal waktu dan volume
pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian
kerja harian atau lepas.
b. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu)
bulan.
c. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi
PKWTT.

Ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diatur dalam Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 yang mana
dibagian akhir dari Pasal 59 yakni pada ayat (8) disebutkan bahwa: “Hal-hal lain yang belum
diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri”. Ketentuan inilah
yang mendasari terbitnya Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Selanjutnya terkait dengan hak mendapatkan jaminan sosial bagi semua pekerja/buruh
termasuk pekerja harian lepas diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dimana terkait tentang ketenagakerjaan ada dalam Pasal
15 yang menyebutkan bahwa:

a. Pemberi kerja bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai Peserta
kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.
b. Pemberi kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya secara
lengkap dan benar kepada BPJS.
c. Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

2) Landasan Yuridis Pengupahan Pekerjaan Harian Lepas

Dasar hukum pengupahan Pekerja Harian Lepas (HPL) terdapat pada Bab III pasal 3
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1954 Tentang Pekerja Pemerintah.
Pengupahan HPL ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan, termasuk pula
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wali Kota Jakarta Raya, setelah mendengar pendapat
sebuah panitia setempat yang dibentuk menurut petunjuk Perdana Menteri c.q. Kepala Kantor

7
Urusan Pegawai. Penetapan besarnya upah harian berlaku setelah mendapat persetujuan
Kepala Kantor Urusan Pegawai dan Menteri Keuangan. Pengecualiannya untuk beberapa
pekerja yang pekerjaannya mempunyai sifat khusus, upah harian ditetapkan atas dasar bekerja
7 jam dalam satu hari atau 40 jam dalam satu minggu. Yang dimaksudkan dengan satu minggu
ialah 7 hari berturut-turut.

Isi Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1954 Tentang
Pekerja Pemerintah yaitu sebagai berikut10:

(1) Besarnya upah harian dipelbagai tempat dalam tiap-tiap propinsi ditetapkan oleh
Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan, termasuk pula Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Wali Kota Jakarta Raya, setelah mendengar pendapat sebuah panitia
setempat yang dibentuk menurut petunjuk Perdana Menteri c.q. Kepala Kantor Urusan
Pegawai. Penetapan besarnya upah termasuk/kalimat pertama tersebut berlaku setelah
mendapat persetujuan Kepala Kantor Urusan Pegawai dan Menteri Keuangan.
(2) Kecuali untuk beberapa pekerja yang pekerjaannya mempunyai sifat khusus, upah
harian ditetapkan atas dasar bekerja 7 jam dalam satu hari atau 40 jam dalam satu
minggu. Yang dimaksudkan dengan satu minggu ialah 7 hari berturut-turut.

Selain itu, sesuai dengan Pasal 10 ayat 1 Kepmen No.100 Tahun 2004, sistem upah untuk
perjanjian kerja harian lepas didasarkan pada kehadiran, besarnya perhitungan upah yang
didapat pekerja biasanya tergantung pada jumlah atau volume pekerjaan yang telah
diselesaikan oleh pekerja dalam satu hari11.

Terkait dengan upah minimum freelance tertuang dalam Pasal 19 Permenaker 15/201812:

Upah freelance ditetapkan secara bulanan yang dibayarkan berdasarkan jumlah hari kehadiran
dengan perhitungan upah sehari:

1) Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 hari dalam seminggu, upah bulanan
dibagi 25 (dua puluh lima);
2) Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 hari dalam seminggu, upah bulanan
dibagi 21 (dua puluh satu);

10
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1954 Tentang Pekerja Pemerintah
11
Hukumonline.com, “ini bedanya pekerja harian lepas dengan pekerja bulanan”
12
Ibid
8
2.4. Komparasi Daripada Pekerja Harian Lepas dengan Outsourcing

Perbedaan antara Pekerja Harian Lepas dengan Outsourcing antara lain sebagai berikut:

1. Pengertian

Pekerja harian lepas (Freelancer) adalah pekerja yang dipekerjaan untuk pekerjaan tertentu
yang berubah-ubah dalam hal waktu dan pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran 13.
Sedangkan Alih Daya (Outsourcing) adalah tenaga kerja yang direkrut oleh perusahaan melalui
pihak ketiga. Outsourcing dalam arti lain, adalah upaya mengalihkan atau pemberian pekerjaan
dari pihak ketiga kepada pihak pertama.14

2. Lama kerja

Pekerja dengan perjanjian kerja harian lepas bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.
Jika pekerja bekerja 21 hari atau lebih selama bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian
kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.15 Sedangkan Pegawai Outsourcing memiliki
masa kerja yang berbeda-beda tergantung kepada kontraknya. Jika pegawai outsourcing diikat
dengan kontrak PKWT, maka, masa bekerja yang harus pegawai lalui ialah antara tiga bulan
hingga tiga tahun tergantung kontrak yang diberikan.

3. Perjanjian Kerja

Perjanjian Kerja Harian Lepas atau PKHL merupakan pernjanjian yang termasuk dalam
PKWT.16 Pengusaha wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis, yang dapat
dibuat berupa daftar pekerja yang melakukan pekerjaan, dan sekurang-kurangnya memuat:17

• Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja;

• Nama/alamat pekerja/buruh;

• Jenis pekerjaan yang dilakukan;

• Besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.

Sedangkan Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan perjanjian
pemborongan sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong

13
Bplawyers.co.id. “Perbedaan pekerja bulanan dengan pekerja harian lepas”
14
Hukumonline.com. “Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja”
15
Hukumonline.com, “ini bedanya pekerja harian lepas dengan pekerja bulanan”
16
Ibid
17
workmate.asia.id.blog.kontrak-kerja-di-indonesia-pkwt-pkwtt-pkhl
9
mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan
mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborongan dengan bayaran
tertentu.18

2.5. Perlindungan Secara Yuridis Pekerja Harian Lepas.

Dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Berdasarkan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 maka untuk menjaga keseimbangan dalam
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah telah mengadakan peraturan-
peraturan yang bertujuan melindungi pihak yang lemah yaitu ketenagakerjaan. Menurut Prof.
Iman Soepomo, hukum ketenagakerjaan adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis
maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang
lain dengan menerima upah.19

Jaminan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh diatur dalam UndangUndang No. 13


Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, sebagai berikut:

1. Penyandang Cacat

Didalam masalah perlindungan terhadap pekerja/buruh, yang perlu diperhatikan secara


tersendiri adalah penyandang cacat. Di dalam Pasal 67 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
mengatur soal penyandang cacat yang intinya bahwa pengusaha dapat memberikan pekerjaan
penyandang cacat dengan memperhatikan atau mematuhi aturan sebagai berikut :

1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan


perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

2) Pemberian perlindungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-


undangan.

2. Pekerja Anak

Bagi pekerja anak diatur dalam Pasal 68, 69 dan 72 Undang-Undang No.13 Tahun 2003
yang menyatakan bahwa:

18
Lutfhichakim.com. “sistem perjanjian kerja outsourcing”
19
Ariani Endah Nuryanti. 2006. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Harian Lepas di UD Berkah Sedulur
Desa Tanjungsari Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang <http://lib.unnes.ac.id/2353/1/1515.pdf>. Diakses
Pada 26 November 08.13 WITA. Hal 12.
10
1) Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68 Undang-Undang No.13 Tahun
2003).

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak


yang berumur antara 13 tahun sampai 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial
(Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

3) Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka


tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekrja/buruh dewasa (Pasal
72 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

3. Pekerja/buruh Perempuan

Mengenai pekerja/buruh perempuan diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang No. 13 Tahun


2003, sebagai berikut:20

1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan


antara pukul 23.00 sampai 07.00.

2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut


keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai 07.00.

3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00


sampai 07.00 wajib:

a) Memberikan makanan dan minuman bergizi;

b) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh


perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai pukul
05.00.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
keputusan menteri.

20
Ibid. Hal 14.
11
4. Waktu Kerja

Didalam aturan tentang ketenagakerjaan maka waktu kerja merupakan masalah penting
karena disini terletak memuat tentang efisiensi kerja maupun kemampuan tenaga kerja. Oleh
karena itu, setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan kerja sebagaimana dirumuskan
oleh Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang memberikan rincian waktu
kerja meliputi:

1) 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu;

2) 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. 21

Apabila pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja harus membayar


atas lembur, maka wajib bagi pengusaha memiliki persetujuan dari pekerja/buruh dan waktu
lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam waktu 1 hari dan 14 jam dalam waktu
1 minggu. Disamping membayar uang lembur, maka pengusaha wajib memberikan waktu
istirahat kepada pekerja/buruh. Waktu istirahat sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 79
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 “Pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti
kepada pekerja/buruh.”

Pelaksanan hak pekerja/buruh tentang waktu istirahat dan cuti biasanya diatur dalam
perjanjian kerja bersama (Pasal 79 ayat (3), (4), dan (5) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Hak lain yang perlu diperhatikan adalah hak untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh
agamanya. Bagi pekerja/buruh perempuan ada hak-hak yang meliputi sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 81, 82, 83 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Didalam Undang-
Undang Ketenegakerjaan mengerjakan suatu pekerjaan adalah tidak semestinya dan
pekerja/buruh berhak menolak karena didalam hari-hari libur pekerja/buruh tidak wajib
bekerja, yang dirumuskan dalam Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
“Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi”. Jika pengusaha terpaksa harus
mengerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi karena suatu kepentingan pekerjaan harus
dilaksanakan secara terus-menerus atau keadaan karena kesepakatan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh maka bekerja pada hari libur harus dibayar sesuai dengan aturan pembayaran
lembur upah kerja. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang No.13 Tahun
2003 “Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari resmi
apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-

21
Ibid. Hal. 15.
12
menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha”.

Bentuk lain dari perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dinyatakan dalam :22

A. Undang-Undang No. 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK).

Jamsostek adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang
sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai
akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua
dan meninggal dunia (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 3Tahun 1992). Ruang lingkup
program jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 6 Undang-Undang No. 3 tahun 1992) yaitu :

1) Jaminan kecelakaan kerja: Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja


merupakan resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk
menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan
oleh kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka
perlu adanya jaminan kecelakaan kerja.

2) Jaminan kematian: Pekerja/buruh yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja tidak
mengakibatkan terputusnya penghasilan dan sangat berpengaruh pada kehidupan
sosial ekonomi bagi keluarga yag ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan jaminan
kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya
pemakaman maupun santunan berupa uang.

3) Jaminan hari tua: Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak lagi
mampu bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi
pekerja/buruh terutama bagi yang berpenghasilan rendah. Jaminan hari tua
memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayar sekaligus atau secara
bertahap.

4) Jaminan pemeliharaan kesehatan: Pemeliharaan kesehatan untuk meningkatkan


produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan
upaya kesehatan dibidang penyembuhan. Upaya penyembuhan memerlukan dana
yang tidak sedikit jika dibebankan kepada perseorangan, maka penanggulangan
diupayakan melalui Program Jamsostek. Pengusaha berkewajiban pemeliharaan

22
Ibid. Hal. 17.
13
kesehatan tenaga kerja yang meliputi upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan
dan pemulihan. Jaminan pemeliharaan kesehatan juga untuk keluarga yang
bersangkutan.

B. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 39 tahun 1999, menerangkan bahwa :

1) Setiap warga negara sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas
pekerjaan yang layak;

2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak
pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil;

3) Setiap orang baik pria maupun per yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding,
setara atau serupa berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.

4) Setiap orang, baik pria maupun perempuan yang melakukan pekerjaan yang sepadan
dengan martabat kemanusiannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan
prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.

Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 bahwa setiap orang mempunyai
hak untuk bebas memilih pekerjaan sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuannya dan
berhak atas syarat kerja serta upah yang adil tanpa adanya diskriminasi.23

2.6. Penanggulangan Hambatan dalam Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap


Pekerja Harian Lepas

Pekerja harian lepas adalah pekerja yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian atau
lepas dan merupakan jenis perjanjian kerja yang penggunaannya legal dan diatur undang-
undang sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan syarat kerja tertentu,
termasuk dengan manfaat dan tunjangan.24 Namun meski telah dipayungi dengan ketentuan
yang sedemikian rupa dalam undang-undang, dalam praktiknya masih terdapat beberapa isu
yang sering kali ditemukan dalam penggunaan pekerja harian lepas. Beberapa isu tersebut
diantaranya; pekerja harian lepas tidak mendapat upah minimum, pekerja harian lepas tidak
mendapat jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, pekerja harian lepas tidak disediakan alat

23
Ibid. Hal. 19.
24
Earthworm, “Tata Cara Penggunaan Sistem Pekerja Harian Lepas di Perusahaan Kelapa Sawit”
<file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Tatacara-Penggunaan-Pekerja-Harian-Lepas.pdf> diakses pada 27
November 2021. Hal. 18.
14
kerja dan alat pelindung diri secara gratis, dan berbagai isu lainnya. Isu tersebut dapat terjadi
karena adanya berbagai hambatan dalam pelaksanaan perlindungan hukum, yang mana
membuat hak-hak dan perlindungan terhadap pekerja harian lepas tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Hambatan-hambatan tersebut dapat timbul baik dari pekerja harian lepas, pengusaha,
dan pemerintah sebagai berikut.

1. Pihak Pekerja Harian Lepas

Hambatan-hambatan yang timbul dari pihak pekerja harian lepas yaitu:

a. Rendahnya Pendidikan

Pendidikan baik formal maupun informal memiliki tujuan untuk membantu manusia untuk
berpikir dan cara pandang orang dewasa yang memiliki bobot atau nilai yang lebih baik
daripada orang yang masih anak-anak.25 Setiap pekerjaan tentunya memiliki kesulitannya
tersendiri, sehingga menuntut pekerja untuk dibekali pendidikan baik formal maupun informal,
serta keterampilan khusus. Pekerja harian lepas sendiri memiliki kekurangan dalam menggeluti
suatu pekerjaannya melalui pendidikan atau pelatihan tertentu, sehingga mereka rata-rata
memiliki cara berpikir dan cara pandang yang masih lemah. Pekerja/buruh lebih suka pasrah
dan menerima segala kebijakan yang telah ditetapkan oleh pegusaha.26 Kekurangan tersebut
kemudian menjadi keuntungan bagi pihak pengusaha, karena mereka dapat memanfaatkan
tenaga kerja/buruh sesuai dengan aturan yang dapat menguntungkan perusahaan.

b. Tidak Memiliki Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Pekerja/buruh memiliki kedudukan serta pengaruh yang lemah dalam sebuah perusahaan,
sehingga ia memerlukan wadah untuk melindungi dan mengorganisir hak-haknya sebagai
pekerja. Wadah tersebut kemudian disebut sebagai Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Serikat
pekerja/buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. 27 Dengan
adanya serikat pekerja, pekerja dapat mengadukan setiap masalah dan ketidakadilan yang

25
Ariani Endah Nuryanti, “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Harian Lepas di UD Berkah Sedulur Desa
Tanjungsari Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang” (Skripsi, Universitas Negeri Semarang 2006), hlm. 66.
26
Ibid., hlm. 67.
27
Gabriela Chatrin Simanjuntak, “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Harian Lepas” (Skripsi, Universitas
Sumatera Utara 2019), hlm. 95.
15
mereka dapatkan, baik berkaitan dengan upah, jaminan sosial tenaga kerja, ataupun
kesejahteraan mereka secara umum. Tidak adanya serikat pekerja mengakibatkan kesulitan
bagi tenaga kerja untuk melakukan penuntutan apabila hak-haknya dikesampingkan, karena
secara politis pekerja tidak memiliki kekuatan hukum dalam hal penuntutan.

c. Tidak Ikut dalam Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Pandangan pekerja/buruh yang lemah mengakibatkan kurangnya pemahaman akan


pentingnya perlindungan terhadap diri saat melakukan pekerjaan, seperti sakit, kecelakaan
kerja, meninggal dunia, dan lain sebagainya. Jaminan Sosial Tenaga Kerja sendiri merupakan
perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian
dari penghasilan yang hilang atau berkurang sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
dialami oleh pekerja/buruh.28 Keikutsertaan dalam Jamsostek sendiri sudah diatur dalam Pasal
99 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh dan
keluarganya berhak untuk memperoleh Jamsostek. Lemahnya pengetahuan dan ketidaktaatan
perusahaan dalam mendaftarkan pekerjanya dalam Jamsostek semakin menjauhkan pekerja
dari arti pentingnya Jamsostek.

2. Pihak Pengusaha

Hambatan-hambatan yang timbul dari pihak pengusaha:

a. Kurangnya Kesadaran dari Pihak Pengusaha

Pengusaha tentunya menjadikan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya sebagai fokus


utama dalam melakukan usaha. Hal tersebut hanya dapat dicapai dari peran pekerja/buruh,
sehingga pengusaha memiliki tanggung jawab atas pemenuhan kesejahteraan daripada buruh.
Namun disisi lain, apabila pengusaha memenuhi kesejahteraan pekerja/buruh maka
keuntungan yang akan mereka dapatkan akan berkurang. Oleh karena itu, tidak banyak pihak
pengusaha yang memiliki kesadaran tinggi untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan
pekerjanya.

b. Kurangnya Pengetahuan dari Pihak Pemberi Kerja dalam Ketenagakerjaan

Terlepas dari kesadaran pihak pengusaha yang minim dalam mensejahterakan pekerjanya,
ada pula pemberi kerja yang memang tidak tahu menahu bahwa ia memiliki tanggung jawab
untuk memenuhi kebutuhan dari pekerjanya, seperti pemberian Jamsostek dan jaminan kerja

28
Nuryanti, Op. Cit., hlm. 71.
16
lainnya. Birokrasi yang rumit mulai dari pendaftaran, pelaporan, dan besarnya iuran jaminan
kesehatan yang harus dibayarkan semakin menurunkan niat pengusaha untuk memenuhi
kebutuhan pekerjanya.

3. Pihak Pemerintah

Hambatan-hambatan yang timbul dari pihak pemerintah:

a. Kurangnya Pengawasan dari Pemerintah

Perlindungan hukum yang diberikan terhadap pengemudi jika terjadi kecelakaan kerja
adalah melalui jaminan sosial.29 Berkaitan dengan itu, sudah seharusnya pemerintah
melakukan pengawasan dengan diadakannya tertib administrasi, karena hanya dengan tindakan
demikianlah perlindungan bagi pekerja/buruh dapat terjamin.

b. Kurangnya Sosialisasi dari Pemerintah

Pemerintah sendiri juga kurang melakukan sosialisasi baik pada pekerja dan pengusaha
terkait dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus mereka penuhi. Misalkan jaminan
terkait keselamatan pekerja saat bekerja, dan lain sebagainya. Kurangnya sosialisasi dari
pemerintah sendiri dibuktikan dengan banyaknya pekerja yang masih kurang paham akan hal
tersebut dan masih banyaknya pengusaha yang kemudian mengabaikan kewajibannya untuk
memberikan hak pekerja khususnya dalam hal jaminan kesehatan. Sudah seharusnya
pemerintah lebih menggencarkan informasi mengenai pentingnya jaminan kerja dan jaminan-
jaminan lainnya agar pihak terkait sadar akan hak dan kewajibannya masing-masing.
Penyebaran informasi tersebut dapat dilakukan melalui media TV, radio, surat kabar, banner,
dan lain sebagainya.

Terlepas dari berbagai hambatan yang ada, selalu ada solusi yang kemudian membuat hak,
kewajiban, serta kepentingan daripada pekerja, pengusaha, dan pemerintah dapat diakomodir
dengan baik. Oleh karena itu, berikut merupakan cara penyelesaian hambatan-hambatan dalam
pelaksanaan perlindungan hukum bagi pekerja harian lepas.

1. Pihak Pekerja Harian Lepas

a. Meningkatkan Kemampuan Individual

29
Evy Savitri Gani, “Perlindungan Hukum Pekerja Harian Lepas Akibat Kecelakaan Kerja (Studi Pada
Pengemudi Angkutan Kota di Kota Ambon)” (2020) XVI (1), hlm. 66.
17
Peningkatan kemampuan daripada pekerja/buruh dapat diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan-pelatihan. Melalui pendidikan, pekerja/buruh dapat berpikir secara rasional dan
objektif didalam melakukan pekerjaan untuk tidak menghambat jalannya perusahaan. 30
Melalui pelatihan, pekerja/buruh dapat mendapatkan keterampilan dalam mengerjakan suatu
pekerjaan tertentu. Dengan melakukan dua hal tersebut, maka kemampuan daripada pekerja
akan meningkat, sehingga produktifitas dan outputnya terhadap perusahaan akan semakin baik.

b. Memiliki Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Peran penting daripada Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam mengakomodir hak-hak


daripada tenaga kerja menjadikan keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh menjadi krusial.
Pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh harus memiliki rasa tanggungjawab atas kelangsungan
hidup perusahaan dan sebaliknya pengusaha harus memperlakukan pekerja/buruh sebagai
31
mitra, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, keberadaan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dapat menjaga arus pemenuhan hak dan kewajiban dalam sebuah
perusahaan, sehingga kepentingan masing-masing pihak dapat terakomodir dengan baik.

2. Pihak Pengusaha

a. Mempunyai Kesadaran yang Tinggi Terhadap Pekerja Harian Lepas

Pengusaha haruslah menumbuhkan kesadaran bahwasanya pekerja/buruh memiliki hak dan


kewajiban yang harus dihormati, serta kesadaran bahwa meningkatkan kesejahteraan,
kesehatan, dan keselamatan pekerja/buruh merupakan kewajiban pengusaha yang harus
dilaksanakan. Dengan demikian, akan timbul keadaan kerja yang saling menghargai dan
menghormati dalam lingkungan perusahaan.

b. Membekali Diri dengan Pengetahuan Ketenagakerjaan

Pengetahuan akan ketenagakerjaan penting untuk dimiliki oleh pengusaha, karena dalam
suatu perusahaan, ia memegang dan menjamin hajat hidup banyak orang. Oleh karena itu,
pengusaha haruslah membekali diri terlebih dahulu mengenai hak-hak dan kewajiban yang
harus ia penuhi selaku pemberi kerja, agar kemudian tidak timbul perselisihan dalam
perusahaannya.

30
Nuryanti, Op. Cit., hlm. 90.
31
Ibid., hlm. 92.
18
3. Pihak Pemerintah

a. Mengawasi dan Merespons Permasalahan Ketenagakerjaan

Pemerintah sebagai pengayom bagi seluruh pihak dalam masyarakat, terkhusus dalam
ketenagakerjaan, haruslah responsif akan permasalahan-permasalahan yang terjadi antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Dengan menjadi responsif dan menjatuhkan sanksi terhadap
pelanggaraan ketenagakerjaan yang terjadi, maka kedepannya setiap pihak akan berpikir dua
kali untuk memulai perselisihan, baik dengan tidak memenuhi kewajibannya ataupun menjadi
sewenang-wenang. Sikap responsif tersebut juga harus dibarengi dengan pengawasan yang
baik, sehingga dapat dipastikan bahwa setiap pihak sudah memenuhi hak dan kewajibannya
dengan baik.

b. Mengadakan Penyuluhan tentang Ketenagakerjaan

Penyuluhan ketenagakerjaan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian


dan menyampaikan pengetahuan dibidang hubungan industrial dan masalah lainnya. Melalui
sosialisasi/penyuluhan tersebut, maka pengetahuan akan ketenagakerjaan bagi pekerja/buruh
maupun pengusaha akan semakin bertambah dan meluas. Kesadaran yang ditumbuhkan
tersebut akan mendorong berbagai pihak untuk kemudian taat dalam memenuhi kewajiban dan
menuntut hak-haknya.

19
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1.Kesimpulan

Demi kelancaran pembangunan nasional untuk meningkatkan pembangunan manusia


Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada intinya Pekerja Harian Lepas adalah pekerja yang dipekerjaan untuk pekerjaan tertentu
yang berubah-ubah dalam hal waktu dan pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran,
dengan kata lain Dimana terikat dengan perjanjian kerja. Sedangkan pengertian daripada
perjanjian kerja bagi Pekerja Harian Lepas sendiri Perjanjian Kerja Harian Lepas menurut
KEPMEN ini merupakan bagian dari PKWT sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 s.d. Pasal
12 KEPMEN No. 100 Tahun 2004. Akan tetapi dalam penerapannya memiliki beberapa
pengecualian dimana PHL dilaksanakan untuk pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dan
diupah berdasarkan kehadiran, dimana PHL harus bekerja kurang dari 21 haru dalam 1 bulan,
jika ketentuan tersebut dilanggar selama 3 bulan, maka PHL akan menjadi PKWT.

Secara yuridis Pekerja Harian Lepas secara komprehensif sendiri diatur dalam berbagai
landasan yuridis, dimana Keputusan Menteri Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasal 10 yang menjelaskan pengertian daripada
PHL, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari Pasal 56 sampai
dengan Pasal 59 yang mengatur tentang ketentuan PKWT yang berhubungan dengan status
PHL dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi PKWT sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan, Pasal 15 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial tentang hak daripada PHL untuk mendapatkan jaminan sosial, Bab III pasal 3
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1954 Tentang Pekerja Pemerintah
dimana mengatur pengupahan daripada Pekerja Harian Lepas, Pasal 10 ayat 1 Kepmen No.100
Tahun 2004 yang mengatur sistem upah unutk perjanjian kerja harian lepas didasarkan pada
kehadiran, besarnya perhitungan upah yang bergantung pada volume pekerjaan yang telah
diselesaikan oleh pekerja dalam satu hari. Sekilas sangat banyak kekeliruan masyarakat dalam
membedakan Pekerja Harian Lepas dengan outsourcing. Perbedaan tersebut dapat dibedakan
menjadi tiga aspek, mulai dari pengertian, lama kerja, hingga perjanjian kerja. Dalam
pembahasannya antara Pekerja Harian Lepas dan Outsourcing memiliki perbedaan pula dalam

20
pengertia pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ditekankan bahwa Pasal
1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan sehingga
pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk
membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk
memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborongan dengan bayaran tertentu.

Dalam melaksanakan pekerjaannya Pekerja Harian Lepas menyertakan juga perlindungan


yang diberikan yang berlandaskan pada aturan secara yuridis. Pada Pasal 28D ayat (2)
UUDNRI serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 perubahasan atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentan Ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan kepada pekerja
yang menyandang cacat, pekerja anak, dan pekerja perempuan. Selain itu terdapat Undang-
Undang No. 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK), Undang-
Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pelaksanaan Pekerja Harian Lepaspun
dalam praktiknya tidak lepas dari hambatan yang mampu memecah kondusifitas, hambatan-
hambatan tersebut berasal dari berbagai sumber mulai dari pekerja harian itu sendiri, dari pihak
pengusaha, dan dari pihak pemerintah. Akan tetapi secara jelas hal tersebut memiliki
penyelesaian untuk mengembalikan harmonisasi yang ada serta mengembalikan usaha
menyejahterakan pihak-pihak yang terlibat yaitu Pekerja Harian Lepas, pihak pengusaha yang
mempekerjakan Pekerja Harian Lepas, dan Pemerintah.

Usaha-usaha lebih lanjut daripada menciptakan kepastian hukum yang ada untuk Pekerja
Harian Lepas masih dibutuhkan di Indonesia, baik untuk mempertegas agar tidak adanya
keabu-abuan dalam mendefinisikan Pekerja Harian Lepas serta haknya agar tidak adanya
kecurangan dalam perjanjian kerja harian lepas, terutama patut diketahui oleh pihak yang
menggelutinya agar meningkatkan keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan hukum demi
terciptanya hukum yang progresif dimana hukum tersebut mampu tidak hanya sekadar berlaku
tetapi bersifat menjadi social engineer.

3.2.Saran
• Pekerja Harian Lepas merupakan jenis pekerja yang sangat dibutuhkan oleh pengusaha
dalam perusahaan untuk industri yang digelutinya, dengan banyaknya keterlibatan yang
diberikan masih membutuhkan kedalaman analisis dalam memastikan relevansi
daripada teori Pekerja Harian Lepas dengan penerapannya di Indonesia dengan kasus-
kasus yang ada.

21
• Dalam landasan yuridis yang ada secara teori telah menampakkan usaha dalam
melindungi Pekerja Harian Lepas demi menuju kesejahteraan. Akan tetapi dalam
efektivitas daripada dasar yuridis yang ada dalam memberikan keadilan, kepastian, dan
kebermanfaatan huukum yang ada masih dibutuhkan analisis lebih lanjut karena ada
berbagai macam interpretasi dalam menjalankan hukum yang ada di masyarakat.
• Edukasi di masyarakat yang belum kuat mengenai Pekerja Harian Lepas terutama bagi
yang akan meggelutinya sangat penting untuk dianalisis lebih lanjut agar mampu
diketahui oleh seluruh komponen untuk memastikan tidak ada hak yang dihilangkan
atau direnggut oleh pihak pengusaha dalam hubungan subordinatif pada masyarakat.
• Dengan keberadaan Pekerja Harian Lepas yang ada di Indonesia masih dibutuhkan
penyelesaian hambatan yang ada perlu adanya analisis lebih lanjut karena pada
kebermanfaatan daripada solusi serta faktor yang ada di masyarakat, dimana dengan
adanya jawaban atas permasalahan yang masih memberikan dampak yang nihil pada
penerapan yang ada di masyarakat terutama dengan masih banyaknya kasus
ketidapuasan daripada tenaga kerja.
• Diperlukan adanya solusi yan lebih komprehensif yang perlu diteliti lebih lanjut
keefektivitasannya seperti adanya regulasi baru yang mengatur Pekerja Harian Lepas,
Hubungan antara Pekerja Harian Lepas dengan pengusaha dan pemerintah, dengan
adanya mengkaji lebih lanjut daripada Undang-Undang Ketenagakerjaan revisi yang
paling baru untuk memberikan efektivitas untuk menyelesaikan persoalan di
masyarakat.]

22
DAFTAR PUSTAKA

Dasar Hukum :

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1954 Tentang Pekerja Pemerintah.

Keputusan Menaker Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan


Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Skripsi :

S, Abidah N. 2017. “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Harian Lepas”. Skripsi.


Purwekerto: Universitas Muhamadiyah Purwekerto.

Nuryanti, Ariani Endah. 2006. “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Harian Lepas di UD
Berkah Sedulur Desa Tanjungsari Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang”.
Skripsi, Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Simanjuntak, Gabriela Chatrin. 2019. “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Harian


Lepas”. Skripsi. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.

Jurnal :

Gani, Evi Safitri. 2020. Perlindungan Hukum Pekerja Harian Lepas Akibat Kecelakaan Kerja
(Studi Pada Pengemudi Angkutan Kota di Kota Ambon. Jurnal IAIN Ambon. Vol.
XVI, No. 1, Juni 2020.
https://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/THK/article/viewFile/1451/pdf. Diakses pada 26
November Pukul 8.41 WITA.

Artikel :

S, Permatasari Erizka. 2021. Ni Bedanya Pekerja Harian Lepas Dengan Pekerja Bulanan.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4436/ini-bedanya-pekerja-harian-lepas-
dengan-pekerja-bulanan/. Dikases Pada 24 November 2021 Pukul 16.07 WITA.

S, Heri Aryanto. 2013. Aturan tentang Pekerja Harian Lepas.


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51d291d7a6680/aturan-tentang-
pekerja-harian-lepas/. Diakses pada 24 November 2021 Pukul 17.30 WITA.

23
Earthworm. 2020. Tata Cara Penggunaan Sistem Pekerja Harian Lepas di Perusahaan Kelapa
Sawit. https://www.earthworm.org/uploads/files/Tatacara-Penggunaan-Pekerja-
Harian-Lepas.pdf. Diakses Pada 27 November 2021 Pukul 9.29 WITA.

BP Lawyers, 2021. Perbedaan Pekerja Bulanan dengan Pekerja Harian Lepas.


https://bplawyers.co.id/2021/04/14/perbedaan-pekerja-bulanan-dengan-pekerja-
harian-lepas/. Diakses pada 28 November 2021 Pukul 06.15 WITA.

Workmate Asia. 2020. Komntrak Kerja di Indonesia PKWT PKWTT.


https://www.workmate.asia/id/blog/kontrak-kerja-di-indonesia-pkwt-pkwtt-pkhl.
Diakses pada 28 November 2021 Pukul 07.01 WITA.

R, Beby. 2020. 4 Perbedaan Pekerja Freelance, Kontrak Dan Outsourcing,


https://rencanamu.id/post/karier/4-perbedaan-pekerja-freelance-kontrak-dan-
outsourcing. Diakses pada 28 November 2021 Pukul 07.27 WITA.

Lutfi, Chakim. 2012. Sistem Perjanjian Kerja Outsourcing,


http://www.lutfichakim.com/2012/08/sistem-perjanjian-kerja-outsourcing.html.
Diakses pada 28 November 2021 Pukul 08.11 WITA.

Hukumonline.com. 2021. “Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta


Kerja”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt60657d8d20b58/ini-bedanya-
outsourcing-di-uu-ketenagakerjaan-dan-uu-cipta-kerja/. Diakses pada 28 November
2021 Pukul 09.24 WITA.

24

Anda mungkin juga menyukai