Anda di halaman 1dari 6

Kebijakan Pemerintah terhadap Divestasi PT.

Freeport

A. Ketimpangan Kontrak Karya Freeport dengan Pemerintah


PT. Freeport Indonesia merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Freeport-McMoRan Copper & Gold
Inc. Perusahaan ini menjadi pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan
perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui lokasi tambang Grasberg di Papua.
Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing
tambang Erstberg sejak 1967 dan tambang Grasberg sejak 1988, di kawasan Tembaga Pura,
Kabupaten Timika, Provinsi Papua. Sebuah majalah perdagangan Mining International,
menyebut tambang emas Freeport sebagai tambang emas yang terbesar di dunia. Freeport
berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Freeport sendiri
berpendapat bahwa keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada
Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 19922004. Angka ini hampir sama dengan 2
persen PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi
dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas
pemerintah sebesar 1 miliar dolar.
Dalam perencanaan dan kesepakatan awal, Freeport hanya menggunakan wilayah
tambang untuk memproduksi tembaga. Ini menjadi alasan mengapa pada awalnya lokasi
pertambangan Ertsberg dinamakan Tembagapura. Di samping tembaga, tambang Ertsberg
semakin jelas melakukan penambangan emas pula. Emas, yang semula dinilai hanya produk
sampingan atau by product, belakangan menjadi produk utama Freeport. Hal ini konon
disebabkan semakin tingginya konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam
deposit yang ditemukan oleh Freeport.
Klaim emas sebagai produk sampingan atau by product ini awalnya tidak ada yang
bisa memperkuat karena tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian
konsentrat. Pemurnian konsentrat hasil tambang sendiri dilakukan di luar negeri, baik di
Jepang maupun di Amerika. Di samping itu, Freeport pun belum menjadi perusahaan terbuka
yang harus menjalankan prinsip good corporate governance. Dengan demikian, ada
kemungkinan sejak awal Freeport telah menghasilkan emas bahkan perak, tetapi hal ini tidak
dideklarasikan, atau disengaja disembunyikan dari pemerintah.
Untuk legalitas kelangsungan pertambangannya di Indonesia, secara hukum diadakan
Kontrak Karya antara Pemerintah dengan Freeport. Pada tanggal 5 April 1967, Kontrak
Karya I dilaksanakan kedua belah pihak antara pemerintah Indonesia dan Freeport Sulphur

Company, melalui anak perusahannya PT Freeport Indonesia Incorporated. Peristiwa ini


menjadi penandatanganan Kontrak Karya Generasi I di Indonesia. Tak hanya itu, Kontrak
Karya ini juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun
1967 yang disahkan pada bulan Desember 1967, atau delapan bulan berselang setelah
penandatanganan Kontrak Karya.
Lahan ekplorasi yang diserahkan pemerintah kepada Freeport mencakup areal seluas
10.908 Ha untuk lama kontrak 30 tahun. Waktu ini terhitung sejak kegiatan komersial
pertama dilakukan. Pada bulan Desember 1972, pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang
Ertsberg dilakukan untuk kali pertamanya ke Jepang. Kontrak Karya I mengandung banyak
kelemahan mendasar dan sangat merugikan pihak Indonesia.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I
diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia
ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih
Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenai kepada Freeport ternyata
jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika
Latin. Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar karena
telah ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah
diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997.
Kontrak Karya II ini tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan
keuntungan bagi pihak Indonesia baik dalam hal finansial tambahan dan perbaikan
lingkungan akibat tambang. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham
dan dalam hal perpajakan. Setelah lama Freeport melakukan aktivtias penambangan, baru
pada tahun 1995, secara resmi Freeport mengakui menambang emas di Papua. Jumlah
volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan
oleh orang Papua sendiri. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak
mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di
wilayah pertambangan tersebut. Akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup
saat itu, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Ajkwa sehingga
mengakibatkan kerusakan lingkungan. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan
emas terbesar di dunia dan hanya menyisakan relief geologis yang cacat. Hal ini dibuktikan
dengan wilayah penambangan Freeport yang saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta Ha
atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Angka ini jauh melampuai luas area pada awal
beroperasinya Freeport yang hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 Ha.

Menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak


Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan
fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam
pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10, poin 4 dan poin 5, memang mengatur tentang
operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan
perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia. Namun, tidak secara tegas dan eksplisit
bahwa hal tersebut seluruhnya, 100%, harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat
ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri.
Sisanya, sebesar 71%, dikirim ke luar negeri, itupun di luar pengawasan langsung pemerintah
Indonesia.

B. Divestasi Freeport sebagai langkah Pemerintah Meraih Keadilan Posisi


Sumberdaya alam milik negara dan rakyat Indonesia telah dijual dan digadaikan oleh
Freeport kepada para investor di pasar modal, di negeri orang. Dari hasil penjualan itu,
Freeport memperoleh modal dan peningkatan value perusahaan yang sangat besar. Karena
tidak memiliki saham signifikan dan otomatis tidak ikut mengelola perusahaan, keuntungan
peningkatan modal dan value ini tidak turut dinikmati oleh bangsa Indonesia. Rakyat hanya
menjadi penonton atas kenikmatan yang diperoleh asing dan perilaku penjajahan ini.
Indonesia sewajarnya mendapat manfaat yang proposional dari tambang yang
dimiliki. Rakyat Indonesia harus menyadari pelajaran dan kebodohan dari kasus penjualan
saham ini. Ternyata pemerintah pada masa lalu, hingga saat, ini tidak mampu mengambil
manfaat optimal. Baik Kontrak Karya dengan Freeport maupun kesepakatan hukum berupa
Undang-Undang yang ditandatangani dengan Pemerintah, sebaiknya berisi ketentuanketentuan yang adil, transparan, dan memihak kepentingan negara dan rakyat.
Pada tahun 2009 lalu, Indonesia resmi memiliki peraturan baru di sektor
pertambangan. Pemerintah menerbitkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara untuk menggantikan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu, UU
No. 4 tahun 2009 cukup mengatur hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan hidup,
pengembangan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain, yang belum atau tidak
diatur dalam UU No. 11 tahun 1967.
Namun demikian, Freeport sangat kukuh dengan Kontrak Karya sebagai dasar hukum
dalam menjalankan pertambangan Grasberg dan tambang emas di Indonesia. Dalam Kontrak
Karya tersebut sudah disepakati soal pembayaran royalti ataupun tarif pajak kepada

Pemerintah Indonesia yang ditandatangani sejak 1991. Mengenai adanya persyaratan


divestasi perusahaan tambang asing di Indonesia, Freeport menegaskan tidak ada tercantum
dalam kesepakatan sebelumnya. Kini, nilai pembayaran pajak yang dikeluarkan Freeport
lebih besar daripada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Pemerintah Indonesia saat
ini ingin adanya renegosiasi Kontrka Karya dengan Freeport Indonesia. Renegosiasi kontrak
terkait dengan rencana pemerintah menerapkan Bea Keluar untuk ekspor mineral, termasuk
tembaga dan emas. Dalam hal ini, pihak Freeport kini memberikan respon isu yang diangkat
oleh Pemerintah Indonesia dan bekerja sama.
Pada awal masanya, Freeport memaparkan nilai kewajibannya membagikan
keuntungan kepada pemerintah yang hanya menguasai 9,36% saham. Namun, perusahaan
asal Amerika Serikat tersebut tidak pernah melaporkan keuntungan bersih yang mereka
peroleh selama 43 tahun, terhitung sejak 1967. Tidak adanya keterbukaan ini menyebabkan
banyak desakan langkah konkrit dari berbagai ahli dan kritikus ekonomi, karena ketika
pemerintah mampu menguasai saham Freeport, kontrol usaha bisa mudah dilakukan.
Transparansi bagi hasil usaha, produksi, pemasaran, dan laporan kebijakan keuangan
perusahaan secara keseluruhan bisa ikut mengontrol. Langkah ini merupakan langkah
divestasi yang bertujuan mendorong ekonomi domestik maupun memperkuat rasa
kebangsaan.
Freeport didesak oleh Pemerintah untuk mengikuti Peraturan Pemerintah PP No 24
Tahun 2012 yang mewajibkan perusahaan tambang mineral dan batubara milik asing
mendivestasikan sahamnya kepada peserta Indonesia sebesar 51%. Sesuai Pasal PP No 24
Tahun 2012, perusahaan asing pemegang izin pertambangan setelah lima tahun produksi
wajib mendivestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya
paling sedikit 51% dimiliki peserta Indonesia. Peserta Indonesia yang dimaksud terdiri dari
pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD,
atau badan usaha swasta nasional.
Periode divestasinya adalah 20% pada tahun keenam produksi, 30% tahun ketujuh,
37% tahun kedelapan, 44% tahun kesembilan, dan 51% tahun kesepuluh dari jumlah seluruh
saham. Jika pemerintah pusat tidak bersedia membeli saham divestasi tersebut, maka
ditawarkan kepada pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota. Lalu,
apabila pemerintah daerah tidak bersedia membeli saham, maka ditawarkan kepada BUMN
dan BUMD dengan cara lelang. Terakhir, jika BUMN dan BUMD tidak bersedia juga, maka
ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional dengan cara lelang. Tambang asing yang

melanggar ketentuan divestasi akan dikenakan sanksi administratif mulai dari peringatan
tertulis, penghentian sementara, hingga pencabutan izin.
Divestasi ini dapat berjalan bila pemerintah mempunyai strategi portofolio BUMN
yang telah siap. Freeport Indonesia saat ini belum dapat dimasukkan dalam aturan ini. Akan
tetapi, jika proses renegosiasi dimasukkan aturan divestasi, Freeport wajib mendivestasi
sahamnya kepada mitra Indonesia. Sebaiknya, aturan divestasi masuk renegosiasi dengan
Freeport, karena peraturan pemerintah ini semangatnya dimaknai sebagai kebangkitan
industri pertambangan nasional di mana dapat memberikan gambaran dan mendorong
pelaksanaan kegiatan pertambangan yang baik dan benar serta penerapan penegakan hukum
sehingga dapat mengurangi dampak negatif pertambangan dan meningkatkan dampak positif
melalui penyerapan tenaga kerja, penyediaan bahan baku pembangunan infrastruktur,
pendapatan asli daerah, serta penggerak kegiatan perekonomian di sekitar lokasi
pertambangan.

Daftar Referensi

finance.detik.com/read/2012/12/28/124736/2128725/4/freeport-bersedia-ciutkan-wilayahkerja-pertambangan-di-papua
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/20/11462219/Freeport.Menolak.Divestasi
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/04/23/freeport-tolak-divestasi-sby-mati-rasa457571.html
http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=18&newsnr=3174
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/03/08/m0kahs-pemerintah-akanwajibkan-freeport-divestasi-51-persen-saham
http://www.tempo.co/read/news/2011/11/17/090367063/Pemerintah-Didesak-DorongDivestasi-Freeport

Anda mungkin juga menyukai