Anda di halaman 1dari 8

Perpanjangan Kontrak Freeport di Indonesia

PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari


Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PT Freeport Indonesia menambang,
memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung
tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di
kabupaten Mimika, provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia
memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke
seluruh penjuru dunia.
PT Freeport memiliki kontrak pertama kali di Indonesia pada tahun
1967 pada masa pemerintahan Soeharto. Karena pada masa itu,
pemerintah mengeluarkan Undang-undang Modal Asing guna melakukan
langkah nyata demi meningkatkan pembangunan ekonomi. Kontrak
pertama kali berlaku sejak mulai beroperasi pada tahun 1973 selama 30
tahun. Lalu kontrak kedua pada tahun 1991 berlaku selama 30 tahun
dengan kemungkinan perpanjangan 2x10 tahun.
Adanya kontrak PT Freeport Indonesia ini memberikan berbagai
dampak negatif namun juga ada dampak positifnya. Mulai dari berbagai
kerusakan lingkungan di papua akibat lahan freeport sekitar kurang lebih
212.950 hektar tanah. Kerusakan lingkungan tersebut meliputi kerusakan
permanen pada hutan akibat pembangunan segala keperluan PT Freeport
Indonesia itu. Kerusakan hutan akibat pembangunan tersebut memberi
dampak negatif lain seperti kerusakkan berbagai jenis flora dan fauna
pada wilayah tersebut. Selain itu, limbah yang dihasilkan oleh perusahaan
juga mencemari sungai di sekitarnya. Pencemaran sungai ini jelas
menyebabkan matinya hewan dan tumbuhan serta meracuni penduduk
yang bergantung pada sungai.
Selain kerugian akan rusaknya lingkungan, Indonesia juga dirugikan
secara pendapatan. Indonesia hanya mendapat tidak lebih dari 10%
keuntungan dari PT Freeport Indonesia. Sisanya jelas milik Amerika.
Padahal modal utama PT Freeport Indonesia bersumber dari sumber daya
alam Indonesia namun pendapatan yang diterima oleh Indonesia tak
sebanding dengan banyaknya SDA yang hilang dan segala kerusakan
yang ditimbulkan.
PT Freeport Indonesia memang membuka lapangan pekerjaan bagi
masyarakat setempat. Namun, masyarakat setempat hanya dijadikan
buruh dengan upah yang tidak sesuai dengan pendapatan PT Freeport
Indonesia per tahun.
Dengan berbagai kerugian tersebut, baru-baru ini, pemerintah
menyetujui kontrak perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia.

Pemerintah mengatakan perpanjangan MoU ini akan dilakukan selama 6


bulan kedepan dengan syarat PT Freeport Indonesia harus memberikan
kontribusi lebih kepada masyarakat Papua dan Indonesia dengan syarat
yang katanya akan menguntungkan Indonesia yakni pembekuan izin
ekspor bahan mentah oleh pihak PT Freeport Indonesia dan membangun
pabrik pengolahan dan pemurnian barang tambang atau disebut smelter
agar perusahaan tersebut dapat mengolah bahan mentah di Indonesia
dan kita dapat mengontrol proses pengolahan tersebut.
Namun pada kasus ini, PT Freeport Indonesia dinilai lamban
menentukan dan membangun smelter barunya. Padahal pemerintah
sudah memberikan keringanan sehingga Freeport bisa ekspor lagi.
Seharusnya Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan
sanksi yang tegas kepada Freeport yang melanggar peraturan.
Ia menambahkan, MoU antara Freeport dan pemerintah pada Juli
2014 berisi kesanggupan Freeport membangun smelter. Namun, meski
ekspor berjalan, progres Freeport dalam pembangunan smelter belum
terlihat hingga jelang batas akhir berlakunya MoU tersebut. Di sini,
pemerintah harus bersikap tegas dalam mengambil tindakan berupa
sanksi kepada pihak Freeport.
Pemerintah Resmi Perpanjang Izin Operasi Freeport
JAKARTA - Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menandatangani nota kesepahaman
(MoU) perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia.
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan bahwa perpanjangan MoU ini
akan dilakukan selama enam bulan.
"Syaratnya adalah perusahaan tambang raksasa itu harus memberikan
kontribusi lebih kepada masyarakat Papua dan Indonesia," ujarnya di
Kantor Kementerian ESDM didampingi Chairman Freeport-McMoran James
R Moffet dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin
di Jakarta, Minggu (25/1/2015).
Sudirman menjelaskan, pemerintah pada 23 Januari 2015 memberikan
keputusan untuk melakukan perpanjangan MoU selama enam bulan ke
depan dengan Freeport Indonesia.
"Tapi kontrak belum diputuskan, itu perpanjang operasi saja," ungkap
Sudirman.

Sudirman melanjutkan, perpanjangan kontrak karya dilakukan supaya


pemerintah dan Freeport Indonesia mempunyai waktu lebih panjang guna
menyepakati beberapa hal yang berkaitan dengan peran serta anak usaha
Freeport-McMoran asal Amerika Serikat (AS) kepada negara ini.
"Kita punya poin-poin seperti divestasi, penyesuaian wilayah, lokal konten
dan lainnya sudah disepakati, termasuk dengan pemerintah daerah. Nah
yang masih menggantung itu soal kontribusi Freeport ke Indonesia. Tapi
smelter kita tidak punya ruang lagi untuk negosiasi, jadi harus dibangun
dan pada prinsipnya mereka sudah setuju," tandas dia.
Sumber (ekbis.sindonews.com)
Pemerintah Perpanjang Pembahasan MoU dengan Freeport
JAKARTA, KOMPAS.com Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Freeport Indonesia sepakat untuk
memperpanjang pembahasan amandemen kontrak hingga enam bulan ke
depan.
Jadi kita membuat rancangan kelanjutan Memorandum of Understanding
(MoU) yang akan expired (tanggal) 24 Januari 2015, kata Direktur
Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian ESDM, R Suhyar,
Jakarta, Jumat (23/1/2015).
Sukhyar menuturkan, pemerintah bersama Freeport akan menyusun poinpoin kesepakatan baru di luar yang lama. Ada fokus-fokus tambahan
dalam MoU yang baru ini, salah satunya adalah memperbesar benefit
Freeport bagi Papua.
Pertanyaannya kan kenapa diperpanjang? Satu, yang jelas (MoU)
pertama belum selesai. Kedua, kita ingin Freeport membangun Papua,
kata Sukhyar.
Lebih lanjut dia bilang, Freeport bisa membangun industri di Papua, paling
gampang adalah membangun indsutri hilir berbasis tembaga. Menurut
Sukhyar, opsi ini lebih mudah ketimbang Freeport membangun smelter di
Papua.
Pertama, sudah ada pasokan tembaga yang bisa dipasok ke Papua. Kedua,
industri hilir tembaga dinilai lebih menjanjikan. Apa misalnya? Pipa,
tembaga aloy, kawat, dan plat-plat baja. Itu lebih promising. Tapi bukan
berarti (di Papua) tidak ada potensi membangun smelter copper, imbuh
dia.
Namun, saat dikonfirmasi soal keinginan pemerintah agar Freeport
membangun smelter di Papua, Sukhyar tidak menjawab dengan tegas.

Yang jelas, kalau ingin memperlihatkan wujud pemurnian, kalau mau


cepat itu di Jawa. Di Papua butuh waktu lama, tapi bukan berarti tidak
bisa. Tapi yang cepat (dibangun di Papua) adalah industri hilir berbasis
tembaga. Itu lebih promising, kata Sukhyar.
Sumber (bisniskeuangan.kompas.com)

Enam Bulan yang Menguntungkan Bagi Freeport


VIVA.co.id - Pemerintah memberikan perpanjangan nota kesepahaman
terkait izin operasional PT Freeport Indonesia selama enam bulan.
Peresmian perpanjangan kerja sama itu dilakukan akhir pekan kemarin di
Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Minggu 25
Januari 2015.
Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) yang telah
diperpanjang masa berlakunya itu turut dihadiri oleh Chairman FreeportMcMoran James R Moffet.
Dengan demikian, pemerintah dan Freeport Indonesia bisa mendapat
tambahan waktu untuk pembahasan amandemen kontrak karya. Sebab,
ada beberapa hal yang belum menemukan kesepakatan terkait kontribusi
anak usaha Freeport-McMoran asal Amerika Serikat itu kepada negara
Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI Sudirman Said menyatakan
bahwa perpanjangan MoU diperlukan karena masa berlakunya sudah
habis pada Sabtu kemarin.
"Kalau tidak diperpanjang MoU yang berakhir tanggal 24 Januari 2015,
kami tidak punya landasan untuk renegosiasi (kontrak karya)," ujar
Sudirman saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Gedung Parlemen,
Jakarta, Senin 26 Januari 2015.

Sebelumnya, Sudirman menjelaskan bahwa pemerintah ingin Freeport


lebih banyak berperan terhadap pembangunan, Ada sejumlah poin
penting yang ditekankan pemerintah agar dipenuhi oleh Freeport.
Salah satunya adalah terkait peningkatan royalti dan setoran dividen
sebagai penerimaan negara. Selain itu, ada juga poin mengenai ketentuan
divestasi serta penggunaan barang dan jasa dalam negeri alias konten
lokal.
Diharapkan dalam jangka enam bulan ke depan, proses renegosiasi
amandemen kontrak karya bisa rampung. "Dalam waktu itu harus
diyakinkan ada keputusan Freeport yang mengakomodasi semua aspirasi
pemerintah," kata Sudirman.
Sekilas Sejarah
Kehadiran nota kesepahaman ini tidak terlepas dari pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batu Bara sudah resmi berlaku 12 Januari 2014. Dalam undang-undang
tersebut diatur kewajiban perusahaan tambang untuk membangun pabrik
pengolahan dan pemurnian barang tambang (smelter).
Dengan berlakunya UU Minerba itu, perusahaan tambang dilarang untuk
mengekspor barang tambang mentah. Ada enam barang tambang yang
dilarang untuk diekspor dalam bentuk mentah, yaitu emas, tembaga, bijih
besi, nikel, batu bara, dan bauksit.
Ketentuan dalam UU itu berlaku bagi semua perusahaan tambang yang
beroperasi di Tanah Air, tidak terkecuali penambang raksasa seperti
Freeport. Penerapan regulasi ini bertujuan meningkatkan nilai tambah
pada barang tambang, sehingga diharapkan dapat lebih memajukan
industri tambang di Indonesia.
Pemerintah akan memberi sanksi bagi perusahaan tambang yang
menolak membangun smelter, diantaranya menghentikan kontrak karya
bagi perusahaan tambang di Indonesia yang tidak memenuhi kewajiban
membangun smelter hingga akhir 2014.
Pada Juli 2014 itu, pemerintah Indonesia dan Freeport meneken MoU di
mana pihak perusahaan tambang raksasa itu sepakat untuk membayar
bea keluar ekspor sesuai peraturan yang terbit pada periode tersebut,
membayar jaminan kesungguhan pembangunan smelter sebesar US$115
juta dan meningkatkan royalti.
Terancam Izin Ekspor Dibekukan

Batas waktu yang diberikan kepada Freeport untuk memenuhi komitmen


pembangunan smelter adalah hingga 25 Januari 2015. Sudirman mengaku
kecewa pada Freeport, karena sampai 20 Januari 2015 ternyata lokasi dan
tanah yang akan digunakan untuk pembangunan smelter pun belum jelas.
Ia pun memperingatkan, Jika batas waktu dilewati, maka izin ekspor
mineral Freeport akan dibekukan.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, Kamis 22
Januari 2015, menyatakan komitmen perusahaan untuk tunduk patuh
pada segala peraturan di Indonesia.
Ia mengakui Freeport masih belum bisa mengimbangi ritme pemerintah
yang amat cepat dalam upaya hilirisasi industri pertambangan. "Saya akui
perusahaan ini berada di jalur lambat dalam upaya menunjukkan
komitmennya kepada regulator," ujar Maroef di Jakarta.
Maroef berharap dengan komitmen ini, pemerintah tidak terburu-buru
membekukan izin operasional dan ekspor Freeport. Sebab, keberadaan
Freeport dinilai penting sebagai penggerak laju perekonomian di wilayah
Papua. Catatan Maroef menunjukkan Freeport mengupah hingga 13 ribu
karyawan lokal yang bekerja langsung di area pertambangannya.
"Kalau Freeport ini berhenti, jika terjadi pengangguran sebanyak itu,
bagaimana dampak sosialnya?" kata Maroef.
Untuk itu, Maroef menegaskan, Freeport akan melaksanakan
komitmennya dalam mematuhi segala sesuatu yang mengatur kegiatan
usaha maupun operasional pertambangannya. Termasuk pembangunan
smelter. "Perusahaan ini tidak boleh memberikan tambahan beban untuk
pemerintah, bangsa, dan negara. Lapangan kerja harus terbuka dan
keberadaannya harus dipertahankan," kata Maroef.
Pembangunan smelter, menurut Maroef, disadari bukan proyek yang bisa
dikerjakan dalam waktu singkat. Sebab, dalam prosesnya membutuhkan
serangkaian kajian dan studi kelayakan, termasuk pertimbangan teknologi
yang harus digunakan di dalamnya.
Meski berkomitmen prioritas industrinya akan dikembangkan di Papua,
termasuk smelter dan kegiatan hilir lainnya, namun Freeport juga memiliki
"sasaran antara" agar kegiatan operasionalnya bisa terus berjalan. Untuk
itu, Freeport menegaskan kesiapannya membangun smelter yang
berlokasi di Gresik, Jawa Timur.
Pertimbangan memilih lokasi smelter di Jawa Timur adalah ketersediaan
infrastruktur yang memadai dan mendukung. "Kebetulan di lokasi yang

kami tentukan itu berdempetan dengan BUMN, yaitu Petrokimia," kata


Maroef.
Pemanfaatan limbah asam sulfat dari smelter Freeport akan bisa
dimanfaatkan oleh PT Petrokimia Gresik untuk pembuatan pupuk. "Ini
dapat mengurangi cost BUMN, daripada harus mencari ke mana-mana,
atau impor misalnya, makanya kami bekerja sama," kata Maroef.
Pemerintah Terlalu Lembek
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Monitoring (Inmining) Rusdiansyah,
Senin 26 Januari 2015, menyatakan Freeport sangat lambat menentukan
lokasi pembangunan smelter barunya. Padahal pemerintah sudah
memberikan keringanan sehingga Freeport bisa ekspor lagi.
"Seharusnya Menteri ESDM Sudirman Said memberikan sanksi yang tegas
kepada Freeport yang melanggar peraturan atau wanprestasi. Aturan
mempunyai kewibawaan jika diterapkan," kata Rusdiansyah dalam
keterangan tertulis.
Ia menambahkan, MoU antara Freeport dan pemerintah pada Juli 2014
berisi kesanggupan Freeport membangun smelter. Namun, meski ekspor
berjalan, progres Freeport dalam pembangunan smelter belum terlihat
hingga jelang batas akhir berlakunya MoU tersebut. "Berarti seharusnya
Freeport dilarang ekspor konsentrat," kata Rusdiansyah.
Ia pun menilai dengan diterbitkannya izin ekspor konsentrat dari
Kementerian ESDM itu justru menimbulkan kecurigaan adanya
kongkalikong antara Kementerian ESDM dengan Freeport.
Rusdiansyah, mendesak Izin ekspor konsentrat yang dikeluarkan oleh
Kementrian ESDM tahun lalu bagi Freeport harus ditinjau ulang. Hal itu
karena hingga kini Freeport belum juga membangun fasilitas smelter.
"Tanpa membangun smelter, hal ini akan sangat merugikan bagi bangsa
dan merupakan bentuk tidak menghormati dan tidak menghargai hukum
yang berlaku di Indonesia," kata Rusdiansyah.
Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi VII, Eni Maulani Saragih,
Senin 26 Januari 2015, menyatakan parlemen berencana memanggil
paksa Freeport menghadiri rapat dengar pendapat. Sebab, sudah tiga kali
Freeprot mangkir dari panggilan komisi yang membidangi pengawasan
energi dan mineral ini.
"Undang-undang memberikan kewenangan kepada kami untuk melibatkan
Polri supaya pihak yang kami undang datang," ujar Eni di Gedung
Parlemen, Jakarta.

Pemanggilan terhadap Freeport ini terkait pembahasan kendala


pembangunan pabrik smelter. Ia menilai Freeport tidak merealisasikan
pembangunan smelter di Gresik hingga akhir 2014 dan terkesan selalu
mengulur-ulur waktu. Padahal Freeport sudah berjanji membangun
fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang itu sejak pertengahan
tahun lalu.
Sumber (news.viva.co.id)

Anda mungkin juga menyukai