Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Setiap orang yang hidup sudah pasti membutuhkan biaya untuk dapat menyambung
hidupnya. Untuk bias mendapatkan biaya tersebut setiap orang harus mencari dan
melakukan pekerjaan. Bekerja dapat dilakukan secara sendiri maupun bekerja pada orang
lain. Di dalam melakukan sebuah pekerjaan, tentunya terdapat hubungan kerja antara
pekerja dan pengusahanya, dimana hubungan kerja tersebut dituangkan kedalam suatu
bentuk perjanjian atau kontrak kerja. Di dalam kontrak kerja tersebut memuat apa saja
yang menjadi hak dan kewajiban para pekerja dan pengusahanya seperti pendapatan
upah/ gaji dan keselamatan kerja.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah salah satu hal dalam dunia
ketenagakerjaan yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh para pekerja / buruh
yang masih aktif bekerja. Untuk masalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi sebab
berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja tidak menimbulkan
permasalahan terhadap kedua belah pihak yaitu pekerja dan pengusahanya karena antara
pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat berakhirnya
hubungan kerja tersebut sehingga masing – masing telah berupaya mempersiapkan diri
menghadapi kenyataan tersebut.
Berbeda halnya dengan masalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi secara
sepihak yaitu oleh pihak pengusahanya. Harapan untuk mendapatkan penghasilan dan
memenuhi kebutuhan hidup telah pupus begitu saja lantaran terjadinya PHK yang tidak
disangka – sangka oleh para pekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang
goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak
pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana. Namun, mau tidak mau
para pekerja / buruh harus menerima kenyataan bahwa mereka harus menjalani PHK.
Dalam menjalani pemutusan hubungan kerja, pihak - pihak yang bersangkutan yaitu
pengusaha dan pekerja / buruh harus benar – benar mengetahui hal - hal yang
berhubungan dengan PHK, terutama untuk para pekerja / buruh, agar mereka bisa
mendapatkan apa yang menjadi hak mereka setelah di PHK.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Kasus PHK di PT NESTLE


Dalam kasus PHK karyawan di Surabaya, PT Nestle Indonesia memastikan
bahwa telah mengikuti prosedur yang telah diatur dalam hukum Indonesia. Sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu, yaitu pasal 3 UU No.12 tahun
1964 tentang PHK diperusahaan swasta. Dalam kasus ini menyatakan bahwa PT Nestle
Indonesia telah mengabaikan hak para mantan karyawan PT Nestle Indonesia. Namun
menurut Brata T Harjosubroto selaku Head Of Public Relation Nestle Indonesia
menyatakan bahwa “ dalam proses pemutusan kerja dengan karyawan adalah tidak
benar”.
Disisi lain, menurut Poempida Hidayatulloh selaku komisi IX DPR menuding
keputusan yang dilakukan oleh PT Nestle Indonesia dilakukan secara sepihak yang tidak
didasari kaidah aturan yang berlaku. Terhadap informasi tersebut, Brata menjelaskan
seluruh 245 mantan karyawan pabrik di surabaya telah menandatangani kesepakatan
bersama PHK dengan PT Nestle Indonesia pada tanggal 15 April 2000. Perusahaan
memastikan bahwa semua pembayaran pesangon dan hak-hak karyawan telah tuntas.
Alasan yang dilakukan terjadinya PHK adalah berkaitan dengan rencana penutupan
pabrik di tahun 2002 dan pengintegrasian fasilitas produksinya ke pabrik di Kejayaan,
Pasuruan, mengingat wilayah tersebut telah berkembang menjadi daerah pemukiman dan
kurang memadai untuk melakukan kegiatan industri serta tidak memungkinkan
dilakukannya perluasan pabrik.
Pada tahun 2003 sejumlah mantan karyawan PT Nestle Indonesia yang mewakili
sekitar 215 mantan karyawan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara namun pihak pengadilan menolak permohonan banding kepada mantan karyawan
PT Nestle Indonesia karena menyatakan P4P adalah sah dan benar. Selanjutnya pada
tanggal 21 januari 2004 para mantan karyawan PT Nestle Indonesia kembali mengajukan
memori kasasi ke Mahkamah Agung namun MA menolak permohonan kasasi karena
keputusan MA RI telah berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya putusan Mahkamah
Agung yang berkekuatan hukum tetap maka tidak ada lagi permasalahan hukum yang
terjadi antara pihak perusahaan dan mantan karyawan dalam kasus PHK PT Nestle
Indonesia.

2. Sudut Pandang dalam Etika Bisnis


Dalam dunia bisnis etika sangat lah penting untuk menjaga pekerjaan yang telah
atau sedang dijalani sehingga tujuan dari perusahaan akan sesuai dengan tujuan yang
diinginkan. Terdapat lima prinsip dalam menjalankan etika bisnis yaitu: otonomi,
kejujuran, prinsip keadailan, prinsip saling menguntungkan, prinsip integritas moral. Jia
karyawan melakukan kesalahan berat dan melanggar peraturan yang berlaku maka
perusahaan berhak dan wajib untuk melakukan PHK. Dalam kasus ini berhubungan
dengan etika teleology yaitu tindakan PHK itu baru dapat dinilai baik buruknya setelah
diketahui tujuan dari PHK itu sendiri. karena, PT.Nestle telah menyatakan bahwa ada
faktor kondisi yang tidak memungkinkan untuk di lanjutkan karena tempat industri telah
menjadi pemukiman itu lah sebab terjadinya PHK terhadap karyawan.
BAB II
KESIMPULAN
1. Kesimpulan
Dalam kasus PHK yang terjadi dalam suatu perusahaan mungkin sudah sering

terjadi namun untuk mencapai hak- hak dan kewajiban yang harus disepakati oleh kedua

belah pihak baik pihak para pekerja dan pihak perusahaan harus memiliki kesepakatan

agar terjadinya tujuan secara bersama-sama tanpa merugikan belah pihak dan tidak ada

terjadinya perselisihan yang akan merugikan kedua belah pihak tersebut. Dalam kasus

PT. Nestle Indonesia terjadinya perselisihan antara pihak pekerja dan perusahaan telah

mendapatkan respon dari Mahkamah Agung sehingga MA menyatakan tidak ada lagi

yang harus di perselisihkan karena keputusan telah berkekuatan hukum tetap.

Anda mungkin juga menyukai