Anda di halaman 1dari 2

Poin 1

A. Sejarah PT. Freeport Indonesia

Sejarah berdirinya perusahaan tambang yang diberi nama PT. Freeport Indonesia dimulai
pada tahun 1923 berawal dari ekspedisi yang dilakukan oleh seorang geolog yang bernama
Jans Cartenz yang pada saat itu menemukan gunung bijih yang kemudian dilanjutkan oleh
beberapa geolog lainnya yang ingin mencari tahu kandungan mineral dalam gunung bijih
tersebut hingga akhirnya Forbes Wilson yang kala itu bekerja di Freeport Mc Moran yang
berpusat di New Orleans juga melakukan ekspedisi lanjutan dan kemudian
mengembangkan penemuan-penemuan yang dibacanya dari geolog yang melakukan
ekspedisi terdahulu. Ekspedisi yang dilakukan oleh Wilson menjadi ekspedisi terakhir para
geolog yang ingin mengembangkan temuan dari Jans Cartenz karena ekspedisi tersebut
berhasil dan telah resmi menjadi bagian dari Freeport Mc Moran dan menjadikan Wilson
sebagai presiden
direktur ditandai dengan penandatanganan kontrak karya selama 30 tahun antara dirinya
sebagai wakil dari Freeport Mc Moran dengan menteri pertambangan kala itu yakni Slamet
Bratanata yang dilakukan pada 5 April 1967 serta peresmian kota Tembagapura oleh (alm)
Soeharto yang menjabat sebagai presiden Indonesia kala itu. Penandatanganan kontrak
yang dilakukan antara Forbes dan Menteri Slamet dan peresmian kota Tembagapura
menjadi awal dirintisnya anak perusahaan Freeport Mc Moran yang diberi nama PT.
Freeport Indonesia karena kontrak karya tersebut diperpanjang hingga saat ini. Kini PT.
Freeport Indonesia telah menjadi perusahaan tambang raksasa yang mengelola beberapa
jenis hasil tambang seperti emas, tembaga dan perak yang beroperasi di Kuala Kencana
dan Grasberg, Timika-Papua dan berkantor pusat di Jakarta. Saat ini PT. Freeport dipimpin
oleh seorang Presiden Direktur yakni Rozik Soetjipto dengan sekitar 20.000 orang karyawan
(PT. Freeport Indonesia, 2010:68 dalam Ni Kadek Maretha, 2014: 30-34).

Poin ke 2

Merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan. PTFI menambang, memproses dan


melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak.
Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia.

Poin ke 3

PT. Freeport telah mencemari lingkungan akibat limbah sisa pertambangan, air sungai,
pengendapan sedimen, kandungan limbah logam dan berbahaya, serta penggunaan hutan
lindung berdasarkan data yang dirilis oleh LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) serta
Program Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Poin ke 4

Terkait masalah limbah PT. Freeport yang sejak tahun 1974 sampai dengan tahun 2018
diketahui mengalirkan tailing melalui Sungai Aghawagon dan Sungai Ajkwa serta
menempatkannya di Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) seluas 230 km persegi
sudah sesuai aturan yang diterbitkan saat itu.
Kegiatan mengalirkan tailing oleh PTFI melalui Sungai Aghawagon dan Sungai Ajkwa sudah
sesuai dengan Ijin dari Pemerintah Propinsi Papua melalui surat keputusan Gubernur
Provnsi Irian Jaya Nomor 540 tahun 2002 tentang Ijin Pemanfaatan Sungai Aghawagon,
Sungai Otomona, Sungai Ajkwa dan Sungai Minajerwi untuk Penyaluran Limbah
Pertambangan, serta Surat Keputusan Bupati Mimika Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peruntukan dan Pemanfaatan Sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa di
Kabupaten Mimika.

Kemudian dibangunnya tempat penimbunan tailing yang disebut ModADA seluas 230 km
persegi dan dibangun tanggul disisi timur sepanjang 54 Km dan disisi barat sepanjang 52
Km dengan jarak antara 4 sampai 7 km untuk menghindari melubernya tailing, sudah sesuai
dengan dokumen Amdal 300 K yang dikeluarkan oleh Kementerian LH pada tahun 1997.
Dengan demikian penggunaan sungai serta areal ModADA seluas 230 km persegi telah
diperhitungkan sejak awal sebagai tempat penampungan tailing, dan seharusnya sudah
tidak dihitung lagi sebagai bentuk kerusakan lingkungan.

"Tahun 1997 sudah diperhitungkan dalam AMDAL dampak lingkungan pertambangan PT.FI.
Tailing yang dihasilkan PT.FI sebesar 167 juta metrik ton perhari, maka dibuatlah ModADA
untuk penampungan. Kenapa tidak dibuang ke laut saja seperti dilakukan PT Newmont?
Karena itu harus laut dalam sekitar 1.000 meter agar tailing dapat mengendap di dasar laut,
laut Arafuru hanya 100 meter, maka untuk mengatasinya dibuatlah lokasi penampungan
ModADA seluas 230 km persegi," ujar Ilyas.

Selanjutnya untuk penyelesaian masalah limbah tailing kedepan, telah dibuatkan roadmap
pengelolaan limbah tailing jangka panjang dengan pembagian menjadi dua tahap yaitu
periode 2018-2024 dan 2025-2030. Roadmap ini disusun PT.FI dan disupervisi oleh KLHK,
yang dibuat dengan konseptual based, yang dilengkapi dengan kajian-kajian rinci dari
permasalahan diwilayah hulu sungai hingga hilirnya, pengendalian dampaknya,
perlindungan hutan mangrove, serta kajian-kajian pemanfaatan limbah tailing yang sangat
besar tersebut.

"Yang kita dorong bagaimana memanfaatkan tailing ini ada 160 juta metrik ton per hari.
Disana ternyata hasil pengamatan di lapangan, bisa digunakan untuk road base jalan,
jembatan, bahkan kantor bupati disana itu dibangun dengan tailing, maka kita akan buat
kajian untuk pemanfaatan tailing ini," ungkap Ilyas.

Poin ke 5 bisa dipikirin dari poin ke 4

Anda mungkin juga menyukai