Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu mejadi hal yang sulit baik
bagi pengusaha maupun pekerja/buruh. Pengusaha menganggap terjadinya
PHK merupakan hal yang wajar di dalam kegiatan perusahaan. Bagi
pekerja/buruh, terjadinya PHK berdampak sangat luas bagi kehidupanya tidak
hanya bagi dirinya pribadi namun juga keluarganya. PHK jelas akan
menyebabkan seorang pekerja/buruh kehilangan mata pencahariannya.
Demikian juga pada waktu pekerja tersebut berhenti atau adanya pemutusan
hubungan kerja dengan perusahaan, perusahaan mengeluarkan dana untuk
pensiun atau pesangon atau tunjangan lain yang berkaitan dengan
pemberhentian, sekaligus memprogramkan kembali penarikan pekerja baru
yang sama halnya seperti dahulu harus mengeluarkan dana untuk kompensasi
dan pengembangan pekerja.1
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengupayakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja. Namun dalam hal segala upaya telah dilakukan,
tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud
pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Ini lah yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.2
Dalam menjalani pemutusan hubungan kerja, pihak-pihak yang
bersangkutan yaitu pengusaha dan pekerja/buruh harus benar-benar
mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan PHK, terutama untuk para
pekerja/buruh, agar mereka bisa mendapatkan apa yang menjadi hak mereka
setelah di PHK.3
1
FX Djumialdji, Perjanjian Kerja, Jakarta: PT Sinar Grafika, Edisi Revisi 2005. hlm. 44.
2
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
hlm. 158.
3
I Nyoman Wahyu Triana, I Made Udiana, “Kesepakatan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) melalui perjanjian bersama ditinjau dari aspek ketenagakerjaan” Volume 1, Nomor 1
1
2

Masalah PHK selalu menarik untuk dibahas. Pekerja/buruh selalu


menjadi pihak yang paling lemah apabila berhadapan dengan pemberi
kerja/pengusaha yang memiliki kapasitas, superioritas dan kekuatan. Sebagai
pihak yang lemah, tidak jarang para pekerja/buruh mengalami ketidakadilan
apabila berhadapan dengan kepentingan perusahaan.4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan?
2. Bagaimana Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum?
3. Bagaimana Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja?
4. Alasan PHK yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
oleh MK?
5. Bagaimana Hak-Hak Tenaga Kerja Yang Di PHK?

2014.
4
Parlin Dony Sipayung, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Yayasan Kita Menulis,
2022. hlm. 62.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan (PPHI), yaitu PHK oleh
putusan pengadilan yang terjadi karena alasan-alasan tertentu yang mendesak
dan penting, misalnya terjadinya pengalihan kepemilikan, peralihan asset atau
pailit.5 Cara terjadinya PHK adalah karena adanya putusan pengadilan akibat
dari adanya sengketa antar pekerja/buruh dan majikan yang berlanjut sampai ke
proses pengadilan. Datangnya perkara dapat dari buruh atau dari majikan.6
PHK oleh pengadilan ialah tindakan PHK karena adanya putusan hakim
pengadilan. Dalam hal ini salah satu pihak (pengusaha atau
pekerja/keluarganya) mengajukan pembatalan perjanjian kepada pengadilan.
Contohnya bila pengusaha mempekerjakan anak di bawah umur (kurang 18
(delapan belas) tahun). Dimana wali anak tersebut mengajukan pembatalan
perjanjian kerja kepada pengadilan.7
Kemudian berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
012/PUU-I/2003, secara tegas menyatakan bahwa ketentuan Pasal 158 UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal yang mengatur tentang
PHK karena kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja/buruh) dinilai
melanggar prinsip-prinsip pembuktian dan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat, utamanya asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) dan asas kesamaan di depan hukum sebagaimana yang telah
dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Akan tetapi, perusahaan dapat untuk mengatur golongan atau bentuk
pelanggaran dalam perusahaan sebagaimana yang dapat dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.8

5
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Jakarta, PT. Sinar Grafika, 2009. hlm.66.
6
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
hlm. 167..
7
Ida Hanifah, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Medan: Pustaka Prima, 2020. hlm.
161-162.
8
Parlin Dony Sipayung, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Yayasan Kita Menulis,
2022. hlm. 69.
3
4

B. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum


Pemutusan demi hukum adalah pemutusan hubungan kerja bukan
karena diputuskan oleh pihak buruh/pekerja, juga bukan oleh pihak
pengusaha/majikan dan juga bukan diputuskan oleh pengadilan, akan tetapi
pemutusan hubungan kerja dengan sendirinya tanpa diperlukan adanya
tindakan dari semua pihak, seperti pengadilan, pekerja/buruh, dan pengusaha.
Dalam pasal 1630e KUHP, ayat 1 menyebutkan bahwa habisnya waktu dalam
perjanjian kerja untuk waktu tertentu, dan ayat 2 menyebutkan bahwa buruh
meninggal dunia. Hubungan kerja berakhir demi hukum, apabila habis
waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atau peraturan majikan atau dalam
peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak ada, menurut
kebiasaan.9
PHK demi hukum dalam praktek dan secara yuridis sebagaimana diatur
pada Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 disebabkan oleh:10
1. Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu (selanjutnya disingkat
PKWT). Berakhirnya PKWT tidak hanya karena berdasarkan waktu yang
telah disepakati, tetapi juga karena telah selesainya pekerjaan yang
diperjanjikan. Untuk PHK jenis ini masing-masing pihak bersifat pasif,
dalam arti tidak perlu melakukan usaha-usaha tertentu untuk melakukan
PHK seperti memohon penetapan PHK ke sidang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disingkat PPHI). Pengusaha
tidak wajib memberitahukan berakhirnya jangka waktu hubungan kerja
dalam tenggang waktu tertentu, kecuali apabila:11
a. Telah diperjanjikan secara tertulis atau telah diatur dalam Peraturan
Perusahaan (untuk selanjutnya disingkat dengan PP) atau Perjanjian
Kerja bersama (untuk selanjutnya disingkat dengan PKB);

9
Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Literasi
Nusantara, 2020. hlm. 161.
10
Parlin Dony Sipayung, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Yayasan Kita Menulis,
2022. hlm. 66-69.
11
Ida Hanifah, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Medan: Pustaka Prima, 2020. hlm.
157.
5

b. Berdasarkan peraturan perundang-undangan atau kebiasaan,


mengharuskan pengusaha agar dapat melakukan pemberitahuan
sebelumnya dalam tenggang waktu tertentu.
2. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri. PHK jenis ini
timbul karena kehendak pekerja/buruh secara murni tanpa adanya rekayasa
pihak lain. Dalam praktek, pekerja/buruh membuat permohonan secara
tertulis dan dibuat atas kemauan sendiri tanpa adanya indikasi
tekanan/intimidasi dari pengusaha. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri
atas kemauan sendiri tidak mendapatkan uang pesangon maupun uang
penghargaan masa kerja melainkan hanya mendapatkan uang penggantian
hak saja. PHK dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial;12
3. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau
pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan
hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
4. Perusahaan melakukan efisiensi, diikuti dengan penutupan perusahaan atau
tidak diikuti dengan penutupan perusahaan disebabkan perusahaan
mengalami kerugian;
5. Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan
perusahaan tutup disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun atau mengalami kerugian tidak secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun;
6. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure).
Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh;
7. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh disebabkan
perusahaan mengalami kerugian maka pekerja/buruh;
8. PHK karena alasan Perusahaan pailit maka pekerja/buruh;

12
Ida Hanifah, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Medan: Pustaka Prima, 2020. hlm.
158.
6

9. Adanya permohonan PHK yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan


alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:13
a. menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar
upah secara tepat waktu sesudah itu;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar
yang diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut
tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
10. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 huruf g terhadap permohonan yang diajukan
oleh pekerja/buruh;
11. Pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut
tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah
dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis,
maka pengusaha dapat melakukan PHK;
12. Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan
pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan
sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga
secara berturut-turut;14

13
Parlin Dony Sipayung, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Yayasan Kita Menulis,
2022. hlm. 68.
14
Ibid.
7

13. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan


akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak
pidana, yang menyebabkan kerugian perusahaan;
14. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah
melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
15. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun. Pengusaha dapat melakukan PHK
terhadap pekerja/buruh karena alasan tersebut;
16. Pekerja/buruh meninggal dunia.
C. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pekerja
Pemutusan oleh pekerja/buruh, dilakukan sebelum berakhir perjanjian
kerja merupakan hak dan wewenang pekerja/buruh untuk mengakhiri
hubungan kerja baik atas persetujuan maupun dilakukan secara sepihak oleh
pekerja/buruh itu sendiri.15 PHK oleh pekerja/buruh adalah PHK yang timbul
karena kehendak pekerja/buruh secara murni tanpa adanya rekayasa pihak lain.
Jadi, PHK itu tidak hanya dilakukan oleh pengusaha, tetapi juga dapat
dilakukan oleh pekerja/buruh. Dalam praktek bentuknya adalah pekerja/buruh
mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja.16
Berdasarkan Pasal 169 UUKK, PHK oleh pekerja/buruh juga dapat
dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada lembaga PPHI, bila
pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:17
1. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) kali berturut-turut atau lebih;
4. Tidak melakukan kewajiban yng telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;

15
Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Literasi
Nusantara, 2020. hlm. 166.
16
Parlin Dony Sipayung, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Yayasan Kita Menulis,
2022. hlm. 69-70.
17
Endah Pujiastuti, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Semarang: Semarang University
Press, 2008. hlm. 61
8

5. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang


diperjanjikan; atau
6. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan
dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak
tercantum dalam perjanjian kerja.
D. Alasan PHK Yang Dinyatakan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat
Oleh MK
Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 26 Oktober 2004 Nomor:
012/PUU-I/2003 menyatakan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, salah satunya
adalah Pasal 158, yang intinya pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:18
1. Pengusaha dapat memutus hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan
alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan;
b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan nakotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
di lingkungan kerja;
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha dilingkungan kerja;
f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian
bagi perusahaan;
h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
18
Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Dalam Teori dan Praktik di Indonesia,
Jakarta Timur: Prenadamedia Group, 2019. hlm. 266-267.
9

i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya


dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. Melakukan perbuatan lainnya dilingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
2. Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung
dengan bukti sebagai berikut:
a. Pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
3. Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang
penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
4. Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain
uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4)
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.19
E. Hak-Hak Tenaga Kerja Yang Di PHK
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar tidak terjadi PHK.
Apabila segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka
maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh.20
Dalam hal perundingan tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha
hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah

19
Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Dalam Teori dan Praktik di Indonesia,
Jakarta Timur: Prenadamedia Group, 2019. hlm. 267.
20
Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Literasi
Nusantara, 2020. hlm. 172.
10

memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan


industrial. Permohonan penetapan pemutuskan hubungan kerja diajukan secara
tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai
alasan yang menjadi dasarnya. Penetapan atas permohonan pemutusan
hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja
telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan
kesepakatan.
Penetapan hak pemutusan hubungan kerja sebagaimana tertera dalam
pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.150/ Men/2000, yaitu:21
1. Uang pesangon; adalah pembayaran berupa uang dari perusahaan kepada
pekerja sebagai akibat adanya PHK.
2. Uang Penghargaan Masa Kerja; adalah uang jasa sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 sebagai penghargaan
pengusaha kepada pekerja yang dikaikan dengan lamanya masa kerja.
3. Ganti Kerugian; adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja sebagai pengganti istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya
perjalanan ke tempat dimana pekerja diterima bekerja, fasilitas
pengobatan, fasilitas perumahan, dan lain-lain yang ditetapkan oleh
pengadilan hubungan industrial sebagai akibat adanya pemutusan
hubungan kerja.
Pasal 156 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa apabila terjadi PHK
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh
pekerja/buruh. Perhitungan uanga pesangon yang seharusnya diterima oleh
pekerja/buruh ditetapkan sebagai berikut:22
1. masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
2. masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;

21
Abdul Khakim, Dasar-dasar hukum ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2014. hlm. 37.
22
Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Literasi
Nusantara, 2020. hlm. 172-173.
11

3. masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
4. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
5. masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
6. masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
7. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
8. masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang darai 8 tahun, 8 bulan upah;
9. masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja yang seharusnya diterima
oleh pekerja/buruh ditetapkan sebagai berikut:23
1. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
2. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
3. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
4. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
5. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun,
6 (enam) bulan upah;
6. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
7. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
8. masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/ buruh
meliputi:24
1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
3. pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
(lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan
masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.

23
Ibid., hlm. 173
24
Ibid., hlm. 174.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas penulis menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dari pengusaha. (Pasal 1 angka 25 UUKK)
2. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan (PPHI), yaitu PHK oleh
putusan pengadilan yang terjadi karena alasan-alasan tertentu yang
mendesak dan penting, misalnya terjadinya pengalihan kepemilikan,
peralihan asset atau pailit.
3. Pemutusan demi hukum adalah pemutusan hubungan kerja bukan karena
diputuskan oleh pihak buruh/pekerja, juga bukan oleh pihak
pengusaha/majikan dan juga bukan diputuskan oleh pengadilan, akan
tetapi pemutusan hubungan kerja dengan sendirinya tanpa diperlukan
adanya tindakan dari semua pihak, seperti pengadilan, pekerja/buruh, dan
pengusaha.
4. PHK oleh pekerja/buruh adalah PHK yang timbul karena kehendak
pekerja/buruh secara murni tanpa adanya rekayasa pihak lain.
5. Alasan PHK yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
oleh Mahkamah Konstitusi yaitu karena pekerja/buruh telah melakukan
kesalahan berat. (Pasal 158 ayat 1 UUKK)
6. Pekerja/buruh yang ter-PHK berhak menerima komponen kompensasi
yaitu uang pasongan, uang penghargaan masa kerja, serta uang pengganti
hak.
B. Saran
1. Sebaiknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilakukan dengan
Pertimbangan yang sangat matang karena pengaruh dari Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) cukup besar bagi perusahaan dan pekerja itu
sendiri. Untuk mengurangi masalah perselisihan yang terjadi akibat
12
13

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sebaiknya perusahaan dapat membina


hubungan kerja yang harmonis, serasi, dan terbuka agar tercipta suasana
kerja yang baik sehingga apabila Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dilakukan dalam bentuk apapun karyawan akan menerimanya dengan baik.
Sebaiknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan berdasarkan
dengan ketentuan dan peraturan Undang-Undang yang berlaku, dimana
hak dan kewajiban masing-masing pihak tertera di dalamnya sehingga
tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
2. Agar Meninjauan lebih lanjut mengenai peraturan tentang
ketenagakerjaan mengenai pasal 158 yaitu tentang kesalahan berat yang
dilakukan oleh pekerjaan, karena dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 012/PUU-I/2003 tentang kesalahan berat maka
pasal 158 tersebut tidak jelas bagi pekerja, maka seharusnya kesalahan
berat dari pasal 158 diatur lebih kongkrit lagi mengenai sanksinya dan juga
mengenai hak asasi manusia karena dengan adanya perubahan
perundang-undangan maka akan tercipta kepastian hukum yang lebih
lagi bagi pihak perusahaan dan pekerja. Dengan adanya Undang-
Undang yang lebih baik lagi, maka perlindungan kepada para pekerja
ataupun perusahaan akan lebih terjamin lagi, terutama akan lebih
terjaminnya perlindungan terhadap hak asasi manusia agar tidak
diabaikan lagi oleh semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Asyhadie, Zaeni. Hukum Ketenagakerjaan Dalam Teori dan Praktik di Indonesia.


Jakarta Timur: Prenadamedia Group, 2019.
Djumialdji, FX. Perjanjian Kerja. Jakarta: PT Sinar Grafika, Edisi Revisi 2005.
Hanifah, Ida. Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia. Medan: Pustaka Prima,
2020.
Harahap, Arifuddin Muda. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Medan: Literasi
Nusantara, 2020.
I Nyoman Wahyu Triana, I Made Udiana, “Kesepakatan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) melalui perjanjian bersama ditinjau dari aspek
ketenagakerjaan” Volume 1, Nomor 1 2014.
Khakim, Abdul. Dasar-dasar hukum ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2014.
Pujiastuti, Endah. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Semarang: Semarang
University Press, 2008.
Sipayung, Parlin Dony. dkk. Hukum Ketenagakerjaan. Medan: Yayasan Kita
Menulis, 2022.
Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta, PT. Sinar Grafika, 2009.
Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar
Grafika, 2014.

14

Anda mungkin juga menyukai