Anda di halaman 1dari 5

BUKU JAWABAN TUGAS MATA

KULIAH TUGAS 3

Nama Mahasiswa : Daniel Aprinaldo Manalu

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 030379183

Kode/Nama Mata Kuliah : ADBI4336 / Hukum Ketenagakerjaan

Kode/Nama UPBJJ : 19 / Kota Bengkulu

Masa Ujian : 2020/21.2 (2021.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1. Dalam sebuah perusahaan, baik itu pengusaha maupun pekerja pada dasarnya
memiliki kepentingan atas kelangsungan usaha dan keberhasilan
perusahaan.Meskipun keduanya memiliki kepentingan terhadap keberhasilan
perusahaan, tidak dapat dipungkiri konflik/perselisihan masih sering terjadi antara
pengusaha dan pekerja
Bila sampai terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha, perundingan
bipartit bisa menjadi solusi utama agar mencapai hubungan industrial yang
harmonis. Hubungan industrial yang kondusif antara pengusaha dan
pekerja/buruh menjadi kunci utama untuk menghindari terjadinya Pemutusan
Hubungan Kerja , meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh serta memperluas
kesempatan kerja baru untuk menanggulangi pengangguran di Indonesia.
Menurut UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 angka 16, Hubungan
Industrial  adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perselisihan hubungan industrial diharapkan dapat diselesaikan melalui
perundingan bipartit, Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka penyelesaian
dilakukan melalui mekanisme mediasi atau konsiliasi. Bila mediasi dan konsiliasi
gagal, maka perselisihan hubungan industrial dapat dimintakan untuk diselesaikan
di Pengadilan Hubungan Industrial.

2. Pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat
kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. Berdasarkan UU No.1 Tahun 1970 Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 11, dan Pasal 14, terkait K3, pengurus perusahaan memiliki kewajiban
sebagai berikut:
Pasal 8
 Memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental, dan kemampuan fisik dari pekerja
yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai sifat-sifat pekerjaan yang
diberikan kepada pekerja yang bersangkutan.
 Memeriksakan pekerja yang berada di bawah pimpinannya, secara berkala pada
dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan direktur.

Pasal 9
 Menunjukkan dan menjelaskan pada setiap pekerja baru tentang:
 Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul di tempat kerja
 Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan di tempat kerja
 Alat-alat perlindungan diri bagi pekerja yang bersangkutan
 Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaan.
 Menyelenggarakan pembinaan bagi semua pekerja yang berada di bawah
pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta
peningkatan K3, juga dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.
 Memenuhi dan menaati semua syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku bagi usaha
dan tempat kerja yang dijalankannya.
Pasal 11
 Melaporkan setiap kecelakaan yang terjadi di tempat kerja yang dipimpinnya, pada
pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.

Pasal 14
 Secara tertulis menempatkan semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan,
sehelai UU No.1 Tahun 1970 dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku
bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan
terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
 Memasang semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan
pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut
petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
 Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada
pekerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain
yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.

Sementara hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan kerja diatur juga dalam UU
No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 164. Dalam hal kesehatan kerja, pengurus
memiliki kewajiban:
 Menaati standar kesehatan kerja dan menjamin lingkungan kerja yang sehat serta
bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.
 Melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan,
pengobatan, dan pemulihan bagi pekerja.

Sedangkan pada Pasal 166, pengusaha memiliki kewajiban:


 Menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan,
dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan
pekerja.
 Menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja
sesuai peraturan perundang-undangan.

Sanksi yang diatur UU No.1 Tahun 1970 untuk pihak yang melakukan pelanggaran K3
berupa kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling tinggi Rp 100.000,-. Pada
UU No.13 Tahun 2003 Pasal 190 juga mengatur tentang K3, namun tidak ada sanksi
pidana bagi pihak yang melanggar.

3. Tindakan pekerja yang tergolong sebagai “kesalahan berat” awalnya telah diatur secara
limitatif dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Jika diamati, seluruh kesalahan berat di
dalamnya merupakan tindak pidana.
Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan sendiri telah dibatalkan oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 (“Putusan MK 12/2003”). Ketentuan ini
dinilai telah melanggar prinsip pembuktian terutama asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin di
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
Seharusnya, bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat pengadilan dengan hukum
pembuktian yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
Namun demikian, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan (“SEMA 3/2015”).
SEMA 3/2015 memberikan kaidah bahwa dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh
karena alasan melakukan kesalahan berat eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan pasca
Putusan MK 12/2003, maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan
pidana berkekuatan hukum tetap (BHT).
Meskipun Surat Edaran Mahkamah Agung merupakan aturan internal Mahkamah
Agung dan tidak secara eksplisit berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan,
namun dalam praktiknya, hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan hubungan
industrial (“PHI”) berpedoman pada SEMA 3/2015 dan cenderung mengabaikan
Putusan MK 12/2003.

Setiap perusahaan diberikan hak untuk mengatur golongan atau bentuk pelanggaran
dalam perusahaan (di luar isi Pasal 158 UU Ketenagakerjaan) yang dapat dimuat dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 161 UU
Ketenagakerjaan selengkapnya berbunyi:
1. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua,
dan ketiga secara berturut-turut.
2. Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku
untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
3. Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).

UU Ketenagakerjaan sendiri mengimbau agar setiap pengusaha dan pekerja


mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi PHK. Jika PHK tidak dapat
dihindari, maka PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Apabila perundingan benar-benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Namun, penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak
diperlukan dalam hal:[4]
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan
secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai