Anda di halaman 1dari 8

Contoh Perusahaan yang Melanggar Etika Bisnis (Studi Kasus PT

Freeport Indonesia tentang Gaji Upah Pekerja)




A. Latar Belakang Masalah

Ada pernyataan kuat bahwa telah terjadi distori etika dan pelanggaran kemanusiaan
yang hebat di Papua. Martabat manusia yang seharusnya dijunjung tinggi,
peradaban dan kebudayaan sampai mata rantai penghidupan jelas dilanggar. Itu
adalah fakta keteledoran pemerintah yang sangat berat karena selama ini bersikap
underestimate kepada rakyat Papua. Gagasan yang menyatakan mendapatkan
kesejahteraan dengan intensifikasi nyatanya gagal.

Ironisnya, dua kali pekerja Freeport melakukan aksi mogok kerja sejak Juli untuk
menuntut hak normatifnya soal diskriminasi gaji, namun dua kali pula harus beradu
otot. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan,
sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan terus
memburuk dan menuai protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM.

B. Analisis Permasalahan

PT Freeport Indonesia merupakan jenis perusahaan multinasional (MNC), yaitu
perusahaan internasional atau transnasional yang berpusat di satu negara tetapi
cabang ada di berbagai negara maju dan berkembang.

Mogoknya hammpir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia disebabkan karena
perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional
Freeport diseluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji
lebih rendah dari pada pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang
sama. Gaji sekarang perjam USD 1.5-USD 3. Padahal, dibandingkan gaji di negara
lain mencapai USD 15-USD 35 perjam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui
jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa
dasar pertimbangannya.

Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua digembor0gemborkan itu pun tidak
seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat
Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan
alam serta punahnya habitat Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut
tidak akan bisa dditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan.

Umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan.
Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab, di situlah
terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan membutuhkan
dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan
komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.

Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti
tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang sangat
mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI,
privilege berlebihan, ternyata hanya sia-sia.

C. Penyelesaian Masalah yang dilakukan PT Freeport Indonesia

Juru bicara PT Freeport Indonesia, Ramdani sirait, mengatakan bahwa manajemen
perusahaan PTFI akan berkomunikasi dengan Serikat Pekerja Seluruh indonesia
(SPSI) demi mengantisipasi ancaman aksi mogok yang dilakukan pekerja. Karena
isu aksi mogok tersebut terkait rencana pemutusan hubungan kerja terhadap tiga
orang karyawan PTFI yang melakukan intimidasi fisik kepada karyawan lainnya.

Ia menyebutkan, terhadap intimidasi fisik yang memenuhi ketentuan PHI (Pedoman
Hubungan Industrial) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagaimana kasus tiga
karyawan yang melakukan intimidasi fisik, diproses berdasarkan ketentuan PHI-
PKB.

Pasal-pasal yang tercantum dalam PKB tersebut sudah mengakomodasi aspirasi
pekerja. Salah satunya adalah adanya kenaikan upah pokok sebesar 40 persen
dalam 2 tahun." Angka ini jauh di atas ketentuan rata-rata kenaikan upah pokok
nasional sebesar 10-11 persen per tahun," sambung dia.

Sebagai upaya mencegah hal-hal yang tidak diinginkan pada perusahaan,
perusahaan sudah membentuk Crisis Management Committee. Yaitu guna
menciptakan lingkungan kerja yang damai dan harmonis, PTFI dan pimpinan SPSI
PTFI pun telah membentuk Crisis Management Committee.

D. Undang-undang yang telah di Langgar

PT Freeport Indonesia telah melanggar hak-hak dari buruh Indonesia (HAM)
berdasarkan UU No. 13/2003 tentang mogok kerja sah dilakukan. PT Freeport
Indonesia telah melanggar pasal:
a. Pasal 139: Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada
perusahaan yang melayani kepentingan umum dan atau perusahaan yang jenis
kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan atau membahayakan
keselamatan orang lain.
b. Pasal 140: (1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum
mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. (2) Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 (satu) sekurang-kurangnya memuat: (i) Waktu (hari, tanggal,
dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja. (ii) Tempat mogok kerja. (iii) Alasan dan
sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja. (iv) Tanda tangan ketua dan
sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat
buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. (3) Dalam hal mogok kerja akan
dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani
oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau
penanggung jawab mogok kerja. (4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamat kan alat produksi
dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan
cara: (i) Melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada dilokasi kegiatan
proses produksi, atau (ii) Bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok
kerja berada di lokasi perusahaan.

Pasal 22: Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih
pekerjaan, berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang
sangat doperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui
usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan
pengaturan sumber daya setiap negara.

PT Freeport Indonesia melanggar UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan yang sudah diubah dengan UU No. 4/2009.

Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan
Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport.
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting
kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin
anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki
magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan
global.

E. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa PT Freeport Indonesia telah
melanggar etika bisnis dan melanggar undang-undang. Hak didasarkan atas
martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena hak sangat cocok
dengan suasana pemikiran demokratis. PT Freeport Indonesia sangat tidak etis
dimana kewajiban terhadap para karyawan tidak terpenuhi karena gaji yang diterima
tidak layak dibandingkan dengan pekerja Freeport di Negara lain. Padahal PT
Freeport Indonesia merupakan tambang emas dengan kualitas emas terbaik di
dunia.

F. Saran

Sebaiknya pemerintah Indonesia cepat menanggapi masalah ini dan cepat
menanggulangi permasalahan PT Freeport Indonesia. Karena begitu banyak SDA
yang ada di Papua, tetapi masyarakat Papua khususnya dan Negara Indonesia tidak
menikmati hasil dari kekayaan alam di Papua. Jangan sampai Amerika
mendapatkan semakin banyak untung dari kekayaan yang dimiliki oleh Negara kita
sendiri.

DAMPAK UU MINERBA, RIBUAN
KARYAWAN FREEPORT TERANCAM PHK
Penulis : Arjuna Pademme on February 10, 2014 at 20:04:45 WP
Editor : CUNDING LEVI
Category: Jayapura
Tags: Freeport, Minerba, PHK
Semua hasil karya yang dimuat di tabloidjubi baik berupa teks, gambar dan suara serta segala
bentuk grafis (selain yang berkode IST) menjadi hak cipta tabloidjubi.com

Ketua DPR Papua, Deerd Tabuni Ketika Berada Di Area PT. Freeport Indonesia. (Doc. DPRP)
Jayapura, 10/2 (Jubi) Diberlakukannya UU Mineral dan Batubara (Minerba) No.4 tahun 2009 sejak Januari lalu
berimbas pada nasib sekitar 15 ribuan karyawan PT. Freeport Indonesia. UU Minerba itu mengatur tentang pajak
produksi sebesar 25 persen. Pajak produksi tersebut menyebabkan PT Freeport akan mengurangi 40 persen
hasil produksi sehingga berimbas pada pengurangan karyawan
Saat ini ada sekitar 31 ribu karyawan Freeport dan kurang lebih 15 ribu terancam Pemutusan Hubungan Kerja
atau PHK, kata Ketua DPR Papua, Deerd Tabuni, Senin (10/2).
Menurut Deerd, pihaknya meminta kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Energi Dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) untuk merevisi UU Mineral itu. Jumat lalu saya ke Freeport melihat dua mesin pengolah
konsetrat atau mineral mentah tidak lagi beroprasi. Truk juga tidak bekerja bahkan karyawan sudah mulai tidak
dipekerjakan, ujarnya.
Dikatakan, sebelumnya Freeport hanya membayar pajak 1 persen kepada pemerintah Provinsi Papua dan 10
persen untuk pemerintah pusat, namun kini dengan UU itu, Freeport akan menambah pembayaran pajak
produksi sebesar 25 persen hingga tahun 2016. Setelah tahun 2016 akan naik menjadi 60 persen.
Kalau ini terjadi akan berimbas kepada meningkatnya jumlah pengangguran. Bahkan pendapatan bagi
pemerintah Kabupaten Timika, yang selama ini meraup PAD dari Freeport akan berkurang begitu juga untuk
Provinsi Papua, katanya.
Ia menambahkan, saat ini pihaknya tengah mengumpulkan data agar pemerintah melakukan revisi UU Minerba
yang berdampak kerana sosial dan kehidupan orang banyak.
Apalagi masyarakat dan para karyawan yang berasal dari Sabang sampai Merauke saat ini tengah cemas. Kami
harap kebijakan pmerintah untuk mengembalikan kebijakan khususnya pajak seperti semula, sehingga Freeport
mampu melakukan operasional seperti dulunya dan karyawan serta pengeoperasian bisa berjalan dengan baik,
tutup Deerd.(Jubi/Arjuna)

Overview
PT Freeport Indonesia
Is an affiliate of Freeport-McMoRan. Freeport mining, processing and exploration for ore containing copper, gold
and silver. Operating in highland areas Mimika Papua Province, Indonesia. We market concentrates containing
copper, gold and silver all over the world.

Complex in the Grasberg mine ours is one of the single largest copper and gold in the world, and contains copper
reserves that can be taken of the largest in the world, besides single largest gold reserves in the world. Grasberg
is located in the heart of a region which is very abundant mineral, where exploration activities are ongoing
opportunities to continue to increase our reserves are long-lived.

About Freeport-McMoRan (FCX)
Freeport-McMoRan (FCX) is a major international mining company with headquarters in Phoenix, Arizona, United
States. FCX operates a variety of large long-lived assets that are geographically dispersed over four continents,
with significant proven and probable reserves of copper, gold and molybdenum. Ranging from equatorial
mountains in Papua, Indonesia, to the deserts in the Southwest United States, majestic volcanoes in Peru, a
traditional area of copper producer in Chile and exciting new opportunities in the Democratic Republic of Congo,
we are at the forefront of metal supply much needed in the world.

Freeport-McMoRan (FCX) is a public company in the field of copper in the world, the world's leading producer of
molybdenum - a metal used in high-strength steel alloys, chemical products, and production of oil - as well as a
large producer of gold. As an industry leader, FCX has demonstrated proven expertise on technology and
production methods to produce copper, gold and molybdenum. FCX organized activities through several major
subsidiaries; PTFI, Freeport-McMoRan Copper Corporation and Atlantic.

Vision And Mission
Vision
To be a world-class mining company that creates excellent values and is a source of pride for all stakeholders
including employees, society and the nation.
Mission
Committed to creatively transform natural resources into prosperity and sustainable growth through best
practices while prioritizing the welfare and security of our employees and community, human resources
development, social and environmental responsibilities, as well as industrial safety and health.

How Do We Operate
Currently PTFI apply two mining techniques, namely
open-pit or open-pit mining using trucks and electric
shovels huge Grasberg mine area as well as the
techniques ambrukan or block-caving in underground
mines Deep Ore Zone (DOZ).
Ore that has been crushed transported to the processing plant via a series of conveyor belts and "ore pass". Joint
destruction techniques are used, including the use of the machine Semi Autogenous Grinding (SAG) and the Ball
Mill to crush the ore into very fine sand.

Ore is transported by haul trucks in open pit mines
Followed by the flotation process using a reagent, alcohol-based materials and lime, to separate mineral
concentrates containing copper, gold and silver, which concentrates these minerals floated to the surface and
snatched the surface (skimmed-off) as a final product. The rest of the sand that has no economic value settles at
the base of the tailings, and released through the river flows into the deposition area in the lowlands.

Concentrates in the form of slurry supplied from the mill to the plant in the port Amamapare draining through the
pipe along the 110 km. The dried concentrates stored at the port Amamapare before being sold and shipped to
smelting factories worldwide.

PTFI working in partnership with the Government of Indonesia to provide benefits for the people of Indonesia in
addition to providing for the metal world participated.

Freeport continues to be a model of economic development in Indonesia that process natural resources and
maximize social benefits for the people, more specifically the people of Papua. The company also seeks to
minimize the environmental impact, and was determined to continue to improve every aspect of the operation.

Kerusakan Lingkungan Freeport atau
Environmental Degradation in Freeport
Posted by: admin in Lingkungan, Random November 16, 2013 0 784 Views
III. Masalah Lingkungan
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai
ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988,
Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini. Dari
eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka
keruk.

Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah
seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan
1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.

Pelanggaran lainnya adalah kerusakan lingkungan. Entah berapa besar tanah di sekitar
pertambangan yang telah rusak berat selama beroperasinya Freeport. Tentu saja ini memberikan
dampak yang tidak menguntungkan bagi ekologi Papua maupun kesehatan masyarakat. Bayangkan
saja, masyarakat mesti meminum air dari sumur-sumur yang telah sangat tercemar limbah. Sekedar
gambaran, dari produksi harian Freeport sebesar 200 ribu ton, menghasilkan limbah pasir kimiawi
(tailing) sekitar 190 ribu ton. Dapat dibayangkan bagaimana dahsyat dampak buruknya bagi
lingkungan setempat setiap harinya.

Bahkan saat ini salju di puncak gunung Jaya Wijaya pun telah mencair akibat pencemaran limbah
buangan ini.

Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di
Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka
kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport
berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang.

Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan
komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di
Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk. Hampir seluruh penduduk miskin
Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan
umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik
propinsi Papua JA Djarot Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah
penduduk Papua miskin (47,99 %).

Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor pertambangan.
Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan
bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan
pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang
kronik bagi wilayah Papua.Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati
peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi
(IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena
masalah-masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong
kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.

Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter, suhu
terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m, curah
hujan tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah hujan
tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius.
Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat
kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor di bagian
selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan Freeport. Walhi merelease
longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap lingkungan. Padahal, mereka
mengetahui lokasi penambangan Grasberg adalah daerah rawan bencana akibat topografi wilayah
serta tingginya curah hujan. Jebolnya dam penampungan tailing di Danau Wanagon pada tahun
2000, menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-kontraktor Freeport. Terjadi longsor di lokasi
pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober 2003.

Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui
Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang Freeport ke
Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum
Indonesia. Limbah tailing Freeport juga telah mencemari perairan di muara sungai Ajkwa dan
mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam
tambang berjumlah besar.Dari hasil audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix, terungkap
bahwa bahwa tailing yang dibuang Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan
asam berbahaya bagi kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa
telah punah akibat tailing Freeport.

Menurut perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan
yang rusak adalah Rp 67 trilyun. Freeport mengklaim, sepanjang 1992-2005 Pemerintah Pusat
mendapatkan keuntungan langsung US$ 3,8 miliar atau kurang lebih Rp 36 trilyun. Namun jika
dihitung dari perkiraan biaya lingkungan yang harus dikeluarkan, Indonesia dirugikan sekitar Rp 31
trilyun. Beberapa media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan bahwa aktivitas
pertambangan Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang kian parah. Hal ini telah
melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Beberapa kerusakan lingkungan yang diungkap oleh media dan LSM adalah, Freeport telah
mematikan 23.000 ha hutan di wilayah pengendapan tailing. Merubah bentang alam karena erosi
maupun sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing.
Data-data diatas diambil dari laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite
Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam
sebuah buku beliau yang berjudul Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju
Negara Berdaulat.
IV. Tinjauan Lingkungan Terhadap Kasus Freeport
1. Kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport yang dinyatakan oleh beberapa lembaga
swadaya masyarakat, dan beberapa pengamat dibantah oleh KLH, bahkan oleh presiden SBY.
Seorang dosen tamu di UI dan pernah menjadi Executive Vice President/Deputy Chief Executive
Officer for SHE and Government Affairs di PT Freeport Indonesia menyatakan perhatian PT Freeport
terhadap lingkungan sangat baik, terbukti laporan lingkungan yang diberikan baik, hasil uji
laboratorium terhadap kondisi lingkungan sekitar PT Freeport juga baik. Beliau yang pernah menjadi
pejabat di KLH menyatakan menyesal membuat prosedur uji laboratorium dan uji lapangan yang
kompleks sehingga akibatnya beliau sendiri yang harus melaksanakannya ketika bekerja di
Freeport. Tampaknya dasar ilmu lingkungan sudah dilupakan atau bahkan tidak dipahami oleh
sebagian pejabat KLH dan pemerintahan. Yang dimaksud lingkungan hidup menurut UU No 32 tahun
2009 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Lingkungan hidup terbagi tiga yaitu lingkungan alam, lingkungan social dan lingkungan buatan.

