Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan ekonomi yang semakin pesat dan perdagangan yang


semakin global sehingga muncul berbagai permasalahan utang piutang yang
mengakibatkan kepailitan yang timbul dalam masyarakat. Pailit dalam kamus
besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi, bangkrut,
sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan bahwa,
likuidasi adalah pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses penjualan
harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian
sisa harta atau utang antara pemegang saham.

Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004


tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini.Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah
dinyataka tidak mampu membayar utang-utangnya lagi.

Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini


dapat menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada
perseroan yang telah dinyatakan pailit. Salah satu tahap penting dalam
proses kepailitan adalah tahap insolvensi yaitu suatu perusahaan yang sudah
tidak mampu membayar hutang-hutangnya lagi. Pada
tahap insolvensi penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitur pailit
ditentukan. Apakah harta debitur akan habis dibagi-bagi sampai menutup
utangnya, ataupun debitur masih dapat bernafas lega dengan diterimanya
suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi utang. Apabila debitur sudah
dinyatakan insolvensi, maka debitur sudah benar-benar pailit, dan hartanya
segera akan dibagi-bagi, meskipun hal-hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari
perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan. Mengenai hal diatas maka
sangat penting untuk mengetahui tentang hukum kepailitan dan makalah ini
membahas secara mendalam tentang Hukum Kepailitan.

1
1.2 Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji kasus perusahaan yang dinyatakan pailit.


2. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang hak upah pekerja

1.3 Rumusan Permasalahan

Dari latar belakang yang telah dipapakan siatas dan agar makalah ini
sesuai dengan yang dikehendaki, maka penulis dapat menarik rumusan
masalah sebagai berikut :

1. Apa contoh kasus perusahaan yang dinyatakan pailit ?


2. Bagaimana hak upah pekerja di dalam perusahaan pailit ?

1.4 Manfaat Penulisan

Berdasarkan uraian diatas maka penulis berharap tugas akhir ini


memiliki manfaat dan kegunaan sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini berguna untuk mengembangkan pemikiran dalam
masyarakat khususnya dalam bidang hukum ketenagakerjaan dan hukum
kepailitan
2. Manfaat Praktis

Diharapkan dapat menjadi referensi dan wawasan bagi pekerja dalam


mengatasi masalah mengenai hak-haknya dan lebih memahami
kedudukan mereka saat perusahaan mengalami pailit.

Bagi Perusahaan
Diharapkan Perusahaan lebih memahami kedudukan hak-hak
pekerja saat perusahaan pailit sehingga saat terjadi pailit
pekerja sebagai kaum lemah tidak dirugikan.

2
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan hubungan kerja antara buruh dengan majikan (pengusaha)


lazimnya dikenal dengan istilah PHK dapat terjadi karena telah berakhirnya
waktu tertentu yang telah disepakati atau diperjanjikan sebelumnya dan dapat
pula terjadi karena adanya perselisihan antara buruh dan majikan
(pengusaha), meninggalnya buruh atau karena sebab lainnya.

Adapun yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja menurut


F.X. Djumialdji (2005), adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja
atau buruh dan pengusaha Sementara Much Nurachmad (2009) mengartikan
bahwa pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan kerja
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja dan pengusaha. Sedangkan menurut D. Danny H. Simanjuntak
pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja antara
pengusaha dengan pekerja. Begitu juga menurut Undang-undang No.13
Tahun 2003 Pasal 1 Angka 25 menjelaskan bahwa pemutusan hubungan
kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh atau pekerja dan
pengusaha.

2.2 Ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja

Menurut sejumlah Pasal yang tertuang dalam Undang-undang No.13


Tahun 2003, pengusaha dapat melaksanakan pemutusan hubungan kerja
dengan ketentuan:

a. Jika pekerja telah melakukan kesalahan berat (Pasal 158)


b. Jika pekerja melanggar ketentuan perjanjian kerja bersama (Pasal
161)

3
c. Jika pekerja terjerat tindak pidana atau ditahan oleh pihak berwajib
(Pasal 160)
d. Jika perusahaan beralih status kepemilikan (Pasal 163)
e. Jika perusahaan tutup akibat merugi secara terus-menerus selama
2 tahun (Pasal 164)
f. Jika perusahaan harus melakukan efisiensi (Pasal 156)
g. Jika perusahaan mengalami pailit (Pasal 165)
h. Jika pekerja meninggal dunia (Pasal 166)
i. Jika pekerja memasuki usia pensiun (Pasal 167)
j. Jika pekerja mangkir selama 5 hari kerja tanpa pemberitahuan
(Pasal 168)

Lebih lanjut, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 juga menggariskan


sejumlah alasan yang tidak memperbolehkan perusahaan untuk melakukan
pemutusan hubungan kerja, tepatnya dalam Pasal 153.11 Disana disebutkan
bahwa, pengusaha/perusahaan dilarang melakukan pemutusan hubungan
kerja apabila:

a. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan


Dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus
menerus
b. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan
UndangUndang yang berlaku
c. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan Agamanya
d. Pekerja menikah
e. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau
menyusui bayinya
f. Pekerja mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan
pekerja lainnya dalam satu perusahaan
g. Pekerja mendirikan, menjadi anggota, dan atau pengurus serikat
buruh atau pekerja
h. Pekerja mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana

4
i. Karena perbedaan paham, Agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawainan
j. Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja.

Jika seluruh ketentuan atau alasan di atas dilanggar oleh pihak


perusahaan atau pengusaha, maka tindakan tersebut dianggap batal
demi hukum. Dengan demikian perusahaan wajib mempekerjakan
kembali karyawan/pekerja yang bersangkutan.

2.3 Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja


Terjadinya pemutusan hubungan kerja merupakan awal masa yang
sulit bagi buruh dan keluarganya. Oleh karena itu untuk membantu atau
setidak-tidaknya mengurangi beban buruh yang di-PHK, Undang undang
mengharuskan pengusaha untuk memberikan uang pesangon, uang
jasa/uang penghargaan masa kerja dan uang ganti rugi/uang penggantian
hak.
Pesangon adalah uang kompensasi yang harus dibayar oleh
perusahaan/pengusaha bila terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerjanya. Mekanisme pemberian pesangon sendiri diatur dalam sejumlah
peraturan dan kebijakan pemerintah. Seperti Undang-undang No.13 Tahun
2003 serta keputusan Menteri Tenaga Kerja RI, No.Kep150/Men/2000.14
Undang-undang Ketenagakerjaan 2003 Pasal 156 mengatur ketentuan dari
kompensasi uang pesangon bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan
kerja.
Perhitungan uang pesangon sebagai berikut:
a. Masa kerja kurang dari 1 tahun, satu bulan upah.
b. Masa kerja 1 tahun/lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah.
c. Masa kerja 2 tahun/lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah.
d. Masa kerja 3 tahun/lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah
e. Masa kerja 4 tahun/lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah.
f. Masa kerja 5 tahun/lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah.
g. Masa kerja 6 tahun/lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah.
h. Masa kerja 7 tahun/lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah.

5
i. Masa kerja 8 tahun/lebih, 9 bulan upah.

Nilai penghargaan masa kerja yang diterima pekerja jika di-PHK


sebagai berikut:

a. 3 tahun/lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah.


b. 6 tahun/lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah.
c. 9 tahun/lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah.
d. 12 tahun /lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah.
e. 15 tahun/lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah.
f. 18 tahun/lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah.
g. 21 tahun/lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah.
h. 24 tahun/lebih, 10 bulan upah.

Sementara itu, uang penggantian hak yang seharusnya diterima


adalah sebagai berikut:

a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur,


b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya
ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
sebesar 15% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan
masa kerja, tetapi diberikan kepada pekerja/buruh yang diputus
hubungan kerjanya karena kesalahan berat atau mengundurkan
diridihitung berdasarkan masa kerja (Surat Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor: 18 KEP-04/29/2004).
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, misalnya uang
pisah.

Adapun komponen upah digunakan sebagai dasar perhitungan


uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak terdiri atas dua komponen, yaitu:
a. Upah pokok,
b. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap.

6
2.4 Pengertian Pailit

Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan


yang merugi, bangkrut. Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi
menyebutkan bahwa, liquidation, likuidasi: pembubaran perusahaan diikuiti
dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan
utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang
saham. Beberapa definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal
Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis
oleh Ari Purwadi antara lain: Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang
berjudul Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana
diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 disebutkan bahwa “Kepailitan adalah
sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan
semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur
oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka
masing-masing”.

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang


mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit
oleh pengadilan, dalam hal ini adalah pengadilan niaga, dikarenakan debitur
tersebut tidak dapat membayar utangnya, harta debitur dapat dibagikan
kepada para kreditur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan


bahwa yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberasannya dilakukan oleh
Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.

Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur


untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian
kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan
hak-hak mereka masing-masing.

2.5 Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Kepailitan

7
1. Pihak Pemohon Pailit

Menurut pasal 2 undang-undang kepailitan Nomor 37 Tahun 2004


maka yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah
salah-satu pihak berikut ini :

a. Pihak Debitur itu sendiri


b. Salah-satu atau lebih dari pihak Kreditur
c. Pihak kejaksaan jika menyangkut dengan kepentingan umum
d. Pihak Bank Indonesia jika debiturnya adalah suatu bank
e. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya suatu perusahaan
efek. Yang dimaksud dengan perusahaan efek, bursa efek, lembaga
kliring dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian
f. Pihak Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi,
reasuransi, dana pensiun, BUMN yang bergerak di bidang kepentingan
publik.

2. Pihak Debitur Pailit

Pihak debitur pailit adalah pihak yang memohon atau dimohonkan


pailit ke pengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi debitur pailit
adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.

2.6  Perdamaian

Dalam penyelesaian perkara tentu diusahakan perdamaian


sebagaimana dalam Hukum Acara Perdata yang bersumber dari HIR
menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara hakim wajib
mengusahakan perdamaian terlebih dahulu. Dalam perkara kepailitan
perdamaian tidak diusahakan di awal, karena hakim hanya diberi waktu 60
hari untuk mengeluarkan putusan. Perdamaian dalam kepailitan justru
diusahakan setelah putusan yang menyatakan bahwa debitor dalam keadaan

8
pailit. Berdasarkan Pasal 144 UUK debitor pailit berhak untuk menawarkan
suatu perdamaian kepada semua kreditor. Perdamaian merupakan perjanjian
antara debitor dengan para kreditor dimana debitor menawarkan pembayaran
sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan
pembayaran tersebut dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia tidak
mempunyai utang lagi.

Selama berlangsungnya perundingan Debitor Pailit berhak


memberikan keterangan mengenai rencana perdamaian dan membelanya
serta berhak mengubah rencana perdamaian. Hasil dari rapat perundingan itu
kemudian dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh hakim pengawas
dan penitera pengganti. berita acara tersebut wajib memuat antara lain
sebagai berikut :

1. Isi perdamaian
2. Nama kreditor yang hadir dan berhak mengeluarkan suara dan
menghadap
3. Suara yang dikeluarkan
4. Hasil pengumungutan suara dan
5. Segala sesuatu yangterjadi dalam rapat.

Dengan putusan perdamaian yang telah berkekuatan hukum tetap itu


pula, maka kepailitan debitor dinyatakan berakhir. Menurut Munir Fuady, ada
10 akibat hukum yang terjadi dengan putusan perdamaian itu, yaitu  :

1. Setelah perdamaian, kepailitan berakhir


2. Keputusan penerimaan perdamaian mengikat seluruh kreditor
konkuren
3. Perdamaian tidak berlaku bagi kreditor separatis dan kreditor yang
diistimewakan
4. Perdamaian tidak boleh diajukan dua kali
5. Perdamaian merupakan alas hak bagi debitor
6. Hak-hak kreditor tetap berlaku terhadap guarantor dan rekan
debitor
7. Hak-hak kreditor tetap berlaku terhadap benda-benda pihak ketiga
8. Penangguhan eksekusi jaminan utang berahir

9
9. Actio pauliana berakhir

2.7 Permohonan Peninjauan Kembali

Terhadap putusan kepailitan yang telah mempunyai kekuatan


hukum tetap, dapat diadakan peninjauan kembali. Imran Naning (2005:53)
menyebutkan bahwa upaya hukum peninjauan kembali dapat dilakukan
apabila:

1. Terdapat bukti baru yang penting, yang apabila diketahui pada tahap
persidangan sebelumnya, akan menghasilkan putusan yang berbeda
atau
2. Pengadilan Niaga/putusan hakim yang bersangkutan terdapat
kekeliruan yang nyata.

Sutan Remy Sjahdeini (2009:168) menyebutkan bahwa upaya hukum


peninjauan kembali diajukan paling lambat 180 hari setelah tanggal putusan
yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap,
namun dengan alasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 295 Ayat
(2) huruf a UUK-PKPU. Apabila upaya hukum peninjauan kembali dilakukan
dengan alasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 295 Ayat (2) huruf
b UUK-PKPU, maka peninjauan kembali dilakukan paling lambat 30 hari
setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh
kekuatan hukum tetap. Berdasarkan hal tersebut, upaya hukum peninjauan
kembali yang diajukan karena terdapat bukti baru yang bersifat menentukan
dapat diajukan paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal
putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut memperoleh
kekuatan hukum tetap. Permohonan peninjauan kembali yang dilakukan
karena terdapat kekeliruan dalam putusan hakim yang bersangkutan, dapat
diajukan permohonan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum
tetap.

10
BAB III

DATA SITUASIONAL PERUSAHAAN

Status armada penerbangan berjadwal Batavia Air dinyatakan pailit.


Majelis hakim mengamini permohonan pailit kreditor PT Metro Batavia,
operator Batavia Air. Putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta melalui
permohonan pailit yang mengabulkan permohonan yang
diajukan International Lease Finance Corporation.

Keputusan untuk memailitkan maskapai yang dikenal dengan


logo Trust Us to Fly ini karena telah memenuhi syarat-syarat kepailitan. Yaitu
adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya kreditor lain.
Syarat ini merujuk pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU No.37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (UUPKPU).

Perihal utang, Batavia Air diwajibkan membayar sewa pesawat senilai


AS$4.688.064,07, juga biaya cadangan, dan bunga yang tertuang
dalam Aircraft Lease Agreement tertanggal 20 Desember 2009. Namun,
Batavia tak lagi mampu membayar utang-utang tersebut sejak 2009 lalu dan
jatuh tempo pada 13 Desember 2012.

Tak ada kemampuan Batavia disebabkan karena force majeur, yaitu


kalah tender pelayanan transportasi ibadah haji dan umroh ini. Hal ini menjadi
biang kerok tersendatnya pembayaran. Karena, pesawat yang disewa
tersebut diperuntukkan melayani penumpang yang hendak melakukan ibadah
haji dan umrah ke Mekah-Madinah. Sehingga, sumber pembayaran sewa
pesawat berasal dari pelayanan penumpang yang melakukan ibadah haji dan
umrah.

Majelis tak mengalami kesulitan memutuskan perihal keberadaan


utang ini. Dikarenakan Batavia Air dengan tegas mengakui utang-utang
tersebut. Alhasil, pengakuan tersebut menjadi bukti yang sempurna di
persidangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 164 HIR.

11
Terkait dalil force majeur, majelis hakim berpendapat klausul tersebut
harus dicantumkan dalam perjanjian. Namun, Batavia Air tidak dapat
membuktikan dalil tersebut. Untuk itu, majelis hanya mempertimbangkan apa
yang dapat dibuktikan saja.

Selain memenuhi unsur utang, Batavia Air juga memiliki utang senilai
AS$4.939.166,53 yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012 kepada
perusahaan lain, Sierra Leasing Limited. Utang ini juga timbul dari sewa-
menyewa pesawat yang dituangkan ke dalam Aircraft Lease
Agreement tertanggal 6 Juli 2009.

Lantaran telah memenuhi syarat-syarat kepailitan, majelis hakim tidak


dapat menolak permohonan pailit tersebut. Atas hal itu, majelis menunjuk
Andra Reinhard Sirait, Turman Panggabean, Permata N Daulay, dan Alba
Sukmahadi sebagai tim kurator Batavia Air. Sedangkan posisi hakim
pengawas, majelis sepakat menunjuk Nawawi.

Berdasarkan hal tersebut, maka Batavia Air secara resmi behenti


beroperasi. Dan sesuai dengan pasal 24 UU KPKPU, seluruh urusan Batavia
Air akan beralih kepada kurator baik urusan endorse tiket penumpang, pajak,
maupun penyelesaian karyawan Batavia tepat pada pukul 00 tanggal 31
Januari 2013.

12
BAB IV

ANALISIS KASUS

Dari kasus yang terjadi, berdasarkan UU No. 37 tahun 2004 tentang


kepailitian, putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menyatakan pailit
pada PT Metro Batavia. Keputusan pailit PT. Metro Batavia disebabkan oleh
utang sebanyak USD 4,68 juta yang sudah lewat jatuh tempo namun tidak
kunjung di bayar. Tuntutan pailit ini telah diajukan semenjak 20 Desember
2012 dan diputuskan pada tanggal 30 Januari 2013.

Penutupan Batavia Air pada tanggal 30 Januari ini merupakan salah


satu kejadian yang paling menyedihkan bagi industri penerbangan Indonesia.
Di tengah pertumbuhan transportasi udara yang cukup tinggi di Indonesia,
Batavia Air malah menjadi terpuruk. Permohonan pailit Batavia Air diajukan
oleh International Lease Finance Corporation (ILFC) kepada Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat. Melihat kasus yang terjadi yang menimpa batavia
airlines adalah preseden buruk bagi konsumen penerbangan di Indonesia,
belajar dari kasus yang ada, Adam Air dan Mandala air penutupan operasi
maskapai selalu menempatkan konsumen sebagai korban.

Batavia Air telah dinyatakan pailit karena tak mempu melunasi utang-
utang dalam jutaan Dollar itu yang muncul akibat perjanjian perbaikan
pesawat yang tertuang dalam agreement on Overhaul and repair pada 19
April 2007 dan 12 Mei 2008. Memang tak dapat dipungkiri bahwa
penggunaan utang sebagai modal operasional atau pun ekspansi usaha
merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan oleh lembaga atau
perusahaan. Menumpuknya utang oleh Batavia Air karena ketika jatuh tempo
pelunasan utang, yang terjadi adalah ketidakmampuan. Dalam hal ini,
menumpuknya utang mungkin saja disebabkan lemahnya aspek manajemen
keuangan dalam tubuh Batavia Air. Karena bagaimana pun kasus pailitnya
Batavia Air diduga disebabkan oleh utang. Apabila dikaji dari perspektif
keuangan maka pailitnya Batavia Air mendeskripsikan pengelolaan keuangan
yang kurang bagus yang mana dapat terindikasi dari kemampuan

13
menghasilkan nilai lebih dari utang atau biasanya disebut sebagai cost lebih
besar dari benefit. Terlebih sebagai perusahaan swasta (private
corporation) Batavia Air juga tidak memiliki kewajiban untuk memberikan
laporan keuangannya secara publik, sehingga dalam hal ini juga sulit untuk
memberikan dan menyimpulkan kondisi keuangan Batavia Air.

4.1 Proses Penyelesaian Pailit oleh Kurator

Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh


empat kurator, antara lain Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay,
Andra Reinhard Pasaribu, dan Alba Sumahadi. Kantor kurator bertempat di
Ruko Cempaka Mas B-24, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta Pusat. Beberapa
aktifitas yang sudah terjadwal:

 15 Feb 2013-Rapat Kreditur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pukul


09:00.
 18 Feb 2013-Mengundang kreditur non-tiket dan agen untuk
mengajukan tagihan kreditur dan pajak di Kantor Kurator.
 18 Feb-1 Maret 2013-Penumpang Batavia Air bisa muendaftarkan diri
sebagai kreditur Batavia Air.
 14 Maret 2013-Verifikasi dan pencocokan piutang di kantor Kurator.

Namun untuk para pemegang tiket calon penumpang, salah satu


Kurator Batavia Air (Turman Panggabean) sudah menyatakan bawah
penggantian tiket calon penumpang dapat dilakukan dengan syarat ada
investor baru. Jadi sepertinya sudah pupus harapan bagi pemegang tiket
untuk bisa mendapatkan uang refund atau pengembalian.

