Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Kelam Tambang Freeport

Marwan Batubara

Latar Belakang

Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak
tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan
ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi
perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua,
dan masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.

Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan
tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan
keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika,
Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar.
Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa
depan penduduk Papua.

Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan


Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas
pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor
11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah
penandatanganan KK.

Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai
ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988,
Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini.
Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah
mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4
kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta
ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan
tambang pada 2041.

Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai
masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/BUMN
untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat
signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan
lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.

Permasalahan

Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk
50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun, sebagai hasil eksploitasi potensi tambang
tersebut, hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan
dengan miliaran US$ keuntungan yang diperoleh Freeport. Kehadiran Freeport pun tidak
mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan, namun berkontribusi
sangat besar pada perkembangan perusahaan asing tersebut.

Pada tahun 1995 Freeport baru secara’resmi mengakui menambang emas di Papua.
Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya sebagai penambang
tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah
diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan beberapa
anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi
emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan sebesar 2,16 hingga
2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang
diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah
dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan
Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa
produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang penghasilannya hanya sekitar
$132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek
naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi
Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup
mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi,
aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan
pelanggaran HAM.

Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan
jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan
persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa
lalu dan kini. Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat bahkan meninggal
dunia tanpa kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti
serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan.

Pemiskinan di Papua

Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi
perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari
tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga
terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia
(sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material
dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70
ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya (sepanjang 700
km).

Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya
mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport
tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun mengalami
kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil jika
dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.

Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan
di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka
kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana
Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS
mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60%
penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua,
yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.

Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli Papua
yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah
Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto,
merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor
pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari
pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk
perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan
menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3 dari 30
propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang
diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah
kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut
berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.

Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter, suhu
terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m,
curah hujan tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah
hujan tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius. Dengan kondisi
alam seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat
kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor di
bagian selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan Freeport.
Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap lingkungan.
Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg adalah daerah rawan bencana
akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan. Jebolnya dam penampungan tailing di
Danau Wanagon pada tahun 2000, menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-kontraktor
Freeport. Terjadi longsor di lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober 2003.

Kronologi Sosial-Ekonomi

Kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua selama ini, tak hanya mencetak keuntungan
finansial bagi perusahaan tersebut tetapi juga memantik munculnya masalah sosial. Belum ada
solusi yang dianggap efektif dalam penyelesaian masalah yang muncul itu dan sewaktu-waktu
berpotensi untuk meletup. Berikut disampaikan kronologi aspek sosial-ekonomi operasi
Freeport:
16 Februari 1623.

Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung tertinggi di Irian, lalu
mencatat dalam log book-nya. Inilah catatan pertama orang asing tentang Puncak Carstenz dan
kelak menjadi daerah operasi PT Freeport Indonesia.

23 November 1936.

Ekspedisi Colijn dan Jean Jacquez Dozy dari Belanda, berhasil mencapai Carstenz. Mereka
kemudian mengumpulkan contoh batuan.

Tahun 1936.
Geolog Dr. C. Shouten menyimpulkan bahwa kawasan Carstenz mengandung tembaga dan
emas. Sejak itu nama Ertsberg (gunung bijih) dipakai untuk menyebut kawasan tertinggi di New
Guinea itu. Ekspedisi napak tilas dilakukan pada Juni 1960, dipimpin Forbes Wilson dan Del
Flint–berdasar laporan Colijn–seiring dengan pemetaan geologi.

Maret 1966.

Soeharto dan pemerintah Orde Baru mulai menggenjot masuknya modal asing dengan berbagai
deregulasi baru. Prof. M. Sadli, Menteri Pertambangan, mengumumkan pemberian konsesi
kepada Freeport Mc Moran di Irian, dengan alasan merekalah satu-satunya yang lebih dulu
meminta konsesi di kawasan itu.

Juni 1966.

Tim Freeport datang ke Jakarta untuk memprakarsai suatu pembicaraan untuk mewujudkan
kontrak pertambangan di Ertsberg. Orang yang dipilih sebagai negosiator dan kelak menjadi
presiden Freeport Indonesia (FI) adalah Ali Budiardjo, yakni mantan sekjen Hankam dan
direktur Bappenas tahun 1950-an.

5 April 1967.

Kontrak kerja (KK) I ditandatangani dan membuat Freeport menjadi perusahaan satu-satunya
yang ditunjuk untuk menangani kawasan Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. KK I ini lamanya
30 tahun. Kontrak dinyatakan mulai berlaku saat perusahaan mulai beroperasi. Bulan
Desember, eksplorasi Ertsberg dimulai.

Desember 1969.

Studi kelayakan proyek selesai dan disetujui. Mei 1970, konstruksi keseluruhan proyek mulai
dikerjakan. Teknologi rekayasa FCX di remote area tertinggi di Asia Tenggara ini mengundang
decak kagum tersendiri karena tingkat kesulitannya sangat tinggi.

Desember 1972.

Pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk pertama kalinya ke
Jepang.

Maret 1973.

Presiden Soeharto meninjau daerah operasi Freeport dan memberikan nama Tembagapura
untuk kota baru Freeport.

Tahun 1974.
Sepanjang 1972 sampai 1973 terjadi beberapa perkelahian yang mengakibatkan terbunuhnya
karyawan Freeport, hingga memaksa mereka membuat ”January Agreement” dengan warga
desa Wa-Amungme untuk membangun sekolah dan fasilitas umum lainnya.

Juli 1976

Pemerintah Indonesia mendapat bagian saham sebesar 8,5% dari saham Freeport. Angka ini
hingga 1998 bertahan di level 10 persen dan royalti satu persen.

April 1981.

Ertsberg Timur mulai ditambang dan produksi FI mencapai 16.000 ton per hari sebelum
cadangan Grasberg ditemukan.

28 Januari 1988.

Dugaan deposit emas di kawasan Grasberg menunjukkan hasil positif. Freeport Mc Moran
Copper and Gold (FCX) akhirnya go public di lantai bursa New York. Menurut Yuli Ismartono–
pejabat public relations FI–setiap hari dalam tahun 1988 kira-kira dua juta lembar saham FCX
terjual.

Dengan tambahan cadangan emas di Grasberg dan cadangan lainnya, jumlah depositnya
diperkirakan mencapai jumlah 200 juta ton. Dalam laporan studi evaluasi lingkungan (SEL) 160 K
yang disetujui pada 1994, total deposit yang ada meningkat hingga dua miliar ton.

30 Desember 1991.

KK I berakhir dan Freeport memperoleh kembali KK II selama 30 tahun. Bagi banyak orang, KK II
ini berlangsung tidak transparan, bahkan tertutup. Anehnya, pemerintah yang ditawari untuk
memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat, padahal perusahaan ini jelas-jelas
menguntungkan.

Mulai saat itu, masuklah pengusaha nasional Aburizal Bakrie (Bakrie Grup). ”Kami sudah
menawarkan, tapi hanya Bakrie yang datang,” kata James Moffet, Preskom Freeport berbasa-
basi. Preskom. Belakangan masuk Bob Hasan (Nusamba), yang dikenal sebagai kroni Soeharto,
dan Menaker kabinet Soeharto, Abdul Latief (A Latief Corp.)

22 Agustus – 15 September 1995

Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Timika dan
sekitarnya. Kesimpulan anggota tim investigasi Komnas HAM, mengungkapkan bahwa selama
1993-1995 telah terjadi 6 jenis pelanggaran HAM, yang mengakibatkan 16 penduduk terbunuh
dan empat orang masih dinyatakan hilang. Pelanggaran ini dilakukan baik oleh aparat
keamanan FI maupun pihak tentara Indonesia.
17 Januari 1996

Dalam selembar surat jawaban kepada editor American Statement, Ralph Haurwitz, Atase
Penerangan Kedubes Amerika Serikat di Jakarta Craig J. Stromme menyatakan bahwa tidak
ditemukan bukti yang dapat dipercaya atas tuduhan pelanggaran HAM oleh Freeport di Irian
Jaya.
29 April 1966

Gugatan Tom Beanal, Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa) terdaftar di pengadilan
Louisiana, markas besar FCX, dengan kasus no.96-1474. Belakangan, gugatan ini ditolak dan
pengadilan menyatakan Freeport tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.

29 Juni 1996

Lemasa menolak dana sebesar 1 persen keuntungan Freeport (US$ 15 juta) yang rencananya
diberikan kepada suku di daerah operasi Freeport. Penolakan juga datang dari gereja setempat.
30 September 1997

Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, melalui Bapedal, selesai memeriksa dan
menyetujui laporan Amdal Regional untuk perluasan kegiatan penambangan dan peningkatan
kapasitas produksi Freeport hingga 300.000 ton per hari.

Tetapi Walhi yang ikut dalam komisi itu menyatakan tidak setuju : “Atmosfer pertemuan itu
kental dengan bau politis, sementara banyak anggota komisi sebenarnya tidak setuju dengan
perluasan itu, tapi tak kuasa menolak,” kata Emmy Hafid, Direktur Walhi.

11 Maret 1998

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam pemandangan umumnya pada Sidang Umum MPR
1998, secara terbuka menyebut pembagian keuntungan antara Freeport dan pemerintah
Indonesia adalah salah satu kontrak yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia.

5 November 1998

Direktur PT Freeport Indonesia, Jim “bob” Moffett datang ke Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk
menjelaskan dugaan KKN di Freeport, termasuk perpanjangan KK II yang tertutup dan diduga
sarat KKN. “Tidak ada KKN di Freeport, dan tidak adil kalau Anda menyuruh saya juga mengurusi
masalah pembagian keuntungan. Saya bukan orang pemerintahan,“ kata Jim Moffet dalam
jumpa persnya seusai menghadap Kejagung.

Tahun 2002
Keterlibatan salah seorang prajurit TNI dalam kasus penyerangan bus karyawan Freeport di
Timika

September 2008

Freeport menciutkan target produksi tembaga dan emas tahun 2008 ini lantaran ada gangguan
teknis di lokasi penambangan Grasberg, Papua. Awalnya, Freeport mematok produksi tembaga
1,2 miliar pounds dan emas 1,3 juta ounce. Karena gangguan ini, produksi dibuat lebih mini,
tembaga 1,1 miliar pounds dan emas 1,1 juta ounc.

11 Desember 2008

Freeport memecat 75 karyawan, Freeport melakukan efisiensi dari sisi jumlah karyawan untuk
mengurangi sedikit biaya operasional perusahaan, sebagai imbas dari resesi ekonomi dunia.
27 Juli 2009

Dua Karyawan Freeport menjadi tersangka kasus penembakan. Polisi menetapkan tujuh
tersangka terkait kasus penembakan di Freeport, Timika, Provinsi Papua. Dua dari tujuh
tersangka tersebut merupakan karyawan Freeport.

Pelanggaran HAM

Setelah tujuh tahun beroperasi, timbul konflik sosial dan ekonomi antara Freeport dan
masyarakat adat di sekitar wilayah pertambangan. Tahun 1974, suku Amungme yang berdiam
di sekitar tambang menuntut Freeport membayar ganti rugi kepada mereka terkait
pembabatan hutan perburuan suku itu. Freeport menyanggupi tuntutan itu, yang dituangkan
dalam January Agreement 1974.

Freeport juga dikecam karena mengimpor seluruh bahan pangannya dari Australia melalui jalur
udara. Baru pada 1978, Freeport bersedia membeli sebagian sayur-mayur dari petani Irian.
Muncul pula ganggauan keamanan, misalnya, pemotongan kabel telepon, gangguan terhadap
pipa minyak dan jalur kabel, blokade di jalan logistik serta peledakan instalasi tambang di
Tembagapura.

Pada bulan Februari 1978 terjadi penembakan terhadap seorang polisi Indonesia. Insiden ini
disebabkan tak dipenuhinya seluruh janji Freeport yang tertuang dalam January Agreement.
Hingga 1978 itu, Freeport tak memenuhi seluruh janji yang ada dalam perjanjian tersebut.

Pada 31 Agustus 2002, terjadi penyerangan terhadap sejumlah karyawan pertambangan


Freeport di Timika, Tembagapura, di jalur Mil 62-63. Insden ini menewaskan dua warga Amerika
yaitu Tid Bargon dan Ricky Saipar dan seorang warga Indonesia bernama S.S Bambang Riwanto.
Tercatat sebanyak 13 orang pelaku penembakan, tiga di antara pelaku tersebut merupakan
anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yaitu Kapten Markus, Letnan Satu Wawan
Suwandi, dan Prajurit Satu Jufri Uswanas.

Hampir seluruh kasus pelanggaran HAM terkait tambang Freeport tidak jelas penyelesaiannya.
Para pelaku kejahatan HAM ini umumnya tidak ditemukan atau mendapat perlindungan
sehingga lolos dari jerat hukum. Keadilan bagi korban pelanggaran HAM kasus-kasus Freeport
tampaknya memang suatu hal yang absurd.

Proyek Infrastruktur Freeport

Pada 1995, ada empat proyek infrastruktur yang mulai dibangun oleh Freeport di Papua Barat,
yakni :

1. Pengembangan pelabuhan Amamapare, dari mana konsentrat emas dan tembaga diekspor
atau nantinya diantarpulaukan.

2. Pembangunan sebuah kota baru.

3. Pembangunan sarana pembangkit tenaga listrik bagi tambang emas dan tembaga yang baru,
Grasberg, alias Gunung Bijih Timur.

4. Pembangunan bandara Timika. Seluruh proyek itu dikoordinasi oleh PT A Latief Freeport
Infrastructure Corporation (AFIC), yang 67 persen sahamnya dikuasai oleh kelompok A. Latief
dan 33 persen sisanya oleh Freeport

Proyek pertama senilai US$ 100 juta ditangani PT ALatief P & O Port Development Company
(APPDC), perusahaan kongsi antara ALatief Nusakarya Corporation dengan maskapai angkutan
laut P & O Australia Ltd. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada pertengahan Mei
1995, perusahan itu mendapat hak kelola pelabuhan Amamapare selama 10 tahun dan bisa
diperpanjang.

Proyek kedua senilai US$ 250 juta, langsung ditangani AFIC. Kota baru yang diresmikan
Soeharto pada awal Desember 1995 dengan nama Kuala Kencana itu berdiri pada ketinggian
4.200 meter di atas permukaan laut, seluas 17.400 hektar. Demi, kenyamanan para kapitalis,
birokrat, serta kapitalis-birokrat, kota itu dilengkapi lapangan golf kelas turnamen yang
dirancang pegolf AS, Ben Crenshaw.

Tak lama kemudian, Freeport memindahkan perkantorannya dari Tembagapura yang


diresmikan Soeharto 23 tahun sebelumnya yang hanya dibangun untuk kapasitas penduduk
1.200 jiwa ke Kuala Kencana. Sedangkan Kuala Kencana sendiri dibangun dengan kapasitas
25.000 jiwa, sangat luas untuk menampung karyawan Freeport yang sudah mencapai 12.000
jiwa.
Sementara, proyek ketiga ditangani PT Puncakjaya Power Corporation, usaha patungan antara
Freeport (30%), Power Link Corporation (30%), Duke Energy dari AS (30%), dan PT Catur Yasa
(10%).

Proyek keempat yang mulai dilaksanakan pada Juni 1995 ditangani PT Airfast Aviation Facilities
Company (AVCO), yang 45% sahamnya dikuasai PT Airfast Indonesia, 30% oleh PT Giga Haksa
yang merupakan anak perusahaan Catur Yasa, dan 25% oleh Freeport.

Proyek yang total investasinya mencapai US$50 juta (waktu itu diperhitungkan Rp 125 milyar),
terdiri dari pembangunan kawasan bandara terpadu lengkap dengan segala sarana
pendukungnya, serta pengadaan tiga pesawat Twin Otter, dua pesawat Boeing B 737-200, serta
tujuh helikopter.

Seluruh proyek-proyek di atas diduga berbau KKN yang dapat berlangsung mulus tanpa kontrol
dari lembaga-lembaga negara terkait pada saat itu. Sebagai produk yang diduga berbau KKN,
tentu saja Freeport mendapat keuntungan yang sangat besar. Namun harap dicatat bahwa
pada saat yang bersamaan, negara mengalami kerugian yang sangat besar, dan hal ini
berpangkal dari kebijakan oknum-oknum Indonesia yang ber-KKN hanya untuk keuntungan
pribadi & kelompok yang sedikit. Sekali lagi, KK dengan Freeport harus diperbaiki.

Kerusakan Lingkungan akibat Pertambangan Freeport

Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya)
melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang
Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang diperbolehkan
menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport juga telah mencemari perairan di muara
sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam
perairan dengan air asam tambang berjumlah besar.

Dari hasil audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix, terungkap bahwa bahwa tailing
yang dibuang Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam berbahaya
bagi kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah
akibat tailing Freeport.

Menurut perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan


lingkungan yang rusak adalah Rp 67 trilyun. Freeport mengklaim, sepanjang 1992-2005
Pemerintah Pusat mendapatkan keuntungan langsung US$ 3,8 miliar atau kurang lebih Rp 36
trilyun. Namun juka dihitung dari perkiraan biaya lingkungan yang harus dikeluarkan, Indonesia
dirugikan sekitar Rp 31 trilyun.

Beberapa media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan bahwa aktivitas
pertambangan Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang kian parah. Hal ini telah
melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa kerusakan
lingkungan yang diungkap oleh media dan LSM adalah, Freeport telah mematikan 23.000 ha
hutan di wilayah pengendapan tailing. Merubah bentang alam karena erosi maupun
sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing.

Dengan beragam kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan Freeport,
mestinya pemerintah melakukan langkah pengamanan sesuai dengan peraturan undang-
undang yang berlaku, khususnya pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya upaya
pencegahan bagi kerusakan lingkungan lebih lanjut, jadi seharusnya pemerintah menghentikan
aktivitas penambangan Freeport, kemudian melakukan upaya perbaikan lingkungan.
Pemerintah dapat mengehentikan kontrak karya pertambangan karena kerusakan lingkungan
yang terjadi di Timika. Proses penambangan dapat dihentikan sementara sampai kerusakan
lingkungan dapat diperbaiki dan perbaikan kerusan lingkungan menjadi tanggung jawab
Freeport.

Aktivitas pertambangan Freeport dinilai telah melanggar UU Kehutanan, yang mengamanatkan,


aktivitas penambangan tidak dibolehkan di kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan pertambangan harus dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh
menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola
pertambangan terbuka. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud adalah yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, aktivitas penambangan tetap dilakukan
disebabkan:

- Munculnya Perpu nomor 1 Tahun 2004 yang disahkan UU No.19 Tahun 2004 yang
mengizinkan penambangan di hutan lindung

- Keperluan akan sumber energi dari bumi yang cukup besar dan keinginan memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya

Regulasi yang kemudian mengizinkan aktivitas pertambangan di kawasan lindung cukup


mengkhawatirkan kelestarian hutan lindung. Hutan tropis merupakan komunitas yang paling
banyak menyerap energi matahari yang sangat berpengaruh terhadap iklim bumi melalui
evapotranspirasinya. Penambangan Freeport juga melanggar UU 26 Tahun 2007 tentang Tata
Ruang, karena penambangan memanfaatkan kawasan lindung, aktivitas penambangan hanya
dibolehkan di kawasan budidaya. Pelanggaran terhadap tatanan ruang dapat berdampak pada
penurunan kualitas tata ruang yang selanjutnya berimplikasi pada penurunan kualitas
lingkungan dan manusia.

Freeport telah mengakibatkan kerusakan alam dan mengubah bentang alam serta
mengakibatkan degradasi hutan yang seharusnya ditindak tegas pemerintah. Hal ini karena
mengancam kelestarian lingkungan dan melanggar prinsip pembangunan berwawasan
lingkungan yang diamanatkan UUD 1945 pasal 33.
Hubungan TNI/Polri dan Freeport

Perusahaan tambang raksasa Freeport-McMoRan disinyalir telah memberi uang kepada


Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI agar pertambangan mereka di Papua tidak banyak
diganggu, baik oleh pemerintah maupun lembaga nonpemerintah pemerhati lingkungan. Koran
The New York Times telah melakukan investigasi berbulan-bulan untuk mengetahui masalah
itu. Koran tersebut berhasil mendapatkan laporan perusahaan Freeport yang menunjukkan,
pada 1998-2004 perusahaan tambang emas dan tembaga menghabiskan dana US$ 20 juta atau
sekitar Rp 200 miliar untuk personel TNI dan Kepolisian RI.

Para penerimanya mulai jenderal hingga kapten. Berdasarkan laporan itu, para komandan
mendapat uang puluhan ribu dolar. Bahkan ada yang disebut mendapat US$ 150 ribu (Rp 1,5
miliar). Sejumlah pejabat kepolisian dan militer termasuk mantan Danjen Kopassus, Letjen TNI
(Purn) Prabowo Subianto, disebut-sebut sebagai pihak yang menerima keuntungan dari kerja
sama militer, kepolisian dengan Freeport. Hal ini juga diakui oleh Kapuspen TNI Mayor Jenderal
Sjafrie Sjamsoeddin yang mengatakan bahwa TNI pada dasarnya menerima semua bantuan
militer. Bantuan militer itu akan diterima, dengan syarat dapat meningkatkan profesionalisme
prajurit dan tidak bersifat mengikat.

Rekomendasi dan Tuntutan

Tambang Freeport adalah bukti salah urus sektor pertambangan di Indonesia dan bukti
tunduknya hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap emas
hanya sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua. Telah sekian lama
pemerintah menutup mata terhadap daya rusak industri pertambangan di Tanah Papua.

Selama 42 tahun beroperasi, Freeport telah merusak tak hanya pegunungan Grasberg dan
Ertsberg, tetapi sudah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai
Ajkwa, mencemari perairan di muara sungai dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk
hidup dan mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Fakta kerusakan
lingkungan akibat penambangan yang dilakukan Freeport ini disadari oleh Kementerian
Lingkungan Hidup (Republika, 23 Maret 2006). Sayangnya, pelanggaran tak ditindaklanjuti
secara serius, meski Freeport terbukti melanggar UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997.
Sementara itu, dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas,
perak, dan tembaga terbesar di dunia, dan memberikan pendapatan yang tidak sebanding bagi
negara.

Kesejahteraan penduduk Papua semakin jauh dijangkau. Di wilayah operasi Freeport, sebagian
besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang
tersisa dilimbah Freeport. Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan
seperti HIV/AIDS, bahkan jumlah penderita tertinggi berada di Papua. Kehidupan suku asli
Papua pun terganggu eksistensinya, sejak ditandatanganinya KK I, alur hidup suku Amungme,
Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni, dan Mee (Ekari) berlangsung surut. Kerusakan lingkungan
sebagai bentuk destruktif aktivitas penambangan mengancam sumber alam bangsa.
Freeport masih menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat
keamanan Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah mengalami pelanggaran HAM
berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini tidak ada satu pun pelanggaran
HAM yang ditindaklanjuti serius oleh Pemerintah bahkan terkesan diabaikan. Kondisi wilayah
Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk
Papua. Untuk menghentikan penjajahan Freeport, menegakkan kedaulatan, memberikan
pendapatan negara yang sebanding, menegakkan keadilan bagi penduduk Papua, maka kami
menuntut agar pemerintah mengambil berbagai tindakan dan kebijakan strategis, yang antara
lain adalah:

1. Pemerintah harus segera melakukan upaya nyata dan terukur untuk menyelesaikan berbagai
kasus Freeport. Pertambangan Freeport di Papua harus ditinjau ulang secara menyeluruh.
Pemerintah harus segera membentuk panel independen melalui peraturan presiden yang
terdiri dari para ahli hukum, lingkungan, sosial, ilmuwan, tokoh-tokoh HAM dan wakil
masyarakat Papua.

2. Melakukan perubahan Kontrak Karya Freeport, yang lebih menguntungkan bagi negara pada
umumnya dan bagi rakyat Papua pada khususnya.

3. Melakukan evaluasi terhadap seluruh aspek pertambangan Freeport mulai dari pengelolaan
lingkungan hidup, pengolahan hasil tambang, pelanggaran HAM serta sosial ekonomi.

4. Memfasilitasi sebuah konsultasi penuh dengan penduduk asli Papua terutama yang berada di
wilayah operasi Freeport dan pihak berkepentingan lainnnya mengenai masa depan
pertambangan tersebut.

5. Menindaklanjuti temuan-temuan pelanggaran hukum melalui instansi yang berwenang,


termasuk diantaranya sejumlah pelanggaran hukum lingkungan, perpajakan, dan pelanggaran
HAM yang terjadi di masa lalu dan saat ini.

6. Memetakan dan mengkaji sejumlah skenario bagi masa depan Freeport di Tanah Papua,
termasuk kemungkinan penutupan, pengurangan kapasitas produksi, pengolahan limbah, dan
pengembalian keuntungan kepada rakyat Papua secara bermartabat.

7. Meningkatkan pemilikan saham pemerintah di Freeport melalui konsorsium BUMN dan


BUMD milik Pemda Papua & Papua Barat.

Bagi sebagian kalangan di pemerintahan, DPR, pakar, maupun perguruann tinggi, masalah
Freeport sudah dianggap selesai. Mereka meyakini bahwa segala sesuatunya sudah tercantum
dan disepakati dalam kontrak, dan seluruh ketentuan dalam kontrak tersebut harus dihormati
dan dijalankan hingga akhir masa berlakunya pada tahun 2041. Mereka tidak terlalu peduli
dengan berbagai kerugian yang diderita oleh negara dan rakyat berupa
kehilangan/berkurangnya pendapatan negara, kehilangan kedaulatan, kerusakan lingkungan,
pelanggaran HAM dan ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh penduduk asli Papua.
Beragam hal yang merugikan itu harus diakhiri dan dikoreksi. Salah satu hal penting yang
menjadi alasan kami adalah bahwa semua kebijakan dan kesepakatan merugikan yang
tercantum dalam kontrak berpangkal pada kebijakan dan prilaku KKN pemegang kekuasaan
masa lalu dan nafsu menjajah yang diusung oleh investor/negara asing. Menjadi sangat naïf dan
layak dinilai tidak berdaulat serta tidak punya harga diri, jika kita sebagai bangsa tetap
membiarkan kebijakan dan kontrak yang bermasalah ini berjalan sebagaimana berlaku selama
ini, tanpa gugatan dan koreksi.

Oleh sebab itu, dengan tulisan ini kami mengajak kita semua, para tokoh, politisi, pakar,
akademisi, aktivis, pemuda dan terutama mahasiswa, untuk bersama-sama bangkit menggugat
pengelolaan sumber daya alam di Papua ini, agar sesuai dengan amanat konstitusi dan
bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kontrak karya Freeport yang berlaku saat
ini harus dibatalkan dan diganti dengan yang baru sesuai dengan amanat konstitusi, serta
melibatkan peran BUMN dan BUMD Papua yang sangat signifikan dalam pengelolaannya.[]

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta.
Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di
Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan
jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan
Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi
kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.

Anda mungkin juga menyukai