Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA


DOSEN PENGAMPU : BP TEGUH ARIEFIANTORO, SE,MM

Disusun Oleh :

Lilianty Novitasari B.131.14.

Putri Rusdiana Dewi B.131.14.

Regina Della Rizky Olivia B.131.14.0456

S1 MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEMARANG
Kasus PT.FREEPORT

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang


dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini,
kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang
sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi
negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak,
dan tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan
dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk
Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga
sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang
menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia
dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas
pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan
Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah
penandatanganan KK.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang
selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada
tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih
berlangsung saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724,
7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah
mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m.
Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang
tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan
berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran
negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan
yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg.
Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran
sungai Ajkwa.
Keberadaan Freeport sejak kontrak karya ke-satu ilegal dalam transparansi dan ketetapan
pajak bagi negara. Hasil Freeport baru diketahui secara resmi dan diatur dalam Undang-
undang negara Indonesia sejak kontrak karya ke-2. Nah, Kontrak karya pertama Freeport
tahun 1967 sesungguhnya fiktif.
Indonesia sudah rugi sejak Freeport masuk. Sekarang pun tetap rugi karena konstitusi Negara
mendukung emas dibawa ke Amerika dan negara Lainya di dunia.
Pemerintah sibuk dengan kasus-kasus keamanan perusahaan di Papua, sedangkan
ekonomi bangsa terabaikan. Agar bangsa ini dapat merefleksikan bagaimana solusi terbaik
bagi Papua dan tentunya martabat bangsa Indonesia di ukur sejak penanganan kasus semacam
Freeport diPapua. Dengan cadangan 25 milyar pon tembaga, 40 juta ons emas dan 70 juta ons
perak, nilainya sekitar 40 milyar dollar AS berdasarkan harga berlaku. Freeport diberikan
jaminan untuk bekerja di lokasi pertambangan untuk bertahun-tahun. Jika menemukan
tambahan kekayaan mineral di atas 4,1 juta hektar di tanah sekitarnya akan menjadi hak
eksklusif Freeport.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Apa masalah yang ada d PT.Freefort?
b. Kenapa terjadinya Kontrak Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi?
c. Sistem Audit pada PT.Freefort?
d. Sistem Rekrutmen pada PT.freefrot?
BAB II
PEMBAHASAN

Permasalahan di PT.FREEFORT

Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya


termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun, sebagai hasil eksploitasi
potensi tambang tersebut, hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara
dibandingkan dengan miliaran US$ keuntungan yang diperoleh Freeport. Kehadiran Freeport
pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan, namun
berkontribusi sangat besar pada perkembangan perusahaan asing tersebut.
Pada tahun 1995 Freeport baru secara’resmi mengakui menambang emas di Papua.
Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya sebagai
penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak
pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan
beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas
potensi produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan
sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan
konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa
negara telah dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang
serius. Bahkan Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak
tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang penghasilannya
hanya sekitar $132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara
otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di
wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan
dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan
kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara
masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS
dan jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berada di Papua. Keberadaan Freeport juga
menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan
Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat
bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM
yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan.

A. Pemiskinan di Papua

Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi
perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan
tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di
Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton
material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan
dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya
(sepanjang 700 km).
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya
mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan
Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun
mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil
jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan
pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari
buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika,
lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada
tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan
komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di
Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli
Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah,
wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot
Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin
(47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor
pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari
pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk
perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan
menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3 dari
30 propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua,
yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-
masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong
kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter,
suhu terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000
m, curah hujan tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima
curah hujan tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius.
Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai
tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi
longsor di bagian selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan
Freeport. Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap
lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg adalah daerah rawan
bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan. Jebolnya dam penampungan
tailing di Danau Wanagon pada tahun 2000, menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-
kontraktor Freeport. Terjadi longsor di lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober
2003.

B. Kronologi Sosial-Ekonomi

Kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua selama ini, tak hanya mencetak
keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut tetapi juga memantik munculnya masalah
sosial. Belum ada solusi yang dianggap efektif dalam penyelesaian masalah yang muncul itu
dan sewaktu-waktu berpotensi untuk meletup.
Berikut disampaikan kronologi aspek sosial-ekonomi operasi Freeport:
16 Februari 1623. Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung
tertinggi di Irian, lalu mencatat dalam log book-nya. Inilah catatan pertama orang asing
tentang Puncak Carstenz dan kelak menjadi daerah operasi PT Freeport Indonesia.
C.    PT. FREEPORT dengan Karyawan

Berbicara mengenai kesenjangan sosial dalam masyarakat, merupakan pembahasan yang


tidak akan pernah habisnya. Akan ada banyak hal terkait dengan masalah sosial, karena
berbagai hambatan pasti silih berganti. Salah satu contohnya saat ini yang lagi memanas
adalah konflik PT. Freeport dengan para pekerja yang mandek kerja yang sebenarnya hanya
meminta kenaikan gaji dan masyarakat Papua yang butuh rasa aman dan nyaman.
Jika dikaitkan masalah ini dengan menggunakan teori sistem menurut Katz dan Khan
yang pernah menerangkan bahwa kebanyakan interaksi kita dengan orang-orang merupakan
tindakan komunikatif baik secara verbal dan non-verbal. Komunikasi – pertukaran informasi
dan tranmisi makna – adalah inti dari sistem sosial atau organisasi. Komunikasi merupakan
penghubung di antara orang-orang dalam organisasi, dan komunikasi yang berjalan dengan
efektif dan tanpa mengalami hambatan yang berarti.
Adanya misscommunication antara Satpam PT. Freeport Indonesia dan Polisi dengan
pengaman dari PT Grup 4 Securicor yang mengenakan perlengkapan keamanan lengkap,
pada Rabu, 21 September 2011. Satuan pengamanan bayaran tersebut yang keluar dari dalam
terminal pekerja Gorong-gorong bersitegang dengan Satpam dan Polisi yang berjaga-jaga.
Menurut Wakil Komandan Kepolisian Resor Mimika, Komisaris Polisi Mada Indra Laksanta,
hanya terjadi misscommunication. Mereka berniat membantu pengamanan tapi tidak ada
komunikasi dan koordinasi.
Hari sebelumnya, 20 september malam, Kepala Bidang Organisasi SPSI Freeport,
Virgo Sollosa, menyampaikan pesan ke sejumlah wartawan bahwa pihaknya mengidentifikasi
ada beberapa mobil yang digunakan untuk mengintimidasi pekerja yang melakukan aksi
mogok kerja. Terkesan ada upaya mempropaganda karyawan agar mau naik bekerja dan
memancing emosional karyawan yang sedang menggelar aksi agar terjadi konflik.
Analisa kasus di atas menampakkan bahwa adanya hubungan kausal yang
fundamental antara PT. Freepot dengan para karyawan berkaitan dengan komunikasi yang
tidak efektif, pertukaran dan penyebaran informasi yang tidak terkoordinir, dan tidak adanya
kesamaan tujuan dalam pencapaian kerja organisasi, pihak perusahaan yang menginginkan
karyawan berkerja dan keinginan karyawan yang bertolak belakang dengan mengadakan aksi
mogok kerja.

D.    Konflik antara Freeport dan Masyarakat Papua

Berbagai kekerasan yang terjadi di Papua semakin membuat rakyat Papua sengsara.
Langkah represif aparat kepolisian, justru semakin membuat situasi mencekam. Polisi sebagai
pengaman dan pelindung masyarakat justru  menjelma menjadi momok yang menakutkan
serta menjadi musuh masyarakat, dan seakan mati-matian menjaga dan melindungi
kepentingan Freeport.
Berdasarkan  pemahaman teori sistem adalah setiap bagian berpengaruh pada keseluruhan
atau sesuatu tidak dapat ada tanpa keberadaan yang lain. Maka seluruh aspek harus
diperhatikan atau dianggap penting. Namun, seakan tidak mengindahkan sistem yang harus
dilaksanakan oleh kepolisian sebagai pengayom masyarakat dan beralih menjadi pengaman
bayaran dari pihak Freeport.
Jelas sekali ketika penyanyi asal Papua Edo Kondologit dalam sebuah diskusi di Jakarta,
Selasa (1/11/2011). Menurut Edo, rasa aman di papua menjadi barang yang mahal, karena
tidak pernah diamankan oleh aparat di daerah tersebut dengan baik.
Patut dipertanyakan peran negara dalam menjamin kehidupan rakyatnya. Karena, selama
ini sikap Pemerintah terkesan membiarkan berbagai konflik yang terjadi di Papua. Keinginan
dari rakyat Papua menurut Edo, hanya hidup selayaknya, bisa cukup makan. Masih banyak
masalah seperti kemiskinan, kesehatan masih menjadi masalah utama di tanah Papua.
Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya yang juga saat ini banyak pemberontakan di
Papua dilakukan oleh orang Papua yang memperjuangkan kemerdekaan dan ingin
memisahkan diri dengan Indonesia. Jika keadaan ini tidak diperhatikan betul baik oleh
Pemerintah, pihak Freeport, Kepolisian, dan masyarakat.
Karena, adanya keinginan hidup yang layak mereka melakukan aksi yang sebenarnya
ingin mengajak Pemerintah untuk memperhatikan nasib rakyat Papua. Serta mengubah cara
pandang pemerintah pusat terhadap masyarakat Papua perlu diubah. Selama ini rakyat Papua
sering dipandang sebagai orang yang memberontak dan pendukung tindakan separatisme.
Bukan hanya meng-anak emaskan Freeport dan mengesampingkan masyarakat Papua.
Perhatian yang harus dilakukan Pemerintah berhubungan dengan cara pandang, adalah
menganggap orang Papua sebagai anak bangsa yang tidak puas terhadap kelakuan
Pemerintah saat ini. Stigma ini yang harus diubah, agar orang Papua tidak terus mengalami
kekecewaan yang besar terhadap pemerintah.

Elemen-elemen terkait
Elemen-elemen yang terkait dengan Freeport antara lain :

a. Pemerintah Pusat
b. ESDM
c. KEMENAKERTRANS
d. DPR
e. DPRD
f. Gubernur
g. Walikota
h. Bupati
i. TNI dan POLRI
j. Buruh dan Masyarakat Papua
k. LSM
l. Negara lain yang terkait, Amerika, Australia, Inggris

Semua elemen-elemen tersebut merupakan keseluruhan yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi untuk pencapaian tujuan. Keseimbangan antar berbagai sub sistem antara
perusahaan dengan elemen-elemen yang ada di sekitar Freeport. Namun, protes buruh dan
masyarakat merupakan polemik saat ini yang menandakan bahwa adanya dari elemen-elemen
yang tidak berjalan dan menyebabkan pencapaian tujuan menemui hambatan. Salah satu
faktor yang nampak ketidakadilannya adalah tempat tinggal masyarakat yang terkena limbah
Freeport. Tidak adanya ketegasan peraturan dan kontrol pemerintah menambah mandeknya
fungsi yang saling berkaitan dalam suatu sistem.
Sistem tertutup merupakan hambatan dalam perusahaan yang melibatkan banyak
buruh dan masyarakat Papua, Pemerintah dan Kepolisian pun masih lebih dominan pada
masalah OPM yang menginginkan berpisah dari NKRI dan mendirikan Negara sendiri.
Sehingga ini celah bagi para provokator yang memanfaatkan kondisi yang ricuh ini untung
mengais keuntungan.
Krisis internal dan eksternal yang terjadi sebenarnya dapat diselesaikan dan
seharusnya bisa diatasi jauh hari sebelumnya. Namun, seakan ada kejanggalan dalam masalah
ini. PT. Freeport tidak terelakkan mempunyai strategi ketika terjadi kerusakan dalam fungsi
elemen. Strategi penanganan terkait kasus internal dan eksternal yang dapat digunakan oleh
PT. Freeport adalah lawan makna dari defensive strategy yang digunakan saat ini, yaitu
daptive strategy. Dimana perusahaan tidak lepas dari kelalaian dan kesalahan, dan harus
berani mengakuinya, serta mengambil resiko dengan melakukan perubahan-perubahan.

Strategi dalam masalah Internal


Koordinasi dan mediasi. Hubungan antara elemen harus komunikatif , karena dengan
komunikasi yang efektif koordinasi antar semua elemen terkait dapat dimengerti dan tidak
terjadi misscommunication dalam perusahaan secara internal. Perusahaan juga harus mampu
membangun dan mempertahankan hubungan internal yang sangat bermanfaat antara
perusahaan dan dan karyawan. Seperti kenaikan gaji dan kesejahteraan karyawan yang
menjadi penyebab utama konflik, manajemen perusahaanlah yang harus mengidentifikasi
masalah tersebut melalui PR sebagai penghubung komunikasi dan menyelesaiakan dengan
karyawan agar tidak terjadi mogok kerja yang dapat merugikan perusahaan.

Strategi dalam masalah Eksternal


Kerja sama antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat merupakan kekuatan yang
utuh dalam menjaga stabilitas pencapaian tujuan PT. Freeport. Langkah yang pertama adalah
merespon apa yang diinginkan oleh masyarakat Papua dengan memberikan fasilitas-fasilitas
kenyamanan komunikasi seperti opini-opini yang disampaikan oleh masyarakat dapat
ditampung dan dicarikan solusinya agar tidak membengkak dan meledak pada saatnya, yang
dapat menghancurkan perusahaan nantinya.
Sehingga jika perusahaan responsif, maka pencitraan akan lebih mudah diterima oleh
masyarakat. Pentingnya pemerintah sebagai kontrol juga harus dapat mengendalikan
kenyamanan kedua belah pihak dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya jika semua
berjalan dengan baik maka, program-program yang dilancarkan oleh perusahaan dapat
diterima semua kalangan.

Kontrak Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi

PT.Freeport memperoleh kesempatan untuk mendulang mineral di Papua melalui


tambang Ertsberg sesuai Kontrak Karya Generasi I (KK I) yang ditandatangani pada tahun
1967. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang mendapat manfaat dari KK I. Dalam
perjalanannya, Freeport telah berkembang menjadi salah satu raksasa dalam industri
pertambangan dunia, dari perusahaan yang relatif kecil.
Hal ini sebagian besar berasal dari keuntungan yang spektakuler sekaligus bermasalah yang
diperoleh dari operasi pertambangan tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya, Papua.

KK I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian besar
materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses
negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi
pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan
potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining
position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan mineral
tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua sangat besar bahkan
terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan perak di
pasar dunia relatif terus meningkat.

Dengan kondisi cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning.
Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan
relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit.
Demikian pula emas yang semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah
berubah menjadi salah satu hasil utama pertambangan.
Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian
Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No.
11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini
memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary)
Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam
eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal
seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK I
mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport.
Kelemahan- tersebut utamanya adalah sebagai berikut:

(1) Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah
perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika
Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak
tunduk pada hukum Indonesia.

(2) Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu
penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan
Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak
dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan
kerusakanlingkungan.

(3) Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan
yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan
tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.

(4) Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I
dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun
terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent,
bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah.

(5) Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development.
Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung
terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville
harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial.

(6) Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan
dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara
lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya
selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang
dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis
pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak
penjualannya hanya 5%.

Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I
diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia
ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih
Freeport.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena
ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah
diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada
kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan
indikasi adanya kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk
mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.
Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan
finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam
hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak
mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal
13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas
prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan
bersih. Rosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga
tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1%
flat fixed untuk logam mulia.
Pemasukan 37 Trilyun dari 1992-2006
Sejak tahun 1992-2006 total pemasukan Freeport kepada negara Indonesia adalah 37 Trilyun,
dari hasil pembayaran Pajak Negara dan daerah. Sedangkan keuntungan Freeport adalah
menyuplai 40 ribu ton Emas ke Amerika selama beroperasi.

Sistem Audit pada PT.FREEFORT.


Dewan Komisaris PT Freeport Indonesia mengharuskan dilakukannya audit
komprehensif untuk memastikan sistem manajemen keselamatan berjalan efektif, tegas Daisy
Primayanti Vice President, Corporate Communications PT FI di Jayapura, Rabu (12/6/2013).
“Audit ini berjalan efektif karena kelemahan yang ada dapat teridentifikasi dan sumber daya
yang ada telah digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan,” ujarnya.
Dia menjelaskan audit independen yang dilakukan turut dilengkapi juga dengan audit
keselamatan internal dan inspeksi yang berfokus pada bahaya tertentu atau pada kegiatan
operasi yang performanya di bawah standar keselamatan.
“Program keselamatan perusahaan telah dirancang untuk mengurangi insiden dan
menghindari risiko kematian,” tukasnya.
Selain itu, program keselamatan PTFI dirancang berdasarkan standar internasional
tertinggi dan juga termasuk sistem manajemen yang mengadaptasi praktik-praktik terbaik
dalam industri pertambangan internasional.
“PTFI memahami bahwa usaha pertambangan adalah kegiatan yang berbahaya dan oleh
karenanya kami telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi risiko
kerja tersebut dan menjaga keselamatan pekerja,” katanya.
Dia mengungkapkan keselamatan adalah tanggung jawab langsung dari pihak
manajemen, bersifat instruksional yang harus dipatuhi dengan seksama dan harus
dilaksanakan oleh pekerja yang berada dalam struktur formal perusahaan.
“Pelaksanaan program keselamatan ini dimulai dengan menjalankan kebijakan keselamatan
dan kesehatan perusahaan,” urainya.
Tentang aspek keselamatan yang diterapkan di perusahaan, menurut laporan Mine
Safety and Health Administration (MSHA) Amerika Serikat, pada 2012 jumlah Total
Reportable Incident Rate (TRIR) (termasuk kontraktor) adalah 0,29 per 200.000 jam kerja,
dibandingkan dengan rerata industri pertambangan logam yang mencapai 2,21. Selama lima
tahun terakhir, sejak 2008-2012, jumlah TRIR rerata PTFI adalah 0,32; dimana pada periode
waktu yang sama jumlah TRIR industri pertambangan logam adalah 2,56, sesuai data MSHA.
PTFI merupakan anak perusahaan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold (FCX).
FCX adalah perusahaan penghasil tembaga terbesar di dunia milik publik yang memiliki
komitmen kuat terhadap keselamatan pekerjanya yang tersebar di berbagai negara di dunia.
Berdasarkan UU 1/1970 tentang Pengawasan dan Pasal 87 dan 88 UU 13/2003
tentang Ketenagakerjaan, jika dalam proses investigasi ini Pengawas menemukan adanya
kelalaian ataupun kesengajaan dari pihak PT FI untuk mengabaikan prinsip-prinsip K3, maka
sanksi yang dijatuhkan dapat berupa pidana (kurungan dan denda), peringatan hingga
penutupan perusahaan.
Kebijakan PTFI adalah untuk memberikan kesempatan bekerja yang sama kepada
seluruh masyarakat. PT Freeport Indonesia juga menjunjung tinggi hak pekerja sesuai dengan
hukum yang berlaku di Indonesia. PTFI juga memiliki komitmen untuk melindungi hak asasi
manusia dan sudah secara tegas memberlakukan dan menegakkan kebijakan hak asasi
manusia di dalam perusahaan.
PTFI memiliki Komitmen dan Kebijakan yang kuat dan tegas terhadap Hak Asasi
Manusia. Komitmen untuk menyediakan peluang bagi pembangunan sosial, pendidikan, dan
ekonomi yang dinyatakan melalui peraturan ketenagakerjaan sosial dan kebijakan Hak Asasi
Manusia.
Pada tahun 2011 PT Freeport Indonesia mempekerjakan lebih dari 11.300 karyawan
langsung dan lebih dari 12.000 karyawan kontraktor. Jumlah karyawan langsung PTFI:
65,53% Non Papua, 32,91% Papua, dan 1,55% Asing
Jumlah karyawan PTFI + Perusahaan mitra dan kontraktor, termasuk Institut
Pertambangan Nemangkawi (IPN): 97,7% Indonesia, 2,30% Asing. Sejak tahun 1996
perusahaan telah menggandakan jumlah karyawan Papua. Dalam 10 tahun, jumlah karyawan
Papua di tingkat staff meningkat 4 kali lipat, jumlah staf karyawan Papua di tingkat
supervisor 6x lipat. Karyawan Papua memegang fungsi strategis manajemen di PTFI: 5 Vice
President dan 74 Jajaran Manajerial.
Pada tahun 2003 dibangun Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN) untuk
memberikan kesempatan mengembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap maupun
perilaku yang profesional di bidang operasi dan penunjangnya. Program magang 3 tahun
dengan 4 bulan masa belajar off job dan 8 bulan on job. IPN mengikuti standar nasional dan
peraturan dari ESDM serta standar internasional lainnya. 3.800 Siswa magang 20 Jenis
keterampilan 90% siswa asli Papua 1800 Siswa sudah bekerja di PTFI dan kontraktornya
Meningkatkan karyawan staff wanita di PTFI dan kontraktor: 12% tahun 2003 dan
meningkat menjadi 14,4% di tahun 2011. PTFI berupaya menciptakan lingkungan kerja yang
aman dan kami menjadikan “Keselamatan sebagai budaya” dalam organisasi PTFI. PTFI
memiliki satu catatan terbaik dalam industry sumber daya alam, tapi yang terpenting bagi
PTFI adalah tidak terjadinya kecelakaan.
PTFI dan SPSI telah menyelesaikan semua perselisihan upah dan menandatangani
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ke-17, Periode 2011-2013. Klausa di bawah PKB
2011-2013 telah memenuhi aspirasi para pekerja, dengan peningkatan gaji pokok 40% efektif
selama periode dua tahun.
Sistem Rekrutmen PT.FREEFORT
Rekrutmen merupakan proses mencari, menemukan, dan menarik para pelamar untuk
dipekerjakan dalam dan oleh suatu organisasi.
Rekrutmen merupakan proses komunikasi dua arah. Pelamar-pelamar menghendaki informasi
yang akurat mengenai seperti apakah rasanya bekerja di dalam organisasi bersangkutan.
Proses rekrutmen memiliki beberapa tujuan, antara lain:
1. Untuk memikat sekumpulan besar pelamar kerja sehingga perusahaan akan mempunyai
kesempatan yang lebih besar untuk melakukan pemilihan terhadap calon-calon pekerja yang
dianggap memenuhi standar kualifikasi organisasi.

2. Tujuan pasca pengangkatan (post-hiring goals) adalah penghasilan karyawan-karyawan


yang merupakan pelaksana-pelaksana yang baik dan akan tetap bersama dengan perusahaan
sampai jangka waktu yang masuk akal.

3. Upaya-upaya perekrutan hendaknya mempunyai efek luberan (spillover effects) yakni citra
umum organisasi haruslah menanjak, dan bahkan pelamar-pelamar yang ga k gal haruslah
mempunyai kesan-kesan positif terhadap perusahaan.

Di perusahaan PT.FREEPORT menggunakan system Rekrutmen dengan tinggat


eahlian yang di miliki, kemampuan, pengetahuan yang luas(wawasan), dan pendidikan.
Pelamar bisa kesempatan untuk mencoba dalam membangun perusahaan yang di pimpin.
Karyawan sebagai sumber daya manusia merupakan aset yang paling penting bagi
perusahaan. Mendapatkan karyawan yang sesuai dengan kriteria yang diharapkan merupakan
kunci utama bagi kesuksesan bisnis perusahaan. Manajemen Perekrutan (Recruitment
management) adalah salah satu proses dalam Administrasi Personalia (Personnel
Administration) pada departemen Human Resource Development (HRD) yang mendukung
para pengambil keputusan dalam menentukan sumber daya manusia yang sesuai untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja.
DAFTAR PUSTAKA

http://papua-elkace.blogspot.com/2011/11/sejarah-dan-kebobrokan-pt-freeport.html
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/sejarah-kelam-tambang-freeport-
1.htm#.UdzNeH_3bSM
http://tayaa90.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai