Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Kelam Tambang Freeport (1)

Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing
tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal di
sekitar wilayah pertambangan.
Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan
Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul
�Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat�.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara
berseri.

Latar Belakang
Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak tahun
1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi
Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing
tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal di
sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga
terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang
besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan
Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai
api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport
pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak
hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan
pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai
ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988,
Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini. Dari
eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka
keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada
daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga,
dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah,
terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/BUMN untuk ikut mengelola
tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang
alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam
seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.
Permasalahan
Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 50%
cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun, sebagai hasil eksploitasi potensi tambang tersebut,
hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan dengan miliaran US$
keuntungan yang diperoleh Freeport. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan
masyarakat di sekitar wilayah pertambangan, namun berkontribusi sangat besar pada perkembangan
perusahaan asing tersebut.
Pada tahun 1995 Freeport baru secara’resmi mengakui menambang emas di Papua. Sebelumnya
sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah
volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh
orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai
telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih
dari yang diperkirakan sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data
kandungan konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa
negara telah dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius.
Bahkan Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa
produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang penghasilannya hanya sekitar
$132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik
dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian
besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa
dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport
juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah
tertinggi penderita HIV/AIDS berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan
pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini.
Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa
kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh
pemerintah bahkan terkesan diabaikan.
Pemiskinan di Papua
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan
tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun
Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia.
Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily,
10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton
bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang
Jakarta hingga Surabaya (sepanjang 700 km).
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1
juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta
melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun mengalami kerugian karena
keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil jika dibandingkan keuntungan total
yang dinikmati Freeport.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di
Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka
kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport
berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar
41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya
pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5
juta penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli Papua yang
miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah Kontrak Karya
Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto, merelease data kemiskinan
tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor pertambangan.
Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan
bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan
pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang
kronik bagi wilayah Papua.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3 dari 30 propinsi di
Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang diekspresikan
dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi
berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan
konsesi pertambangan Freeport.
Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter, suhu
terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m, curah
hujan tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah hujan tahunan
lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius. Dengan kondisi alam seperti ini,
kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap
bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor di bagian selatan area tambang terbuka
Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan Freeport. Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya
kepedulian Freeport terhadap lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan
Grasberg adalah daerah rawan bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan. Jebolnya
dam penampungan tailing di Danau Wanagon pada tahun 2000, menyebabkan tewasnya empat
pekerja sub-kontraktor Freeport. Terjadi longsor di lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9
Oktober 2003.
Kronologi Sosial-Ekonomi
Kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua selama ini, tak hanya mencetak keuntungan finansial
bagi perusahaan tersebut tetapi juga memantik munculnya masalah sosial. Belum ada solusi yang
dianggap efektif dalam penyelesaian masalah yang muncul itu dan sewaktu-waktu berpotensi untuk
meletup. Berikut disampaikan kronologi aspek sosial-ekonomi operasi Freeport:
16 Februari 1623.
Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung tertinggi di Irian, lalu mencatat
dalam log book-nya. Inilah catatan pertama orang asing tentang Puncak Carstenz dan kelak menjadi
daerah operasi PT Freeport Indonesia.
23 November 1936.
Ekspedisi Colijn dan Jean Jacquez Dozy dari Belanda, berhasil mencapai Carstenz. Mereka kemudian
mengumpulkan contoh batuan.
Tahun 1936.
Geolog Dr. C. Shouten menyimpulkan bahwa kawasan Carstenz mengandung tembaga dan emas.
Sejak itu nama Ertsberg (gunung bijih) dipakai untuk menyebut kawasan tertinggi di New Guinea itu.
Ekspedisi napak tilas dilakukan pada Juni 1960, dipimpin Forbes Wilson dan Del Flint–berdasar
laporan Colijn–seiring dengan pemetaan geologi.
Maret 1966.
Soeharto dan pemerintah Orde Baru mulai menggenjot masuknya modal asing dengan berbagai
deregulasi baru. Prof. M. Sadli, Menteri Pertambangan, mengumumkan pemberian konsesi kepada
Freeport Mc Moran di Irian, dengan alasan merekalah satu-satunya yang lebih dulu meminta konsesi di
kawasan itu.
Juni 1966.
Tim Freeport datang ke Jakarta untuk memprakarsai suatu pembicaraan untuk mewujudkan kontrak
pertambangan di Ertsberg. Orang yang dipilih sebagai negosiator dan kelak menjadi presiden Freeport
Indonesia (FI) adalah Ali Budiardjo, yakni mantan sekjen Hankam dan direktur Bappenas tahun 1950-
an.
5 April 1967.
Kontrak kerja (KK) I ditandatangani dan membuat Freeport menjadi perusahaan satu-satunya yang
ditunjuk untuk menangani kawasan Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. KK I ini lamanya 30 tahun.
Kontrak dinyatakan mulai berlaku saat perusahaan mulai beroperasi. Bulan Desember, eksplorasi
Ertsberg dimulai.
Desember 1969.
Studi kelayakan proyek selesai dan disetujui. Mei 1970, konstruksi keseluruhan proyek mulai
dikerjakan. Teknologi rekayasa FCX di remote area tertinggi di Asia Tenggara ini mengundang decak
kagum tersendiri karena tingkat kesulitannya sangat tinggi.
Desember 1972.
Pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk pertama kalinya ke Jepang.
Maret 1973.
Presiden Soeharto meninjau daerah operasi Freeport dan memberikan nama Tembagapura untuk kota
baru Freeport.
Tahun 1974.
Sepanjang 1972 sampai 1973 terjadi beberapa perkelahian yang mengakibatkan terbunuhnya
karyawan Freeport, hingga memaksa mereka membuat ”January Agreement” dengan warga desa Wa-
Amungme untuk membangun sekolah dan fasilitas umum lainnya.
Juli 1976
Pemerintah Indonesia mendapat bagian saham sebesar 8,5% dari saham Freeport. Angka ini hingga
1998 bertahan di level 10 persen dan royalti satu persen.
April 1981.
Ertsberg Timur mulai ditambang dan produksi FI mencapai 16.000 ton per hari sebelum cadangan
Grasberg ditemukan.
28 Januari 1988.
Dugaan deposit emas di kawasan Grasberg menunjukkan hasil positif. Freeport Mc Moran Copper and
Gold (FCX) akhirnya go public di lantai bursa New York. Menurut Yuli Ismartono–pejabat public
relations FI–setiap hari dalam tahun 1988 kira-kira dua juta lembar saham FCX terjual.
Dengan tambahan cadangan emas di Grasberg dan cadangan lainnya, jumlah depositnya diperkirakan
mencapai jumlah 200 juta ton. Dalam laporan studi evaluasi lingkungan (SEL) 160 K yang disetujui
pada 1994, total deposit yang ada meningkat hingga dua miliar ton.
30 Desember 1991.
KK I berakhir dan Freeport memperoleh kembali KK II selama 30 tahun. Bagi banyak orang, KK II ini
berlangsung tidak transparan, bahkan tertutup. Anehnya, pemerintah yang ditawari untuk
memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat, padahal perusahaan ini jelas-jelas
menguntungkan.
Mulai saat itu, masuklah pengusaha nasional Aburizal Bakrie (Bakrie Grup). ”Kami sudah menawarkan,
tapi hanya Bakrie yang datang,” kata James Moffet, Preskom Freeport berbasa-basi. Preskom.
Belakangan masuk Bob Hasan (Nusamba), yang dikenal sebagai kroni Soeharto, dan Menaker kabinet
Soeharto, Abdul Latief (A Latief Corp.)
22 Agustus – 15 September 1995
Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Timika dan sekitarnya.
Kesimpulan anggota tim investigasi Komnas HAM, mengungkapkan bahwa selama 1993-1995 telah
terjadi 6 jenis pelanggaran HAM, yang mengakibatkan 16 penduduk terbunuh dan empat orang masih
dinyatakan hilang. Pelanggaran ini dilakukan baik oleh aparat keamanan FI maupun pihak tentara
Indonesia.
17 Januari 1996
Dalam selembar surat jawaban kepada editor American Statement, Ralph Haurwitz, Atase Penerangan
Kedubes Amerika Serikat di Jakarta Craig J. Stromme menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti yang
dapat dipercaya atas tuduhan pelanggaran HAM oleh Freeport di Irian Jaya.
29 April 1966
Gugatan Tom Beanal, Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa) terdaftar di pengadilan
Louisiana, markas besar FCX, dengan kasus no.96-1474. Belakangan, gugatan ini ditolak dan
pengadilan menyatakan Freeport tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.
29 Juni 1996
Lemasa menolak dana sebesar 1 persen keuntungan Freeport (US$ 15 juta) yang rencananya
diberikan kepada suku di daerah operasi Freeport. Penolakan juga datang dari gereja setempat.
30 September 1997
Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, melalui Bapedal, selesai memeriksa dan
menyetujui laporan Amdal Regional untuk perluasan kegiatan penambangan dan peningkatan
kapasitas produksi Freeport hingga 300.000 ton per hari.
Tetapi Walhi yang ikut dalam komisi itu menyatakan tidak setuju : “Atmosfer pertemuan itu kental
dengan bau politis, sementara banyak anggota komisi sebenarnya tidak setuju dengan perluasan itu,
tapi tak kuasa menolak,” kata Emmy Hafid, Direktur Walhi.
11 Maret 1998
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam pemandangan umumnya pada Sidang Umum MPR
1998, secara terbuka menyebut pembagian keuntungan antara Freeport dan pemerintah Indonesia
adalah salah satu kontrak yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia.
5 November 1998
Direktur PT Freeport Indonesia, Jim “bob” Moffett datang ke Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk
menjelaskan dugaan KKN di Freeport, termasuk perpanjangan KK II yang tertutup dan diduga sarat
KKN. “Tidak ada KKN di Freeport, dan tidak adil kalau Anda menyuruh saya juga mengurusi masalah
pembagian keuntungan. Saya bukan orang pemerintahan,“ kata Jim Moffet dalam jumpa persnya
seusai menghadap Kejagung.
Tahun 2002
Keterlibatan salah seorang prajurit TNI dalam kasus penyerangan bus karyawan Freeport di Timika
September 2008
Freeport menciutkan target produksi tembaga dan emas tahun 2008 ini lantaran ada gangguan teknis
di lokasi penambangan Grasberg, Papua. Awalnya, Freeport mematok produksi tembaga 1,2 miliar
pounds dan emas 1,3 juta ounce. Karena gangguan ini, produksi dibuat lebih mini, tembaga 1,1 miliar
pounds dan emas 1,1 juta ounc.
11 Desember 2008
Freeport memecat 75 karyawan, Freeport melakukan efisiensi dari sisi jumlah karyawan untuk
mengurangi sedikit biaya operasional perusahaan, sebagai imbas dari resesi ekonomi dunia.
27 Juli 2009
Dua Karyawan Freeport menjadi tersangka kasus penembakan. Polisi menetapkan tujuh tersangka
terkait kasus penembakan di Freeport, Timika, Provinsi Papua. Dua dari tujuh tersangka tersebut
merupakan karyawan Freeport. (bersambung)
foto ilustrasi: welkis.wordpress
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di
Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University
(Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai
General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke
depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Setelah membaca trit agan Iqbalground tentang “Tambang Emas di Papua yang bisa dilihat dari
Angkasa”, ane penasaran tentang sejarah PT. Freeport di Indonesia, setelah googling, ane nemu salah
satu artikel di blog yang menjelaskan sejarah PT. Freeport Indonesia. berikut isi artikel nya:

Ada perbedaan sangat besar terkait pengelolaan kekayaan alam Indonesia di zaman Soekarno
dengan zaman Harto dan para pewarisnya. Soekarno bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita, hingga
insinyur-insinyur Indonesia mampu mengolahnya sendiri.” Sedangkan Harto dan para pewarisnya
hingga sekarang bersikap, “Biarkan kekayaan alam kita dijarah oleh orang-orang asing, silakan
Mister…”

Merupakan fakta sejarah jika di awal kekuasaan Harto, kekayaan alam Indonesia yang melimpah-ruah
digadaikan kepada blok imperialisme Barat yang dipimpin Amerika Serikat. Sebelumnya Harto dan
Washington agaknya telah memiliki “MOU” bahwa jika Soekarno berhasil dikudeta maka Harto yang
menggantikannya akan “membalas budi” kepada Washington berupa penyerahan negara dan bangsa
ini tanpa syarat agar bisa dieksploitasi sepuasnya oleh para tuan bule di Washington.

Tragedi pertemuan Mafia Berkeley dengan Rockefeller dan kawan-kawannya di Jenewa-Swiss di bulan
November 1967 menjadi bukti tak terbantahkan tentang permufakatan iblis tersebut. Di saat itulah,
rezim Jenderal Harto mencabut kemerdekaan negeri ini dan menjadikan Indonesia kembali sebagai
negeri terjajah. Ironisnya, penjajahan asing atas Indonesia diteruskan oleh semua pewarisnya
termasuk rezim yang tengah berkuasa hari ini yang ternyata “jauh lebih edan” ketimbang Jenderal
Harto dulu.
Sampai sekarang, hampir semua cabang produksi yang amat vital bagi negara dan bangsa ini telah
dikuasai asing. Banyak buku yang telah memaparkan dengan jujur kenyataan menyedihkan ini.
Beberapa di anaranya adalah buku berjudul “Di Bawah Cengkeraman Asing: Membongkar Akar
Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri Sendiri” (Wawan Tunggul Alam:
2009), dan “Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!” (Amien Rais, 2008). Dengan bahasa
jurnalisme yang sangat mengalir namun amat kaya data, Wawan memaparkan dengan lugas hampir
seluruh fakta yang patut diketahui generasi muda bangsa ini, agar kita bisa sadar sesadar-sadarnya
jika Indonesia itu, negeri kita ini, sekarang masih merupakan negeri terjajah!

Dan untuk buku yang kedua yang ditulis oleh Amien Rais, isinya benar-benar bagus dan sangat anti
dengan neo-liberal. Namun dalam faktanya sangat ironis, karena entah dengan alasan apa, Amien
Rais sekarang malah jelas-jelas menjadi bagian dari kelompok NeoLib dengan berterus-terang
menyatakan dukungannya pada rezim yang berkuasa sekarang. Disadari atau tidak, dia sekarang
telah menjadi part of problem bagi bangsa ini dan menjadi salah satu penghalang bagi gerakan
pemerdekaan negeri ini dari cengkeraman imperialisme asing.

Jika Imperialisme dan Kolonialisme Kuno (Spanyol, Portugis, VOC, Fasis Jepang, dan NICA)
menggunakan senjata api untuk menjajah suatu negeri, maka sekarang, Imperialisme dan
Kolonialisme Modern (Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme, Nekolim) lebih pintar dengan tidak lagi
memakai senjata api namun mempergunakan kekuatan uang (baca: kekuatan utang).

Daerah Operasi Tambang PT.Freeport di Papua:

JFK, CIA, dan Freeport

Di atas telah disebutkan, hanya beberapa bulan setelah secara de-facto berkuasa, Jenderal Harto
menggadaikan nyaris seluruh kekayaan alam negeri ini kepada blok imperialisme asing. Salah satu
cerita yang paling menyedihkan adalah tentang gunung emas di Papua Barat. Gunung emas yang
sekarang secara salah kaprah disebut sebagai Tembagapura, merupakan sebuah gunung dimana
cadangan tembaga dan emas berada di atas tanahnya, tersebar dan siap dipungut dalam radius yang
amat luas.

Lisa Pease menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport” dan dimuat dalam majalah
Probe. Tulisan bagus ini disimpan di dalam National Archive di Washington DC. Dalam artikelnya, Lisa
Pease menulis jika dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun 1967, namun
kiprahnya di Indonesia sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Freeport Sulphur, demikian nama
perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba
tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh
perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan
pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan terjadi. Menurut Lisa Pease,
berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-
kali pula menemui kegagalan.

Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat
sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo
Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah
laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques
Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan
selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan
penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya.

Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika selain
memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya
yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia, maka kandungan biji tembaga
yang ada di sekujur Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di
dalam tanah. Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian
Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka
perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama atas Gunung Ersberg dan
juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest
of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk
memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan
tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.

Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga,
gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak! Menurut Wilson, seharusnya gunung
tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan,
Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali
modal. Piminan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport
Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah
dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan
Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian
Barat.

Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar
mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy
mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian
Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya
dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.

Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak
emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan
Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di
gunung tersebut.

Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan
East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi
mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS
dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!

Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22
November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan sebuah konspirasi
besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas
kebijakan politik di Amerika.

Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil siap yang bertolak-belakang dengan
pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada
militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye
pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C. Long, salah seorang anggota dewan direksi
Freeport.

Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan
Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of
California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang
mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah
satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.

Augustus C. Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini
disingkirkan secepatnya.

Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian Hospital NY di mana
dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini
merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.

Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970,
Long pensiun sementara sebagai pimpinan Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu
yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang paling krusial.

Pease mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical
Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan
penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat
besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh
yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah
perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.

Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang
menyatakan jika kelompok Jenderal Suharto akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih
kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga
pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.

Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi 1 Oktober 1965, Forbes Wilson mendapat telpon dari
Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan apakah Freeport sudah siap
mengeksplorasi gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno masih sah
sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian
Barat akan jatuh ke tangan Freeport?

Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak tokoh
penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan
Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu
Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena
dialah yang menutup seluruh anggaran operasionil mereka.
Sebab itulah, ketika ketika UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya
dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing
pertama yang kontraknya ditandatangani Suharto adalah Freeport. Inilah kali pertama kontrak
perminyakan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing
selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah
banyak merugikan Indonesia.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport menggandeng Bechtel,
perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki
saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan
internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan
raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif
Freeport-McMoran, George A. Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman
dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki depost terbesar di dunia, sedangkan
untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga
sebesar 40,3 miliar pon dan emas sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar dollar AS dan masih
akan menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya
produksi tambang emas dan tembaga terbesar dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang
termurah di dunia.

Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya Emaspura. Karena
gunung tersebut memang gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas
dan tembaga terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru
menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan
membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Grasberg-Tembagapura sepanjang 100 kilometer
langsung menuju ke Laut Arafuru di mana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan langsung
mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika. “Perampokan legal” ini masih terjadi sampai sekarang.
Kisah Freeport merupakan salah satu dari banyak sekali kisah sedih tentang bagaimana kekayaan
alam yang diberikan Allah SWT kepada bangsa Indonesia, oleh para penguasanya malah digadaikan
bulat-bulat untuk dirampok imperialisme asing, demi memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya
sendiri. Kenyataan memilukan ini masih berlangsung sampai sekarang hingga rakyat menjadi sadar
dan menumbangkan penguasa korup.

Sumber

sudah saatnya pemerintah buka mata tentang kekayaan alam Indonesia karena di dalam UUD 1945
sudah jelas-jelas tercantum dalam pasal 33 ayat 3 bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam di yang
terdapat dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Pak Presiden, Pak Menteri Kehutanan, Pak menteri ESDM, Bapak-bapak dan ibu-ibu terhormat di
DPR, dan Bapak Pemerintah Daerah setempat, ayo diskusi, temukan solusi, tindak seadil adilnya
sebelum papua benar-benar jatuh ke tangan Asing

Anda mungkin juga menyukai