1. Dalam dunia kerja hubungan antara perusahaan dan karyawan tidak selalu berjalan mulus. Resiko
terkena pemutusan hubungan kerja atau yang lebih dikenal dengan istilah PHK ini akan selalu ada
kapan saja dan di mana saja dengan berbagai alasan. Apalagi sejak Pandemi Covid-19 melanda
Indonesia, jumlah PHK meningkat sangat drastic sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan ada
29,4 juta orang terdampak pandemi Covid-19. Salah satu alasan mem-PHK yang banyak
digunakan di masa pandemic adalah karena alasan force majure/keadaan memaksa.
Pertanyaan :
a. Apakah PHK dalam keadaan Force Majure oleh perusahaan masih memerlukan penetapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ? hubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja.
PHK tidak harus didahului penetapan PHI, pengusaha cukup memberitahukanmaksud dan alasan
PHK kepada buruh. Bila buruh menolak PHK perundinganbipartit bisa dilakukan, mediasi, hingga
penyelesaian di PHI.
UU No.11 Tahun 2020tentang Cipta Kerja banyak memberi kemudahan bagidunia usaha untuk
menjalankan kegiatannya, termasuk dalam bidang hubunganindustrial. Misalnya, dalam
perubahan Pasal 151 UU No.13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja
membolehkan pengusaha melakukanpemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa didahului oleh
penetapan dari lembagapenyelesaian perselisihan hubungan industrial atau Pengadilan Hubungan
Industrial(PHI).
UU Cipta Kerja mengatur dalam hal PHK tidak dapat dihindari, maksud danalasan PHK
diberitahukan oleh pengusaha kepada buruh dan/atau serikat buruh.Sebelumnya dalam Pasal 151
UU Ketenagakerjaan mengatur jika semua upaya telahdilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari,
maka PHK wajib dirundingkan olehpengusaha dan serikat buruh atau dengan buruh bila buruh
yang bersangkutan tidakmenjadi anggota serikat buruh. Jika perundingan itu tidak menghasilkan
persetujuan(kesepakatan), pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah
memperolehpenetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Hakim Ad Hoc PHI pada MA RI, Sugeng Santoso, mengatakan melalui UUCipta Kerja pemerintah
memberi kemudahan bagi pelaku usaha untuk melakukanPHK. Dengan surat pemberitahuan itu,
berarti pengusaha dapat melakukan PHKtanpa melakukan perundingan terlebih dulu dengan
serikat buruh atau buruh yangbersangkutan.
PP No.35 Tahun 2021tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK) menyebutkanpemberitahuan PHK itu
dibuat dalam bentuk surat dandisampaikan secara sah dan patut oleh pengusaha kepada buruh
dan/atau serikat buruh paling lama 14 hari kerja sebelum PHK. Untuk buruh dalam masa
percobaan,surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 hari kerja sebelum PHK.
Setelah buruh menerima pemberitahuan itu dan tidak menolak PHK, pengusahaharus melaporkan
PHK kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan/atau dinasketenagakerjaan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota. Bagi buruh yang menolakPHK itu harus membuat surat penolakan lengkap
dengan alasannya paling lama 7hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan itu.
Perundingan bipartitdilakukan untuk menyelesaikan perselisihan PHK ini. Jika bipartit tidak
mencapaikesepakatan, proses selanjutnya mengikuti mekanisme penyelesaian
perselisihanhubungan industrial sesuai aturan."Sekarang PHK tidak perlu lagi didahului penetapan
dari lembaga penyelesaianperselisihan hubungan industrial, pengusaha hanya perlu
memberitahukan maksuddan alasan PHK kepada buruh. Perundingan baru bisa dilakukan jika
buruh menolakPHK," kata Sugeng dalam webinar bertajuk "Hukumonline Bootcamp 2021:
SelukBeluk Pengaturan Ketenagakerjaan dalam Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja (SesiII)", Senin
(5/4/2021).
Tapi, pemberitahuan PHK oleh pengusaha itu tidak diperlukan untuk 4hal.Pertama,buruh
mengundurkan diri atas kemauan sendiri.Kedua,PHK karenaberakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT).Ketiga,mencapai usia pensiunsesuai dengan perjanjian kerja, Peraturan
Perusahaan (PP) atau perjanjian kerjabersama (PKB).Keempat ,buruh meninggal dunia.
Sugeng menerangkan dalam hal pengusaha dan buruh sepakat untuk mengakhirihubungan kerja,
tidak perlu lagi surat pemberitahuan PHK. Selanjutnya,menuangkannya dalam perjanjian bersama
yang didaftarkan ke pengadilanhubungan industrial (PHI). Tapi pengusaha perlu melaporkan PHK
ini kepadadisnaker setempat karena ini berkaitan dengan hak buruh terhadap program
JaminanKehilangan Pekerjaan (JKP)."Bagi buruh yang sudah mengakhiri hubungan kerja itu dan
langsung bekerja diperusahaan lain, maka dia tidak berhak lagi mendapat manfaat JKP.
Sumber Referensi :https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-alur-proses-phk- sesuai-uu-
cipta-kerja-lt606aa597aeace/
b. Langkah atau tahapan apa saja yang seharusnya dilakukan perusahaan sebelum melakukan
PHK dimasa Pandemi Covid-19 ?
Pekerja yang terkena keputusan PHK efisiensi tersebut tidak melakukan kesalahan apapun, dan
keputusan PHK tersebut merupakan murni keputusan pengusaha dalam rangka mempertahankan
perusahaannya. Oleh karena itu, pemberian kompensasi PHK terhadap PHK efisiensi tanpa
menutup perusahaan dapat mengikuti formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan tersebut, yakni
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Hal ini diterapkan demi tetap menjamin dan melindungi
hak-hak pekerja yang diputus hubungan kerjanya. Terlebih, formulasi kompensasi PHK tanpa
kesalahan tersebut juga merupakan
formulasi yang lebih besar dibandingkan dengan formulasi kompensasi alasan PHK
lainnya.Kehadiran pandemi covid-19 mengakibatkan kesulitan di segala lini kehidupan masyarakat.
Termasuk dalam lalu lintas pelaksanaan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, hal ini juga menjadi
momok karena baik pekerja maupun pengusaha sama-sama merasakan dampaknya. Pada situasi
serba sulit ini tidak boleh pula melakukan generalisir kepada seluruh perusahaan, dengan
anggapan semua perusahaan mampu bertahan tanpa melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Tidak semua perusahaan adalah perusahaan besar yang mempunyai keadaan ekonomi yang kuat.
Situasi yang tidak ideal ini tentu saja akan memberi dampak yang tidak ideal pula. Jika kemudian
dalam perjalanannya pengusaha terpaksa melakukan PHK efisiensi tanpa melakukan penutupan
perusahaan, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial mesti aktif untuk ikut
mengawasi proses PHK hingga pemenuhan hak-hak dan kompensasi PHK bagi pekerja. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan, yakni:
1. Memastikan bahwa pengusaha telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk mencegah
terjadinya PHK dan PHK yang dilakukan adalah jalan terakhir, serta satu-satunya yang dapat
ditempuh oleh pengusaha.
2. Memastikan bahwa PHK yang dilakukan tidak ada maksud terselubung atau itikad buruk
semata dari pengusaha, prosesnya harus jelas dan terbuka, serta disertai dengan alasan-alasan
atau pertimbangan yang adil.
3. Memastikan segala upah dan kompensasi atau hak-hak pekerja lainnya terkait hubungan kerja
telah dipenuhi oleh pengusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Jika perlu, pengusaha dan pekerja dapat memperjanjikan konsep reinstatement, yakni ketika
situasi perusahaan telah normal kembali, dalam hal dibukanya atau diperlukannya kembali posisi
pekerjaan yang semula diefisiensikan, pekerja yang terkena dampak PHK efisiensi tersebut
diprioritaskan untuk dipekerjakan kembali.
2. Sejak Pandemi Corona Virus Desiase 19 (Covid-19) melanda Indonesia banyak perusahaan yang
terdampak dan merugi sehingga melakukan Pemutusan Hubungan Kerja yang berujung pada terjadi
perselisihan antara Perusahaan dan Pekerja. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Sejak Undang-Undang Nomo 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terdapat perubahan yang signifikan
terkait alasan, proses dan hak-hak yang harus diterima ketika terjadi PHK baik oleh Pekerja,
Perusahaan maupun lembaga peradilan.
Pertanyaan :
Buatlah perbedaan alasan PHK dan hak-hak normatif yang harus diterima antara aturan yang ada
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ? Melihat pada UU Ketenagakerjaan, ada sembilan alasan
perusahaan boleh melakukan PHK seperti, perusahaan bangkrut, perusahaan tutup karena merugi,
perubahan status
perusahaan, pekerja atau buruh melanggar perjanjian kerja, pekerja atau buruh melakukan kesalahan
berat, pekerja atau buruh memasuki usia pensiun, pekerja atau buruh mengundurkan diri, pekerja
atau buruh meninggal dunia dan pekerja atau buruh mangkir. Sedangkan UU Cipta Kerja menambah
lima poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK yang diatur dalam pasal 154 A. Di antaranya
meliputi; perusahaan melakukan efisiensi, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan. Kemudian perusahaan dalam keadaan penundaan
kewajiban pembayaran utang, perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja atau buruh
serta pekerja atau buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
Pertanyaan :
a. Jika merujuk pada Pasal 64 UU Nomor 13 Taun 2013 tersebut Outsourcing dibagi menjadi dua
yaitu pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja/buruh. Berikan penjelasan Saudara
terhadap hal tersebut ?
b. Terkait ketentuan Outsourcing, Mahkamah Konstitusi pernah melakukan pengujian dan telah
menerbitkan Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 yang berdampak pada pro dan kontra di
kalangan Pekerja/Buruh. Apa yang Saudara pahami terkait putusan MK Tersebut