Artikel
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah MSDM Lanjutan
Dosen Pengampu : Dr. Isniar Budiarti, SE., M.Si.
PAGE \* MERGEFORMAT 17
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar…………………………………………………………………………………………………………………………
……………i
Daftar
Isi………………………………………………………………………………………………………………………………………
………..ii
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………………………
………….1
1.1 Latar
Belakang……………………………………………………………………………………………………………………
…………...1
1.2 Rumusan
Masalah……………………………………………………………………………………………………………………
……...2
BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………………………………………
………..…3
BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………………………………………………………………
…………17
3.1
Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………………………
………………17
3.2
Saran………………………………………………………………………………………………………………………………
……………….17
Daftar
Pustaka……………………………………………………………………………………………………………………………
………….18
PAGE \* MERGEFORMAT 17
PAGE \* MERGEFORMAT 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bila seseorang diterima sebagai karyawan pada suatu perusahaan, berarti
orang itu sudah menjalankan hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan.
Dengan adanya hubungan pekerjaan, karyawan mempunyai hak dan tanggung
jawab begitupula dengan pihak perusahaan. Seperti halnya hidup, pengabdian dan
tanggungjawab kita di perusahaan juga pasti akan berakhir. Namun setiap orang
yang bekerja memiliki waktu pengabdian di perusahaan yang berbeda-beda,ada
yang hingga batas ketentuan yang telah disepakati, atau mungkin berakhir di
tengah karier. Bagi yang telah mencapai batas perjanjian, tentu saja tidaklah
bermasalah. Namun lain halnya dengan yang terpaksa harus berhenti ditengah
masa kerjanya. Pemutusan hubungan kerja sangatlah berpengaruh terhadap kondisi
perekonomian masyarakat yang sudah di PHK dari perusahaannya.
Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) adalah salah satu hal dalam dunia
ketenagakerjaan yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh pekerja buruh
yang masih aktif bekerja. Untuk masalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi
sebab berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja tidak
menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak yaitu pekerja dan
pengusahannya karena antara pihak yang bersangkutan sama-sama telah
menyadari atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga
masing-masing telah berpaya mempersiapkan diri menhadapi kenyataan tersebut.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu mejadi hal yang sulit baik bagi pen
gusaha maupun pekerja/buruh. Pengusaha menganggap terjadinya PHK merupaka
n hal yang wajar di dalam kegiatan perusahaan. Bagi pekerja/buruh, terjadinya PH
K berdampak sangat luas bagi kehidupanya tidak hanya bagi dirinya pribadi namu
n juga keluarganya. PHK jelas akan menyebabkan seorang pekerja/buruh kehilang
an mata pencahariannya. Demikian juga pada waktu pekerja tersebut berhenti atau
adanya pemutusan hubungan kerja dengan perusahaan, perusahaan mengeluarkan
dana untuk pensiun atau pesangon atau tunjangan lain yang berkaitan dengan pem
berhentian, sekaligus memprogramkan kembali penarikan pekerja baru yang sama
halnya seperti dahulu harus mengeluarkan dana untuk kompensasi dan pengemba
ngan pekerja.
Setiap alasan PHK pasti mengandung konsekuensi yang berbeda, khususnya
mengenai hak para pekerja yang di PHK karena ada yang karena PHK pekerja
tersebut harus mendapatkan uang pesangon, uang penggantian hak dan uang
penghargaan masa kerja. Walapun aturan soal PHK dan konsekuensi yang yang
harus diterima oleh pekerja dan atau dilakukan oleh pengusaha sudah diatur oleh
Undang-Undang Tenaga Kerja dengan rinci akan tetapi persoalan PHK selalu
menjadi Perdebatan. Ada pekerja yang menganggap tidak pantas untuk di PHK,
PAGE \* MERGEFORMAT 17
ada yang menganggap proses PHK yang dikenakan kepadanya tidak sesuai
dengan prosedur bahkan ada pelaku usaha yang telah melakukan PHK akan tetapi
tidak mau membayar uang Pesangon atau pengganti Hak.
Pemutusan Hubungan Kerja diatur secara rinci dan jelas dalam Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 dalam Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan
memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah terkait pemutusan hubungan kerja ini
adalah sebagai berkut :
1. Apa definisi dari PHK ?
2. Apa fungsi dan tujuan dari PHK ?
3. Apa saja alasan dari Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) ?
PAGE \* MERGEFORMAT 17
BAB II
PEMBAHASAN
Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Demikian pula hubungan
diawali, dan suatu saat juga pasti juga akan diakhiri, baik diminta oleh salah satu
pihak, maupun tidak. Suatu hubungan kerja pasti diawali dengan perjanjian kerja
baik secara tertulis maupun lisan. Dalam menyelenggarakan perjanjian kerja
harus dipenuhi persyartan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang –
undangan yang berlaku.
PHK sebenarnya berawal dari proses hubungan kerja, dimana hubungan ini
melibatkan seorang buruh dengan atasan.
Dalam suatu perusahaan adalah wajar bila pengusaha atau atasan berusaha
untuk mengendalikan kegiatan perusahaan agar efektif dan efesien. Oleh karena
itu atasan secara alamiah akan mempertahankan kekuasaan dan kebebasannya
dalam membuat keputusan yang akan berpengaruh terhadap jalannya perusahaan.
Pemutusan hubungan kerja ( PHK ) ada dua, yaitu pemutusan hubungan kerja
dengan hormat dan pemutusan hubungan kerja dengn tidak hormat. Pemutusan
hubungan kerja dengan predikat “Dengan hormat” pada umumnya diberikan
apabila pemutusan hubungan kerja dilakukan diluar kesalahn pekerja. Sebaliknya,
pemutusan kerja dengan predikat “Dengan Tidak Hormat” dilaksanakan karena
PAGE \* MERGEFORMAT 17
kesalahan pekerja yang benar - benar dapat dirasakan oleh pengusaha baik secara
fisik maupun psikologis.
PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha (Sativa,
2008)
PAGE \* MERGEFORMAT 17
2.2 Fungsi dan Tujuan Pemutusan Hubungan Kerja
A. Fungsi Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mengurangi biaya tenaga kerja
2. Menggantikan kinerja yang buruk. Bagian integral dari manajemen adalah
mengidentifikasi kinerja yang buruk dan membantu meningkatkan kinerjany.
3. Meningkatkan inofasi PHK meningkatkan kesempatan untuk memperoleh
keuntungan, yaitu:
a. Pemberian penghargaan melalui promosi atas kinerja individual yang tinggi
b. Menciptakan kesempatan untuk level posisi yang baru masuk
c. Tenaga kerja dipromosikan untuk mengisi lowongan kerja sebagai sumber daya
yang dapat memberikan inovasi/menawarkan pandangan baru.
4. Kesempatan untuk perbedaan yang lebih besar. Meningkatkan kesempatan
untuk mempekerjakan karyawan dari latar belakang yang berbeda-beda dan
mendistribusikan ulang komposisi budaya dan jenis kelamin tenaga kerja.
PAGE \* MERGEFORMAT 17
Keputusan P4P atau P4D mengenai izin pemutusn hubungan kerja
dengan kewajiban atau tanpa kwajiban apapun dari pengusaha sangat
tergantung pada keadaan pegawai yang sering mangkir, apapbila
pekeerja sering mangkir, karena sesuatu diluar kemauan dan
kekuasaannya, misalnya keluarganya sering sakit sementara rumahnya
jauh dari perusahaan, izin pemutusan hubungan kerja itu disertai
kewajiban pengusaha untuk memeberi uang pesangon, uang jasa dan
ganti kerugian lain sebagaimana diatur dalam PMP 9/1964 jo. PMP
11/1964. Sbaliknya izin pemutusan hubungan kerja diberikan tanpa
syarat bagi pegawai yang bersangkutan apabila nyata pekerja sering
mangkir dengan harapan dapat dipecat dengan memperoleh pesangon,
uang jasa, dan sebagainya karena ia yakin dapat pindah ke perusahaan
lain dengan upah dan syarat – syarat kerja yang diketahuinnya lebih
baik.
PAGE \* MERGEFORMAT 17
apalagi bila sakit yang diderita oleh pekerja itu terjadi karena
kecelakaan dalam masa hubungan kerja, misalnya kecelakaan terjadi
karena perjalanan yang biasa dilalui pada waktu pekerja pergi dan
pulang ke dan dari perusahan. Pemutusan hubungan kerja karena alasan
pekerja sering sakit diizinkan sesuai dengan ketentuan pengusaha wajib
memberi pesangon, uang jasa sesuai dengan masa kerja pegawai.
PAGE \* MERGEFORMAT 17
perusahaan mengadakan pengurangan jumlah pekerja, langkah
efisiensi harus dilakukan dari awal, baru kemudian pengusaha
bertindak selektif dengan berpean pada senioritas, tingkat kecakapan,
loyalitas serta jumlah keluarga Pekerja. Dengan pedoman senioritas
berarti pekerja yang masa kerjanya relatif masih singkat akan
diputuskan hubungan kerjanya lebih dulu, juga pekerja Yang kurang
cakap, tingkat loyalitasnya rendah dan yang belum berkeluarga atau
jumlah keluarganya relatif kecil.
PAGE \* MERGEFORMAT 17
aparat hukum ketenagakerjaan. Adapun alasan mendesak
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1603 P KUHP adalah:
1. Pengusaha menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam
sungguh-sungguh kepada pekerja.
2. Pengusaha membujuk atau mencoba membujuk pekerja untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang dan kesusilaan.
3. Pengusaha tidak membayar upah pada waktu yang ditentukan.
4. Pengusaha tidak memberi makanan dan perumahan yang pantas
seperti yang dijanjikan,
5. Pengusaha tidak memberi pekerjaan secukupnya, padahal upah
pekerja tergantung pada hasil yang dikerjakan.
6. Dalam hal tersebut di atas pengusaha tidak memberikan bantuan
secukupnya.
7. pengusaha melalaikan kewajiban-kewajiban yang sudah
disetujui- nya.
8. pengusaha memerintahkan kepada pekerja untuk bekerja pada
pengusaha Iain, sedangkan sifat hubungan kerja tidak
mengharuskannya.
9. Jika diteruskan hubungan kerja akan membawa bahaya yang
sungguh-sungguh bagi jiwa, kesehatan, kesusilaan atau nama
baik pekerja.
10. Pekerja tidak mampu bekerja karena sakit di luar kesalahannya.
Apabila dikaji secara mendalam sebenarnya tujuan ditetapkannya alasan
mendesak tersebut dalam KUHP adalah untuk memberikan kepastian kepada pihak
pengusaha yang didukung Oleh penjajah pada waktu itu bahwa pekerja terikat
pada perusahaan yang bersangkutan. Apabila pekerja menghendaki pemutusan
hubungan kerja tanpa alasan mendesak, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1603
p tersebut, dan pemutusan hubungan kerja itu tidak diberitahukan sebelumnya
(pasal 1603 i), pekerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pengusaha (pasal
1603 q).
Secara yuridis pengusaha tidak diwajibkan memberi pesangon atau Ilang jasa
Iainnya jika pemutusan hubungan kerja terjadi atas keinginan pekerja, apa pun
alasannya. Sekalipun demikian, sekarang ada pertimbangan mengenai
kemungkinan pemberian pesangon kepada pekerja yang pemutusan hubungan
kerjanya atas kehendak sendiri. Pemberian pesangon dalam kasus ini harus
diperhitungkan baik-baik karena sering terjadi pekerja menghendaki pemutusan
hubungan kerja dengan harapan menuntut uang pesangon.
3. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Lain
Dalam kehidupan suatu perusahaan juga dikenal pemutusan hubungan kerja
karena alasan-alasan Iain seperti:
PAGE \* MERGEFORMAT 17
a. Pekerja Meninggal Dunia
Sebagaimana telah dirumuskan dalam KUHP buku ketiga Bab 7A pasal
1603 j, hubungan kerja berakhir secara hukum apabila pekerja mening gal
dunia. Pemutusan hubungan kerja karena pekerja meninggal dunia dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu: meninggal dunia dalam hubungan kerja dan
meninggal dunia bukan dalam hubungan kerja. Pemutusan hubungan karena
pekerja meninggal dunia dalam hubungan kerja pada umumnya terjadi karena
kecelakaan, misalnya kecelakaan dalam perjalanan dari dan ke tempat kerja.
PAGE \* MERGEFORMAT 17
2. 40 kali tunjangan yang diterima setiap bulan jika tunjangan berkala itu
telah dibayar selama 1 — 2 tahun.
3. 32 kali tunjangan yang diterima setiap bulan jika tunjangan berkala itu
telah dibayar selama 2 3 tahun.
4. 24 kali tunjangan yang diterima setiap bulan jika tunjangan berkala itu
telah dibayarkan selama 3 tahun atau lebih.
Pemutusan hubungan kerja karena pekerja meninggal dunia bukan dalam
hubungan kerja sejauh ini belum diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan
sekalipun masa kerja pekerja pada perusahaan yang bersangkutan sudah cukup
lama. Keadaan ini merupakan suatu ketirnpengan, karena itu dibentuk program
ASTEK.
Melalui ASTEK sebagaimana diatur dalam PP 33/1977, pekerja peserta
ASTEK meninggal dunia bukan dalam hubungan kerja, kepada keluarganya
yang ditinggalkan diberikan tunjangan kubur sebesar Rp 170.000,00.
Dalam Kesepakatan Kerja Bersama pun telah ditetapkan pula kewajiban
pengusaha untuk memberikan tunjangan kepada keluarga pekerja yang
meninggal dunia, antara Iain dalam bentuk tunjangan biaya kubur, tunjangan
berkala bagi keluarga pekerja yang besarnya sangat relatif dan pada urnumnya
banyak ditentukan Oleh masa kerja pekerja yang meninggal dunia dan atas
kesepakatan kedua pihak yaitu pengusaha dengan Serikat Pekerja. Tunjangan
ini disesuaikan dengan kemampuan perusahaan yang bersangkutan.
b. Perjanjian Kerja Berakhir
Setelah pemutusan hubungan kerja karena perjanjian kerja telah
berakhir, ada tidaknya kewajiban pengusaha kepada pekerja pada
hakikatnya tergantung pada isi perjanjian kerja itu sendiri. Apabila dalam
perjanjian kerja telah dicantumkan suatu kewajiban pengusaha terhadap
pekerja, pengusaha harus melaksanakannya. Sebaliknya, apabila dalam
perjanjian kerja itu tidak disebutkan satu pun kewajiban pengusaha, secara
hukum pihak pekerja tidak dapat mengharapkan pemberian apa pun dari
pengusaha sebagai ganti rugi, kecuali surat keterangan pengalaman kerja,
apabila pekerja memerlukannya.
PAGE \* MERGEFORMAT 17
berarti hilangnya mata pencaharian yang selama itu telah dimilikinya dengan
segala akibat yang ditimbulkan. Pemutusan hUbungan kerja juga menambah
beban masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung karena setiap
penganggur dan orang yang tidak mempunyai penghasilan juga harus memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan atau tanpa keluarga sekalipun. Mereka akhirnya akan
terusik untuk melakukan sesuatu yang menimbulkan kerugian bagi orang lain atau
masyarakat, misalnya melakukan penipuan, pencurian, perampokan dan perbuatan
tercela lainnya.
Untuk mencegah pemutusan hubungan kerja, dibentuklah UU 12/ 1964
dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Pemutusan hubungan kerja atas prakarsa pengusaha sedapat
mungkin harus dicegah, bahkan dalam suatu kondisi tertentu harus
dilarang.
2. Apabila pemutusan hubungan kerja atas prakarsa pengusaha sulit
dihindarkan, undang-undang mewajibkan pengusaha untuk
memusyawarahkan maksud itu dengan pekerja atau Serikat Pekerja
yang bersangkutan.
3. Apabila melalui musyawarah itu tidak diperoleh hasil sebagaimana
diharapkan, maka undang - undang mewajibkan pengusaha untuk
mengajukan permohonan izin pemutusan hubungan kerja itu kepada
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) jika
pemutusan hubungan kerja bersifat perorangan atau kepada Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) jika mutusan
hubungan kerja itu bersifat massal atau lebih dari sepuluh orang.
Apabila setelah melalui penelitian dan pertimbangan yang
mendalam pada akhirnya P4P atau P4D memberi izin pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dikehendaki oleh pengusaha, pada
umumnya pengusaha diwajibkan memberi uang pesangon, uang
jasa dan ganti kerugian lain. Pemberian pesangon dan lain-lain
dapat dibenarkan apabila persyaratan untuk itu dipenuhi oleh
pekerja sebagaimana diatur dalam PMP 11/1964.
4. Apabila melalui musyawarah kedua pihak sepakat untuk
melaksanakan pemutusan hubungan kerja dengan syarat-syarat
yang dikehendaki bersama, pengusaha tetap berkewajiban untuk
mengajukan permohonan izin kepada P4P atau P4D dengan
melampirkan hasil kesepakatan tersebut. P4P atau P4D kemudian
memeriksa kesepakatan itu. Apabila kesepakatan antara pengusaha
dan pekerja tidak bertentangan dengan undang-undang, P4P atau
P4D akan mengabulkan permohonan izin pemutusan hubungan
kerja.
Kalau UU 12/ 1964 dikaji lebih mendalam, dapat dikatakan bahwa:
PAGE \* MERGEFORMAT 17
1. Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memberi
perlindungan dengan hukum kepada pekerja terhadap
kemungkinan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan
pengusaha secara sewenang - wenang.
2. Undang - undang tersebut cenderung memperhatikan kepentingan
social - ekonomis pekerja akibat pemutusan hubungan kerja,
dengan mewajibkan pengusaha memberi pesangon, uang jasa dan
ganti rugi lain.
3. Pasal 11 UU 12/1964 mengandung kelemahan. Nilai efektivitas
dan keadilan pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam pasal
tersebut banyak ditentukan oleh P4P atau P4D. Sebagai contoh :
Seorang pengusaha mengajukan permohonan izin pemutusan
hubungan kerja dengan seorang pekerja karena pekerja tersebut
menganiaya keluarga pengusaha. Pemutusan hubungan kerja
diUsulkan terhitung mulai tanggal penganiayaan. P4P atau P4D
melalui surat keputusannya mengabulkan permohonan itu dan
pemutusan hubungan kerja itu terhitung mulai tanggal
dikeluarkannya surat keputusan, misalnya satu bulan setelah
penganiayaan. Reaksi yang muncul dari pihak pengusaha adalah
rasa tidak Puas. Pengusaha dan keluarganya menganggap
keputusan P4P atau P4D itu tidak adil dan tidak edukatif.
4. UU 12/1964 belum memuat ketentuan mengenai kewajiban peng.
usaha untuk memberi pesangon atau uang jasa dalam kasus tusan
hubungan kerja atas keinginan pekerja. Karena ketentuan tersebut
tidak ada, pekerjaan yang sebenarnya mengharapkan pemutusan
hubungan kerja cenderung melakukan perbuatan Yang merugikan
pengusaha sehingga akhirnya timbul keinginan pengusaha untuk
mengadakan pemutusan hubungan kerja.
Pengusaha wajib mengajukan permohongan izin pemutusan hubungan kerja
jika pekerja yang akan diputuskan hubungan kerjanya sudah bersta. tus pekerja
atau pegawai tetap. Jika pekerja masih dalam masa percobaan pengusaha bebas
dari kewajiban tersebut. Dalam mengajukan permohonan izin pemutusan
hubungan kerja, pengusaha diharuskan memenuhi syarat - syarat berikut :
1. Permohonan diajukan setelah diadakan musyawarah dengan
pekerja atau Serikat Pekerja yang bersangkutan.
2. Pengusaha harus membuktikan bahwa musyawarah tidak berhasil.
3. Dalam surat permohonan harus disebutkan alasan pemutusan
hubungan kerja.
4. Surat permohonan harus bermeterai.
5. Pengusaha melampirkan nama, alamat, upaya terakhir,
keterampilan dan masa kerja pekerja yang bersangkutan.
PAGE \* MERGEFORMAT 17
Sementara itu, apabila pengusaha menolak keputusan P4D mengenai
pemutusan hubungan kerja perorangan yang diajukan, pengusaha diberi
kesempatan untuk mengajukan permintaan banding kepada P4P dengan prosedur
menurut UU 22/ 1957.
Dalam pelaksanaannya, untuk mempermudah usaha penyelesaian lebih
lanjut, pengusaha diwajibkan mengajukan permohonan izin pemutusan hubungan
kerja lewat Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat, kemudian diteruskan ke
P4P setelah syarat-syarat yang diperlukan dipenuhi, dan dilampiri surat
rekomendasi dari pejabat Kantor Departemen Tenaga Kerja yang bersangkutan.
Selanjutnya, apabila permohonan izin pemutusan hubungan kerja itu dapat
diluluskan dengan Surat Keputusan, berdasarkan PMP 9/1964 jo. Peraturan
Menteri Tenaga Kerja nomor 11/1964 jo. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor
Per.04/Men/1986 pengusaha Yang bersangkutan wajib memberi uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian Iain sesuai dengan masa kerja dan hak yang dimiliki
Oleh pekerja Yang bersangkutan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
PAGE \* MERGEFORMAT 17
Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) adalah salah satu hal dalam dunia
ketenagakerjaan yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh pekerja buruh
yang masih aktif bekerja. Pemutusan hubungan kerja ini dapat terjadi karena
melakukan perbuatan tercela yang telah dilakukan pekerja dan merus Pemutusan
hubungan kerja ( PHK ) ada dua, yaitu pemutusan hubungan kerja dengan hormat
dan pemutusan hubungan kerja dengn tidak hormat. Pemutusan hubungan kerja
dengan predikat “Dengan hormat” pada umumnya diberikan apabila pemutusan
hubungan kerja dilakukan diluar kesalahn pekerja. Sebaliknya, pemutusan kerja
dengan predikat “Dengan Tidak Hormat” dilaksanakan karena kesalahan pekerja
yang benar - benar dapat dirasakan oleh pengusaha baik secara fisik maupun
psikologis.
3.2 SARAN
Sebaiknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilakukan dengan
Pertimbangan yang sangat matang karena pengaruh dari Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) cukup besar bagi perusahaan dan pekerja itu sendiri. Untuk
mengurangi masalah perselisihan yang terjadi akibat Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK), sebaiknya perusahaan dapat membina hubungan kerja yang harmonis,
serasi, dan terbuka agar tercipta suasana kerja yang baik sehingga apabila
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilakukan dalam bentuk apapun karyawan
akan menerimanya dengan baik. Sebaiknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
yang dilakukan berdasarkan dengan ketentuan dan peraturan Undang-Undang yang
berlaku, dimana hak dan kewajiban masing-masing pihak tertera di dalamnya
sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Daftar Pustaka
PAGE \* MERGEFORMAT 17
BIBLIOGRAPHY Ahmad, A. D. (2009). Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
PAGE \* MERGEFORMAT 17