Anda di halaman 1dari 4

DISHARMONI UNDANG-UNDANG PENGADILAN PAJAK DAN UNDANG-

UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN TERKAIT


DENGAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

oleh
Susi Zulvina
email Susi_Sadeq @yahoo.com
Widyaiswara STAN
editor
Ali Tafriji Biswan
email al_tafz@stan.ac.id

Abstrak
Penegakan hukum pajak merupakan hal yang penting, mengingat peran
strategis pajak sebagai sumber utama pendapatan negara saat ini. Namun
demikian, pelaksanaan pemungutan pajak tidak selalu berjalan lancar.
Adakalanya mendapat perlawanan dari Wajib Pajak (WP) sehingga
menimbulkan sengketa. Berdasarkan Pasal 1 angka (5) UU Nomor 14
Tahun 2002, pengertian sengketa pajak merupakan sengketa yang timbul
dalam bidang perpajakan antar WP dan penanggung pajak dengan pejabat
yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan
penagihan berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat
paksa. Adapun dasar hukum penyelesaian sengketa pajak terdapat pada
UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) dan UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak. Untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan, seyogyanya
ketentuan perundang-undangan ini berselarasan satu dengan yang lain;
tidak ambigu. Dalam kenyataannya, apalagi menyangkut penafsiran,
ketentuan tersebut “terkesan” kurang selaras. Tulisan ini mengupas
ketidakselarasan tersebut, dan mendorong titik temu sehingga
persoalannya menjadi lebih jelas dan berkekuatan hukum pasti.

Kata kunci: pajak, disharmoni, sengketa pajak, KUP, peradilan semu,


Pengadilan Pajak

O000O

Definisi dan Karakteristik Pajak


Pajak memang bersifat memaksa. Mengacu pada Pasal 1 UU KUP, pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Pajak dipungut berdasarkan norma hukum, untuk membiayai
penyelenggaraan negara guna mencapai kesejahteraan umum seluruh rakyat

1
Indonesia. Adalah wajar, jika Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) selaku otoritas
pajak di Indonesia, terus memburu potensi pajak untuk meningkatkan penerimaan
negara yang targetnya terus naik dari tahun ke tahun. Hal ini diupayakan baik
melalui edukasi, penegakan, maupun penggalian potensi pajak yang belum
terungkap. Penegakan perpajakan perlu karena pada “naluriahnya” subjek pajak itu
menghindari pajak, sehingga terdapat indikasi WP “bersembunyi” di balik laporan
keuangan yang menyebut perusahaan merugi. Oleh karenanya, jika berdasarkan
analisis awal ada yang tidak beres dengan laporan pajak perusahaan tertentu,
petugas (DJP) bisa melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan yang
bersangkutan.

Beda Persepsi Aturan Perpajakan


Dalam konteks pemeriksaan di atas, sebenarnya WP tidak melulu harus khawatir
akan hasil pemeriksaan. Interpretasi laporan pajak antara pihak Ditjen Pajak dan WP
tentu bisa berbeda. Misalnya, WP melaporkan pihaknya merugi, tapi sebaliknya
pihak Ditjen Pajak menilai ada perhitungan yang tidak tepat sehingga sebenarnya
perusahaan meraih laba besar dan harus membayar pajak. Perbedaan persepsi ini
dapat menimbulkan perselisihan, sehingga berdasarkan Pasal 25 UU KUP, WP
berhak mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak .
Penyelesaian sengketa pajak dengan upaya hukum keberatan, bisa juga
ditangani melalui lembaga keberatan atau peradilan doleansi atau hakim doleansi.
Dalam buku “Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia”, Rochmat
Soemitro (1976) memasukkan peradilan oleh hakim doleansi tersebut ke dalam
kategori “peradilan semu” atau ”kuasi peradilan”, karena tidak adanya tiga pihak
yang saling berhadapan muka yaitu dua pihak yang bersengketa dan satu pihak
yang mengadili. Dalam lembaga keberatan, hakim yang memutus perkara berasal
dari salah satu pihak yang bersengketa yaitu Ditjen Pajak, oleh karenanya disebut
sebagai peradilan semu.
Apabila keputusan peradilan semu menolak permohonan WP dan WP tidak
dapat menerima keputusan ini, maka berdasarkan Pasal 27 UU KUP, WP dapat
mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak adalah lembaga
peradilan independen yang berada di luar struktur Ditjen Pajak. Di Pengadilan ada
hakim yang mengadili perbedaan interpretasi tadi. Pengadilan Pajak memang
diadakan untuk melindungi WP dari perselisihan perhitungan pajak dan potensi
penerapan ketentuan perpajakan oleh aparat yang kurang tepat.
Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan UU Pengadilan Pajak Nomor 14
Tahun 2002 adalah lembaga peradilan yang berwenang dalam memeriksa dan
memutus sengketa pajak. Keputusan pengadilan pajak bersifat final dan tidak ada
upaya kasasi. Apabila ada hal yang khusus, WP atau fiskus dimungkinkan
mengajukan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung.

UU 14/2002 vs UU 28/2007
UU Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan UU Nomor 28 tahun 2007
(UU KUP) merupakan hukum pajak formal . Sebagai hukum pajak formal kedua
UU ini memuat tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan.
Perbandingan kedua pengaturan perpajakan tersebut dapat dilihat pada Peraga 1.

2
Peraga 1 Perbandingan UU 28/2007 dan UU 14/2002

•penyelesaian sengketa tingkat pertama/ keberatan


•mengatur mengenai tata cara dan prosedur serta ketentuan-
UU 28/2007 ketentuan yang bersifat umum di bidang perpajakan
•apabila timbul sengketa, WP melengkapi persyaratan kasus pajak
agar dapat mengajukan permohonan keberatan
Penegakan hukum di
bidang perpajakan

•penyelesaian sengketa pajak tingkat kedua/ banding


UU 14/2002 •mengatur tentang tata cara penyelesaian sengketa pajak melalui
Pengadilan Pajak

Kedua UU tersebut sangat penting untuk memperjelas arah dan penyelesaian kasus
perpajakan, namun demikian, dalam kenyataannya terdapat beberapa pasal yang
tidak sejalan/disharmonis sebagai berikut.

Pertama. Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak berbunyi “Selain dari persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), serta Pasal 35, dalam hal banding
diajukan, terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar 50% (lima
puluh persen).”

Ketentuan ini sudah tidak sejalan dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 9 Tahun 1994, dan terakhir diubah lagi dengan UU Nomor 28 Tahun 2007
dan UU Nomor 16 Tahun 2009. UU KUP yang baru mengatur bahwa pengajuan
upaya hukum banding yang dilakukan oleh WP tidak mengharuskan WP
membayar 50% pajak terutang berdasarkan Surat Keputusan Keberatan.
Berdasarkan Pasal 27 ayat (5c), UU KUP mengatur bahwa jumlah pajak yang
belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak
yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. Penekanan dari UU
KUP adalah, setiap proses mencari keadilan yang dilakukan oleh WP,
mengakibatkan pembayaran atas semua utang pajak menjadi tertangguh, karena
keputusan (beschikking) yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak belum mempunyai
kekuatan hukum yang pasti.

Kedua. Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak berbunyi “Gugatan tidak menunda atau
menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan.”

UU KUP mengatur pelaksanaan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan, apabila


WP mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Dengan kata lain, pengajuan gugatan
ke Pengadilan Pajak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penagihan pajak.
3
Demikian juga untuk kewajiban perpajakan WP, berdasarkan Pasal 25 ayat (8), UU
KUP mengatur bahwa WP yang mengajukan upaya hukum, baik keberatan
maupun banding, berarti official assessment oleh fiskus belum sebagai utang pajak
bagi WP/penanggung pajak. Kewajiban membayar pajak nantinya menunggu
keputusan hakim di Pengadilan, atau utang pajak baru menjadi pasti (inkracht)
apabila sudah ada putusan hakim di Pengadilan Pajak.

Ketiga. Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak: dalam hal gugatan memeriksa dan
memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau
keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 1983
tentang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UU 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak sesungguhya sudah tidak relevan lagi saat
ini. Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak yang menyebutkan bahwa penyelesaian
gugatan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2000, padahal UU ini sudah direvisi
dengan lahirnya UU Nomor 28 tahun 2007.

Akhir
Ketidakharmonisan antara kedua UU tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum. Apabila tidak segera diselesaikan, pengaturan itu memantik persoalan
hukum. Masyarakat menjadi bingung, di samping itu juga, pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab juga bisa mengambil keuntungan dari ketidakselarasan kedua
UU ini. Akibatnya tentu dapat menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak baik
WP maupun fiskus.
Memperhatikan hal tersebut, perlu dilakukan revisi terhadap UU Pengadilan
Pajak, agar terdapat keharmonisan dengan UU lainnya, khususnya dengan UU
KUP. Sosialiasi peraturan-peraturan akan menambah pemahaman permasalahan
perpajakan bagi WP dan masyarakat pada umumnya. Tak kalah pentingnya, perlu
upaya pemerintah untuk terus menghimbau WP untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya secara jelas dan benar. Jelas maksudnya melaporkan seluruh harta
yang dimiliki WP, sedangkan benar adalah WP melaporkan kekayaannya sesuai
dengan kondisi yang sesungguhnya.

Bahan Bacaan
1) Soemitro, Rochmat. 1976. Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia
(Bandung: PT Eresco)
2) UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
3) UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadian Pajak
4) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 1994, dan terakhir diubah
lagi dengan UU Nomor 28 Tahun 2007.

O000O

Anda mungkin juga menyukai