Anda di halaman 1dari 22

TUGAS INDIVIDU

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Disusun Oleh :
Nama : WISNU BAYU PRILAKSONO
NIM : 521180080

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AKI
SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya, sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Kami bersyukur kepada Ilahi Rabbi yang telah memberikan
kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Dengan tersusunnya makalah ini, kami berharap dapat lebih memahami
secara mendalam tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah atau penyusunan makalah berikutnya menjadi lebih baik.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih. Semoga Allah SWT selalu
mecurahkan berkah dan ridho kepada kita semua. Aamiin.

Semarang, Desember 2020

Penyusun
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penelitian
C. Manfaat Penelitian
BAB II LANDASAN TEORI
BAB III PEMBAHASAN
Pembahasan
A. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
B. Fungsi dan tujuan dari PHK
C. Jenis-jenis PHK
D. Mekanisme dan Penyelesaian Pemutusan Hubungan kerja (PHK)…………
E. Penyelesaian Perselisihan PHK…………………………………………….
F. Kompensasi PHK…………………………………………………………...
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran…………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sering kita mendengar mengenai karyawan, dimana karyawan adalah
anggota darisebuah organisasi peruasaan/lembaga yang bekerja dalam
mencapai tujuan tertentu. Ada yang bekerja di lembaga kepemerintahan dan
ada pula yang di lembaga swasta. Bagi merekayang bekerja di lembaga
kepemerintahan bisa kita sebut sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS) yang
mereka bekerja untuk Negara dan di gajih pula oleh Negara dan diatur pula
oleh aturan pemerintah. Kemudian ada yang bekerja di lembaga suasta
dimana mereka di pekerjakan oleh perusahaan atau lembaga suata diman
merka di atur oleh perusahaan dan oleh pemerintah.
Dalam mencapai tujuannya perusahaan sangat di pengaruhi oleh yang
namanya karyawan. Dalam proses tersebut ada beberapa hal yang harus di
perhatikan salah satunya adalah Pemutusan hubungan kerja di Indonesia
sendiri Pemutusan hubungan kerja ini di atur dalam undang-undang ketenaga
kerjaan yaitu dalam UU RI No 13 Tahun 2003, dimana disini di jelaskan
aturan - aturan mengenai pemutusan hubungan kerja. Ada juga istilah PTDH
(Pemberhentian Tidak Hormat) yang merupakan istilah untuk instansi-
instansi pemerintah seperti TNI, POLRI, Dishub dan lain-lain.
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa
tahun yang lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan
yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang
goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang
berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja
berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat
tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada
waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran
dirinya diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup
keluarganya.
Hingga saat ini PHK menjadi pemikiran yang negatif karena di anggap
sebagai pemecatan. Padahal PHK bukan itu tapi ini merupakan proses dari
sebuah keberlangsungan perusahaan. Dan akan dibahas lebih jelasnya dalam
pembahasan makalah ini.
B. Tujuan Penelitian
1) Apa Definisi dari Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?

2) Agar pembaca bisa memahami fungsi dan tujuan dari PHK


3) Jelaskan Jenis-jenis Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?
4) Jelaskan Mekanisme dan Penyelesaian Pemutusan Hubungan kerja
(PHK) ?
5) Bagaimana bentuk Penyelesaian Kompensasi PHK ?

C. Manfaat Penelitian
1) Mengetahui dengan jelas definisi dari Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK).
2) Mengetahui fungsi dan tujuan dari PHK
3) Mengetahui Jenis-jenis dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
4) Mengetahui Mekanisme pemberian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
kepada karyawan dan cara penyelesaian perselisihan yang akan timbul
setelah Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan.
5) Mengetahui Bentuk dari pemberian Kompensasi kepada karyawan yang
akan mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan.
BAB II
LANDASAN TEORI

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja


karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran
diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.

Didalam Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020


tentang Cipta Kerja (Kluster Ketenagakerjaan) menyatakan bahwa Pengusaha,
pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi
PHK. 

Menurut pasal 154A UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Kluster
Ketenagakerjaan) PHK dapat terjadi karena beberapa alasan, seperti:

a. Perusahaan melakukan penggabungan,peleburan, pengambilalihan, atau


pemisahanperusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan
hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau
tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian;
c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian
secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur).
e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. Perusahaan pailit;
g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh
pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai
berikut:

1. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/ buruh;

2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan


yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat
waktu sesudah itu;  

4. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh; 


5.Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau  6. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;

h. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang


menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada
huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha
memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;

i. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi


syarat:

1. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara


tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai
pengunduran diri;

2.Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

3. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal


mulai pengunduran diri;

j. Pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut


tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;

k.Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian


kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah
diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut
masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

l. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat


ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
m. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan
kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua
belas) bulan;

n. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau

o. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Didalam pasal 154A ayat (2) (UU Cipta Kerja no.11/2020), menjelaskan bahwa
alasan PHK lainnya dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 154A ayat (3) (UU Cipta Kerja no.11/2020), menjelaskan mengenai
ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemutusan hubungan
kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 156 ayat (5) (UU Cipta Kerja No.11/2020), Bagi pekerja yang diPHK,
alasan PHK berperan besar dalam menentukan apakah pekerja tersebut berhak
atau tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan dan uang
penggantian hak. Peraturan mengenai pemberian uang pesangon, uang
penghargaan dan uang penggantian hak akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah. 
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa


tahun yang lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan
yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang
goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang
berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja
berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat
tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada
waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya
diberhentian dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya.

Maka dengan ini dapat disimpulkan bahwa Pemutusan Hubungan kerja


(PHK) yang juga dapat disebut dengan pemberhentian, separation atau
pemisahan memiliki pengertian sebagai sebuah pengakhiran hubungan kerja
dengan alasan tertentu yang mengakibatkan berakhir hak dan kewajiban
pekerja dan perusahaan.
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan.
Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan
sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama
ini singkatan PHK memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di
atas yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan
Pemutusan Hubungan kerja dapat terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak
persis sama dengan pengertian dipecat.
Tergantung alasannya, Pemutusan Hubungan kerja mungkin membutuhkan
penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI)
mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua Pemutusan
Hubungan kerja yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi
ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, Pemutusan Hubungan
kerja tidak berujung sengketa hukum, atau karena karyawan tidak mengetahui
hak mereka.

B. Fungsi dan Tujuan dari PHK

a. Fungsi Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan adalah sebagai berikut:


1. Mengurangi biaya tenaga kerja

2. Menggantikan kinerja yang buruk. Bagian integral dari manajemen adalah


mengidentifikasi kinerja yang buruk dan membantu meningkatkan
kinerjany.

3. Meningkatkan inofasi PHK meningkatkan kesempatan untuk memperoleh


keuntungan, yaitu:

a. Pemberian penghargaan melalui promosi atas kinerja individual yang


tinggi

b. Menciptakan kesempatan untuk level posisi yang baru masuk

c. Tenaga kerja dipromosikan untuk mengisi lowongan kerja sebagai sumber


daya yang dapat memberikan inovasi/menawarkan pandangan baru

4. Kesempatan untuk perbedaan yang lebih besar. Meningkatkan kesempatan


untuk mempekerjakan karyawan dari latar belakang yang berbeda-beda
dan mendistribusikan ulang komposisi budaya dan jenis kelamin tenaga
kerja.
Tujuan Pemutusan Hubungan Kerja memiliki kaitan yang erat dengan
alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) namun tujuan lebih menitik
beratkan pada jalannya perusahaan (pihak pengusaha). Maka tujuan PHK
diantaranya:

1. Perusahaan/ pengusaha bertanggung jawab terhadap jalannya dengan


baik dan efektif salah satunya dengan PHK.

2. Pengurangan buruh dapat diakibatkan karena faktor dari luar seperti


kesulitan penjualan dan mendapatkan kredit, tidak adanya pesanan, tidak
adanya bahan baku produkti, menurunnya permintaan, kekurangan bahan
bakar atau listrik, kebijaksanaan pemerintah dan meningkatnya persaingan.

