Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah
memberikan berkat, rahmat, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Pemutusan Hubungan Kerja terhadap
Karyawan PT. Ramayana Lestari Sentosa di Depok”. Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas Seminar Managemen yang diampu oleh Bapak Trijadi Herdajanto, S.E., MSi.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
sempurnanya makalah ini. Selanjutnya terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membimbing dan menyukseskan makalah ini, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta dapat
memberikan penjelasan mengenai Analisis Faktor-Faktor Pemutusan Hubungan Kerja
terhadap Karyawan PT. Ramayana Lestari Sentosa di Depok.
Penulis mengakui bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, karena pengalaman
yang penulis miliki masih terbatas. Oleh kerena itu penulis harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Mojokerto, 16 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 4
2.1 Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ............................................................... 4
2.2 Faktor-faktor Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ........................................................... 4
2.3 Dasar Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) .................................................... 6
2.4 Dampak PHK bagi perusahaan dan pekerja ..................................................................... 7
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................................ 8
3.1 Alasan perusahaan melakukan PHK secara sepihak ........................................................ 8
3.2 Perlindungan hukum terhadap pekerja yang di PHK secara sepihak ............................... 9
3.3 Analisa force majeure dalam kebijakan PHK dimasa pandemi Covid-19 di Indonesia 11
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................ 14
4.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 14
4.2 Saran ............................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terdapat berbagai permasalahan dalam dunia ketenagakerjaan. Dimana luas
kaitannya dengan penciptaan iklim usaha, keamanan, kestabilan, kebijakan, peraturan
perundangan, dan sebagainya. Salah satu kebijakan dari suatu perusahaan yang sangat
menyulitkan pekerja yaitu mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PHK merupakan
suatu kegiatan rutinitas dilakukan setiap organisasi untuk kepentingan kelanjutan
usahanya. PHK adalah keluarnya anggota organisasi dari keanggotaan yang diakibatkan
terbatasnya kemampuan untuk memenuhi kepentingan organisasi. PHK merupakan suatu
yang tidak dikehendaki oleh pihak-pihak dalam organisasi.

Bagi karyawan PHK merupakan hilangnya pekerjaan yang berarti berkurangnya


sebagian gaji atau upah yang menjadi sumber penghasilan karyawan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. PHK tidak dapat dilaksanakan berdasarkan kehendak semata,
karena pelaksanaannya sudah diatur didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Dengan kehadiran Covid-19 yang telah menyebarluas ke seluruh
dunia termasuk Indonesia, menjadikan PHK sebagai suatu musim yang sedang marak
terjadi. Perusahaan dan instansi ramai mengklaim dirinya mengalami kerugian karena
pandemi ini sehingga berbondong bondong memutus hubungan dengan pekerjanya. Salah
satunya seperti yang dialami oleh para karyawan PT. Ramayana Lestari Sentosa di Depok
pada 6 April 2020.

Perusahaan dapat melakukan PHK sebagai dampak pandemi Covid-19 dengan


alasan force majeure atau keadaan memaksa serta efisiensi. Menurut pasal 154A ayat (1)
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) dan peraturan turunannya
yakni Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PP
35/2021), pada pasal 36 telah diatur terkait alasan yang diperbolehkan untuk perusahaan
melakukan PHK.

Diantara aturan – aturan tersebut adalah : (1) Perusahaan melakukan


penggabungan,peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh
tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima
pekerja/buruh. (2) Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan
atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami

1
kerugian. (3) Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian
secara terus menerus selama 2 (dua) tahun. (4) Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan
memaksa (force majeure). (5) Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban
pembayaran utang. (6) Perusahaan pailit. (7) Adanya permohonan pemutusan hubungan
kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh atau kondisi dari pekerja itu sendiri.

Dikutip dari liputan6.com, Store Manager City Plaza Depok M Nukmal Amdar
mengatakan pihak manajemen memutuskan untuk berhenti beroperasi sehingga ada 87
karyawan Ramayana yang terkena PHK. Keputusan ini diambil lantaran omzet penjualan
menurun hingga 80 persen. Perusahaan pun tak mampu lagi menanggung semua biaya
operasional. Akibatnya, pemutusan hubungan kerja terpaksa dilakukan. Namun ternyata
toko swalayan ini kembali beroperasi setelah sebulan para pekerja mengalami PHK karena
masih harus membayar gaji 37 karyawan yang masih bertahan. Langkah yang diambil
manajemen PT ramayana Depok cukup disayangkan karena terlalu cepat melakukan PHK
terhadap mayoritas pekerjanya. Bahkan gerai ini sempat didenda sejumlah Rp. 7 juta
karena nekat buka saat PSBB.

Hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja adalah dengan perjanjian kerja,
Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat (14), adalah :
“Perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.

Saat seseorang diterima sebagai karyawan pada suatu perusahaan maka telah
terjadi suatu hubungan kerja. Dengan adanya hubungan kerja yang menimbulkan
keterkaitan satu dengan yang lain, masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban
terhadap yang lain. Maka alasan yang dikemukakan pihak yang menginginkan PHK harus
lah jelas agar tidak ada penyelewengan hak dan kewajiban oleh pihak manapun. Oleh
karena itu, makalah ini akan membahas faktor – faktor terjadinya PHK khususnya di PT
Ramayana Depok.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Mengapa perusahaan melakukan PHK secara sepihak terhadap karyawan PT.
Ramayana di Depok selama pandemi COVID-19?
1.2.2 Bagaimana perlindungan hukum terhadap karyawan yang di PHK secara sepihak
di PT. Ramayana Lestari Sentosa Depok ?

2
1.2.3 Bagaimana Analisa force majeure dalam kebijakan PHK dimasa pandemi Covid-
19 di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui alasan perusahaan melakukan PHK secara sepihak terhadap
karyawan PT. Ramayana di Depok selama pandemi COVID-19.
1.3.2 Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap karyawan yang di PHK secara
sepihak di PT. Ramayana Lestari Sentosa Depok.
1.3.3 Untuk mengetahui Analisa force majeure dalam kebijakan PHK dimasa pandemi
Covid-19 di Indonesia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
perusahaan/majikan. Artinya harus adanya hal/alasan tertentu yang mendasari
pengakhiran hubungan kerja ini. Dalam aturan perburuhan, alasan yang mendasari PHK
dapat ditemukan dalam pasal 154A ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU 13/2003). Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(UU 11/2021) dan peraturan pelaksananya yakni pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 35
tahun 2021 tentang perjanjian kerja waktu tertentu, alih daya, waktu kerja dan waktu
istirahat, dan pemutusan hubungan kerja (PP 35/2021).
Manulang (2001: 1995), di dalam buku “Manajemen Sumber Daya Manusia”
menyatakan bahwa pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dengan pengusaha.
Menurut Susilo Martoyo menyatakan bahwa pengertian PHK dapat
dikelompokkan sebagai berikut :Pengertian PHK yang positif adalah bila pemberhentian
dijalankan saat atau jangka pemberhentian dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
secara wajar.Selanjutnya adalah pengertian PHK yang negatif adalah proses PHK
tersebut menyimpang dari ketentuan atau secara tidak wajar seperti diberhentikan secara
tidak hormat, dipecat, dll.
Siswanto Sastrohadiwiryo (2001: 305), PHK adalah sebuah proses pelepasan
keterikatan kerjasama antara perusahaan dengan tenaga kerja, baik itu atas pemintaan
tenaga kerja atau atas kebijakan perusahaan karena di pandang tenaga kerja tersebut tidak
mampu lagi atau karena perusahaan yang tidak memungkinkan.

2.2 Faktor-faktor Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Menurut Maier (2000:116), Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemutusan Hubungan
Kerja yaitu:
1. Faktor Pribadi
a. Usia, pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi daripada
pekerja-pekerja yang lebih tua. Semakin tinggi usia seseorang, semakin rendah
intensi untuk melakukan turnover. Karyawan yang lebih muda lebih tinggi
kemungkinan untuk keluar. Hal ini mungkin disebabkan pekerja yang lebih tua

4
enggan berpindah-pindah tempat kerja karena berbagai alasan seperti tanggung
jawab keluarga, mobilitas yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan
memulai pekerjaan di tempat kerja baru, atau karena energi yang sudah berkurang,
dan lebih lagi karena senioritas yang belum tentu diperoleh di tempat kerja yang
baru walaupun gaji dan fasilitasnya lebih besar.
b. Lama Kerja, Pemutusan hubungan kerja lebih banyak terjadi pada karyawan
dengan masa kerja lebih singkat. Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal
merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya turnover tersebut.
Karyawan sering pula menemukan harapan-harapan mereka terhadap pekerjaan
atau perusahaan itu berbeda dengan kenyataan yang didapat. Disamping itu,
umumnya pekerja-pekerja baru itu masih muda usianya, masih punya keberanian
untuk berusaha mencari perusahaan dan pekerjaan yang sesuai dengan yang
diharapkan.
c. Keikatan terhadap perusahaan. Pekerja yang mempunyai rasa keikatan yang kuat
terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk
perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup,
serta gambaran diri yang positif. Akibat secara langsung adalah menurunnya
dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan.
2. Kepuasan kerja.
Ketidakpuasan yang menjadi penyebab turnover memiliki banyak aspek, diantara
aspek-aspek itu adalah ketidakpuasan terhadap manajemen perusahaan, kondisi kerja,
mutu pengawasan, penghargaan, gaji, promosi dan hubungan interpersonal. Kepuasan
terhadap kerja, dengan kepuasan kerja yang diperoleh, diharapkan kinerja karyawan
yang tinggi dapat dicapai para karyawan. Tanpa adanya kepuasan kerja, karyawan
akan bekerja tidak seperti apa yang diharapkan oleh perusahaan.
3. Budaya perusahaan
Budaya perusahaan merupakan suatu kekuatan tak terlihat yang mempengaruhi
pemikiran, perasaan, pembicaraan maupun tindakan manusia yang bekerja di dalam
perusahaan. Budaya perusahaan mempengaruhi persepsi mereka, menentukan dan
mengharapkan bagaimana cara individu bekerja sehari-hari dan dapat membuat
individu tersebut merasa senang dalam menjalankan tugasnya.

5
2.3 Dasar Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Ketentuan dalam aturan perburuhan nasional pada prinsipnya mengenai PHK
menyatakan bahwa berbagai pihak dalam hal ini pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan
pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK (pasal 151 ayat (1) UU 13/2003.
pasal 37 ayat (1) PP 35/2021)
Adapun UU Nomor 13 Tahun 2003 telah melakukan pembatasan-pembatasan
terhadap pengusaha atau perusahaan jika hendak melakukan PHK. Alasan-alasan yang
melarang adanya PHK adalah sebagai berikut:
a. Pekerja/Buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
b. Pekerja/Buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang
berlaku;
c. Pekerja/Buruh menjalankan ibadah yang diperintahkanagamanya;

d. Pekerja/Buruh menikah;

e. Pekerja/Buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui


bayinya;
f. Pekerja/Buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
Pekerja/Buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerjabersama;
g. Pekerja/Buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat
Pekerja, Pekerja/Buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat pekerja di luar jam
kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
h. Pekerja/Buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha melakukan tindak pidana kejahatan;
i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; Pekerja/Buruh dalam keadaan cacat
tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut
surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 153 Ayat (1), maka PHK yang dilakukan batal demi hukum, dan

6
pengusaha wajib mempekerjakan kembali Pekerja/Buruh yang bersangkutan.
UU Nomor 13 Tahun 2003 mengatur tata cara pelaksanaan PHK sehingga dapat
dijadikan acuan oleh Pekerja/Buruh untuk mencermati keputusan PHK yang dilakukan
oleh pihak pengusaha/perusahaan. Undang-undang mewajibkan kepada pihak
pengusaha/perusahaan untuk terlebih dahulu mengajukan permohonan izin melakukan
PHK kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial(LPPHI).
Pasal 155 Ayat (2) menetapkan bahwa selama menunggu keputusan dari LPPHI,
baik pengusaha maupun pekerja/buruh tetap menjalankan kewajibannya seperti semula.
Sedangkan pada Ayat (3) ditentukan bahwa pengusaha dapat melakukan penyimpangan
terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

2.4 Dampak PHK bagi perusahaan dan pekerja


Dampak pemutusan hubungan kerja berdampak pada instansi maupun diri sendiri.
Dampak pemutusan hubungan kerja bagi instansi yaitu kekurangan sumber daya manusia,
merugikan perusaahaan terutama kerugian dana dan waktu dalam hal rekruitmen dan
seleksi, harus mencari penggantinya dengan karyawan baru. Solusi yang dilakukan
instansi yaitu melakukan pembinaan pada karyawanan dengan jangka waktu tertentu
untuk mengetahui kemampuan karyawan dan diberikan berupa peringatan, serta
penjelasan akan tindakan yang telah dilakukan.
Dampak pemutusan hubungan kerja bagi diri sendiri berdampak pada
perekonomian karyawan, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, harus
bersusah payah mencari pekerjaan baru. Solusi yang dilakukan oleh diri sendiri yaitu
mempertahankan dan meningkatkan kinerja agar tidak terjadinya pemutusan hubungan
kerja, karyawan juga bisa memulai dengan berwirausaha dan membuat peluang pekerjaan
baru.

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Alasan perusahaan melakukan PHK secara sepihak


Ramayana Depok merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di sektor
industri, khususnya di bidang ritel fashion. Seiring dengan meluasnya pandemi covid ini
membuat permintaan pasar di Ramayana Depok menurun. Hal ini diakibatkan karena
pandemi covid-19 telah membuat banyak masyarakat Indonesia yang beraktifitas sehari-
hari menjadi sangat terbatas. Apalagi sejak dikeluarkannya status darurat bencana yang
dilakukan oleh pemerintah, telah membuat beberapa daerah di Indonesia melakukan
kebijakan social distancing hingga penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020
tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dalam Pasal 61 Ayat (1) huruf (d) Undang-Undang Ketenagakerjaan dijelaskan
bahwa “perjanjian kerja dapat berakhir apabila adanya kejadian tertentu yang dicantumkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya perjanjian kerja”. Kejadian tertentu dalam pasal ini dapat
dimaknai sebagai kejadian memaksa atau lebih dikenal sebagai force majeure dalam istilah
perdata. Menurut Asser, akibat dari force majeur menimbulkan dua kemungkinan, yaitu
pengakhiran perjanjian atau penundaan kewajiban.
Alasan Ramayana Depok melakukan PHK terhadap pekerjanya didasarkan pada
alasan force majeure. Pandemi covid ini sebagai keadaan yang tidak diinginkan oleh pihak
Ramayana Depok maupun oleh pekerjanya. Bahkan dengan adanya pandemi covid ini
membuat baik perusahaan maupun pekerjanya rugi. Perusahaan rugi karena telah terjadi
penurunan omzet hingga 80 persen hingga perusahaan tidak mampu lagi menanggung
semua biaya operasionalnya dan terjadinya penutupan operasional di Ramayana Depok.
Tentunya pekerja juga rugi karena telah kehilangan pekerjaannya sejak penutupan
operasional Ramayana Depok tersebut, sehingga memungkinkan membuat pekerja untuk
mencari pekerjaan sampingan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Pekerja di Ramayana Depok memang telah mematuhi kewajiban perjanjian kerjanya
dengan perusahaan. Pekerja di Ramayana Depok juga tetap bekerja atau hadir sesuai
ketentuan saat operasional Ramayana tersebut masih buka. Namun, memang karena adanya
penurunan omzet penjualan hingga perusahaan tidak mampu lagi menanggung semua biaya
operasionalnya. Akibatnya penutupan perusahaan Ramayana Depok yang membuat pekerja

8
tersebut terpaksa harus dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak oleh
Ramayana Depok.

3.2 Perlindungan hukum terhadap pekerja yang di PHK secara sepihak


Dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh Ramayana
Depok berarti telah terjadi penghentian perjanjian kerja secara sepihak. Pihak Ramayana
Depok memang menjelaskan bahwa telah terdapat sosialisasi mengenai kondisi perusahaan
terhadap pekerjanya. Namun, proses sosialisasi tersebut terjadi H-1 sebelum adanya
keputusan PHK.
PHK yang dilakukan Ramayana Depok terjadi karena adanya penurunan omzet
penjualan hingga penutupan operasional (lock out). Dalam Pasal 148 ayat (1) Undang-
Undang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa “Pengusaha wajib memberitahukan secara
tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari
kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan”. Proses sosialisasi yang
terjadi H 1 sebelum adanya keputusan PHK tentu sangat tidak sesuai dengan Pasal 148
tersebut Menurut teori perlindungan hukum, bahwa perlindungan hukum dapat berupa
perlindungan hukum secara preventif (pencegahan) dan perlindungan hukum secara represif
(hukuman). Perlidungan hukum secara preventif yang dilakukan oleh pihak Ramayana
Depok, seperti telah dijelaskan diatas telah terjadi proses sosialisasi mengenai kondisi
perusahaan, walaupun proses sosialisasinya dilakukan H-1 sebelum ketentuan PHK.
Sementara perlindungan hukum secara represif yang dilakukan oleh Ramayana Depok telah
menimbulkan akibat hukum berupa perusahaan harus melaksanakan kewajiban karena telah
melakukan PHK sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perusahaan Ramayana
Depok karena telah melakukan PHK terhadap pekerjanya, diwajibkan untuk membayar
uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima, hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
Selanjutnya dalam Pasal 156 ayat (2) disebutkan bahwa perhitungan uang pesangon paling
sedikit sebagai berikut :
a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan
upah;

9
c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)
bulan upah;
f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah;
h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah;
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Ramayana Depok disebabkan
karena omset penjualan menurun hingga penutupan perusahaan. Dalam Pasal 164 ayat (1)
Undang-Undang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa “Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang
disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4)”. Kerugian perusahaan Ramayana Depok saat pandemi covid-19 memang
belum secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun, tetapi perusahaan Ramayana Depok telah
terjadi penurunan omset penjualan hingga 80 persen, bahkan hingga perusahaan Ramayana
Depok tidak dapat lagi menanggung semua biaya opersionalnya.
Perlindungan hukum terhadap pekerja setelah terjadinya PHK, dimana setelah
terjadinya PHK tersebut, selain upah atau uang pesangon tersebut ada hak-hak pekerja
lain yang harus diterima oleh pekerja, yaitu16 :
a. Imbalan kerja (gaji, upah dan lainnya) sebagaimana yang telah diperjanjikan bila
ia telah melaksanakan kewajibannya.
b. Fasilitas dan berbagai tunjangan atau dana bantuan yang menurut perjanjian dan
akan diberikan oleh majikan atau perusahaan kepadanya.
c. Perlakuan yang baik atas dirinya melalui penghargaan dan penghormatan yang
layak, selaras dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
10
d. Perlakuan yang adil dan seimbang antara dirinya dan kawan-kawannya, dalam
tugas dan penghasilannya masing-masing dalam angka perbandingan yang sehat.
e. Jaminan kehidupan yang wajar dan layak dari pihak majikan.
f. Jaminan perlindungan dan keselamatan diri dan kepentingannya selama hubungan
kerja berlangsung.
Menurut penjelasan yang dipaparkan oleh M. Nukmal Amdar selaku Store Manager
Ramayana Depok dalam kutipan wartaekonomi.co.id, pihaknya mengaku telah memproses
hak pesangon bagi 87 pekerjanya yang terdampak PHK. Bahkan, pihak PT. Ramayana
Lestari Sentosa Tbk (RALS) juga telah mendaftarkan pekerjanya yang telah di PHK kepada
Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat sehingga terfasilitasi untuk menerima Kartu
Prakerja.17 Tentunya dengan pekerja menerima kartu prakerja, berarti para pekerja yang di
PHK tersebut telah mendapatkan jaminan kehidupan yang wajar dan layak dari pihak
perusahaan. Dari segi hukum perdata, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), PHK dengan alasan force majeur sebagai alasan mendesak diatur dalam
Pasal 1603o dan Pasal 1603p KUHperdata. Adapun penggantian kerugian karena adanya
force majeur diatur pada Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Ganti kerugian tersebut
dalam KUHPerdata dapat berupa biaya, rugi dan bunga.

3.3 Analisa force majeure dalam kebijakan PHK dimasa pandemi Covid-19 di Indonesia
Merujuk Pasal 164 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan menyatakan, pengusaha dapat melakukan PHK pekerja/buruh karena
perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa atau force majeure. Kemudian Pasal
164 Ayat (3) UU 13/2003 menambahkan pengusaha juga dapat melakukan PHK pekerja/
buruh karena perusahaan tutup bukan karena kerugian 2 tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa atau force majeur tetapi disebabkan efesiensi. Para pekerja/buruh
pun saat di PHK mendapatkan uang pesangon satu kali.

Menteri Ketenagakerjaan, dalam pernyataannya terkait force majeure yang


berkonsekuensi kepada para pekerja dengan memutus hubungan kerja tidak mendukung
alasan-alasan perusahaan tersebut, beliau menghimbau bahwa perusahaan seharusnya
membuat langkah yang bisa ditempuh seperti; mengurangi upah dan fasilitas manajer serta
direktur, mengurangi shift kerja, membatasi kerja lembur atau merumahkan buruh untuk
sementara waktu. Namun beberapa perusahaan yang sudah mengeluarkan kebijakan untuk
memutus hubungan kerja tetap berdalih mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk
membayar pesangon atau upah para pekerja. Hal tersebut menyalahi Peraturan

11
ketenagakerjaan yang menyakan bahwa perusahaan boleh tutup jika sudah mencapai
kerugian selama 2 tahun. Sedangkan Covid-19 ini belum mencapai atau memasuki setengah
tahun. Alasan force majeure yang dipakai oleh beberapa perusahaan tidak dapat diterima
oleh beberapa kalangan.

Menurut R Subekti, suatu keadaan dikatakan force majeure yaitu; keadaan itu sendiri
di luar kekuasaan perusahaan dan memaksa, dan keadaan tersebut harus keadaan yang tidak
dapat diketahui pada waktu perjanjian ini dibuat, setidaknya resikonya tidak dipikul oleh
para pekerja yang di PHK. Dengan adanya beberapa syarat, maka seseorang tidak dapat
semaunya sendiri mengatakan dirinya mengalami force majeure. Dalam Pasal 47 ayat (1)
huruf j UU 2/2017 tentang Jasa Konstruksi menjelaskan terkait force majeure. Menurut
ketentuan pasal tersebut, maka force majeure dapat diartikan sebagai kejadian yang timbul
diluar kemauan dan kemmapuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu
pihak. Keadaan memaksa tersebut meliputi .

1. Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak
mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.
2. Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (relatif) yakni bahwa para pihak masih
dimungkinkan melaksanakan hak dan kewajibannya.

Dalam hal wabah covid-19 ini, bisa dikatakan sebagai suatu peristiwa yang tidak
terduga pada saat perjanjian atau kebijakan itu dibuat. Artinya jika ada perjanjian yang
dibuat pada saat wabah sedang menjalar dan menjangkit pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dijadikan alasan sebagai force majeure. Dengan demikian, maka perlu adanya
perlindungan terhadap tenaga kerja untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja dengan tetap mementingkan perkembangan
kepentingan perusahaan mengacu pada Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, kerugian yang diakibatkan oleh perusahaan belum meng-epilog.
Berdasarkan uraian diatas, kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam masa
pandemi covid-19 yang dijadikan alibi oleh beberapa perusahaan dirasa tidak logis, karena
beberapa perusahaan berdalih dengan force majeure. Dimana alasan tersebut tidak bisa
dikategorikan dengan wabah yang sedang merembak di Indonesia, Covid-19, dan wabah
tersebut juga tidak dikategorikan dengan Bencana Nasional. Dengan mengacu pada
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kerugian yang
diakibatkan oleh perusahaan belum mencapai 2 tahun maka perusahaan tidak bisa memutus
hubungan kerja begitu saja. Maka perlu adanya upaya lain yang diberikan oleh perusahaan

12
atau pemerintah dalam menanggulangi dampak Covid-19 kepada para pekerja yang di PHK
agar dapat membatasi waktu kerja/lembur dan para pekerja bisa dirumahkan dengan tidak
memutus hubungan kerja. Dengan hal tersebut dapat membantu pemerintah untuk
mengurangi angka pengangguran dan dapat membantu pemerintah menumbuhkan
perekonomian dikala pandemi Covid-19.

13
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa dengan adanya pandemi covid-19 ini sebagai alasan force majeure perusahaan
Ramayana Depok melakukan PHK terhadap pekerjanya. Alasan force majeure tersebut
dituangkan karena penurunan omzet penjualan hingga 80 persen, bahkan hingga terjadi
penutupan operasionalnya (lock out). Dengan menggunakan teori perlindungan hukum,
maka pekerja yang di PHK oleh perusahaan Ramayana Depok berhak atas upah ataupun
uang pesangon serta hak-hak pekerja lain yang berupa jaminan. Hal ini dilakukan agar
pekerja tersebut tidak merasa dirugikan, karena fungsi hukum sendiri adalah melindungi
rakyatnya

4.2 Saran
Saran penulis, pihak Ramayana Depok dalam melakukan PHK terhadap pekerjanya
harus melakukan proses sosialisasi mengenai kondisi perusahaan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja sebelum adanya keputusan mengenai penutupan perusahaan (lock out).
Serta PHK yang dilakukan oleh pihak Ramayana Depok harus memperhatikan ketentuan
dalam perundang-undangan yang berlaku.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adisu, E., & Jehani, L. (2007). Hak-Hak Pekerja Perempuan. Tanggerang: Visi Media.
Ketenagakerjaan, K. (n.d.). Data Jumlah PHK Dimasa Pandemi Covid.
Alfa, M. Z., & Murni, S. 2016. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemutusan Hubungan Kerja
Karyawan pada PT PLN (Persero) Rayon Manado Utara. (Online),
(https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/emba/article/view/11594), diakses 25 Oktober
2021.
Alfa, M., Murni, F. and Roring (2016). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemutusan
Hubungan Kerja Karyawan Pada Pt. Pln (Persero) Rayon Manado Utara. Analisis
Penerapan Teknologi«Jurnal EMBA, [online] 261(1), pp.261–271. Available at:
https://media.neliti.com/media/publications/2898-ID-faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-pemutusan-hubungan-kerja-karyawan-pada-pt-pln-pe.pdf [Accessed
30 Oct. 2021].
Amilia, Ni Komang Sri Intan dan I Gede Yusa. 2018. Penyebab Terjadinya Pemutusan
Hubungan Kerja Oleh Pengusaha Terhadap Pekerja Ditinjau Berdasarkan Hukum
Ketenagakerjaan. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, [S.l.], hal. 1-5. ISSN 2303-
0569.
Depok.pikiran-rakyat.com. (2020, 21 Mei). Sempat PHK Puluhan Karyawannya, Ramayana
Depok Kembali Beroperasi hingga Didenda Rp 7 Juta. Diakses pada 23 Oktober 2021.
Frivanty, S., dan Dwi Aryanti Ramadhani. 2020. Pandemi Covid-19 Sebagai Alasan
Perusahaan Untuk Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak.
National Conference For Law Studies: Pembangunan Hukum Menuju Era Digital
Society. ISBN: 978-979-3599-13-7.
Gunawan, I., dan Benty, D. D. N. 2017. Manajemen Pendidikan: Suatu Pengantar Praktik.
Bandung: Alfabeta.
Kasmir. 2016. Manajemen Sumber Daya Manusia (Teori dan Praktik). Jakarta: Rajawali Pers.
Kresal, B. 2006. Termination of Employment Relantionship: The Legal Situation in Slovenia.
(Online), (http://ec.europa.eu/social), diakses 25 Oktober 2021.
Megapolitan.kompas.com. (2020, 8 April). Ketika Ratusan Pegawai Ramayana Depok Terkena
Gelombang PHK Imbas Covid-19. Diakses pada 23 Oktober 2021.
Muhammad Mufid Luthfi (2020). Mengenal Apa itu PHK : Penjelasan, Faktor, Tujuan dan
Dampaknya untuk Bisnis. [online] IDCloudHost. Available at:

15
https://idcloudhost.com/mengenal-apa-itu-phk-penjelasan-faktor-tujuan-dan-
dampaknya-untuk-bisnis/amp/ [Accessed 30 Oct. 2021].

Muslim, Moh. 2020. PHK pada Masa Pandemi Covid-19. ESENSI: Jurnal Manajemen Bisnis,
Vol. 23 No. 3.
Rohman Wibowo (2020). PHK Massal 159 Pegawai, Ramayana Depok Disebut Manfaatkan
Isu COVID-19. [online] IDN Times. Available at:
https://www.idntimes.com/news/indonesia/rohman-wibowo/phk-massal-159-pegawai-
ramayana-depok-disebut-manfaatkan-isu-covid-19br [Accessed 30 Oct. 2021].
Sedarmayanti. 2017. Manajemen Sumber Daya Manusia Reformasi Birokrasi dan Manajemen
Pegawai Sipil. Bandung: PT Refika Aditama.
Syahrizal Sidik (2020). Usai PHK, Ramayana Janji Pekerjakan Lagi 87 Karyawannya.
[online] CNBC Indonesia. Available at:
https://www.cnbcindonesia.com/market/20200414135444-17-151805/usai-phk-
ramayana-janji-pekerjakan-lagi-87-karyawannya [Accessed 30 Oct. 2021].
Zini,ahmad .”pengaturan pemutusan hubungan kerja (PHK) menurut peraturan perundang-
undangan.”http://uinbanten.ac.id/index.php/ahkm/article/download/1753/1548,diakses
pada tanggal 14 Oktober 2021.

16

Anda mungkin juga menyukai