Anda di halaman 1dari 6

NAMA : KIKIS SUKMA MULYANAGARA

NIM : 042928509

MATKUL : HUKUM KETENAGAKERJAAN

1. Dalam dunia kerja hubungan antara perusahaan dan karyawan tidak selalu berjalan
mulus. Resiko terkena pemutusan hubungan kerja atau yang lebih dikenal dengan
istilah PHK ini akan selalu ada kapan saja dan di mana saja dengan berbagai alasan.
Apalagi sejak Pandemi Covid-19 melanda Indonesia, jumlah PHK meningkat sangat
drastik sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan ada 29,4 juta orang
terdampak pandemi Covid-19. Salah satu alasan mem-PHK yang banyak digunakan
di masa pandemi adalah karena alasan force majure/keadaan memaksa.

Pertanyaan:
a. Apakah PHK dalam keadaan Force Majure oleh perusahaan masih memerlukan
penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ? hubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Jawaban: Dengan adanya ketentuan dalam pasal Pasal 81 angka 37 UU No 11


Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 UU No 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dapat melakukan PHK tanpa melakukan
perundingan terlebih dulu dengan serikat buruh atau buruh yang bersangkutan.
Sekarang PHK tidak perlu lagi didahului penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, pengusaha hanya perlu memberitahukan maksud
dan alasan PHK kepada buruh. Perundingan baru bisa dilakukan jika buruh
menolak PHK. Ketentuan tersebut memang berbeda dengan ketentuan sebelumnya
dalam Pasal 151 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan yang mengatur
jika semua upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka PHK
wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat buruh atau dengan buruh bila buruh
yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat buruh. Jika perundingan itu tidak
menghasilkan persetujuan (kesepakatan), pengusaha hanya dapat melakukan PHK
setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Dengan demikian, Pasal 151 UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan melalui Pasal 81 angka 37 UU Cipta Kerja membolehkan
pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa didahului oleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dalam hal ini termasuk keadaan force
majure sesuai dengan bunyi pasal 164 Ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan perusahaan dapat melakukan
PHK terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun atau keadaan
memaksa.
b. Langkah atau tahapan apa saja yang seharusnya dilakukan perusahaan sebelum
melakukan PHK dimasa Pandemi Covid-19?

Jawaban: Pandemi COVID-19 mendorong penerapan kebijakan Pembatasan


Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah se-Indonesia. Hal tersebut tidak
terpungkiri berdampak terhadap kemerosotan ekonomi di semua lini warga.
Banyak perusahaan tidak sanggup meneruskan produktivitas usaha hingga harus
lakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam hal ini, mengenai prosedur
PHK dalam pasal 163 UU No.13/2003, pada dasarnya merujuk pada ketentuan
pasal 151 ayat (2)dan ayat (3) UU No.13/2003, bahwa setiap pemutusan
hubungan kerja wajib dirundingkan (sesuai mekanisme bipartit), baik perundingan
mengenai alasan PHK-nya maupun perundingan menyangkut hak-hak atau
kewajiban yang harus ditunaikan. Termasuk PHK karena corporate action
sebagaimana tersebut dalam Pasal 163 UU No.13/2003. Apabila perundingan -
sebagaimana dimaksud -gagal, maka hanya dapat dilakukan pemutusan hubungan
kerja setelah memperoleh penetapan (“izin”) dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan Industrial (c.q.Pengadilan Hubungan Industrial).

2. Sejak Pandemi Corona Virus Desiase 19 (Covid-19) melanda Indonesia banyak


perusahaan yang terdampak dan merugi sehingga melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja yang berujung pada terjadi perselisihan antara Perusahaan dan Pekerja. Dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan), PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Sejak Undang-Undang Nomo 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
terdapat perubahan yang signifikan terkait alasan, proses dan hak-hak yang harus
diterima ketika terjadi PHK baik oleh Pekerja, Perusahaan maupun lembaga
peradilan.

Pertanyaan: Buatlah perbedaan alasan PHK dan hak-hak normatif yang harus
diterima antara aturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja ?

Jawaban: UU No. 13 Tahun 2003 menetapkan 9 alasan perusahaan boleh


melakukan PHK seperti perusahaan bangkrut, perusahaan tutup karena merugi,
perubahan status perusahaan, pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja,
pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, pekerja/buruh memasuki usia pensiun,
pekerja/buruh mengundurkan diri, pekerja/buruh meninggal dunia, dan
pekerja/buruh mangkir. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja, RUU Cipta Kerja menambah 5 poin lagi alasan perusahaan boleh
melakukan PHK, diantaranya meliputi: Perusahaan melakukan efisiensi;
Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau
pemisahan perusahaan; Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban
pembayaran utang; Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan
pekerja/buruh; dan Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat
akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah
melampaui batas 12 (dua belas) bulan

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 dalam Pasal 161 menyebutkan bahwa; (1) Dalam
hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut. Lebih lanjut, Pasal 163 (1) menyebutkan bahwa pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi
perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164 dan 165 UUK mengatur mengenai pekerja/buruh yang di PHK karena
perusahaan merugi dan pailit berhak mendapat pesangon. Pasal 166 UUK
mengatur hak keluarga buruh atau pekerja. Bila buruh atau pekerja meninggal
dunia, pengusaha harus memberikan uang kepada ahli waris. Sedangkan Pasal 167
UUK mengatur mengenai pesangon untuk pekerja/buruh yang di PHK karena
memasuki usia pensiun.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, ada beberapa
penghapusan ketentuan pada UU No. 13 Tahun 2003 di dalamnya yang
diantaranya ialah sebagai berikut: uang pesangon dihapuskan bagi pekerja/buruh
yang di PHK karena surat peringatan. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan pasal
161 menyebutkan pekerja/buruh yang di PHK karena mendapat surat peringatan
memiliki hak mendapatkan pesangon. Uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di
PHK karena peleburan dihapuskan, pergantian status kepemilikan perusahaan.
Pekerja/buruh yang di PHK karena pergantian status kepemilikan perusahaan
tidak akan diberi pesangon lagi oleh perusahaan awal, sebab hal ini sudah dihapus
dalam RUU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja juga menghapuskan uang pesangon
bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit.
Pemerintah telah menghapus UU Ketenagakerjaan pasal 164 dan 165 di dalam
RUU Cipta Kerja. Jadi nantinya pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan
mengalami kerugian dan pailit tidak mendapatkan pesangon. Lebih lanjut,
ketentuan selanjutnya yang dihapus ialah uang santunan berupa pesangon bagi
ahli waris atau keluarga apabila pekerja/buruh meninggal. Draft RUU Cipta Kerja
juga telah menghapus pemberian uang santunan berupa pesangon, hak uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak bagi ahli waris yang
ditinggalkan. Uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan
memasuki usia pensiun juga dihapuskan dalam UU Cipta Kerja. Pemerintah telah
menghapus pasal 167 UUK yang isinya mengatur pesangon bagi pekerja/buruh
yang di PHK karena memasuki usia pensiun.

3. Pasal 64 UU Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa :


Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis.

Pertanyaan :
a. Jika merujuk pada Pasal 64 UU Nomor 13 Taun 2013 tersebut Outsourcing dibagi
menjadi dua yaitu pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja/buruh.
Berikan penjelasan Saudara terhadap hal tersebut ?

Jawaban: Outsourcing merupakan penyerahan pekerjaan tertentu suatu perusahaan


kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan untuk membagi resiko dan
mengurangi beban perusahaan tersebut. Dalam Pasal 64 UU Nomor 13 Taun 2013,
dibagi menjadi dua jenis yakni: 1) Pemborongan pekerjaan, yakni pengalihan suatu
pekerjaan kepada vendor outsourcing, dimana vendor bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap pekerjaan yang dialihkan beserta hal-hal yang bersifat teknis
(pengaturan oerasional) maupun hal-hal yang bersifat non-teknis (administrasi
kepegawaian) Pekerjaan yang dialihkan adalah pekerjaan yang bisa diukur
volumenya, dan fee yang dikenakan oleh vendor adalah rupiah per satuan kerja
(Rp/m2, Rp/kg, dsb.). Contoh: pemborongan pekerjaan cleaning service, jasa
pembasmian hama, jasa katering, dsb. 2) Penyediaan jasa Pekerja/Buruh yaitu
pengalihan suatu posisi kepada vendor outsourcing, dimana vendor menempatkan
karyawannya untuk mengisi posisi tersebut Vendor hanya bertanggung jawab
terhadap manajemen karyawan tersebut serta hal-hal yang bersifat nonteknis
lainnya, sedangkan hal-hal teknis menjadi tanggung jawab perusahaan selaku
pengguna dan karyawan vendor.

b. Terkait ketentuan Outsourcing, Mahkamah Konstitusi pernah melakukan pengujian


dan telah menerbitkan Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 yang berdampak pada
pro dan kontra di kalangan Pekerja/Buruh. Apa yang Saudara pahami terkait
putusan MK Tersebut.

Jawaban: Konsep pengaturan outsourcing yang kurang jelas menimbulkan


ketidakpastian pada hubungan kerja antara para pihak yang terkait dengan
perjanjian kerja outsourcing yakni pemberi kerja, perusahaan pemborong dan atau
perusahaan penyedia jasa dan pekerja outsourcing yang pada akhirnya
menimbulkan ketidakpastian dalam perlindungan pekerja dan hal tersebut
mendorong pihak pekerja melaksanakan pilihan hukum yakni mengajukan gugatan
uji materil ke MK sebanyak 2 kali yang meminta supaya dilakukan pengujian
terhadap ketentuan Pasal 64-66 UUK (tentang alih daya/outsourcing). Pasal 64
menjelaskan mengenai dua macam bentuk Perjanjian Kerja outsourcing yaitu
Perjanjian kerja pemborongan pekerjaan dan perjanjian kerja penyediaan jasa
pekerja. Untuk melaksanakan ketentuan perjanjian pemborongan pekerjaan dan
perjanjian penyedia jasa pekerja tersebut, selanjutnya diatur di dalam Pasal 65 dan
66 UU Ketenagakerjaan. Menurut pasal tersebut ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi yakni antara lain perjanjian dibuat secara tertulis dengan bentuk
perjanjiannya dapat dilakukan dalam Perjanjian Kerja waktu Tertentu (PKWT) dan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sepanjang sesuai dengan
ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Adanya ketentuan yang memberikan
pilihan dalam membuat perjanjian apakah dengan PKWT atau PKWTT mendorong
pengusaha lebih memilih menerapkan PKWT walaupun pekerjaan yang
diperjanjikan tersebut termasuk pekerjaan yang sifatnya terus menerus ada pada
perusahaan, atau dengan kata lain bertentangan dengan Pasal 59 yang menetukan
bahwa perjanjian dengan PKWT dibuat hanya untuk pekerjaan yang sifatnya sekali
selesai dan atau waktunya tertentu. Adanya ketentuan yang membolehkan (tidak
ditentukan secara tegas oleh UU) perjanjian dapat dibuat dengan PKWT atau
PKWTT ini mendorong perusahaan lebih memilih PKWT dalam setiap hubungan
kerjanya dengan pekerja meskipun objek/pekerjaan yang diperjanjikan sifatnya
terus menerus ada. Menanggapi hal tersebut, dengan Putusan MK ini maka
ketentuan Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak berlaku lagi. Dengan kata lain dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi No 27/PUU-IX/2011 yang menyatakan mekanisme kontrak
kerja outsourcing terhadap objek pekerjaan yang bersifat tetap meskipun pekerjaan
tersebut sifatnya penunjang, dan pekerjaan inti perusahaan, bertentangan dengan
konstitusi UUD 1945, normanya harus dipandang sebagai revisi hukum
outsourcing yang sangat berarti bagi dunia kerja dan dunia usaha.

Saya sendiri berpendapat dalam rangka menjamin kepastian hukum terhadap


pelaksanaan outsourcing seharusnya Pemerintah bersama DPR menindaklanjuti
Putusan MK tersebut dengan membuat UU Perubahan terhadap UU
Ketenagakerjaan.

Sumber dan referensi:


BMP Hukum Ketenagakerjaan Universitas Terbuka.

Konsultasi hukum “PHK Sepihak Tanpa Pesangon” yang diakses melalui tautan
https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=3385 pada tanggal 05 November 2022.

Jurnal “PHK PADA MASA PANDEMI COVID-19” yang diakses melalui tautan
https://ibn.e-journal.id/index.php/ESENSI/article/view/218/194 pada tanggal 05 November
2022.
Artikel “PERBEDAAN UU KETENAGAKERJAAN DENGAN RUU OMNIBUS LAW
CIPTA KERJA” yang diakses melalui tautan https://disnakertrans.ntbprov.go.id/perbedaan-
uu-ketenagakerjaan-dengan-ruu-omnibus-law-cipta-kerja/ pada tanggal 05 November 2022.

Anda mungkin juga menyukai