Disusun Oleh :
S1 MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEMARANG
Kasus PT.FREEPORT
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Apa masalah yang ada d PT.Freefort?
b. Kenapa terjadinya Kontrak Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi?
c. Sistem Audit pada PT.Freefort?
d. Sistem Rekrutmen pada PT.freefrot?
BAB II
PEMBAHASAN
Permasalahan di PT.FREEFORT
A. Pemiskinan di Papua
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi
perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan
tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di
Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton
material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan
dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya
(sepanjang 700 km).
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya
mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan
Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun
mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil
jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan
pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari
buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika,
lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada
tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan
komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di
Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli
Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah,
wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot
Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin
(47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor
pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari
pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk
perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan
menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3 dari
30 propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua,
yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-
masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong
kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter,
suhu terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000
m, curah hujan tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima
curah hujan tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius.
Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai
tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi
longsor di bagian selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan
Freeport. Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap
lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg adalah daerah rawan
bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan. Jebolnya dam penampungan
tailing di Danau Wanagon pada tahun 2000, menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-
kontraktor Freeport. Terjadi longsor di lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober
2003.
B. Kronologi Sosial-Ekonomi
Kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua selama ini, tak hanya mencetak
keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut tetapi juga memantik munculnya masalah
sosial. Belum ada solusi yang dianggap efektif dalam penyelesaian masalah yang muncul itu
dan sewaktu-waktu berpotensi untuk meletup.
Berikut disampaikan kronologi aspek sosial-ekonomi operasi Freeport:
16 Februari 1623. Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung
tertinggi di Irian, lalu mencatat dalam log book-nya. Inilah catatan pertama orang asing
tentang Puncak Carstenz dan kelak menjadi daerah operasi PT Freeport Indonesia.
C. PT. FREEPORT dengan Karyawan
Berbagai kekerasan yang terjadi di Papua semakin membuat rakyat Papua sengsara.
Langkah represif aparat kepolisian, justru semakin membuat situasi mencekam. Polisi sebagai
pengaman dan pelindung masyarakat justru menjelma menjadi momok yang menakutkan
serta menjadi musuh masyarakat, dan seakan mati-matian menjaga dan melindungi
kepentingan Freeport.
Berdasarkan pemahaman teori sistem adalah setiap bagian berpengaruh pada keseluruhan
atau sesuatu tidak dapat ada tanpa keberadaan yang lain. Maka seluruh aspek harus
diperhatikan atau dianggap penting. Namun, seakan tidak mengindahkan sistem yang harus
dilaksanakan oleh kepolisian sebagai pengayom masyarakat dan beralih menjadi pengaman
bayaran dari pihak Freeport.
Jelas sekali ketika penyanyi asal Papua Edo Kondologit dalam sebuah diskusi di Jakarta,
Selasa (1/11/2011). Menurut Edo, rasa aman di papua menjadi barang yang mahal, karena
tidak pernah diamankan oleh aparat di daerah tersebut dengan baik.
Patut dipertanyakan peran negara dalam menjamin kehidupan rakyatnya. Karena, selama
ini sikap Pemerintah terkesan membiarkan berbagai konflik yang terjadi di Papua. Keinginan
dari rakyat Papua menurut Edo, hanya hidup selayaknya, bisa cukup makan. Masih banyak
masalah seperti kemiskinan, kesehatan masih menjadi masalah utama di tanah Papua.
Bukan tidak mungkin jika pada akhirnya yang juga saat ini banyak pemberontakan di
Papua dilakukan oleh orang Papua yang memperjuangkan kemerdekaan dan ingin
memisahkan diri dengan Indonesia. Jika keadaan ini tidak diperhatikan betul baik oleh
Pemerintah, pihak Freeport, Kepolisian, dan masyarakat.
Karena, adanya keinginan hidup yang layak mereka melakukan aksi yang sebenarnya
ingin mengajak Pemerintah untuk memperhatikan nasib rakyat Papua. Serta mengubah cara
pandang pemerintah pusat terhadap masyarakat Papua perlu diubah. Selama ini rakyat Papua
sering dipandang sebagai orang yang memberontak dan pendukung tindakan separatisme.
Bukan hanya meng-anak emaskan Freeport dan mengesampingkan masyarakat Papua.
Perhatian yang harus dilakukan Pemerintah berhubungan dengan cara pandang, adalah
menganggap orang Papua sebagai anak bangsa yang tidak puas terhadap kelakuan
Pemerintah saat ini. Stigma ini yang harus diubah, agar orang Papua tidak terus mengalami
kekecewaan yang besar terhadap pemerintah.
Elemen-elemen terkait
Elemen-elemen yang terkait dengan Freeport antara lain :
a. Pemerintah Pusat
b. ESDM
c. KEMENAKERTRANS
d. DPR
e. DPRD
f. Gubernur
g. Walikota
h. Bupati
i. TNI dan POLRI
j. Buruh dan Masyarakat Papua
k. LSM
l. Negara lain yang terkait, Amerika, Australia, Inggris
Semua elemen-elemen tersebut merupakan keseluruhan yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi untuk pencapaian tujuan. Keseimbangan antar berbagai sub sistem antara
perusahaan dengan elemen-elemen yang ada di sekitar Freeport. Namun, protes buruh dan
masyarakat merupakan polemik saat ini yang menandakan bahwa adanya dari elemen-elemen
yang tidak berjalan dan menyebabkan pencapaian tujuan menemui hambatan. Salah satu
faktor yang nampak ketidakadilannya adalah tempat tinggal masyarakat yang terkena limbah
Freeport. Tidak adanya ketegasan peraturan dan kontrol pemerintah menambah mandeknya
fungsi yang saling berkaitan dalam suatu sistem.
Sistem tertutup merupakan hambatan dalam perusahaan yang melibatkan banyak
buruh dan masyarakat Papua, Pemerintah dan Kepolisian pun masih lebih dominan pada
masalah OPM yang menginginkan berpisah dari NKRI dan mendirikan Negara sendiri.
Sehingga ini celah bagi para provokator yang memanfaatkan kondisi yang ricuh ini untung
mengais keuntungan.
Krisis internal dan eksternal yang terjadi sebenarnya dapat diselesaikan dan
seharusnya bisa diatasi jauh hari sebelumnya. Namun, seakan ada kejanggalan dalam masalah
ini. PT. Freeport tidak terelakkan mempunyai strategi ketika terjadi kerusakan dalam fungsi
elemen. Strategi penanganan terkait kasus internal dan eksternal yang dapat digunakan oleh
PT. Freeport adalah lawan makna dari defensive strategy yang digunakan saat ini, yaitu
daptive strategy. Dimana perusahaan tidak lepas dari kelalaian dan kesalahan, dan harus
berani mengakuinya, serta mengambil resiko dengan melakukan perubahan-perubahan.
KK I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian besar
materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses
negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi
pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan
potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining
position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan mineral
tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua sangat besar bahkan
terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang tambang tembaga, emas dan perak di
pasar dunia relatif terus meningkat.
Dengan kondisi cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning.
Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan
relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit.
Demikian pula emas yang semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah
berubah menjadi salah satu hasil utama pertambangan.
Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian
Jaya. KK I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No.
11/67 tentang PMA. KK antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini
memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary)
Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam
eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal
seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK I
mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi Freeport.
Kelemahan- tersebut utamanya adalah sebagai berikut:
(1) Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah
perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum Amerika
Serikat. Dengan lain perkataan, perusahaan ini merupakan perusahaan asing, dan tidak
tunduk pada hukum Indonesia.
(2) Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada waktu
penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan
Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak
dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga mengakibatkan
kerusakanlingkungan.
(3) Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan
yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan pengaturan dan
tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.
(4) Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I
dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain, maupun
terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent,
bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi pemasukan bagi Daerah.
(5) Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development.
Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung
terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville
harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial.
(6) Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan
dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara
lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya
selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang
dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari segala jenis
pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak
penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I
diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia
ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih
Freeport.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena
ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah
diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada
kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan merupakan
indikasi adanya kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi untuk
mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.
Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan
finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam
hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak
mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal
13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas
prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan
bersih. Rosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga
tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1%
flat fixed untuk logam mulia.
Pemasukan 37 Trilyun dari 1992-2006
Sejak tahun 1992-2006 total pemasukan Freeport kepada negara Indonesia adalah 37 Trilyun,
dari hasil pembayaran Pajak Negara dan daerah. Sedangkan keuntungan Freeport adalah
menyuplai 40 ribu ton Emas ke Amerika selama beroperasi.
3. Upaya-upaya perekrutan hendaknya mempunyai efek luberan (spillover effects) yakni citra
umum organisasi haruslah menanjak, dan bahkan pelamar-pelamar yang ga k gal haruslah
mempunyai kesan-kesan positif terhadap perusahaan.
http://papua-elkace.blogspot.com/2011/11/sejarah-dan-kebobrokan-pt-freeport.html
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/sejarah-kelam-tambang-freeport-
1.htm#.UdzNeH_3bSM
http://tayaa90.wordpress.com