PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu mejadi hal yang sulit baik
bagi pengusaha maupun pekerja/buruh. Pengusaha menganggap terjadinya
PHK merupakan hal yang wajar di dalam kegiatan perusahaan. Bagi
pekerja/buruh, terjadinya PHK berdampak sangat luas bagi kehidupanya tidak
hanya bagi dirinya pribadi namun juga keluarganya. PHK jelas akan
menyebabkan seorang pekerja/buruh kehilangan mata pencahariannya.
Demikian juga pada waktu pekerja tersebut berhenti atau adanya pemutusan
hubungan kerja dengan perusahaan, perusahaan mengeluarkan dana untuk
pensiun atau pesangon atau tunjangan lain yang berkaitan dengan
pemberhentian, sekaligus memprogramkan kembali penarikan pekerja baru
yang sama halnya seperti dahulu harus mengeluarkan dana untuk kompensasi
dan pengembangan pekerja.1
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengupayakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja. Namun dalam hal segala upaya telah dilakukan,
tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud
pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Ini lah yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.2
Dalam menjalani pemutusan hubungan kerja, pihak-pihak yang
bersangkutan yaitu pengusaha dan pekerja/buruh harus benar-benar
mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan PHK, terutama untuk para
pekerja/buruh, agar mereka bisa mendapatkan apa yang menjadi hak mereka
setelah di PHK.3
1
FX Djumialdji, Perjanjian Kerja, Jakarta: PT Sinar Grafika, Edisi Revisi 2005. hlm. 44.
2
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
hlm. 158.
3
I Nyoman Wahyu Triana, I Made Udiana, “Kesepakatan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) melalui perjanjian bersama ditinjau dari aspek ketenagakerjaan” Volume 1, Nomor 1
1
2
2014.
4
Parlin Dony Sipayung, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Yayasan Kita Menulis,
2022. hlm. 62.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan (PPHI), yaitu PHK oleh
putusan pengadilan yang terjadi karena alasan-alasan tertentu yang mendesak
dan penting, misalnya terjadinya pengalihan kepemilikan, peralihan asset atau
pailit.5 Cara terjadinya PHK adalah karena adanya putusan pengadilan akibat
dari adanya sengketa antar pekerja/buruh dan majikan yang berlanjut sampai ke
proses pengadilan. Datangnya perkara dapat dari buruh atau dari majikan.6
PHK oleh pengadilan ialah tindakan PHK karena adanya putusan hakim
pengadilan. Dalam hal ini salah satu pihak (pengusaha atau
pekerja/keluarganya) mengajukan pembatalan perjanjian kepada pengadilan.
Contohnya bila pengusaha mempekerjakan anak di bawah umur (kurang 18
(delapan belas) tahun). Dimana wali anak tersebut mengajukan pembatalan
perjanjian kerja kepada pengadilan.7
Kemudian berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
012/PUU-I/2003, secara tegas menyatakan bahwa ketentuan Pasal 158 UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal yang mengatur tentang
PHK karena kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja/buruh) dinilai
melanggar prinsip-prinsip pembuktian dan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat, utamanya asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) dan asas kesamaan di depan hukum sebagaimana yang telah
dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Akan tetapi, perusahaan dapat untuk mengatur golongan atau bentuk
pelanggaran dalam perusahaan sebagaimana yang dapat dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.8
5
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Jakarta, PT. Sinar Grafika, 2009. hlm.66.
6
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
hlm. 167..
7
Ida Hanifah, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Medan: Pustaka Prima, 2020. hlm.
161-162.
8
Parlin Dony Sipayung, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Yayasan Kita Menulis,
2022. hlm. 69.
3
4
9
Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Literasi
Nusantara, 2020. hlm. 161.
10
Parlin Dony Sipayung, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Yayasan Kita Menulis,
2022. hlm. 66-69.
11
Ida Hanifah, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Medan: Pustaka Prima, 2020. hlm.
157.
5
12
Ida Hanifah, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Medan: Pustaka Prima, 2020. hlm.
158.
6
13
Parlin Dony Sipayung, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Yayasan Kita Menulis,
2022. hlm. 68.
14
Ibid.
7
15
Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Literasi
Nusantara, 2020. hlm. 166.
16
Parlin Dony Sipayung, dkk, Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Yayasan Kita Menulis,
2022. hlm. 69-70.
17
Endah Pujiastuti, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Semarang: Semarang University
Press, 2008. hlm. 61
8
19
Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Dalam Teori dan Praktik di Indonesia,
Jakarta Timur: Prenadamedia Group, 2019. hlm. 267.
20
Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Literasi
Nusantara, 2020. hlm. 172.
10
21
Abdul Khakim, Dasar-dasar hukum ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2014. hlm. 37.
22
Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Medan: Literasi
Nusantara, 2020. hlm. 172-173.
11
3. masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
4. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
5. masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
6. masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
7. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
8. masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang darai 8 tahun, 8 bulan upah;
9. masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja yang seharusnya diterima
oleh pekerja/buruh ditetapkan sebagai berikut:23
1. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
2. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
3. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
4. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
5. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun,
6 (enam) bulan upah;
6. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
7. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
8. masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/ buruh
meliputi:24
1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
3. pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
(lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan
masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
23
Ibid., hlm. 173
24
Ibid., hlm. 174.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas penulis menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dari pengusaha. (Pasal 1 angka 25 UUKK)
2. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan (PPHI), yaitu PHK oleh
putusan pengadilan yang terjadi karena alasan-alasan tertentu yang
mendesak dan penting, misalnya terjadinya pengalihan kepemilikan,
peralihan asset atau pailit.
3. Pemutusan demi hukum adalah pemutusan hubungan kerja bukan karena
diputuskan oleh pihak buruh/pekerja, juga bukan oleh pihak
pengusaha/majikan dan juga bukan diputuskan oleh pengadilan, akan
tetapi pemutusan hubungan kerja dengan sendirinya tanpa diperlukan
adanya tindakan dari semua pihak, seperti pengadilan, pekerja/buruh, dan
pengusaha.
4. PHK oleh pekerja/buruh adalah PHK yang timbul karena kehendak
pekerja/buruh secara murni tanpa adanya rekayasa pihak lain.
5. Alasan PHK yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
oleh Mahkamah Konstitusi yaitu karena pekerja/buruh telah melakukan
kesalahan berat. (Pasal 158 ayat 1 UUKK)
6. Pekerja/buruh yang ter-PHK berhak menerima komponen kompensasi
yaitu uang pasongan, uang penghargaan masa kerja, serta uang pengganti
hak.
B. Saran
1. Sebaiknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilakukan dengan
Pertimbangan yang sangat matang karena pengaruh dari Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) cukup besar bagi perusahaan dan pekerja itu
sendiri. Untuk mengurangi masalah perselisihan yang terjadi akibat
12
13
14