Tujuan lain pemberhentian yakni agar dapat mencapai sasaran


seperti yang diharapkandan tidak menimbulkan masalah baru dengan
memperhatikan tiga faktor penting, yaitu faktor kontradiktif, faktor
kebutuhan, dan faktor sosial.
b. Prinsip-prinsip dalam pemutusan hubungan kerja adalah mengenai
alasan dan mekanisme pemutusan hubungan kerja. Maka alasan
pemutusan hubungan kerja antara lain sebagai berikut :

1. Undang-undang : undang-undang dapat menyebabkan seseorang


harus berhenti seperti karyawan WNA yang sudah habis izinnya.

2. Keinginan Perusahaan : Perusahaan dapat memberhentikan karyawan


secara hormat ataupun tidak apabila karyawan melakukan kesalahan
besar.

3. Keinginan karyawan : Buruh dapat memutuskan hubungan kerja


sewaktu-waktukarena alasan mendesak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

4. Pensiun : ketika seseorang telah mencapai batas usia tertentu sesuai


dengan peraturan perusahaan yang disepakati.

5. Kontrak kerja berakhir

6. Kesehatan karyawan : kesehatan karyawan dapat dijadikan alasan


pemberhentian karyawan. Ini bisa berdasarkan keinginan perusahaan
atau keinginan karyawan yang juga telah diatur berdasarkan perundang-
undangan ketenagakerjaan yang berlaku.

7. Meninggal dunia

8. Perusahaan dilikuidisasi

9. Karyawan dilepas jika perusahaan dilikuidisasi atau ditutup karena


bangkrut.
1. Undang-undang : undang-undang dapat menyebabkan seseorang harus
berhenti seperti karyawan WNA yang sudah habis izinnya.

2. Keinginan Perusahaan : Perusahaan dapat memberhentikan karyawan


secara hormat ataupun tidak apabila karyawan melakukan kesalahan besar.

3. Keinginan karyawan : Buruh dapat memutuskan hubungan kerja


sewaktu-waktukarena alasan mendesak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

4. Pensiun : ketika seseorang telah mencapai batas usia tertentu sesuai


dengan peraturan perusahaan yang disepakati.

5. Kontrak kerja berakhir

6. Kesehatan karyawan : kesehatan karyawan dapat dijadikan alasan


pemberhentian karyawan. Ini bisa berdasarkan keinginan perusahaan atau
keinginan karyawan yang juga telah diatur berdasarkan perundang-
undangan ketenagakerjaan yang berlaku.

7. Meninggal dunia

8. Perusahaan dilikuidisasi

9. Karyawan dilepas jika perusahaan dilikuidisasi atau ditutup karena


bangkrut.

C. Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja


1. Pemutusan Hubungan kerja Pada Kondisi Normal (Sukarela)
Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan
sesuatu keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan
melakukan peran sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada
perusahaan maka tiba saatnya seseorang untuk memperoleh penghargaan yang
tinggi atas jerih payah dan usahanya tersebut.
Akan tetapi hal ini tidak terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan
tingkat kepuasan kerja seseorang selama memainkan peran yang dipercayakan
kepadanya. Ketika seseorang mengalami kepuasan yang tinggi pada
pekerjaannya, maka masa pensiun ini harus dinilai positif, artinya ia harus ikhlas
melepaskan segala atribut dan kebanggaan yang disandangnya selama
melaksanakan tugas, dan bersiap untuk memasuki masa kehidupan yang tanpa
peran.
Kondisi yang demikian memungkinkan pula munculnya perasaan sayang
untuk melepaskan jabatan yang telah digelutinya hampir lebih separuh hidupnya.
Ketika seseorang mengalami peran dan perlakuan yang tidak nyaman, tidak
memuaskan selama masa pengabdiannya, maka ia akan berharap segera untuk
melepaskan dan meninggalkan pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah
selama ini. Orang ini akan memasuki masa pensiun dengan perasaan yang sedikit
lega, terlepas dari himpitan yang dirasakannya selama ini.
Selain itu ada juga karyawan yang mengundurkan diri. Karyawan dapat
mengajukan pengunduran diri kepada perusahaan secara tertulis tanpa
paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti
pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk
mengundurkan diri, karyawan harus memenuhi syarat : (a) mengajukan
permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya, (b) tidak ada ikatan dinas, (c) tetap
melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.
Undang-undang melarang perusahaan memaksa karyawannya untuk
mengundurkan diri. Namun dalam prakteknya, pengunduran diri kadang diminta
oleh pihak perusahaan. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya
sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi karyawan maupun perusahaan. Di satu
sisi, reputasi karyawan tetap terjaga. Di sisi lain perusahaan tidak perlu
mengeluarkan pesangon lebih besar apabila perusahaan harus melakukan
Pemutusan Hubungan kerja tanpa ada persetujuan karyawan. Perusahaan dan
karyawan juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Karyawan yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas
kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan
dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Karyawan mungkin mendapatakan lebih
bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat
antara karyawan dan perusahaan, terkait apakah karyawan yang mengundurkan
diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja.
2. Pemutusan Hubungan kerja Pada Kondisi Tidak Normal (Tidak Sukarela)
Perkembangan suatu perusahaan ditentukan oleh lingkungan dimana perusahaan
beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat survive (Robbins,
1984). Tuntutan yang berasal dari dalam (inside stakeholder) maupun tuntutan
dari luar (outside stakeholder) dapat memaksa perusahaan melakukan perubahan-
perubahan, termasuk di dalam penggunaan tenaga kerja. Dampak dari perubahan
komposisi sumber daya manusia ini antara lain ialah pemutusan hubungan kerja.
Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak berasal dari kondisi ekonomi dan politik
global, perubahan nilai tukar uang yang pada gilirannya mempersulit pemasaran
suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada kemampuan menjual barang yang
sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi. Kondisi yang demikian akan
mempersulit suatu perusahaan mempertahankan kelangsungan pekerjaan bagi
karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini berdampak pada semakin
seringnya terjadi kasus pemutusan hubungan kerja.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat
memberikan beberapa pengertian, yaitu :
1.      Termination: yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau
berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana
tidak terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan
harus meninggalkan pekerjaannya.
2.      Dismissal: yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan
Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan
melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat
psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik
pabrik.
3.      Redundancy, yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan
pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti :
penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat
yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah
tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
4.      Retrenchment, yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan
masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga
perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya.
Flippo (1981) membedakan pemutusan hubungan kerja di luar konteks pensiun
menjadi 3 kategori, yaitu :
1.      Layoff, keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang
benar-benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan
karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
2.      Outplacement, ialah kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan
perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional,
manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan
kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang performansinya tidak memuaskan,
orang-orang yang tingkat upahnya telah melampaui batas-batas yang dimungkinkan,
dan orang-orang yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja, serta orang-
orang yang kurang memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi di
masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini ialah kenyataan bahwa perusahaan
mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain,
dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap keahlian atau skill ini masih
tersembunyi.
3.      Discharge, kegiatan ini merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan
paling tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang
ada. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang
mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan.
Karyawan yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar
akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau
perusahaan lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah
pemutusan hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan yang tidak
memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen yang seharusnya
dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan kepadanya diharapkan
mampu mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya menimbulkan
kesulitan-kesulitan bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan untuk efisiensi
tenaga kerja.
D. MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA
1. Mekanisme Pemutusan Hubungan kerja
Karyawan, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk
menghindari Pemutusan Hubungan kerja. Apabila tidak ada kesepakatan antara
pengusaha karyawan/serikatnya, Pemutusan Hubungan kerja hanya dapat
dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).
Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, Pemutusan
Hubungan kerja harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian
Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah :
1.      Karyawan masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya.
2.      Karyawan mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama kali.
3.      Karyawan mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan.
4.      Karyawan meninggal dunia.
5.      Karyawan ditahan.
6.      Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan
karyawan melakukan permohonan Pemutusan Hubungan kerja.
7.      Selama belum ada penetapan dari LPPHI, karyawan dan pengusaha harus
tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan,
pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak karyawan.
2. Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja
Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja termasuk kategori perselisihan
hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan dan pengusaha
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak.
Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja antara lain mengenai sah atau tidaknya
alasan Pemutusan Hubungan kerja, dan besaran kompensasi atas Pemutusan
Hubungan kerja.

E. PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


1. Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan
karyawan atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai
kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam
penyelesaian perselisihan.
Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah
diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak
membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama
ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama
dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari
kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka karyawan
dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui
Perundingan Tripartit.
2. Perundingan Tripartit
Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh
para pihak:
1.      Mediasi
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja
kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar
tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak
membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai
kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
2.      Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti
mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta
kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga
mengeluarkan produk berupa anjuran.
3.      Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak
mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi
pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke
Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme
arbitrase kurang populer.
3. Kasasi (Mahkamah Agung)
Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja
dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut
ke Mahkamah Agung, untuk diputus.

F. KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK)
dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH
dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.
Perhitungan Uang Pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
·         Masa kerja kurang dari 1 tahun,          1 bulan upah.
·         Masa kerja 1 - 2 tahun,                        2 bulan upah.
·         Masa kerja 2 - 3 tahun,                        3 bulan upah.
·         Masa kerja 3 - 4 tahun,                        4 bulan upah.
·         Masa kerja 4 - 5 tahun,                        5 bulan upah.
·         Masa kerja 5 - 6 tahun,                        6 bulan upah.
·         Masa kerja 6 - 7 tahun,                        7 bulan upah.
·         Masa kerja 7 – 8 tahun,                       8 bulan upah.
·         Masa kerja 8 tahun atau lebih,             9 bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :


·         Masa Kerja UPMK
·         Masa kerja 3 - 6 tahun             2 bulan upah.
·         Masa kerja 6 - 9 tahun             3 bulan upah.
·         Masa kerja 9 - 12 tahun           4 bulan upah.
·         Masa kerja 12 - 15 tahun         5 bulan upah.
·         Masa kerja 15 - 18 tahun         6 bulan upah.
·         Masa kerja 18 - 21 tahun         7 bulan upah.
·         Masa kerja 21 - 24 tahun         8 bulan upah.
·         Masa kerja 24 tahun lebih       10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :
·         Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
·         Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan/buruh dan keluarganya
ketempat dimana karyawan/buruh diterima bekerja.
·         Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan
15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat.
·         Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pemutusan Hubungan kerja sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan
pada kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang
mencemaskan karyawan. Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah
buruh yang murah, senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara
yang lebih menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan
merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara lain.
Keadaan ini tentu saja berdampak Pemutusan Hubungan kerja pada karyawan
di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada
dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di
masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka terjadi
penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus dipenuhi, maka
restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi pemangkasan posisi
besar-besaran, sehingga Pemutusan Hubungan kerja masih belum dapat dihindarkan.
Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan
oleh para manajer terus digulirkan, maka Pemutusan Hubungan kerja masih
merupakan fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan
penyediaan lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat (mantan karyawan).

B. SARAN
Adapun saran yang dapat saya berikan dalam makalah ini adalah, hendaknya
dalam melakukan Pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak akan ada pihak-pihak yang
merasa dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Flippo, E.B., 1984. Personnel management. 5th edition. Sydney: McGraw

Hill International Book Company.

Jones, G. R. 1994. Organizational theory: Text and cases. New York: Addison
Wesley Publishing Company.
Manulang, S. H. 1988. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
   http://deardream13.blogspot.com/2017/10/msdm-studi-kasus-phk-pada-pt-
securicor.html?m=1
https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/kontrak-kerja/pemutusan-hubungan-
kerja/alasan-alasan-phk
https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/kontrak-kerja/pemutusan-hubungan-
kerja

Anda mungkin juga menyukai