Profil PT Orson
PT. Orson berdiri pada tahun 2002 dengan Mr. Romi Nathani sebagai Presiden Direktur
dan CEO bersama Mr. Poppy Vaswani sebagai Direktur. Perushaan ini berkembang di berbagai
negara di Asia seperti, India, Cina, Vietnam, Malaysia, Srilanka, Nepal, Iran, Irak, UEA serta
kemudian berkembang di pasar Afrika seperti Ghana dan Nigeria dan beberapa negara lainnya.
Hingga saat ini PT. Orson telah menembus pasar Amerika dan Eropa. PT. Orson ini
beralamatkan di Jl. Madiun Block C2 No. 21-22, Jakarta Utara.
PT. Orson adalah sebuah perusahaan internasional yang berfokus pada mengembangkan
usaha Soap Noodles, toilet soaps , Multipurpose & Laundry soaps, Palm Oil dan aneka ragam
produk untuk kepentingan costumer di seluruh dunia. PT. Orson Indonesia menyediakan kualitas
produka yang terpercaya dengan harga yang efektif yang menguntungkan dan memuaskan
pelanggan.
Perusahaan ini berfokus pada Profit dan Efficiency yaitu bahwa setiap tim manejemen
pada setiap divisi bertanggung jawab untuk konsisten dalam mengembangakan,
mengimplementasikan dan mengatur rencana bisnisnya yang berfokus pada keuntungan dan
efisiensi.
PT. Orson ini memiliki slogan:
Tujuan dari PT ini adalah menyediakan produk Oleo Chemical dengan kualitas yang tinggi
dengan meyakinkan kualitas, konsistensi dan nilai kepada pelanggan.
Produk PT.Orson
Pada tanggal 9 Agustus 2016, Serikat Buruh Multisektor Indonesia (SBMSI) PT. Orson
Indonesia bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mengadukan PT.Orson
Indonesia ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) karena terjadinya kasus
pemutusan hubungan kerja oleh PT. Orson Indonesia kepada 16 orang buruh. Sejak Juli 2016,
PT. Orson telah memutuskan hubungan kerja terhadap 14 orang buruh secara sepihak dengan
alasan masalah Efisiensi perusahaan. Alasan tersebut bertolak belakang dengan surat Suku Dinas
Tenaga kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara no. 4129/- 1836 tertanggal 29 Agustus 2016, yang
menyatakan bahwa PT. Orson Indonesia hingga sekarang masih aktif atau beroperasi.
Sedangkan terdapat pula 2 orang buruh yang di PHK karena alasan mangkir atau melanggar
peraturan perusahaan yakni bahwa salah seorang buruh sedang sakit dan dapat dibuktikan
dengan surat keterangan dokter dan seorang rekannya membantu memperjuangkan hak rekannya
yang di-PHK karena sakit.
Nikson Juventus yang adalah seorang buruh yang di- PHK menyatakan bahwa dalam
mengambil keputusan PHK terhadap karyawan, pihak perusahaan tidak melakukan perundingan
terlebih dahulu dengan para karyawan sehingga para buruh merasa hak mereka tidak
diperhatikan. Akibatnya, para buruh tersebut mengadukan tindakan PT.Orson ke Komnas HAM.
Perlu diketahui pula bahwa selama perselisihan antara ini, ke-16 buruh tersebut tetap datang ke
perusahaan tetapi dihalangi oleh pihak keamanan perusahaan.
Pada kamis 6 Oktober 2016, 14 buruh dari SBMSI PT.Orson Indonesia kembali
melanjutkan perjuangan untuk mendapatkan keadilan melalui perundingan bipartit. Pada
perundingan ini Gading Yonggar Ditya dan Harry Ashari, Pengacara Publik LBH Jakarta,
mendampingi ke 14 buruh tersebut namun belum menghasilkan titik temu.
Gading Yonggar Ditya juga mengatakan bahwa sebagian dari pekerja yang di PHK
menghabiskan masa hidupnya lebih dari 3 tahun di perusahaan. Sebagian lagi dikontrak tanpa
adanya perjanjian kerja. Sehingga menurutnya, hal ini telah melanggar peraturan Undang-undang
yang berlaku di negara ini.
Sementara itu dalam menanggapi peristiwa perselisihan antara buruh dan perusahaan,
pihak PT. Orson Indonesia memberikan keterangannya bahwa PHK yang mereka lakukan
tertuang dalam risalah perundingan bipartit pertama tertanggal 29 September 2016. Diwakili
oleh Taha Haji Musa, diungkapkan bahwa PT. Orson Indonesia dalam mem-PHK karyawan
sudah sah secara hukum karena sesuai dengan Perjanjian Bersama dengan Serikat Buruh Aneka
Industri Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (SBAI-FBTPI) PT. Orson Indonesia
dan Peraturan Perusahaan.
Dari kasus di atas, dapat dilihat bahwa pihak perusahaan telah melanggar beberapa peraturan
Undang-undang yang berlaku. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Tindakan Perusahaan mem-PHK 14 orang buruh dengan alasan efisiensi
dianggap bertentangan dengan Pasal 164 ayat 3 UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang berbunyi:
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2
(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur)
tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat(4).
Ada indikasi bahwa PT. Orson ingin lepas tangan dan tidak ingin mematuhi UU
yang berlaku. Berdasarkan Pasal 57 jo. 59 Undang-Undang No 13 Tahun
2003, pekerja yang di PHK tersebut diangkat sebagai karyawan tetap, bukan
justru di PHK karena sebagian dari pekerja yang di PHK telah bekerja lebih dari
3 tahun di perusahaan dan sebagiannya dikontrak tanpa adanya perjanjian kerja.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pada kasus yang dihadapi oleh karyawan pada PT. Orson bila dikaitkan dengan teori
Maslow dalam aplikasi di bidang perusahaan sebagai berikut:
Kesimpulan dari Teori Motivasi Maslow adalah bahwa kasus PHK sepihak oleh PT.
Orson para karyawan memiliki hambatan dalam memenuhi hirarki kebutuhan karena
hilangnya upah yang seharusnya mereka terima. Dengan tidak terpenuhinya
kebutuhan fisiologis maka kebutuhan lainnya pun tidak terpenuhi, sehingga
menimbulkan ketidakpuasan dalam bekerja dan protes terhadap apa yang dialaminya.
b. Teori Equity
Teori tentang keadilan ini pertama kali dikemukakan oleh Zalesnik (1958)
kemudian dikembangkan oleh John Stacey Adams, seorang ahli psikologi perilaku
dan tempat kerja. Teori ini didasarkan pada motivasi seseorang berdasarkan pada
suatu pertimbangan terhadap rasa adil jika dibandingkan dengan orang lain
(Redmond, 2010). Equity berasumsi bahwa pada dasarnya manusia menyenangi
perlakuan yang adil/sebanding, berhubungan dengan kepuasan relasional dalam hal
persepsi distribusi yang adil/tidak adil dari sumber daya dalam hubungan
interpersonal.
Teori ini memliki tiga elemen dalam mengukur kepuasan hidup seseorang yaitu:
input, outcomes, comparison person.
Input berarti : segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai
sumbangan terhadap pekerjaannya. Misalnya pendidikan, pengalaman, skills,
jam kerja dsbnya.
Outcomes berarti: segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan
sebagai hasil dari pekerjaan. Misalnya upah, keuntungan sampingan, simbol
status, penghargaan, serta kesempatan untuk berhasil atau ekspresi diri.
Comparison person: bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama atau di
tempat lain bahkan bisa pula dengan dirinya sendiri terhadap pekerjaannya di
waktu lampau.
Berdasarkan teori ini, jika dikaitkan dengan kasus di PT. Orson, para buruh
merasa diperlakukan tidak adil karena ada buruh yang sudah lebih dari tiga tahun
bekerja di PT Orson namun tidak juga diangkat menjadi karyawan tetap. Dengan
tidak diangkatnya menjadi karyawan tetap, menyebabkan ketidakpuasan karena
kesejahteraan buruh tersebut tidak terjamin dengan baik. Selain itu perusahaan juga
mem-PHK secara sepihak para buruh dengan alasan efisiensi perusahaan. Para buruh
juga kecewa karena tidak mendapat pesangon dari perusahaan. Alasan terakhir yaitu
ada salah satu buruh yang di PHK karena sakit, padahal ia memiliki surat ijin sakit,
kemudian ada salah satu buruh yang membantu memperjuangkan buruh yang di PHK
karena sakit tersebut juga di PHK. Hal itu dirasa tidak adil, karena buruh tersebut di
PHK secara sepihak karena alasan sakit, padahal ada surat ijinnya dan salah satu
temannya yang membantu memperjuangkan keadilan dari buruh itu juga di PHK oleh
perusahaan. Sehingga dari hal tersebut diketahui bahwa dalam mengungkapkan
pendapat buruh disana dibatasi, terbukti dengan kasus buruh yang membantu
temannnya yang di PHK sepihak.
Dengan demikian, tiga elemen untuk kepuasan kerja yang ada dalam teori ini
tidak tercapai yaitu
- Input : berkaitan dengan pengalaman, para buruh tidak mendapatkan yang baik yaitu
bahwa bukan tenaga kerja tetap, tenaga kerja tanpa kontrak yang jelas dan di-PHK
secara sepihak.
- Outcomes : Para buruh tidak puas karena dengan adanya PHK sepihak, mereka tidak
mendapatkan upah, keuntungan sampingan, simbol status, penghargaan, serta
kesempatan untuk berhasil atau ekspresi diri. Protes yang ajukan berakhir dengan
PHK dari perusahaan.
- Comparison person : para buruh yang di-PHK tidak puas karena ada kemungkinan
mereka membandingkan diri mereka dengan karyawan lain baik dalam perusahaan
tersebut maupun dari perusahaan lain. Akibatnya mereka mengajukan protes ke
pengadilan atas apa yang mereka alami di PT. Orson ini.
Kesimpulan
Teori tersebut menekankan keadilan atau keseimbangan terhadap yang diberikan dan
yang diterima dari perusahaan. Para buruh telah bekerja tetapi tidak mendapatkan
hasil yang memuaskan bahkan di-PHK secara sepihak oleh perusahaan.
D. Saran
1. Pihak PT. Orson perlu meninjau kembali kebijakan PHK kepada para karyawan karena
alasan efisiensi dan mangkir
2. PT. Orson perlu meninjau kontrak kerja sesuai dengan peraturan dan UU agar tidak
merugikan buruh yang bekerja pada perusahaan tersebut.
Daftar Pustaka
https://elib.unikom.ac.id
https://jurnalmanajemen.com/teori-hierarki-kebutuhan-maslow
www.orsonindonesia.net