perbedaan antara fasilitas freeport dan rumah pemberian freeport

Apabila lingkungan social masyarakat sekitar seperti yang terjadi pada Amungme dan Suku Komoro
menjadi rusak karena hadirnya Freeport maka berarti Freeport jelas merusak lingkungan. Apabila
lingkungan buatan yang diberikan kepada masyarakat sekitar tidak layak dibandingkan dengan
lingkungan buatan pendatang, jelas itu sebuah pelanggaran terhadap lingkungan. Apabila kondisi
masyarakat sekitar masih miskin, angka kematian ibu masih tinggi, angka harapan hidup rendah,
pendidikan masih rendah, sanitasi, dan sebagainya masih minim selama sekitar 40 tahun sejak
datangnya Freeport ke tanah Papua maka jelas itu bentuk neo-kolonialisme dan neo-imperalisme.
Dan itu tidak boleh dibiarkan berlarut.
Cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua adalah dengan cara memberikan
pengetahuan, tanah, teknologi dan organisasi kepada masyarakat Papua.
1. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat Papua berarti memberikan jaminan bagi suku-suku
sekitar Freeport untuk mendapatkan pendidikan tinggi minimal S-1
2. Memberikan Tanah kepada kepada masyarakat Papua berarti memberikan hak konsesi
pengelolaan sebagian lahan kepada mereka untuk dapat dikelola bagi kepentingan diri dan
keluarganya
3. Memberikan Teknologi kepada kepada masyarakat Papua berarti memberikan kesempatan bagi
mereka untuk mengetahui teknologi dalam menunjang kebutuhan mereka
4. Memberikan Organisasi kepada kepada masyarakat Papua berarti memberdayakan mereka agar
mereka mandiri dan bisa menjadi lebih berdaya
Saya secara pribadi tidak ingin suatu saat kelak di masa mendatang, bangsa Indonesia
tercatat sebagai bangsa penindas bagi Masyarakat Papua. Masyarakat Papua adalah
saudara kita, biarkan mereka menikmati hasil alam di negeri mereka, sedangkan
Pemerintah berfungsi untuk melindungi mereka agar mereka dapat menikmati hasil SDA
yang berasal dari tanah mereka
2. Berkenaan dengan keterlibatan aparat baik TNI/Polri, dalam keamanan di PT Freeport, saya tidak
setuju apabila yang disalahkan adalah institusinya, karena saya punya saudara anggota Brimob yang
pernah bertugas bertahun-tahun di daerah-daerah rawan konflik seperti Papua, Aceh, Poso dan
sebagainya. Beliau menyatakan ada 12 penghargaan karena keterlibatannya dalam konflik-konflik
bersenjata. Namun sayangnya sertifikat tersebut tidak bisa dijual, kalau bisa dijual sudah dijual sejak
dulu untuk membeli sekaleng susu untuk anaknya. Dalam beberapa keterlibatannya di daerah konflik,
sehari mereka hanya mendapat honor tambahan Rp 29 ribu, ada yang Rp 59 ribu, tapi tidak pernah
lebih dari itu, dan gosip-gosip sesama anggota menyatakan uang honor mereka disunat sama
komandannya.
Mengenai komandan-komandan yan g seperti ini perlu dilakukan tindakan tegas, lihat saja bagaimana
Djoko Susilo dengan harta nya ratusan miliar itu yang ketahuan KPK, bagaimana dengan depositonya
di luar negeri dan bagaimana rekening gendut jenderal-jenderal polisi lainnya. Benar-benar
keterlaluan, jenderal-jenderal pengkhianat Negara seperti ini yang perlu di hukum mati agar
memberikan efek jera bagi yang lainnya.
3. Suku Amungme menggugat PT Freeport Indonesia Company atas penguasaan tanah ulayat mereka
yang dikuasai sejak tahun 1966. Suku Amungme yang diwakili oleh Titus Natkime menyatakan,
bahwa PT Freeport telah mengambil tanah ulayat mereka di Gunung Grassberg, Papua. Titus Natkime
sendiri adalah anak dari Tauruk Natkime, Kepala suku marga Natkime. Freeport menguasai tanah ini
ulayat melalui perjanjian kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia. Pemerintah tidak pernah
mengikutsertakan suku Amungme dalam perundingan kontrak karya itu. Akibatnya, Suku Amungme
terusir dari tanah miliknya.
Oleh karena itu, Suku Amungme juga menggugat Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurut mereka, Pemerintah tidak berhak membuat
perjanjian itu tanpa persetujuan Suku Amungme. Tim Pembela Masyarakat Papua (TPMP)
mengkalkulasikan penguasaan tanah oleh Freeport telah memperoleh pendapatan sebesar US$ 48,26
miliar. Jumlah ini diperoleh dari aktivitas penambangan tembaga, perak, dan emas Freeport sejak
tahun 1973 hingga 2009. Gunung itu juga masih menyimpan cadangan tembaga, perak dan emas,
senilai US$ 229,71 miliar.
Karena itu, Suku Amungme menuntut ganti rugi sebesar US$ 20,83 miliar. Ganti rugi ini diperoleh dari
kerugian akibat aktivitas penambangan yang telah dilakukan sebesar US$ 3,61 miliar dan sebesar
US$ 17,22 miliar dari nilai cadangan barang tambang. Suku Amungme juga menginginkan hak atas
saham Freeport sebesar 15 persen. Penulis menyatakan mendukung secara penuh apa yang
dilakukan oleh suku Amungme terhadap tanah ulayat mereka.

Anda mungkin juga menyukai