4.2 Nasib Karyawan Batavia Air

Menurut PR Manager Batavia Air, Batavia Air berjanji akan


mendahulukan pemberian pesangon terhadap 3500 karyawan yang terpaksa
di berhentikan karena perusahaan pailit dibanding masalah-masalah lainnya.

14
Pada saat batavia dinyatakan pailit, sisa uang direkening perusahaan
hanya satu miliar namun aset yang dimiliki perusahaan tersebut ditaksir
sekitar 500 miliar, sedangkan perkiraan total biaya yang dibutuhkan untuk
pembayaran pesangon karyawan 150 miliar, namun pada kenyataannya
setelah dinyatakan pailit bertahun-tahun pesangon para karyawannya belum
juga sepenuhnya selesai. Lebih dari 500 orang yang dinyatakan belum
mendapatkan upah, pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian
hak. Menurut kurator yang ditunjuk, hal itu disebabkan karena penjualan aset
batavia yang mandek.

Selain itu, para karyawan menuntut pembayaran asuransi kerja yang


selama ini telah dipotong dari gaji bulanannya. Juga karyawan yang di PHK
banyak yang mengalami kesulitan mencari pekerjaan baru karena ijazah
mereka belum dikembalikan, sehingga nasib karyawan yang di berhentikan
menjadi tidak jelas.

Hingga tahun 2019, pembayaran pesangon karyawan batavia air


belum juga usai, diduga salah satu penyebabnya kurator yang tidak
profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga banyak aset yang belum
laku, bahkan kurator dinilai tidak menjaga aset sehingga banyak aset yang
dijual sebagai barang rongsok.

4.3 Perhitungan Pesangon Karyawan

Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 perhitungan pesangon karyawan


karena perusahaan pailit adalah sebagai berikut:
- Uang Pesangon satu kali gaji
- Uang pengahrgaan masa kerja satu kali gaji
- Mendapat uang penggantian hak
- Tidak mendapat uang pisah

4.4 Contoh Perhitungan Pesangon : PHK Karena Perusahaan Pailit

Selama bekerja, Karyawan A mendapatkan gaji pokok 3 juta/bulan,


dengan tunjangan komunikasi 1 juta/bulan, uang makan per hari Rp70.000

15
(hanya bila karyawan hadir di kantor). Setelah 3 tahun 3 bulan masa kerjanya,
dia mengalami PHK per 15 Oktober. Hak cuti tahunan yang sudah Karyawan
A ambil adalah 4 hari, lalu dari januari – oktober Karyawan A tidak melakukan
tugas di luar daerah. Berapa kewajiban yang harus dibayarkan perusahaan
kepada Karyawan A?

Berdasarkan data tabel di atas, karyawan berhak atas 1 kali Uang


Pesangon + 1 kali Uang Penghargaan Masa Kerja + Uang Penggantian Hak.

- Upah Karyawan A dalam 1 bulan


(Gaji Pokok + Tunjangan Tetap) 3.000.000 + 1.000.000 =
4.000.000
- Uang Pesangon untuk karyawan dengan masa kerja 3 tahun 3
bulan
(4 bulan upah) = 4 x 4.000.000 = 16.000.000
- Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) untuk karyawan masa
kerja 3 tahun 3 bulan
(1 bulan upah) = 1 x 4.000.000 = 4.000.000

Uang Penggantian Hak (UPH)

- Hak Cuti
(Jumlah hak cuti Karyawan A Januari – Oktober 10, Sudah diambil
4 sisa 6)
((Jumlah hak cuti yang belum diambil / Jumlah hari kerja dalam 1
bulan) x upah 1 bulan) = (6 / 24) x 4.000.000 = 1.000.000
- Hak Perumahan dan Pengobatan
15% x (Uang Pesangon + UPMK)
=15% x (16.000.000 + 4.000.000) = 3.000.000
- Total UPH yang diterima
1.000.000 + 3.000.000 = 4.000.000
- Total Pesangon yang Diterima Karyawan A

Uang Pesangon + UPMK + UPH

16.000.000 + 4.000.000 + (1.000.000 + 3.000.000) = 24.000.000

16
17
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa yang dapat


dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah dinyataka tidak
mampu membayar utang-utangnya lagi. Hal ini berdasarkan pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini.

Terdapat beberapa pihak-pihak dalam pailit yaitu :

1. Pihak Pemohon Pailit yang telah diatar dalam pasal 2 undang-


undang kepailitan Nomor 37 Tahun 2004.
2. Pihak debitur pailit adalah pihak yang memohon atau dimohonkan
pailit ke pengadilan yang berwenang.
3. Hakim Niaga yang pada tingkat pertama diperiksa oleh hakim
majelis, tidak boleh hakim tunggal (pasal 301 ayat 1). 

Selain itu juga tedapat keputusan dan akibat dari hukum pailit serta
pencocokan piutang, perdamaian dan permohonan peninjauan kembali, dan
pada intinya kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit oleh
Pengadilan Niaga kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan
mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta
pailit, sehingga sangat penting mempelajari tentang hukum pailit.

5.2 Saran

1. Meningkatkan pengawasan proses kepailitan secara keseluruhan,


dalam hal:
 Pengawasan internal perusahaan yang melibatkan
pekerja/buruh Untuk memastikan proses pemberesan atas harta

18
pailit, diperlukan adanya ’dual kontrol’ terhadap proses itu
sendiri berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku juga tidak
melanggar hak-hak yang seharusnya dipenuhi dalam rangka
melaksanakan kewajiban perusahaan yang masih harus
dipenuhi terutama menyangkut upah karyawan. Dalam hal ini
keterlibatan pekerja/buruh akan sangat membantu proses itu
berjalan sesuai dengan standar yang diharapkan, faktor
pekerja/buruh sebagai pelaksana operasional membantu dan
menjalankan kegiatan utama perusahaan sangat memberi arti
dalam pengawasan proses pailit tyang dipastikan dapat
meminimalisir konflik kepentingan antar kepentingan mana yang
harus didahulukan atas harta pailit, juga atas nilai aset jaminan
yang berada di bawah kekuasaan pihak lain.
 Peningkatan standar kompetensi kurator yang dilibatkan Dalam
proses kepailitan, kurator dan hakim pengawas memegang
peran yang menentukan. Dari pengurusan harta pailit,
penentuan daftar urutan pembagian melalui rapat kreditor,
hingga pemberesan harta pailit saat terjadi keadaan insolvensi;
itu semua membutuhkan kecermatan dan ketelitian kurator dan
hakim pengawas, obyektivitas dan integritas harus tetap terjaga
meski belum sepenuhnya menjawab permasalahan upah buruh
yang tidak terbayarkan, akibat harta pailit yang tidak mencukupi.
Kompentensi yang jelas terkait penanganan masalah kepailitan,
karena Kedudukan buruh..., Rielly Lontoh, GH UI, 2010.
Universitas Indonesia 89 selain Pengadilan Niaga juga
melibatkan Pengadilan Hubungan Industrial.
2. Meningkatkan proses pengawasan perlindungan terhadap hak pekerja
atau buruh
 Berkaitan dengan perjanjian kerja dan kesepakatan dengan
pengusaha atau majikan, perlu diperhatikan pengaturan tentang
syarat dan kondisi kepailitan dalam perjanjian kerja untuk
meminimalisir dampak-dampak negatif apabila di kemudian hari
terjadi resiko pailit atas perusahaan termasuk

19
mempertimbangkan kepentingan pelaksanaan pembayaran
upah buruh jika kepailitan terjadi Diupayakan juga agar
penyelesaian mengenai pembayaran upah buruh atau pekerja
dilakukan dengan pelaksanaan mediasi atau negosiasi agar
dapat lebih efektif sebagai upaya perundingan para pihak yang
berkepentingan.
 Tidak cukup dengan sistem perlindungan pesangon, namun
harus ada sistem asuransi dan perbaikan sistem jaminan sosial
yang dapat digunakan untuk meminimalisir resiko pekerja
kehilangan upahnya akibat kepailitan.
3. Perlu pengaturan spesifik dalam undang-undang yang mengatur
tingkatan kreditor yang kepentingannya benar-benar harus
didahulukan, dengan lebih jelas membedakan definisi utang dan
jaminan, juga aturan yang menjamin hak-hak pekerja/buruh
didahulukan dari kepentingan hak lain.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bernadette, Waluyo, hukum kepailitan dan penundaan pembayaran hutang.


( bandung : Cv mandar maju, 1999).

http//muhammadarifudin.bogspot.co.id/2012/11/pengertian - pkpu - penundaan


kewajiban.html.(diakses pada 05 nopember 2017).

HukumDalamEkonomikaryaElsa(Kartikahttp://dhyladhil.blogspot.co.id/2011/05/penco
cokan-verfikasi-piutang.html). (diakses pada 04 nopember 2017).

Indiro, Catur. Penerapan Asas Kelangsungan Usaha dalam Penyelesaian Perkara


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Jurnal hukum
peradilan, vol.4 No.3. Pekanbaru. 7.

Repository.usu.acf.id (diakses pada 04 Nopember 2017)

Rochmawanto, Munif. “Upaya Hukum Dalam Perkara Kepailitan”. Jurnal


Independen. Vol. 3 No. 2, hal 25.

Undang-Undang No. 37 Tahun. 2004 Pasal 1 angka 1.

Undang-Undang No. 37 Tahun. 2004 Pasal 1 angka 1.

Munif Rochmawanto, “Upaya Hukum Dalam Perkara Kepailitan”.Jurnal Independen.


Vol. 3 No. 2, hal 25.

Repository.usu.acf.id (diakses pada 04 Nopember 2017).

http//muhammadarifudin.bogspot.co.id/2012/11/pengertian-pkpu-penundaan-
kewajiban.html.(diakses pada 05 nopember 2017).

HukumDalamEkonomikaryaElsa(Kartikahttp://dhyladhil.blogspot.co.id/2011/05/penco
cokan-verfikasi-piutang.html). (diakses pada 04 nopember 2017).

Waluyo bernadette,hukum kepailitan dan penundaan pembayaran


hutang, ( bandung : Cv mandar maju, 1999)

21
Catur Indiro, Penerapan Asas Kelangsungan Usaha dalam Penyelesaian Perkara
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Jurnal hukum
peradilan, vol.4 No.3. Pekanbaru. 7.
http://eprints.walisongo.ac.id/1119/3/092311064_Bab2.pdf

Hapsari, Dwi Ratna Indri. 2014. kontrak dalam undang-undang hukum perdata dan
hukum islam, Jurnal Repetorium, edisi 1.

https://ar.scribd.com/mobile/document/114876661/makalah-hukum-perjanjian diungg
ah pada tanggal 23 September 2017.

Herniawati. 2015. Penerapan Pasal 1320 KUHPerdata Terhadap Jual Beli Secara
Online (E Commerece).  Vol.8, No.04, 178. diakses .23 September 2017.

Tjitrosudibio. 2004. Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Pt Pradnya


Paramita:Jakarta.

Dwi ratna indri hapsari,kontrak dalam undang-undang hukum perdata dan hukum
islam,Jurnal repretorium edisi 1, 2014.

https://ar.scribd.com/mobile/document/114876661/makalah-hukum-perjanjian diungg
ah pada tanggal 23 September 2017.

Herniawati, Penerapan Pasal 1320 KUHPerdata Terhadap Jual Beli Secara Online


(E Commerece),2015,  Vol.8, No.04, 178. diakses .23 September 2017.

http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/63506

Subekti, R dan Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT


Pradnya Paramita,2004)

http://bloggermahasiswahukum.blogspot.com/2017/05/analisa-kasus-kepailitan-pt-
asean-gold.html

https://wirahipatios.wordpress.com/2015/03/12/analisis-kasus-kepailitan-pt-citra-
televisi-pendidikan-indonesia-di-tinjau-dari-undang-undang-nomor-37-tahun-2004-
tentang-kepailitan-dan-penundaan-kewajiban-pembayaran-utang/

http://eprints.walisongo.ac.id/1119/3/092311064_Bab2.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai