Anda di halaman 1dari 9

TUGAS NASIONALISME

SEJARAH PT. FREPORT INDONESIA


DAN NILAI-NILAI NASIONALISME TERHADAP BANGSA INDONESIA PADA SAAT INI DAERI SEGI
EKONOMI , BUDAYA DAN SOSIAL

DISUSUN OLEH

DIAN KURNIAWAN, S.Pd

NDH. 08

PELATIHAN DASAR CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL


DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI JAMBI
ANGKATAN I KELAS 4

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA


PROVINSI JAMBI
2019
1. Profil

Merupakan perusahaan tambang mineral afiliasi dari Freeport-McMoRan (FCX) dan

PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (Inalum). PTFI menambang dan memproses

bijih menghasilkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak. Kami

memasarkan konsentrat ke seluruh penjuru dunia dan terutama ke smelter tembaga dalam

negeri, PT Smelting. Kami beroperasi di dataran tinggi terpencil di Pengunungan Sudirman,

Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia

Tambang di kawasan mineral Grasberg, Papua - Indonesia merupakan salah satu

deposit tembaga dan emas terbesar di dunia. Kami saat ini menambang pada fase akhir

tambang terbuka Grasberg. Kami tengah mengerjakan beberapa proyek pada kawasan

mineral Grasberg sehubungan dengan pengembangan beberapa tambang bawah tanah

berkadar tinggi yang berskala besar dan berumur panjang. Secara total, semua tambang

bawah tanah ini diharapkan menghasilkan tembaga dan emas skala besar sehubungan

dengan peralihan dari tambang terbuka Grasberg.

Tentang Inalum

merupakan Badan Usaha Milik Negara yang keseluruhan sahamnya dimiliki

Pemerintah Indonesia. Inalum merupakan induk holding industri tambang Indonesia,

dengan PT ANTAM Tbk., PT Bukit Asam Tbk., PT Timah Tbk., dan PT Freeport Indonesia

sebagai anggota holding.


2. Sejarah

Awal mula PT Freeport Indonesia berdiri, sesungguhnya terdapat kisah perjalanan


yang unik untuk diketahui. Pada tahun 1904-1905 suatu lembaga swasta dari
Belanda Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga
Geografi Kerajaan Belanda, menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang
tujuan utamanya adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya ada di
Tanah Papua.

Catatan pertama tentang pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz
yang dalam perjalanan dengan dua kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada tahun
1623 di perairan sebelah selatan Tanah Papua, tiba-tiba jauh di pedalaman melihat kilauan
salju dan mencatat di dalam buku hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang suatu
pegungungan yang “teramat tingginya” yang pada bagian-bagiannya tertutup oleh salju. –
Catatan Carsztensz ini menjadi cemoohan kawan-kawannya yang menganggap Carstensz
hanya berkhayal.

Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es


yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian
besar Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil
ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-ekspedisi militer
ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai
pegunungan salju.

Beberapa ekspedisi Belanda yang terkenal dipimpin oleh Dr. H. A. Lorentz dan
Kapten A. Franzen Henderschee. Semua dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak
Wilhelmina (Puncak Sudirman sekarang) pada ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz
belakangan diabadikan untuk nama Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di
pantai selatan.

Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya
adalah pegawai perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita
mereka untuk mencapai puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah
pertama bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.
Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau disebut
gunung bijih, lalu data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama
bertemulah seorang Jan van Gruisen – Managing Director perusahaan Oost Maatchappij,
yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengggara dengan
kawan lamanya Forbes Wilson, seorang kepala eksplorasi pada perusahaan Freeport
Sulphur Company yang operasi utamanya ketika itu adalah menambang belerang di bawah
dasar laut. Kemudian van Gruisen berhasil meyakinkan Wilson untuk mendanai ekspedisi
ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisisnya serta melakukan
penilaian.

Pada awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk


segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi.
Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan,
pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang
Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).

Pimpinan tertinggi Freeport pada masa itu yang bernama Langbourne Williams
melihat peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dia bertemu Julius Tahija yang pada
zaman Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan
dengan Jenderal Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan
dan Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah permohonan agar
Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil pertemuan demi
pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan
proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I). Kontrak
karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija untuk
memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan
Kebijakan Penanaman Modal Asing ke Australia.

Sebelum 1967 wilayah Timika adalah hutan belantara. Pada awal Freeport mulai
beroperasi, banyak penduduk yang pada awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke
wilayah sekitar tambang Freeport sehingga pertumbuhan penduduk di Timika meningkat.
Tahun 1970 pemerintah dan Freeport secara bersama-sama membangun rumah-rumah
penduduk yang layak di jalan Kamuki. Kemudian dibangun juga perumahan penduduk di
sekitar selatan Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota Timika.

Pada tahun 1971 Freeport membangun Bandar Udara Timika dan pusat perbekalan,
kemudian juga membangun jalan-jalan utama sebagai akses ke tambang dan juga jalan-
jalan di daerah terpencil sebagai akses ke desa-desa Tahun 1972, Presiden Soeharto
menamakan kota yang dibangun secara bertahap oleh Freeport tersebut dengan nama
Tembagapura. Pada tahun 1973 Freeport menunjuk kepala perwakilannya untuk Indonesia
sekaligus sebagai presiden direktur pertama Freeport Indonesia. Adalah Ali Budiarjo, yang
mempunyai latar belakang pernah menjabat Sekretaris Pertahanan dan Direktur
Pembangunan Nasional pada tahun 1950-an, suami dari Miriam Budiarjo yang juga
berperan dalam beberapa perundingan kemerdekaan Indonesia, sebagai sekretaris
delegasi Perundingan Linggarjati dan anggota delegasi dalam perjanjian Renville.
1. Orde Lama
Bung Karno memulai kontrak Freeport dengan East Borneo Company. Setelahnya,
ada revisi kontrak hasil tambang sebesar 60 persen untuk pemerintah. Freeport pun
menjadi kesulitan untuk beroperasi di Papua karena kewajiban sebesar 60 persen itu.
Ditambah lagi, Presiden John F. Kennedy cenderung mendukung Presiden Sukarno.
Sayangnya, Presiden Kennedy tewas dibunuh pada November 1963. Beberapa tahun
kemudian Presiden Sukarno dilengserkan dari jabatannya dan digantikan Soeharto.

2. Orde Baru
Di zaman Orde Baru (Orba), terciptalah Kontrak Karya I yang santer disebut sebagai
karpet merah bagi Freeport untuk mengeruk tambang emas di Papua. Barulah pada 1991,
dikeluarkanlah Kontrak Karya II yang mewajibkan Freeport untuk divestasi 51 persen
saham, dan membuka kesempatan bagi perusahaan itu untuk terus memperpanjang
kontrak sampai 2021. Hal itu diteruskan dengan PP 20/1994 yang wajibkan PMA (Pemilik
Modal Asing) untuk divestasi sebesar lima persen. Mereka juga diizinkan beroperasi dalam
jangka 30 tahun. Sayangnya, saat itu pemerintan hanya mewajibkan setoran lima persen
saja. Sementara, setahun kemudian, perusahaan tambang Rio Tinto dari Australia
mengantongi saham partisipasi sebanyak 40 persen.
3. Era Reformasi: Megawati
Perincian royalti tambang. Pada PP tersebut, jasa teknologi atau konsultasi
eksplorasi mineral, termasuk dalam sumber penerimaan negara bukan pajak. Sebelumnya,
sempat diberitakan bahwa Megawati menyayangkan lamanya proses tarik-ulur divestasi di
Freeport.
4. Era SBY
Presiden SBY berkuasa selama 10 tahun dan menghasilkan sejumlah PP terkait
Freeport. Pertama, PP 23/2010 mengentai PMA divestasi saham sebanyak 20 persen.
Kemudian angka itu naik pada PP 24/2012, di mana disebutkan divestasi wajib dilakukan
bertahap sampai 51 persen dimiliki Indonesia. Akan tetapi, lewat PP 77/2014, kewajiban
divestasi PMA yang melakukan kegiatan penambangan dengan metode penambangan
bawah tanah (seperti Freeport) dan penambangan terbuka hanya menjadi sebesar 30
persen saham.
5. Era Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa saham PT Freeport Indonesia
sudah dikuasai Indonesia sebesar 51,2 persen dan resmi beralih ke PT Inalum, induk
holding pertambangan. bahwa saham PT Freeport sudah 51,2 persen sudah beralih ke PT
Inalum dan sudah lunas dibayar. Jokowi menegaskan, masyarakat di Papua juga akan
mendapatkan 10 persen dari saham yang ada. Dan tentu saja Papua dapat pajak daerahnya.
NILAI-NILAI NASIONALISME TERHADAP BANGSA INDONESIA PADA SAAT INI DARI SEGI :

EKONOMI
 Dengan Akuisisi keuntungan manajemen yakni Indonesia memiliki pengaruh
signifikan untuk menentukan dividen, anggaran dasar hingga jajaran direksi dan
komisaris
 Dengan saham 51 persen maka, perusahaan Inalum akan diproyeksikan mendulang
US$18 miliar (Rp 261 triliun) laba bersih dari PTFI dalam kurun waktu tersebut
 posisi PT Freeport juga di bawah kendali pemerintah karena status Kontrak Karya
yang berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus. Keempat, perusahaan itu
memiliki cadangan emas terbesar di dunia dengan nilai US$150 miliar atau Rp2.190
triliun
 divestasi itu menguntungkan masyarakat Papua. Saat ini, masih ada diskusi antara
Pemprov Papua dan Pemkab Mimika terkait dengan pembentukan BUMN untuk
menampung saham PT Freeport.

BUDAYA
 Budaya tidak ramah lingkungan : Freeport dilaporkan membuang limbah
mengandung merkuri yang mencemarkan Sungai mugme, papua, kerusakan
permanen padahutan disekitar pertambangan yang turut merusak kekayaan hayati
di Indonesia
 Budaya Korupsi :. Alih-alih memperbaiki kerusakan dan membayar denda atas
pencemaran itu, Freeport justru menyogok para pejabat agar terbebas dari
sanksi..Masyarakat local yang dijadikan buruh pun upahnya tidak sesuai dengan
keuntunganyang didapat Freeport pertahun.. Freeport juga tidak mengindahkan
keselamatan pekerjanya yaitu masyarakat Papua sendiri.
 Budaya Penajajahan : Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan jaman
penjajahan, karena tunduk terhadap intervensi modal asing seperti Freeport.
Negara kita sudah sepenuhnya dikolonisasi (oleh Freeport)
SOSIAL
 standart yang dimiliki pekerja Freeport dari Indonesia sama dengan seluruh
karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia akan tetapi gaji yang diterima oleh
pekerja dari ndonesia hanya separuhnya. bukan keadilan yang didapatkan pekerja
Freeport dari Indonesia yang menuntut kenaikan gaJi akan tetapi tudingan sebagai
kelompok separatislah yang mereka dapat. Padahal mereka hanya menuntut hak-
haknya sebagai Warganegara untuk memperoleh kesejahteraan.
 Ratusan ribu ton biJih emas, perak, dan tembaga yang dihasilkan dan dibawa ke
Amerika tanpa adanya dampak positif bagi masyarakat setempat seperti tidak
adanya perbaikan kualitas Pendidikan, pekerJaan, penghasilan maupun
pembangunan infrastruktur.
 masalah Freeport, kita tahu sendiri akhir-akhir ini masih sering terJadi aksi
penembakan di papua yang menelan korban baik kalangan aparat keamanan
ataupun putra daerah Papua sendiri.
 Kesehatan bagi pekerja Freeport pun bersifat eksklusif sehingga akses untuk ke
rumah sakit ataupun mess pun juga sulit. tidak ada penanganan serius dari Freeport
bagi para korban dan keluarga. Bahkan kunjungan menteri dan instansiterkait
untuk melakukan penyelidikan kasus, dihambat oleh Pimpinan PT Freeport
ndonesia, sehingga penyelidikan lebih lanjut tidak bisa dilakukan lebih jauh lagi,
KESIMPULAN

Kegiatan Freeport ibarat negara dalam negara di Indonesia. sudah saatnya Freeport
dievaluasi dan sahamnya dinasionalisasikan. Pemerintah perlu meninjau ulang keberadaan
Freeport dengan catatan harus mengakomodir indonesia untuk kesejahteraan bagi
masyarakat Papua dan indonesia. Keberadaan Freeport selama ini memang sangat jauh
dari nilai keadilan sosial sila ke5 pancasila . Dalam Kontrak karya saja Indonesia hanya
mendapatkan royalty yang sangat kecil dari nilai jual logam mulia emas tersebut, akan
tetapi dalam hal ini bukan hanya sekedar masalah KKN dan Kerugian ekonomi tapi lebih
jauhdari itu karena persoalan ini sudah masuk kedalam ranah Nasionalisme kita sebagai
pemuda yang tidak mau melihat anak cucu kita di hari esok kelaparan, karena sudah tidak
adalagi sumber daya alam yang bisa di kelola untuk ditukar dengan bahan makanan,karena
sudah habis di eksploitasi oleh perusahaan asing.
Sudah selayaknya kita memandang kasus Freeport ini selain dengan pemahaman
yang mendalam Juga dengan kacamata perspektif yang berbeda. Sehingga kita dapat
melihat masalah ini secara komprehensif. Harus kita ingat bahwa masalah ini bukan
sekedar penandatangan kontrak kerJa baru, hitam di atas putih. Melainkan masalah yang
lebih krusial lagi, yaitu penegakkan Kedaulatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai