Anda di halaman 1dari 12

MASALAH LINGKUNGAN

TERKAIT LIMBAH
FREEPOT DI PAPUA

 Yokiswara Sakti
 Joshua Rio Damanik
 Chairul Saleh
 Andreas Albertus
 Cindy puspita
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya
alam sehingga sejak dahulu kala negeri ini dijajah oleh
kaum asing yang rakus dan ingin mengambil hasil
buminya. Meski telah merdeka selama 70 tahun,
Indonesia masih saja dijajah oleh negara asing yang
berusaha menguasai hasil bumi Indonesia, seperti PT.
Freeport yang telah berdiri sejak era orde baru.
PT. Freeport Indonesia (PTFI) adalah sebuah perusahaan
pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini
adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan
merupakan perusahaan penghasil konstentrat emas dan
tembaga terbesar di dunia melalui tambang Grasberg.
Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua
tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari
1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan
• Aktivitas pertambangan PTFI menimbulkan pro kontra di negara ini, sebab
selain menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi warga negara
Indonesia dan sumber pemasukan devisa negara yang besar, aktivitas
pertambangan mereka telah merusak ribuan hektar hutan dan mencemari
sungai di sekitar lokasi tambang.

• Isu ini selama beberapa tahun menjadi sangat hangat dan ramai
diperbincangkan oleh khalayak umum, pemerintah dituntut untuk segera
mengambil tindakan untuk menanggulangi kasus ini sehingga dampak buruk
dapat diminimalisir.
SEJARAH PT FREEPORT DI INDONESIA
Sejarah PT Freeport Indonesia dimulai pada tahun 1967 ketika perusahaan
asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan, memperoleh izin eksplorasi di
wilayah Papua.

PT Freeport Indonesia didirikan pada tahun 1967 setelah Freeport-


McMoRan Inc. memperoleh hak eksplorasi dan penambangan di wilayah
Papua. Perusahaan ini mulai beroperasi pada tahun 1973 dan sejak itu telah
menjadi salah satu produsen tembaga dan emas terbesar di dunia.
Pada tahun 2018, PT Freeport Indonesia mencapai kesepakatan dengan
pemerintah Indonesia untuk mengubah status operasinya. Sebelumnya,
perusahaan ini beroperasi dengan kontrak karya yang sangat
menguntungkan yang diberikan pada tahun 1967.
alasan mengapa kontrak karya ini dianggap menguntungkan awalnya

Penemuan Besar Grasberg: PT Freeport Indonesia menemukan salah satu deposit tembaga dan emas terbesar
di dunia di Grasberg, Papua. Kekayaan sumber daya alam yang luar biasa ini membuatnya menjadi aset yang
sangat bernilai, dan perusahaan ini memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi sumber daya ini.

Kondisi Pasar Komoditas: Pada saat kontrak karya diberikan pada tahun 1967, harga tembaga dan emas
relatif rendah. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mungkin merasa kontrak tersebut memberikan
kesempatan yang baik bagi mereka untuk mendapatkan pendapatan dari sumber daya alam yang belum
begitu bernilai pada saat itu.

Investasi Awal dan Risiko: PT Freeport Indonesia melakukan investasi besar-besaran dalam pengembangan
tambang Grasberg, yang melibatkan biaya yang tinggi dan risiko besar. Oleh karena itu, sebagai imbalannya,
kontrak karya memberikan perusahaan ini hak eksklusif untuk mengelola tambang tersebut untuk jangka
waktu yang lama.

Politik dan Stabilitas Investasi: Pada awalnya, kontrak karya ini merupakan bagian dari upaya pemerintah
Indonesia untuk menarik investasi asing ke negara tersebut. Menawarkan persyaratan yang menguntungkan
bagi perusahaan asing seperti Freeport-McMoRan dapat menjadi cara untuk menciptakan stabilitas investasi
dan pertumbuhan ekonomi.
LATAR BELAKANG
 Memicu terjadinya Bencana Banjir dan Tanah Longsor akibat tumpukan buang Limbah
Tailing yang dilakukan perusahaan di lembah Wanagon.
 Matinya Sungai Aijkwa,Aghawagon dan Otomona,dan Ekosistem lainnya akibat tercemar
kandungan mercury dan sianida yang dihasilkan dari tumpukan batuan limbah tambang dan
tailing yang mencapai 840.000 ton.
 Tercemarnya wilayah pesisir suku Kamoro, Kampung Pasir Hitam serta sendimentasi yang
menyebabkan Masyarakat harus membutuhkan waktu lama untuk menyebarang karena
terjadinya pendangkalan di aliran sungai sehingga menyebabkan Ikan Ikan yang di tangkap
untuk kebutuhan sehari hari cepat membusuk.
 Perusakan Hutan dengan melakukan penambangan tanpa Izin didalam Kawasan hutan
lindung 4.535 Ha.
 Tahun 2017,BPK menemukan potensi kerugian bagi Indonesia senilai Rp185 triliun dari
kerusakan alam Papua yang terjadi akibat aktivitas PT Freeport Indonesia yang penggunaan
hutan lindung dan pengelolaan limbah yang tidak sesuai ketentuan
ANALISIS

• Pembuangan tailings yang mengandung Air Asam Batuan PT. Freeport ini jelas telah
memberikan dampak yang cukup serius bagi ekosistem sekitar, mulai dari perusakan
habitat muara, kontaminasi pada rantai makanan di muara khususnya bagi spesies hewan
dan tumbuhan yang berada disepanjang sungai Ajkwa serta di kawasan Taman Nasional
Lorentz.
• Sungai Ajkwa merupakan satu dari tiga sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah
Freeport. Dampak pencemaran PTFI yang mengakibatkan rusaknya sebagian ekosistem
perairan. Freeport mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, juga melanggar
standar baku mutu air sepanjang tahun 2004 hingga 2006. Dan yang tidak kalah parah
adalah membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin
limbah bahan berbahaya beracun.
•Penumpukan tailing ini telah mencapai kedalaman 17 meter membuat air yang berada
didalam sungai meluap. Sehingga, daerah ADA (daerah sekitar pertambangan yang
mengalami pencemaran) mengalami kekurangan karbon organik dan gizi kunci lainnya
dengan kapasitas menahan air yang sangat buruk. Pencemaran yang parah di sungai ajwka
merusak hutan bakau seluas 21 sampai 63 km2, menghambat proses fotosintesis perairan.
Rantai makanan pada hutan bakau yang ada di sungai ajkwa mati karena pencemaran
logam dari tailing.
•Pembukaan lahan untuk area pabrik pertambangan dan lokasi pengambilan material
menyebabkan rusaknya vegetasi di daerah tersebut karena banyak tumbuhan yang akan
mati tergusur menyebabkan rendahnya pengikatan CO2 oleh tumbuhan sehingga
akumulasi CO2 di udara meningkat.
•Kedatangan PT. Freeport Indonesia di Mimika, Papua telah menimbulkan kesenjangan
sosial bagi kehidupan masyarakat Papua pada umumnya dan masyarakat suku Kamoro
pada khususnya. Hal yang lebih mencengangkan adalah jumlah pekerja tambang yang
berasal dari Suku Kamoro, yang merupakan pemilik tradisional dari tanah di dataran
rendah, yang harus menerima dampak terberat akibat operasional tambang tersebut bagi
sumber daya alam produktif mereka hanya dipekerjakan dalam jumlah yang sedikit.
• Kehadiran perusahaan berskala internasional yang telah mengeksploitasi kekayaan
alam Papua ini beresiko tinggi terhadap lingkungan hidup. Karena sifat
perusahaannya mengorbankan aspek lingkungan hidup demi keberlangsungan
kegiatan operasional perusahaan. Dimulai dari adanya tindakan penebangan pohon
untuk keperluan konstruksi, penggundulan hutan sampai pada pembuangan limbah
sisa hasil ekstraksi kedalam badan sungai. Hal ini secara tidak langsung telah
mengacam kelestarian lingkungan hidup sekitar.

• Dilihat dari kacamata hukum di Indonesia sendiri, sudah jelas bahwa aktivitas
tambang PTFI tidak sesuai dengan peraturan UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Minerba dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengenai substansi bumi, air
dan kekayaan alam “dikuasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”. Apa yang terjadi selama ini justru menimbulkan pertanyaan
dimana peran pemerintah dalam menangani kasus ini.
UPAYA PENANGANAN LIMBAH PTFI
• Tata Letak Lokasi
Dilihat dari lokasi penambangan utama PT. Freeport Indonesia Blok A Grassberg yang berada di ketinggian
4200 m di permukaan laut, lokasi penambangan ini tentu saja merupakan kawasan yang ditopang oleh
ekosistem di bawahnya dan akan merusak keseimbangan ekosistem yang berada di bawahnya. Jadi
seharusnya, apabila akan dilakukan penambangan di lokasi penambangan PT. Freeport Indonesia yang
sekarang maka harus dilakukan studi mengenai dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi yang
dilakukan secara komprehensif dan mendalam. Jelas, hal ini tidak dilakukan oleh PT. Freeport maupun oleh
Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini sebagai pemilik wilayah.
• Teknologi ; Menerapkan Teknologi Bersih
Tentu sangat sulit menerapkan teknologi bersih dalam kasus PT. Freeport. Karena untuk menghasilkan 1
gram emas di Grassberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton
limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas
setiap hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu
tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja. Sejak tahun 1995, jumlah batuan limbah
yang telah dibuang sebanyak 420 juta ton.
Di akhir masa tambang, jumlah total limbah batuan adalah 4 milyar ton. Di akhir masa tambang
ketinggian tumpukan limbah batuan adalah 500 meter. Diperkirakan, tambang Grasberg harus membuang
2,8 milyar ton batuan penutup hingga penambangan berakhir tahun 2041. Melakukan efisiensi konversi
bahan dalam kegiatan pertambangan merupakan hal yang hamper mustahil dilakukan karena pada
dasarnya, kegiatan pertambangan adalah kegiatan eksploitasi sumber daya alam besar-besaran. Dalam
kasus PT. Freeport, yang dapat dilakukan hanyalah meyimpan lapisan tanah atas (top soil) hasil
pengupasan yang dilakukan untuk mendapatkan mineral tambang di bawahnya untuk menutup kembali
dan penghijauan lokasi pertambangan yang sudah tidak produktif lagi nantinya.

• Sistem Pengolahan Limbah


Sistem pengelolaan limbah yang dilakukan PT. Freeport Indonesia saat ini adalah limbah batuan akan
disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai
lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan
dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum
mengalir ke laut Arafura. Tempat penyimpanan limbah batuan dilakukan di Danau Wanagon. Danau
Wanagon bukanlah danau seperti dalam bayangan umum. Wanagon lebih tepat disebut basin (kubangan
air besar) yang terbentuk dari air hujan. Sejak PT. Freeport Indonesia (FI) menambang mineral di
Grasberg tahun 1992, Wanagon dipilih sebagai lokasi pembuangan batuan penutup (overburden) yang
menutupi mineralnya (ore).
• Pengelolaan Media Lingkungan
Pengelolaan media lingkungan agar media lingkungan mempunyai daya dukung lebih tinggi tidak dilakukan
oleh PT. Freeport. Penggunaan Sungai Ajkwa sebagai ADA (Ajkwa Deposition Area) untuk mengalirkan
limbah tailing sebelum dialirkan ke Laut Arafura dan menumpuk limbah batuan (overburden) di Danau
Wanagon adalah contohnya. Tanpa melakukan modifikasi media lingkungan dan bahkan tanpa pengolahan
sedikitpun, PT. Freeport membuang begitu saja limbah-limbah tersebut. Sekarang, sangat sulit dan hampir
tidak mungkin untuk mengembalikan Sungai Ajkwa dan Danau Wanagon ke fungsi ekologis seperti sediakala.
Proses Sedimentasi yang terjadi di sepanjang DAS Ajkwa dan tumpukan limbah batuan yang berada di Danau
Wanagon sudah terlalu parah. Bahkan, di Danau Wanagon saat ini yang tersisa hanyalah batuan dan pasir.
Tidak tersisa sedikitpun pemandangan yang menunjukkan kalau tadinya Wanagon adalah suatu tempat yang
mempunyai fungsi ekologis sebagai danau.
• Perubahan Baku Mutu
Demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah di masa datang, sekali lagi Walhi meminta
pemerintah untuk melaksanakan pengambilan sampel secara berkala dan cermat, daripada mengandalkan
laporan dari perusahaan. Pemerintah juga harus menerbitkan semua informasi lingkungan pada masyarakat
sesuai Undang-undang Lingkungan Hidup (1997). Mengkaji ulang peraturan pajak dan royalti demi
meningkatkan keuntungan bagi komunitas yang terkena dampak, propinsi Papua, demi mengurangi beban
kerusakan lingkngan sejauh ini. Kajian ini kemudian harus digunakan sebagai dasar untuk pembahasan
mengenai masa depan tambang oleh penduduk lokal dan pihak berkepentingan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai