Anda di halaman 1dari 22

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Artikel
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah MSDM Lanjutan
Dosen Pengampu : Dr. Isniar Budiarti, SE., M.Si.

Disusun Oleh kelompok 6/Kelas : MSDM B


Muhammad Khairul P ( 21221046)
Wa Ode Nur Tanzilla (21221054)
Irma Firdiana Aziza ( 21221094)
Monica Rahma Julistiani (212210112)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG 2024
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah melimpah
kan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan artikel ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia
dengan judul “Pemutusan Hubungan Kerja”. Selain itu artikel ini berguna untuk m
enambah wawasan pembaca dan penulis mengenai Pemutusan Hubungan Kerja
Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Dr.Isniar Budiarti,SE.,M.Si. selaku d
osen mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia yang telah memberikan bim
bingan mengenai tugas ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pi
hak yang telah membagikan pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
artikel ini.
Kami menyadari,artikel yang telah kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu kritikan dan saran yang membangun kami nantikan demi kesempu
rnaan artikel ini.

Bandung, 27 Desember 2023


Tim Penyusun

PAGE \* MERGEFORMAT 17
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar…………………………………………………………………………………………………………………………
……………i

Daftar
Isi………………………………………………………………………………………………………………………………………
………..ii

BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………………………
………….1

1.1 Latar
Belakang……………………………………………………………………………………………………………………
…………...1
1.2 Rumusan
Masalah……………………………………………………………………………………………………………………
……...2

BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………………………………………
………..…3

2.1 Definisi Pemutusan Hubungan


Kerja…………………………………………………………………………………………..……3

2.2 Fungsi Dan Tujuan Pemutusan Hubungan


Kerja…………………………………………………………………………….…5

2.3 Alasan Pemutusan


Kerja…………………………………………………………………………………………………………………..5

BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………………………………………………………………
…………17

3.1
Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………………………
………………17

3.2
Saran………………………………………………………………………………………………………………………………
……………….17

Daftar
Pustaka……………………………………………………………………………………………………………………………
………….18

PAGE \* MERGEFORMAT 17
PAGE \* MERGEFORMAT 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bila seseorang diterima sebagai karyawan pada suatu perusahaan, berarti
orang itu sudah menjalankan hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan.
Dengan adanya hubungan pekerjaan, karyawan mempunyai hak dan tanggung
jawab begitupula dengan pihak perusahaan. Seperti halnya hidup, pengabdian dan
tanggungjawab kita di perusahaan juga pasti akan berakhir. Namun setiap orang
yang bekerja memiliki waktu pengabdian di perusahaan yang berbeda-beda,ada
yang hingga batas ketentuan yang telah disepakati, atau mungkin berakhir di
tengah karier. Bagi yang telah mencapai batas perjanjian, tentu saja tidaklah
bermasalah. Namun lain halnya dengan yang terpaksa harus berhenti ditengah
masa kerjanya. Pemutusan hubungan kerja sangatlah berpengaruh terhadap kondisi
perekonomian masyarakat yang sudah di PHK dari perusahaannya.
Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) adalah salah satu hal dalam dunia
ketenagakerjaan yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh pekerja buruh
yang masih aktif bekerja. Untuk masalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi
sebab berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja tidak
menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak yaitu pekerja dan
pengusahannya karena antara pihak yang bersangkutan sama-sama telah
menyadari atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga
masing-masing telah berpaya mempersiapkan diri menhadapi kenyataan tersebut.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu mejadi hal yang sulit baik bagi pen
gusaha maupun pekerja/buruh. Pengusaha menganggap terjadinya PHK merupaka
n hal yang wajar di dalam kegiatan perusahaan. Bagi pekerja/buruh, terjadinya PH
K berdampak sangat luas bagi kehidupanya tidak hanya bagi dirinya pribadi namu
n juga keluarganya. PHK jelas akan menyebabkan seorang pekerja/buruh kehilang
an mata pencahariannya. Demikian juga pada waktu pekerja tersebut berhenti atau
adanya pemutusan hubungan kerja dengan perusahaan, perusahaan mengeluarkan
dana untuk pensiun atau pesangon atau tunjangan lain yang berkaitan dengan pem
berhentian, sekaligus memprogramkan kembali penarikan pekerja baru yang sama
halnya seperti dahulu harus mengeluarkan dana untuk kompensasi dan pengemba
ngan pekerja.
Setiap alasan PHK pasti mengandung konsekuensi yang berbeda, khususnya
mengenai hak para pekerja yang di PHK karena ada yang karena PHK pekerja
tersebut harus mendapatkan uang pesangon, uang penggantian hak dan uang
penghargaan masa kerja. Walapun aturan soal PHK dan konsekuensi yang yang
harus diterima oleh pekerja dan atau dilakukan oleh pengusaha sudah diatur oleh
Undang-Undang Tenaga Kerja dengan rinci akan tetapi persoalan PHK selalu
menjadi Perdebatan. Ada pekerja yang menganggap tidak pantas untuk di PHK,

PAGE \* MERGEFORMAT 17
ada yang menganggap proses PHK yang dikenakan kepadanya tidak sesuai
dengan prosedur bahkan ada pelaku usaha yang telah melakukan PHK akan tetapi
tidak mau membayar uang Pesangon atau pengganti Hak.
Pemutusan Hubungan Kerja diatur secara rinci dan jelas dalam Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 dalam Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan
memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah terkait pemutusan hubungan kerja ini
adalah sebagai berkut :
1. Apa definisi dari PHK ?
2. Apa fungsi dan tujuan dari PHK ?
3. Apa saja alasan dari Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) ?

PAGE \* MERGEFORMAT 17
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Pemutusan Hubungan Kerja

Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Demikian pula hubungan
diawali, dan suatu saat juga pasti juga akan diakhiri, baik diminta oleh salah satu
pihak, maupun tidak. Suatu hubungan kerja pasti diawali dengan perjanjian kerja
baik secara tertulis maupun lisan. Dalam menyelenggarakan perjanjian kerja
harus dipenuhi persyartan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang –
undangan yang berlaku.

Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah berakhirnya hubungan kerja sama


antara karyawan dengan perusahaan, baik karena ketentuan yang telah disepakati,
atau mungkin berakhir di tengah karier. Mendengar istilah PHK, terlintas adalah
pemecatan sepihak sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan pekerja. Oleh
sebab itu, selama ini singkatan ini memiliki arti yang negatif dan menjadi momok
menakutkan bagi para pekerja.

PHK sebenarnya berawal dari proses hubungan kerja, dimana hubungan ini
melibatkan seorang buruh dengan atasan.

Hubungan kerja menggambarkan kedudukan kedua pihak, yakni


menunjukkan hak-hak dan kewajiban karyawan terhadap atasan serta hak-hak dan
kewajiban atasan terhadap karyawan. Hubungan kerja terjadi setelah adanya
perjanjian kerja antara atasan dengan bawahan, yaitu suatu perjanjian dimana
pihak kesatu, karyawan mengikatnya diri untuk bekerja dengan menerima upah
dan pada pihak lainnya dalam hal ini atasan mengikatnya diri untuk
memperkerjakan karyawan itu dengan membayar upah. Pengertian ini berarti
pihak karyawan dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan pihak
atasan atau pengusaha.

Dalam suatu perusahaan adalah wajar bila pengusaha atau atasan berusaha
untuk mengendalikan kegiatan perusahaan agar efektif dan efesien. Oleh karena
itu atasan secara alamiah akan mempertahankan kekuasaan dan kebebasannya
dalam membuat keputusan yang akan berpengaruh terhadap jalannya perusahaan.

Pemutusan hubungan kerja ( PHK ) ada dua, yaitu pemutusan hubungan kerja
dengan hormat dan pemutusan hubungan kerja dengn tidak hormat. Pemutusan
hubungan kerja dengan predikat “Dengan hormat” pada umumnya diberikan
apabila pemutusan hubungan kerja dilakukan diluar kesalahn pekerja. Sebaliknya,
pemutusan kerja dengan predikat “Dengan Tidak Hormat” dilaksanakan karena

PAGE \* MERGEFORMAT 17
kesalahan pekerja yang benar - benar dapat dirasakan oleh pengusaha baik secara
fisik maupun psikologis.

Pengusaha bebas menentukan batasan-batasan mengenai tingkat


produktivitas tenaga kerja, dengan kata lain bila pengusaha menganggap bahwa
produktivitas akan meningkat bila dikerjakan dengan banyak orang, maka
pengusaha akan meminta dilakukan penambahan karyawan. Sebaliknya jika
jumlah permintaan pasar menurun maka kemungkinan pengusaha akan
mengambil langkah untuk mengadakan pengurangan karyawan sebagai bentuk
pengakhiran hubungan kerja berdasarkan pertimbangan - pertimbangan bisnis
perusahaan (Imam Mulyana, 2007).

PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha (Sativa,
2008)

Husni (dalam undang-undang No.12 tahun 1964, 2000) menambahkan bahwa


PHK adalah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja yang
dapat terjadi karena berbagai hal.

Djumadi (2006) juga mengatakan pendapat bahwa PHK berarti berakhirnya


hubungan kerja bagi buruh dari segala kesengsaraan. Menurut teori memang
buruh berhak pula untuk mengakhiri hubungan kerja tetapi dalam praktek
majikanlah yang mengakhirinya sehingga pengakhiran itu selalu merupakan
pengakhiran hubungan kerja oleh pihak majikan.

Manulang (1998) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja


dapat memberikan beberapa pengertian:
1. Termination, putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya
kontrak kerja yang telah disepakati.
2. Dismissal, putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan tindakan
pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan
3. Redundance, karena perusahaan melakukan perkembangan dengan
menggunakan mesin-mesin teknologi baru, seperti: penggunaan robotrobot
industri dalam proses produksi, penggunaan alat berat yang cukup dioperasikan
oleh satu atau dua orang yang menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini
berakibat pada pengangguran tenaga kerja.
4. Retrentchment, yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti
resesi ekonomi yang membuat perusahaan tidak mampu memberikan upah
kepada karyawannya.

PAGE \* MERGEFORMAT 17
2.2 Fungsi dan Tujuan Pemutusan Hubungan Kerja
A. Fungsi Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mengurangi biaya tenaga kerja
2. Menggantikan kinerja yang buruk. Bagian integral dari manajemen adalah
mengidentifikasi kinerja yang buruk dan membantu meningkatkan kinerjany.
3. Meningkatkan inofasi PHK meningkatkan kesempatan untuk memperoleh
keuntungan, yaitu:
a. Pemberian penghargaan melalui promosi atas kinerja individual yang tinggi
b. Menciptakan kesempatan untuk level posisi yang baru masuk
c. Tenaga kerja dipromosikan untuk mengisi lowongan kerja sebagai sumber daya
yang dapat memberikan inovasi/menawarkan pandangan baru.
4. Kesempatan untuk perbedaan yang lebih besar. Meningkatkan kesempatan
untuk mempekerjakan karyawan dari latar belakang yang berbeda-beda dan
mendistribusikan ulang komposisi budaya dan jenis kelamin tenaga kerja.

B. Tujuan Pemutusan Hubungan Kerja

Tujuan PHK diantaranya :


1. Perusahaan/ pengusaha bertanggung jawab terhadap jalannya dengan baik
dan efektif salah satunya dengan PHK.
2. Pengurangan buruh dapat diakibatkan karena faktor dari luar seperti
kesulitan penjualan dan mendapatkan kredit, tidak adanya pesanan, tidak
adanya bahan baku produkti, menurunnya permintaan, kekurangan bahan bakar
atau listrik, kebijaksanaan pemerintah dan meningkatnya persaingan.
Tujuan lain pemberhentian yakni agar dapat mencapai sasaran seperti yang
diharapkandan tidak menimbulkan masalah baru dengan memperhatikan tiga
faktor penting, yaitu faktor kontradiktif, faktor kebutuhan, dan faktor sosial.
2.3 Alasan Pemutusan Hubungan Kerja
Dengan adanya perjanjian kerja antara seorag pekerja dengan pengusaha
berarti bahwa kedua pihak telah sepakat untuk mengawali suatu hubungan kerja.
Tentu isi dan materi perjanjian kerja itu harus sesuai dengan persyaratan hukum
yang telah ditetapkan. Lain halnya dengan akhir hubungan kerja. Maka alasan
pemutusan hubungan kerja antara lain sebagai berikut :
PAGE \* MERGEFORMAT 17
1. Pemutusan hubungan kerja karena keinginan pengusaha
Drs. M. Manullang dalam bukunya Management Personalia mengemukakan
delapan sebab pemutuan kerja atas keinginan pengusaha, yaitu
a. Pekerja tidak cakap dalam msa percobacaan
Masa percobaan pada umumnya merupakan persyaratan yang sering
dipergunakan oleh suatu perusahaan sebagai tahap awal dalam
penempatan seorang pegawai. Masa percobaan juga merupakan media
penjajakan, untuk mengetahui sejauh mana kecakapan dan minat
pegawai itu dalam melalui pekerjaanya.

Apabila dalam masa percobaan, yang berdasarkan UU/12/1964 pasal 4


tidak boleh lebih dari tiga bulan, ternyata pegawai tidak menunjukkan
kecakapan dan minat sebagaimana diharapkan pengusaha, agar
perusahaan tidak menanggung risiko kerugian lebih besar, terpaksa
hubungan kerja diputuskan. Berdasarkan pasal 4 UU
12/1964,pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dalam masa
percobaan dapat dilakukan tanpa izin dari pihak yang berwajib, juga
tanpa kewajiban, apa pun dari pengusaha terhadap pegawai yang
bersangkutan.

b. Adanya alasan – alasan mendesak


Pemutusan hubungan kerja ini dapat terjadi karena melakukan
perbuatan tercela yang telah dilakukan pekerja dan merusak wibawa
serta merugikan pengusaha secara ekonomis maupun psikis.
Berdasarkan yuris prudensi, pengusaha, pengusaha bebas dari segala
kewajiban terhadap pegawai, kecuali memenuhi hak – hak yang telah
dimiliki pegawai sebelum pemutusan hubungan kerja itu dilaksanakan.
Dalam pemutusan hubungan kerja dengan alasan mendesak, predikat
yang diberikan kepada pegawai adalah “diberhentikan dengan tidak
hormat.

Berikut ini contoh yuris prudensi :


1. Keputusan P4P ( Panitia Penyelesaian Perburuhan pusat ) nomor
P4/14/57/6040 menyatakan bahwa seorang pekerja yang bertengkar
dan menhina istri pengusaha diberhentikan dengan dasar alasan
mendesak tanpa syarat.
2. Keputusan P4P nomor P4/14/58/7825 menyatakan bahwa seorang
pekerja yang tidak menjalankan tugasnya dengan sebaik – baiknya
untuk menjaga gudang sehingga terjadi kebakaran dan
menimbulkan kerugian cukup besar bagi pengusaha diberhentikan
dengan dasar alasan mendesak tanpa syarat.
Pemutusan hubungan kerja karena lasan mendesak menurut KUHP
buku ketiga bab 7 A pasal 1603 o dapat dilakukan bila :
PAGE \* MERGEFORMAT 17
1. Ternyata kemudian pekerja menyesatkan pengusaha dengan
memperlihatkan surat – surat pernyataan palsu atau dipalsukan pada
waktu permulaan ia diterima bekerja di perusahaan.
2. Ternyata pekerja amat kurang cakap dalam melaksanakan
pekerjaanya.
3. Setelah diperingstksn pekerja masih suka mabuk,madat atau
bertingkah laku buruk lainnya.
4. Pekerja telah melakukan pencurian, penggelapan, penipuan atau
kejahtan lain.
5. Pekerja menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pengusaha.
6. Pekerja membujuk pengusaha untuk melakukan perbuatan –
pderbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
7. Pekerjasecara sembrono merusak milik pengusaha.
8. Dengan sengaja pekerja menimbulkan bahaya yang mengancam
dirinya sendiri atau diri orang lain.
9. Pekerja mengumumkan hal – hal istimewa mengenai rumah tangga
pengusaha atau perusahaan.
10. Pekerja sangat melalaikan kewajiban – kewajibannya.
11. Pekerja bersikeras menolak memenui perintah – perintah yang patut
diberikan kepadannya oleh atau atas nama pengusaha.
12. Pekerja dengan sengaja atau sembrono membuat diri menjadi tak
mampu melakukan pekerjaannya.
Sekalipun berbagai alasan mendesak itu telah disebut dalam pasal 1603
o, tidak berarti bahwa pengusaha bebas menafsirkannay dan
melaksanakan pemutusan hubungan tanpa pertanggungjawaban kepada
P4P atau P4D. Kewajiban pengusaha mengajukan permohonan kepada
P4P atau P4D mengenai pelaksaan pemutusan hubungan kerja dengan
pekerja adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja
terhadap penyalahgunaan alasan – alasan tersebut oleh pengusaha yang
tidak bertanggung jawab.
c. Pekerja sering mangkir
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan atas keinginan pengusaha
dengan alasan pekerja sering mangkir, seperti halnya pemutusan
hubungan kerja karena alasan mendesak, pada dasarnya bertujuan
menghentikan risiko kerugian yang ditimbulnya. Jika pemutusan
hubungan kerja dilaksanakan dengan alasan pegawai sering mangkir,
pengusaha diwajibkan mengajukan permohonan izin kepada P4P atau
P4D. Pengusaha juga dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu izin
pemutusan hubungan kerja diberikan oleh P4P atau P4D dengan
kewajiban memberikan uang pesangon, uang jasa dan/atau ganti
kerugian lain, atau tanpa memberi apa pun.

PAGE \* MERGEFORMAT 17
Keputusan P4P atau P4D mengenai izin pemutusn hubungan kerja
dengan kewajiban atau tanpa kwajiban apapun dari pengusaha sangat
tergantung pada keadaan pegawai yang sering mangkir, apapbila
pekeerja sering mangkir, karena sesuatu diluar kemauan dan
kekuasaannya, misalnya keluarganya sering sakit sementara rumahnya
jauh dari perusahaan, izin pemutusan hubungan kerja itu disertai
kewajiban pengusaha untuk memeberi uang pesangon, uang jasa dan
ganti kerugian lain sebagaimana diatur dalam PMP 9/1964 jo. PMP
11/1964. Sbaliknya izin pemutusan hubungan kerja diberikan tanpa
syarat bagi pegawai yang bersangkutan apabila nyata pekerja sering
mangkir dengan harapan dapat dipecat dengan memperoleh pesangon,
uang jasa, dan sebagainya karena ia yakin dapat pindah ke perusahaan
lain dengan upah dan syarat – syarat kerja yang diketahuinnya lebih
baik.

d. Pekerja ditahan oleh alat negara


Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja ditahan oleh alat
negara dan lama penahanan itu tidak diketahui cenderung oleh
pengusaha, tanpa mengabaikan kewajiban sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang – undangan yang berlaku. Pemutusan hubungan
kerja atas dasar alasan ini pada umumnya terjadi apabila penahanan
pekerja oleh alat negara itu tidak berhubungan dengan pengusaha.
Apabila penahanan pekerja oleh alat negara berhubungan dengan
kepentingan pengusaha, pengusaha cenderung mempergunakan alasan
mendesak .

Setelah pekerja dibebaskan, dengan pertimbangan masa kerja dan lain


– lain, pengusaha diwajibkan menerima kembali pekerja tersebut.

e. Pekerja dihukum oleh hakim


Sejauh hukuman itu relatif tidak terlalu lama dan tidak berhubungan
dengan pengusaha, pekerja dapata diterima kembali setelah dibebaskan.
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja dihukum oleh hakim
diizinkan oleh P4D jika pemutusan itu bersifat perorangan. Jika
pemutusan hubungan kerja itu bersifat massal ( lebih dari sepuluh
orang ), izin diberikan oleh P4P. Berdasarkan PMP 9 / 1964 jo. PMP
11 / 1964, pengusaha diwajibkan memberikan pesangon, uang jasa dan
hak – hak lain kepada pekerja.

f. Pekerja sering sakit


Pemutusan hubungan kerja dengan alasan ini dilarang jika masa sakit
pekerja itu jika tidak melampaui jangka waktu 12 bulan terus – menerus,

PAGE \* MERGEFORMAT 17
apalagi bila sakit yang diderita oleh pekerja itu terjadi karena
kecelakaan dalam masa hubungan kerja, misalnya kecelakaan terjadi
karena perjalanan yang biasa dilalui pada waktu pekerja pergi dan
pulang ke dan dari perusahan. Pemutusan hubungan kerja karena alasan
pekerja sering sakit diizinkan sesuai dengan ketentuan pengusaha wajib
memberi pesangon, uang jasa sesuai dengan masa kerja pegawai.

Menurut PP 7/1981 pengusaha wajib membayar upah pegawai yang


sakit selama kurang dari 12 bulan. Ketentuan pembayaran tersebut
adalah sebagai berikut:
untuk 3 bulan pertama 100 % upah
— untuk 3 bulan kedua 75 % upah
—- untuk 3 bulan ketiga 50 % upah
untuk 3 bulan keempat dan seterusnya 25 % upah

g. Pekerja Berusia Lanjut


Dalam peraturan-peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja
Bersama telah diatur suatu ketentuan mengenai kapan hubungan kerja
diakhiri. Apabila batas umur telah terlewati, sesuai dengan peraturan
yang telah disepakati atau dibenarkan oleh hukum, izin pemutusan
hubungan kerja dapat diberikan sekurang-kurangnya dengan
ketentuan pengusaha wajib memberi pesangon, uang jasa dan hak-hak
lainnya berdasarkan PMP 9/1964 jo. PMP 11/1964.

h. Pengurangan Tenaga Kerja


Jika pemutusan hubungan kerja dilaksanakan karena perusahaan
tutup atau karena perusahaan mengadakan pengurangan tenaga,
pengusaha wajib mengajukan permohonan izin ke P4D atau P4P.
Permohonan ditujukan ke P4D bila pemutusan hubungan kerja
bersifat perorangan, dan ke P4P bila pemutusan hubungan kerja
bersifat massal. Pengusaha wajib menyampaikan daftar nama, alamat,
keterampilan, masa kerja, upah terakhir, keanggotaan ASTEK para
pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya. Daftar tersebut
selanjutnya diinformasikan ke kantor Departemen Tenaga Kerja agar
dimasukkan ke Bursa Kesempatan Kerja. Tujuan lain yaitu agar
pekerja yang bersangkutan diikutsertakan dalam program latihan
kerja sesuai dengan keterampilan masing-masing.

Jika pemutusan hubungan kerja disertai alasan tersebut, pengusaha


diwajibkan memberi pesangon, uang jasa dan lain-lain sesuai dengan
masa kerja masing-masing pekerja.

Apabila pemutusan hubungan kerja dilaksanakan karena

PAGE \* MERGEFORMAT 17
perusahaan mengadakan pengurangan jumlah pekerja, langkah
efisiensi harus dilakukan dari awal, baru kemudian pengusaha
bertindak selektif dengan berpean pada senioritas, tingkat kecakapan,
loyalitas serta jumlah keluarga Pekerja. Dengan pedoman senioritas
berarti pekerja yang masa kerjanya relatif masih singkat akan
diputuskan hubungan kerjanya lebih dulu, juga pekerja Yang kurang
cakap, tingkat loyalitasnya rendah dan yang belum berkeluarga atau
jumlah keluarganya relatif kecil.

2. Pemutusan Hubungan Kerja karena Keinginan Pekerja


Pemutusan hubungan kerja atas keinginan pegawai sendiri dapat
terjadi karena:
a. Pegawai Tidak Cocok dengan Situasi dan Kondisi Perusahaan
Pemutusan hubungan kerja atas keinginan pekerja dengan alasan
tidak cocok dengan situasi dan kondisi perusahaan adalah sesuatu
yang wajar, sering terjadi terutama pada masa percobaan.
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan serupa juga sering
terjadi karena adanya perubahan pemilik perusahaan yang
bersangkutan, baik karena Derusahaan dijual, maupun karena hal
lain. Pemutusan hubungan kerja seperti ini pada umumnya telah
disepakati bersama oleh pemilik semula dengan pemilik baru.
Oleh karena itu jika ada pegawai yang tidak ingin melanjutkan
hubungan kerjanya dengan pemilik atau pemimpin perusahaan
yang baru, sebagai suatu peng_ hargaan pemilik semula memberi
uang pesangon, uang jasa dan hak-hak lain. Pemberian pesangon
seperti ini sudah merupakan suatu kebiasaan karena telah
dimasukkan dalam kalkulasi harga jual perusahaan.

b. Pegawai Pindah Mengikuti Keluarga


Pemutusan hubungan kerja atas keinginan pekerja dengan
alasan pindah mengikuti keluarga sering terjadi pada pekerja wanita.
Kepindahan suami ke lain daerah untuk melaksanakan tugas yang
tidak dapat dielakkan cenderung diikuti istri agar keserasian dalam
kehidupan keluarga selalu terjamin. Pendirian serupa ini memperoleh
dukungan dari sarjana-sarjana ilmu sosial yang berpendapat bahwa
kebahagiaan hidup keluarga atau suami istri tidak banyak ditentukan
oleh materi, tetapi justru oleh faktor nonmateri dalam bentuk
ketenangan jiwa.

c. Pegawai Berhenti Bekerja karena Alasan Mendesak


Pemutusanhubungan kerja atas keinginan pegawai dengan
alasan mendesak sebenarnya tidak akan menimbulkan masalah yang
memerlukan perhatian khusus dari pihak yang berwajib, dalam hal ini

PAGE \* MERGEFORMAT 17
aparat hukum ketenagakerjaan. Adapun alasan mendesak
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1603 P KUHP adalah:
1. Pengusaha menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam
sungguh-sungguh kepada pekerja.
2. Pengusaha membujuk atau mencoba membujuk pekerja untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang dan kesusilaan.
3. Pengusaha tidak membayar upah pada waktu yang ditentukan.
4. Pengusaha tidak memberi makanan dan perumahan yang pantas
seperti yang dijanjikan,
5. Pengusaha tidak memberi pekerjaan secukupnya, padahal upah
pekerja tergantung pada hasil yang dikerjakan.
6. Dalam hal tersebut di atas pengusaha tidak memberikan bantuan
secukupnya.
7. pengusaha melalaikan kewajiban-kewajiban yang sudah
disetujui- nya.
8. pengusaha memerintahkan kepada pekerja untuk bekerja pada
pengusaha Iain, sedangkan sifat hubungan kerja tidak
mengharuskannya.
9. Jika diteruskan hubungan kerja akan membawa bahaya yang
sungguh-sungguh bagi jiwa, kesehatan, kesusilaan atau nama
baik pekerja.
10. Pekerja tidak mampu bekerja karena sakit di luar kesalahannya.
Apabila dikaji secara mendalam sebenarnya tujuan ditetapkannya alasan
mendesak tersebut dalam KUHP adalah untuk memberikan kepastian kepada pihak
pengusaha yang didukung Oleh penjajah pada waktu itu bahwa pekerja terikat
pada perusahaan yang bersangkutan. Apabila pekerja menghendaki pemutusan
hubungan kerja tanpa alasan mendesak, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1603
p tersebut, dan pemutusan hubungan kerja itu tidak diberitahukan sebelumnya
(pasal 1603 i), pekerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pengusaha (pasal
1603 q).
Secara yuridis pengusaha tidak diwajibkan memberi pesangon atau Ilang jasa
Iainnya jika pemutusan hubungan kerja terjadi atas keinginan pekerja, apa pun
alasannya. Sekalipun demikian, sekarang ada pertimbangan mengenai
kemungkinan pemberian pesangon kepada pekerja yang pemutusan hubungan
kerjanya atas kehendak sendiri. Pemberian pesangon dalam kasus ini harus
diperhitungkan baik-baik karena sering terjadi pekerja menghendaki pemutusan
hubungan kerja dengan harapan menuntut uang pesangon.
3. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Lain
Dalam kehidupan suatu perusahaan juga dikenal pemutusan hubungan kerja
karena alasan-alasan Iain seperti:

PAGE \* MERGEFORMAT 17
a. Pekerja Meninggal Dunia
Sebagaimana telah dirumuskan dalam KUHP buku ketiga Bab 7A pasal
1603 j, hubungan kerja berakhir secara hukum apabila pekerja mening gal
dunia. Pemutusan hubungan kerja karena pekerja meninggal dunia dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu: meninggal dunia dalam hubungan kerja dan
meninggal dunia bukan dalam hubungan kerja. Pemutusan hubungan karena
pekerja meninggal dunia dalam hubungan kerja pada umumnya terjadi karena
kecelakaan, misalnya kecelakaan dalam perjalanan dari dan ke tempat kerja.

Berdasarkan Undang-undang Kecelakaan 33/1947 jo. UU 2/1951 dan


peraturan pelaksanaannya, pengusaha wajib membayar ganti rugi kepada ahli
waris pekerja yang meninggal dunia yaitu anak, istri, orangtua dan/ atau mertua
yang menjadi tanggungannya. Pembayaran ganti rugi tersebut meliputi :
1. biaya pengangkutan pekerja yang menderita kecelakaan ke rumah_
nya atau ke rumah sakit.
2. biaya pengobatan dan perawatan pekerja yang menderita
kecelakaan.
3. biaya kubur.
4. tunjangan kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia.
Besarnya tunjangan kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia
yang diatur dalam pasal 12 Undang-undang Kecelakaan adalah sebagai berikut:
1. 30% upah sehari untuk setiap hari bagi janda atau janda-jandanya.
2. 15% upah sehari untuk setiap hari bagi anak yang sah dan berumur di
bawah 16 tahun atau belum kawin. Jika karena meninggalnya pekerja
anak itu menjadi yatim piatu, besarnya tunjangan ditambah menjadi
20% upah sehari untuk setiap hari.
3. Paling banyak 30% upah sehari untuk setiap hari bagi bapak dan ibu,
atau jika pekerja tidak mempunyai bapak dan ibu Iagi, tunjangan
diberikan kepada kakek dan nenek yang menjadi tanggungan pekerja.
4. Paling banyak 20% upah sehari untuk setiap hari bagi cucu yang tidak
mempunyai orangtua dan menjadi tanggungan pekerja.
5. Paling banyak 30% upah sehari untuk setiap hari bagi mertua lakiIaki
dan wanita yang menjadi tanggungan pekerja.
Jumlah seluruh tunjangan itu dibatàsi, paling besar 60% upah sehari, dan
pembayarannya dilakukan setiap bulan dengan perhitungan satu bulan sama
dengan 30 hari, Dengan persetujuan pegawai pengawas, tunjangan berkala itu
dapat dibayarkan sekaligus jika dapat dipastikan bahwa dengan pembayaran
sekaligus itu keluarga pekerja tidak akan terlantar hidupnym atau jika keluarga
pekerja meninggalkan wilayah negara Indonesia. Pembayaran sekaligus itu
dalam pelaksanaannya ditentukan sebagai berikut:
1. 48 kali tunjangan yang diterima setiap bulan jika tunjangan berkala itu
telah dibayar selama kurang dari I tahun.

PAGE \* MERGEFORMAT 17
2. 40 kali tunjangan yang diterima setiap bulan jika tunjangan berkala itu
telah dibayar selama 1 — 2 tahun.
3. 32 kali tunjangan yang diterima setiap bulan jika tunjangan berkala itu
telah dibayar selama 2 3 tahun.
4. 24 kali tunjangan yang diterima setiap bulan jika tunjangan berkala itu
telah dibayarkan selama 3 tahun atau lebih.
Pemutusan hubungan kerja karena pekerja meninggal dunia bukan dalam
hubungan kerja sejauh ini belum diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan
sekalipun masa kerja pekerja pada perusahaan yang bersangkutan sudah cukup
lama. Keadaan ini merupakan suatu ketirnpengan, karena itu dibentuk program
ASTEK.
Melalui ASTEK sebagaimana diatur dalam PP 33/1977, pekerja peserta
ASTEK meninggal dunia bukan dalam hubungan kerja, kepada keluarganya
yang ditinggalkan diberikan tunjangan kubur sebesar Rp 170.000,00.
Dalam Kesepakatan Kerja Bersama pun telah ditetapkan pula kewajiban
pengusaha untuk memberikan tunjangan kepada keluarga pekerja yang
meninggal dunia, antara Iain dalam bentuk tunjangan biaya kubur, tunjangan
berkala bagi keluarga pekerja yang besarnya sangat relatif dan pada urnumnya
banyak ditentukan Oleh masa kerja pekerja yang meninggal dunia dan atas
kesepakatan kedua pihak yaitu pengusaha dengan Serikat Pekerja. Tunjangan
ini disesuaikan dengan kemampuan perusahaan yang bersangkutan.
b. Perjanjian Kerja Berakhir
Setelah pemutusan hubungan kerja karena perjanjian kerja telah
berakhir, ada tidaknya kewajiban pengusaha kepada pekerja pada
hakikatnya tergantung pada isi perjanjian kerja itu sendiri. Apabila dalam
perjanjian kerja telah dicantumkan suatu kewajiban pengusaha terhadap
pekerja, pengusaha harus melaksanakannya. Sebaliknya, apabila dalam
perjanjian kerja itu tidak disebutkan satu pun kewajiban pengusaha, secara
hukum pihak pekerja tidak dapat mengharapkan pemberian apa pun dari
pengusaha sebagai ganti rugi, kecuali surat keterangan pengalaman kerja,
apabila pekerja memerlukannya.

c. Pekerjaan Telah Selesai


Pemutusan hubungan kerja juga dapat terjadi karena pekerjaan telah
selesai, misalnya pekerjaan membangun suatu instalasi listrik. Setelah
instalasi itu selesai dikerjakan, dengan sendirinya hubungan kerja antara
pekerja dengan pengusaha berakhir.
4. Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta di Indonesia
Dalam suatu situasi di mana penawaran tenaga kerja jauh lebih besar daripada
permintaan tenaga kerja, pemutusan hubungan kerja di luar ke_ inginan pekerja

PAGE \* MERGEFORMAT 17
berarti hilangnya mata pencaharian yang selama itu telah dimilikinya dengan
segala akibat yang ditimbulkan. Pemutusan hUbungan kerja juga menambah
beban masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung karena setiap
penganggur dan orang yang tidak mempunyai penghasilan juga harus memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan atau tanpa keluarga sekalipun. Mereka akhirnya akan
terusik untuk melakukan sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi orang lain atau
masyarakat, misalnya melakukan penipuan, pencurian, perampokan dan perbuatan
tercela lainnya.
Untuk mencegah pemutusan hubungan kerja, dibentuklah UU 12/ 1964
dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Pemutusan hubungan kerja atas prakarsa pengusaha sedapat
mungkin harus dicegah, bahkan dalam suatu kondisi tertentu harus
dilarang.
2. Apabila pemutusan hubungan kerja atas prakarsa pengusaha sulit
dihindarkan, undang-undang mewajibkan pengusaha untuk
memusyawarahkan maksud itu dengan pekerja atau Serikat Pekerja
yang bersangkutan.
3. Apabila melalui musyawarah itu tidak diperoleh hasil sebagaimana
diharapkan, maka undang - undang mewajibkan pengusaha untuk
mengajukan permohonan izin pemutusan hubungan kerja itu kepada
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) jika
pemutusan hubungan kerja bersifat perorangan atau kepada Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) jika mutusan
hubungan kerja itu bersifat massal atau lebih dari sepuluh orang.
Apabila setelah melalui penelitian dan pertimbangan yang
mendalam pada akhirnya P4P atau P4D memberi izin pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dikehendaki oleh pengusaha, pada
umumnya pengusaha diwajibkan memberi uang pesangon, uang
jasa dan ganti kerugian lain. Pemberian pesangon dan lain-lain
dapat dibenarkan apabila persyaratan untuk itu dipenuhi oleh
pekerja sebagaimana diatur dalam PMP 11/1964.
4. Apabila melalui musyawarah kedua pihak sepakat untuk
melaksanakan pemutusan hubungan kerja dengan syarat-syarat
yang dikehendaki bersama, pengusaha tetap berkewajiban untuk
mengajukan permohonan izin kepada P4P atau P4D dengan
melampirkan hasil kesepakatan tersebut. P4P atau P4D kemudian
memeriksa kesepakatan itu. Apabila kesepakatan antara pengusaha
dan pekerja tidak bertentangan dengan undang-undang, P4P atau
P4D akan mengabulkan permohonan izin pemutusan hubungan
kerja.
Kalau UU 12/ 1964 dikaji lebih mendalam, dapat dikatakan bahwa:

PAGE \* MERGEFORMAT 17
1. Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memberi
perlindungan dengan hukum kepada pekerja terhadap
kemungkinan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan
pengusaha secara sewenang - wenang.
2. Undang - undang tersebut cenderung memperhatikan kepentingan
social - ekonomis pekerja akibat pemutusan hubungan kerja,
dengan mewajibkan pengusaha memberi pesangon, uang jasa dan
ganti rugi lain.
3. Pasal 11 UU 12/1964 mengandung kelemahan. Nilai efektivitas
dan keadilan pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam pasal
tersebut banyak ditentukan oleh P4P atau P4D. Sebagai contoh :
Seorang pengusaha mengajukan permohonan izin pemutusan
hubungan kerja dengan seorang pekerja karena pekerja tersebut
menganiaya keluarga pengusaha. Pemutusan hubungan kerja
diUsulkan terhitung mulai tanggal penganiayaan. P4P atau P4D
melalui surat keputusannya mengabulkan permohonan itu dan
pemutusan hubungan kerja itu terhitung mulai tanggal
dikeluarkannya surat keputusan, misalnya satu bulan setelah
penganiayaan. Reaksi yang muncul dari pihak pengusaha adalah
rasa tidak Puas. Pengusaha dan keluarganya menganggap
keputusan P4P atau P4D itu tidak adil dan tidak edukatif.
4. UU 12/1964 belum memuat ketentuan mengenai kewajiban peng.
usaha untuk memberi pesangon atau uang jasa dalam kasus tusan
hubungan kerja atas keinginan pekerja. Karena ketentuan tersebut
tidak ada, pekerjaan yang sebenarnya mengharapkan pemutusan
hubungan kerja cenderung melakukan perbuatan Yang merugikan
pengusaha sehingga akhirnya timbul keinginan pengusaha untuk
mengadakan pemutusan hubungan kerja.
Pengusaha wajib mengajukan permohongan izin pemutusan hubungan kerja
jika pekerja yang akan diputuskan hubungan kerjanya sudah bersta. tus pekerja
atau pegawai tetap. Jika pekerja masih dalam masa percobaan pengusaha bebas
dari kewajiban tersebut. Dalam mengajukan permohonan izin pemutusan
hubungan kerja, pengusaha diharuskan memenuhi syarat - syarat berikut :
1. Permohonan diajukan setelah diadakan musyawarah dengan
pekerja atau Serikat Pekerja yang bersangkutan.
2. Pengusaha harus membuktikan bahwa musyawarah tidak berhasil.
3. Dalam surat permohonan harus disebutkan alasan pemutusan
hubungan kerja.
4. Surat permohonan harus bermeterai.
5. Pengusaha melampirkan nama, alamat, upaya terakhir,
keterampilan dan masa kerja pekerja yang bersangkutan.

PAGE \* MERGEFORMAT 17
Sementara itu, apabila pengusaha menolak keputusan P4D mengenai
pemutusan hubungan kerja perorangan yang diajukan, pengusaha diberi
kesempatan untuk mengajukan permintaan banding kepada P4P dengan prosedur
menurut UU 22/ 1957.
Dalam pelaksanaannya, untuk mempermudah usaha penyelesaian lebih
lanjut, pengusaha diwajibkan mengajukan permohonan izin pemutusan hubungan
kerja lewat Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat, kemudian diteruskan ke
P4P setelah syarat-syarat yang diperlukan dipenuhi, dan dilampiri surat
rekomendasi dari pejabat Kantor Departemen Tenaga Kerja yang bersangkutan.
Selanjutnya, apabila permohonan izin pemutusan hubungan kerja itu dapat
diluluskan dengan Surat Keputusan, berdasarkan PMP 9/1964 jo. Peraturan
Menteri Tenaga Kerja nomor 11/1964 jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor
Per.04/Men/1986 pengusaha Yang bersangkutan wajib memberi uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian Iain sesuai dengan masa kerja dan hak yang dimiliki
Oleh pekerja Yang bersangkutan.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

PAGE \* MERGEFORMAT 17
Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) adalah salah satu hal dalam dunia
ketenagakerjaan yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh pekerja buruh
yang masih aktif bekerja. Pemutusan hubungan kerja ini dapat terjadi karena
melakukan perbuatan tercela yang telah dilakukan pekerja dan merus Pemutusan
hubungan kerja ( PHK ) ada dua, yaitu pemutusan hubungan kerja dengan hormat
dan pemutusan hubungan kerja dengn tidak hormat. Pemutusan hubungan kerja
dengan predikat “Dengan hormat” pada umumnya diberikan apabila pemutusan
hubungan kerja dilakukan diluar kesalahn pekerja. Sebaliknya, pemutusan kerja
dengan predikat “Dengan Tidak Hormat” dilaksanakan karena kesalahan pekerja
yang benar - benar dapat dirasakan oleh pengusaha baik secara fisik maupun
psikologis.

3.2 SARAN
Sebaiknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilakukan dengan
Pertimbangan yang sangat matang karena pengaruh dari Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) cukup besar bagi perusahaan dan pekerja itu sendiri. Untuk
mengurangi masalah perselisihan yang terjadi akibat Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK), sebaiknya perusahaan dapat membina hubungan kerja yang harmonis,
serasi, dan terbuka agar tercipta suasana kerja yang baik sehingga apabila
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilakukan dalam bentuk apapun karyawan
akan menerimanya dengan baik. Sebaiknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
yang dilakukan berdasarkan dengan ketentuan dan peraturan Undang-Undang yang
berlaku, dimana hak dan kewajiban masing-masing pihak tertera di dalamnya
sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Daftar Pustaka

PAGE \* MERGEFORMAT 17
BIBLIOGRAPHY Ahmad, A. D. (2009). Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Amalia, L. (2007). Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Graha Ilmu.

Djumialdi, F. (2005). Perjanjian Kerja. Jakarta: Sinar Grafika.

Hartatik, I. P. (2014). Praktis Pengembangan SDM. Yogyakarta: Laksana.

Jehani, L. (2006). Hak Hak Pekerja Bila Di PHK. Jakarta: Visimedia.

Saksono, D. (1997). Administrasi Kepegawaian. Yogyakarta: Kanisius.

Simanjuntak, D. D. (2007). PHK dan Pesangon Karyawan. Jakarta: Visimedia.

PAGE \* MERGEFORMAT 17

Anda mungkin juga menyukai