Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 2 ADBI 4336

NAMA: ALDI FACHREZA


NIM: 043669478

1. Dalam dunia kerja hubungan antara perusahaan dan karyawan tidak selalu berjalan mulus. Resiko
terkena pemutusan hubungan kerja atau yang lebih dikenal dengan istilah PHK ini akan selalu ada
kapan saja dan di mana saja dengan berbagai alasan. Apalagi sejak Pandemi Covid-19 melanda
Indonesia, jumlah PHK meningkat sangat drastic sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan ada
29,4 juta orang terdampak pandemi Covid-19. Salah satu alasan mem-PHK yang banyak
digunakan di masa pandemic adalah karena alasan force majure/keadaan memaksa.

Pertanyaan :
a. Apakah PHK dalam keadaan Force Majure oleh perusahaan masih memerlukan penetapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ? hubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja.

PHK tidak harus didahului penetapan PHI, pengusaha cukup memberitahukanmaksud dan alasan
PHK kepada buruh. Bila buruh menolak PHK perundinganbipartit bisa dilakukan, mediasi, hingga
penyelesaian di PHI.
UU No.11 Tahun 2020tentang Cipta Kerja banyak memberi kemudahan bagidunia usaha untuk
menjalankan kegiatannya, termasuk dalam bidang hubunganindustrial. Misalnya, dalam
perubahan Pasal 151 UU No.13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja
membolehkan pengusaha melakukanpemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa didahului oleh
penetapan dari lembagapenyelesaian perselisihan hubungan industrial atau Pengadilan Hubungan
Industrial(PHI).
UU Cipta Kerja mengatur dalam hal PHK tidak dapat dihindari, maksud danalasan PHK
diberitahukan oleh pengusaha kepada buruh dan/atau serikat buruh.Sebelumnya dalam Pasal 151
UU Ketenagakerjaan mengatur jika semua upaya telahdilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari,
maka PHK wajib dirundingkan olehpengusaha dan serikat buruh atau dengan buruh bila buruh
yang bersangkutan tidakmenjadi anggota serikat buruh. Jika perundingan itu tidak menghasilkan
persetujuan(kesepakatan), pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah
memperolehpenetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Hakim Ad Hoc PHI pada MA RI, Sugeng Santoso, mengatakan melalui UUCipta Kerja pemerintah
memberi kemudahan bagi pelaku usaha untuk melakukanPHK. Dengan surat pemberitahuan itu,
berarti pengusaha dapat melakukan PHKtanpa melakukan perundingan terlebih dulu dengan
serikat buruh atau buruh yangbersangkutan.
PP No.35 Tahun 2021tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK) menyebutkanpemberitahuan PHK itu
dibuat dalam bentuk surat dandisampaikan secara sah dan patut oleh pengusaha kepada buruh
dan/atau serikat buruh paling lama 14 hari kerja sebelum PHK. Untuk buruh dalam masa
percobaan,surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 hari kerja sebelum PHK.
Setelah buruh menerima pemberitahuan itu dan tidak menolak PHK, pengusahaharus melaporkan
PHK kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan/atau dinasketenagakerjaan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota. Bagi buruh yang menolakPHK itu harus membuat surat penolakan lengkap
dengan alasannya paling lama 7hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan itu.
Perundingan bipartitdilakukan untuk menyelesaikan perselisihan PHK ini. Jika bipartit tidak
mencapaikesepakatan, proses selanjutnya mengikuti mekanisme penyelesaian
perselisihanhubungan industrial sesuai aturan."Sekarang PHK tidak perlu lagi didahului penetapan
dari lembaga penyelesaianperselisihan hubungan industrial, pengusaha hanya perlu
memberitahukan maksuddan alasan PHK kepada buruh. Perundingan baru bisa dilakukan jika
buruh menolakPHK," kata Sugeng dalam webinar bertajuk "Hukumonline Bootcamp 2021:
SelukBeluk Pengaturan Ketenagakerjaan dalam Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja (SesiII)", Senin
(5/4/2021).

Tapi, pemberitahuan PHK oleh pengusaha itu tidak diperlukan untuk 4hal.Pertama,buruh
mengundurkan diri atas kemauan sendiri.Kedua,PHK karenaberakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT).Ketiga,mencapai usia pensiunsesuai dengan perjanjian kerja, Peraturan
Perusahaan (PP) atau perjanjian kerjabersama (PKB).Keempat ,buruh meninggal dunia.
Sugeng menerangkan dalam hal pengusaha dan buruh sepakat untuk mengakhirihubungan kerja,
tidak perlu lagi surat pemberitahuan PHK. Selanjutnya,menuangkannya dalam perjanjian bersama
yang didaftarkan ke pengadilanhubungan industrial (PHI). Tapi pengusaha perlu melaporkan PHK
ini kepadadisnaker setempat karena ini berkaitan dengan hak buruh terhadap program
JaminanKehilangan Pekerjaan (JKP)."Bagi buruh yang sudah mengakhiri hubungan kerja itu dan
langsung bekerja diperusahaan lain, maka dia tidak berhak lagi mendapat manfaat JKP.
Sumber Referensi :https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-alur-proses-phk- sesuai-uu-
cipta-kerja-lt606aa597aeace/

b. Langkah atau tahapan apa saja yang seharusnya dilakukan perusahaan sebelum melakukan
PHK dimasa Pandemi Covid-19 ?

Pekerja yang terkena keputusan PHK efisiensi tersebut tidak melakukan kesalahan apapun, dan
keputusan PHK tersebut merupakan murni keputusan pengusaha dalam rangka mempertahankan
perusahaannya. Oleh karena itu, pemberian kompensasi PHK terhadap PHK efisiensi tanpa
menutup perusahaan dapat mengikuti formulasi kompensasi PHK tanpa kesalahan tersebut, yakni
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Hal ini diterapkan demi tetap menjamin dan melindungi
hak-hak pekerja yang diputus hubungan kerjanya. Terlebih, formulasi kompensasi PHK tanpa
kesalahan tersebut juga merupakan
formulasi yang lebih besar dibandingkan dengan formulasi kompensasi alasan PHK
lainnya.Kehadiran pandemi covid-19 mengakibatkan kesulitan di segala lini kehidupan masyarakat.
Termasuk dalam lalu lintas pelaksanaan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, hal ini juga menjadi
momok karena baik pekerja maupun pengusaha sama-sama merasakan dampaknya. Pada situasi
serba sulit ini tidak boleh pula melakukan generalisir kepada seluruh perusahaan, dengan
anggapan semua perusahaan mampu bertahan tanpa melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Tidak semua perusahaan adalah perusahaan besar yang mempunyai keadaan ekonomi yang kuat.
Situasi yang tidak ideal ini tentu saja akan memberi dampak yang tidak ideal pula. Jika kemudian
dalam perjalanannya pengusaha terpaksa melakukan PHK efisiensi tanpa melakukan penutupan
perusahaan, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial mesti aktif untuk ikut
mengawasi proses PHK hingga pemenuhan hak-hak dan kompensasi PHK bagi pekerja. Beberapa
hal yang perlu diperhatikan, yakni:
1. Memastikan bahwa pengusaha telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk mencegah
terjadinya PHK dan PHK yang dilakukan adalah jalan terakhir, serta satu-satunya yang dapat
ditempuh oleh pengusaha.
2. Memastikan bahwa PHK yang dilakukan tidak ada maksud terselubung atau itikad buruk
semata dari pengusaha, prosesnya harus jelas dan terbuka, serta disertai dengan alasan-alasan
atau pertimbangan yang adil.
3. Memastikan segala upah dan kompensasi atau hak-hak pekerja lainnya terkait hubungan kerja
telah dipenuhi oleh pengusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Jika perlu, pengusaha dan pekerja dapat memperjanjikan konsep reinstatement, yakni ketika
situasi perusahaan telah normal kembali, dalam hal dibukanya atau diperlukannya kembali posisi
pekerjaan yang semula diefisiensikan, pekerja yang terkena dampak PHK efisiensi tersebut
diprioritaskan untuk dipekerjakan kembali.

2. Sejak Pandemi Corona Virus Desiase 19 (Covid-19) melanda Indonesia banyak perusahaan yang
terdampak dan merugi sehingga melakukan Pemutusan Hubungan Kerja yang berujung pada terjadi
perselisihan antara Perusahaan dan Pekerja. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Sejak Undang-Undang Nomo 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terdapat perubahan yang signifikan
terkait alasan, proses dan hak-hak yang harus diterima ketika terjadi PHK baik oleh Pekerja,
Perusahaan maupun lembaga peradilan.

Pertanyaan :
Buatlah perbedaan alasan PHK dan hak-hak normatif yang harus diterima antara aturan yang ada
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ? Melihat pada UU Ketenagakerjaan, ada sembilan alasan
perusahaan boleh melakukan PHK seperti, perusahaan bangkrut, perusahaan tutup karena merugi,
perubahan status
perusahaan, pekerja atau buruh melanggar perjanjian kerja, pekerja atau buruh melakukan kesalahan
berat, pekerja atau buruh memasuki usia pensiun, pekerja atau buruh mengundurkan diri, pekerja
atau buruh meninggal dunia dan pekerja atau buruh mangkir. Sedangkan UU Cipta Kerja menambah
lima poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK yang diatur dalam pasal 154 A. Di antaranya
meliputi; perusahaan melakukan efisiensi, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan. Kemudian perusahaan dalam keadaan penundaan
kewajiban pembayaran utang, perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja atau buruh
serta pekerja atau buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.

3. Pasal 64 UU Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa : Perusahaan


dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Pertanyaan :
a. Jika merujuk pada Pasal 64 UU Nomor 13 Taun 2013 tersebut Outsourcing dibagi menjadi dua
yaitu pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja/buruh. Berikan penjelasan Saudara
terhadap hal tersebut ?

Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis.
Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukansecaraterpisahdarikegiatanutamabaikmanajemenmaupunkegiatan pelaksanaan
pekerjaan;
b. dilakukandenganperintahlangsungatautidaklangsungdaripemberipekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b. perjanjiankerjayangberlakudalamhubungankerjasebagaimanadimaksudpada huruf a adalah
perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak; perlindunganupahdankesejahteraan,syarat-
syaratkerja,sertaperselisihanyang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan
perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak
sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-
pasal sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini
Sesuai Permen Nomor 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain menyatakan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi, meluputi:
a. usaha pelayanana kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang dipertambangan dan perminyakan; dan
e. usaa penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus didaftarkan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan. Pendaftaran
dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditandatangani dengan melampirkan: izin
operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang masih berlaku; dan draft perjanjian
kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya.

b. Terkait ketentuan Outsourcing, Mahkamah Konstitusi pernah melakukan pengujian dan telah
menerbitkan Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 yang berdampak pada pro dan kontra di
kalangan Pekerja/Buruh. Apa yang Saudara pahami terkait putusan MK Tersebut

Kehadiran UU Ketenagakerjaan sering mendapat tantangan dari para pendukung kepentingan


terutama dari pihak pekerja, terutama yang berkaitan
dengan pengaturan Perjanjian Kerja Outsourcing di Indonesia. Alasan para penentang tersebut
antara lain adalah, bahwa pengaturan outsourcing hanya mengeksploitasi dan memarjinalisasi sisi
kemanusiaan mereka yang telah dijamin oleh konstitusi. Berbagai upaya telah mereka lakukan
agar aturan yang dinilai diskriminatif ini dihapus dari praktik ketenagakerjaan di Indonesia,
termasuk pilihan hukum dengan melakukan uji material aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Akhirnya, melalui Putusan No. 27/PUU-IX/2011, MK mengabulkan permohonan pekerja
dengan menyatakan inkonstitusional sebagian ketentuan tentang Perjanjian Kerja outsourcing.
Dalam menyikapi putusan MK tersebut, Pemerintah melalui Kemenakertrans menerbitkan
Permenakertrans No. 19 Tahun 2012. Persoalannya adalah bahwa putusan MK tidak boleh
ditindaklanjuti dengan peraturan perundang-undangan setingkat peraturan menteri. Selain itu,
permenakertrans itu dinilai melanggar aturan yang lebih tinggi lagi yaitu UU
Ketenakerjaan karena melakukan penambahan dan pengurangan terhadap batang tubuh undang-
undang dimaksud. Tidak hanya itu saja, saat ini baik pihak pekerja maupun pihak pengusaha juga
merasa tidak sejalan dengan pengaturan perjanjian kerja outsourcing yang dimaksud di dalam
Permenakertrans tersebut
Dengan keluarnya Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 maka Perjanjian Kerja Outsourcing dalam
Pasal 65 – 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap inkonstitusional
(conditionally unconstitutional) khususnya Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b. Amar
putusan Mahkamah Konstitusi menghendaki perlunya menetapkan klausula perlidungan terhadap
pekerja outsourcing yaitu dengan menetapkan perlunya Perjanjian Kerja outsourcing diikat dengan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu dan melalui Transfer of Under Protection of Employment
(TUPE) jika pekerja outsourcing diikat berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Berdasarkan amar Putusan MK tersebut Pemerintah mengeluarkan Surat Edaran No.
B.31/PHIJSK/I2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Permenakertrans No. 19 tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Anda mungkin juga menyukai