Anda di halaman 1dari 13

Nama : Tri Wahyuni

NIM : F061201050

Email : tritry07@gmail.com

No. Hp : 085600961376

Tugas Review Disertasi:

PEMOGOKAN BURUH SUBKONTRAKTOR

VICO DI MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR 1999-2001

IDENTITAS DISERTASI:

Judul : Pemogokan Buruh Subkontraktor VICO di Muara


Badak, Kalimantan Timur 1999-2001
Penulis : Dr. Bambang Sulistyo Edy P, M.S
Tempat/Tgl.Lahir : -
Pekerjaan : Dosen Universitas Hasanuddin Makassar
Program : Doktor
Konsentrasi : Pemogokan Buruh
Ujian Terbuka : 13 Agustus 2005

Tim Penguji : 1. Prof. Dr. I Ketut Surajaya


2. Prof. Dr. R.Z Leirissa
3. Dr. Erwiza Erman
4. Prof. Dr. A.M. Djuliati Surojo
5. Dr. Masyhuri
6. Dr. Susanto Zuhdi
7. Dr. Saleh A. Djamhari
A. Pendahuluan

Disertasi ini dijadikan sebagai objek review, dikarenakan; pertama, karena judul
daripada disertasi ini sejalan dengan mata kuliah yang diikuti, yakni Sejarah Tambang.
Kedua, disertasi ini memiliki bacground dan tema yang sama dengan reviewer, yaitu
Tambang.

Pada pendahuluan yang terdapat di disertasi, dikatakan bahwa pada tahun 1999
dan pada tahun setelahnya, buruh subkontraktor melakukan pemogokan kerja serta
melakukan aksi memblokade kamp (kompleks perkantoran, kilang dan mes penginapan
karyawan) Virginia Company (VICO), perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi,
multi-nasional yang beroperasi di daratan (onshore) Blok Sanga – sanga, Kalimantan
Timur. Perlu diketahui bahwa masyarakat atau buruh – buruh yang melakukan
pemogokan tersebut mencapai angka yang tidak main – main, yakni sesuai dengan
pengakuan para pemogok mencapai angka lebih dari 4. 000 orang.

Pemogokan ini sendiri terjadi pada bulan November 1999, Agustus, September,
Oktober dan November 2000, dan pemogokannya pun baru berakhir ketika para penegak
hukum atau polisi melakukan aksi penembakan terhadap para pemogok dan menangkap
para pemimpinnya pada tanggal 12 November 2000.

VICO sendiri merupakan sebuah perusahaan pertambangan migas raksasa. Di


wilayah kuasa pertambangan di Kalimantan Timur, perusahaan gergasi ini telah
melakukan pemboran lebih dari 470 sumur dan juga berhasil menemukan gas alam
dengan 14 triliyun kaki kubik serta 457.000.000 barrel cadangan minyak. Dan yang perlu
kita ketahui juga bahwa, sang penulis mengatakan jika VICO adalah aset negara.
Dikatakan demikian, karena 85% produksi migas daripada perusahaan tersebut adalah
milik negara. Lalu kemudian negara hanya memberikan wewenang kepada PN
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA). Menurut bacaan, dalam
hal itu PERTAMINA berperan sebagai Kontraktor Asing Bagi Hasil (KABH) bagi
perusahaan asing. Akan tetapi, patut juga dipertanyakan mengapa para buruh
subkontraktor tersebut melakukan aksi mogok kerja dan malah mengajukan sebuah
tuntutan kepada VICO, bukan kepada majikan perusahaan tempat mereka
menandatangani kontrak kerja (perusahaan subkonraktor)?
B. Isi

BAB II. KOMUNITAS LOKAL, PERTAMBANGAN DAN VICO DI MUARA


BADAK (1700 – 1980)

pada bab kedua daripada disertasi ini memberikan informasi bagaimana latar
belakang sosial, politik serta geografisnya. Muara Badak sendiri diresmikan pada tahun
1965, yang mana lokasinya berada di daratan delta Sungai Mahakam tepatnya di bagian
utara, dengan luas yang dimiliki adalah 939,09 kilo meter persegi. Daerah ini diapit oleh
beberapa kecamatan. Pada sebalah Baratnya, berbatasan dengan Kecamatan Tenggarong
dan Kotamadya Samarinda. Lalu pada bagian Selatannya, Muara Badak berbatasan
dengan Kecamatan Anggana yang kemudian pada sebelah Utaranya berbatasan dengan
kecamatan Marangkayu.

Sebelum tahun 1997, daerah ataupun kecamatan ini luas karena pada saat itu
Kecamatan Marangkayu masih menjadi bagiannya (dengan luas yang dimiliki mencapai
angka 1. 165,71 km persegi). Ketika kecamatan tersebut masih menyatu, mereka
berbatasan dengan Kota Madya Bontang dan juga Kecamatan Sebulu. Kecamatan Muara
Badak terdiri atas beberapa kelurahan yang terhampar dari Selatan ke Utara (Saliki,
Salopalai, Muara Badak Ulu, Muara Badak Ilir, dan Tanjung Limau.

Kehadiran perusahaan raksasa tersebut merupakan bentuk perwujudan dari


dambaan serta kebijakan elit politik Indonesia ketika awal masa Oerde Baru. Kemunculan
daripada masa ini ditandai dengan perubahan radikal kebijakan sebuah negara atas
hadirnya aset yang berasal dari luar atau asing. Setelah Konferensi Meja Bundar yang
menciptakan Republik Indonesia Serikat gerakan anti perusahaan asing merda, akan
tetapi hal itu kembali terjadi. Seprti yang terjadi ketika ketegangan mulai muncul di antara
dua kubu, Indonesia dengan Belanda, mengenai masalah Irian Barat. Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI, menghentikan perjanjian konsesi minyak baru dengan mengeluarkan
UU, yang menegaskan bahwa penambangan migas hanya boleh dilakukan oleh
perusahaan negara saja.

Di Indonesia sendiri terdapat enam perusahaan pertambangan yang antara lain


adalah PERTAMINA yang berlokasi di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, lalu ada
PERTAMINA yang terletak di Plaju, kemudian Pertambangan Minyak dan Gas Nasional
(PERMIGAN). Lalu tiganya lagi merupakan perusahaan raksasa dunia yang terdiri atas
dua perusahaan Amerika, yakni STANVAC dan CALTEX, lalu satunya lagi merupakan
perusahaan kongsi Belanda dan Inggris, yakni BPM / Shell. Keenam perusahaan ini
menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak terbesar ke sembilan di dunia, tepatnya
pada tahun 1965. Akan tetapi perlu diketahui bahwa hasil produksi yang dikonsumsi oleh
negara hanya 15%.

Sebagian devisanya mengalir keluar. Meskipun Indonesia telah diakui sebagai


salah satu negara dengan produsen minyak terbesar di dunia, akan tetapi rakyatnya sendiri
tidak merasakan apa yang telah dicapainya tersebut. Mereka malah merasa kekurangan
minyak. Maka dari situ, timbul pandangan bahwa, kebijakan ekonomi liberal tidak dapat
memberikan jaminan perlindungan industri dan kehidupan ekonomi nasional. Dan dari
situ pula timbul sebuah desakan yang tidak lain mendesak agar segala barang pokok dan
vital untuk dikelola ataupun ditangani oleh negara saja.

Dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat tersebut, maka sikap anti perusahaan
asing tersebut memuncak pada saat MPRS menerima gagasan Sukarna yang mana
bunyinya adalah :

“Melaksanakan Nasionalisasi dan bila perlu menyita semua


perusahaan asing yang bermusuhan, hingga tercapai kebebasan
penuh dibidang ekonomi dan distribusi”

Setelah itu sikap anti perusahaan asing tersebut berubah menjadi sebuah
kompromistis ketika radikal penentang daripada kapitalisme asing jatuh akibat dari
gagalnya pemberontakan G 30 S PKI pada 1965. Hutang negara mencapai angka US
2.500.000.000,-. Perdagangan hampir lumpuh. Wacana yang berkembang adalah krisis
ekonomi yang semkain parah.

Sebagai seorang pejabat Presiden, Jenderal Suharto melakukan kebijakan


ekonomi yang berbeda. Ia tidak mengimplementasikan kebijakan ekonomi politik.
Suharto menempatkan militer pada puncak kekuasaan pertambangan. Ia juga
mempekerjakan belasan penasehat ekonomi dan tehknokrat Indonesia yang kursus di
University of California di Berkeley, salah satunya adalah Brodjonegoro. Selaku menteri,
ia berusaha mencari solusi dengan mendatangkan modal asing tanpa harus terjebak pada
kolonialisme yang baru. Akhirnya disusunlah sebuah Undang – Undang Penanaman
Modal Asing 1967 yang menegaskan “perusahaan modal asing wajib memenuhi
kebutuhan tenaga kerjanya dengan warga negara kecuali tenaga pimpinan ahli. Kemudian
selanjutnya, pada tanggal 1 Agustus 1968 presiden Suharto menyetujui kontrak VICO.
Berdasarkan pada kontrak itu, VICO membuka perkantoran serta organisasi perusahaan
di Jakarta.

VICO merupakan sebuah perusahaan kongsi. Kantor di Muara Badak dibangun


karena di daerah tersebut terdapat cadangan migas paling besar yang berada tepat di
tengah – tengah wilayah kuasa pertambangan migas di daratan delta Mahakam. Para
pekerja asing merupakan perintis pembangunan instalasi minyak VICO. Selama tahun
1970 hingga 1980-an, sebagain besar mandor dan konsultan adalah pekerja yang memiliki
skiil yang mereka dapatkan dari perusahaan subkontraktor asing dan staf ahli VICO.

Kehadiran daripada perusahaan raksasa tersebut dimungkinkan bisa membawa


suatu perubahan politik pada masa awal Orde Baru. Dengan dukungan mendatangkan
modal asing ke Indonesia, terdapat sebuah harapan agar dapat membantu memecahkan
persoalan mengenai krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada saat itu (1965). Oleh
karenanya, maka negara mengontrol pembangunan dari perusahaan raksasa ini, yang
mana tujuannya tidak lain agar kehadiran mereka diharapkan mampu mewujudkan
sebuah kesejahteraan hidup masyarakat. Namun ternyata harapan dan cita – cita tersebut
hanyalah bayangan semata. Keuntungan dan tentunya kesejahteraan belum juga dirasakan
oleh masyarakat pribumi. Perusahaan ini dinilai lebih menguntungkan para pekerja
migran bukan lokal. VICO hanya mengutamakan kepentingan usahanya sendiri. Tidak
adanya hitam di atas putih. Penduduk setempat dipekerjakan sebagai buruh dengan
penghasilan yang rendah. Komunitas lokal tetap saja miskin tanpa ada perubahan yang
dirasaknnya.

BAB III. ORGANISASI KERJA DAN PENGENDALIAN PEKERJA (1980 – 1992)

VICO sama halnya dengan perusahaan tambang lain, yakni masih menjalankan
tradisi yang ada pada mas pemerintahan kolonial. Pada starata atas hirarki meliputi orang
– orang yang berkulit putih, meskipun jumlahnya bisa dibilang kecil tetapi hebatnya
mereka memiliki hak yang istimewa. Selanjutnya pada tataran kedua, hirarki pekerja,
yaitu para pekerja Indonesia (karyawan), dimana mereka mendominasi jabatan staf dan
non-staf. Yang dimaksudkan sebagai staf adalah jabatan pimpinan sedangkan non-staf
sendiri adalah tenaga ahli.

Kemudian pada hirarki pekerja paling rendah adalah buruh subkontraktor.


Kelompok ini adalah para pekerja temporer atau pekerja paruh waktu yang dipekerjakan
dalam jangka waktu yang tidak lama. Ketika masa eksplorasi dan pengeboran jumlah dari
pekerja temporer ini jumlahnya meningkat. Dimana pada pengeboran satu sumur migas
bisa melibatkan kurang lebih 2500 orang.

Kegiatan pertambangan perusahaan ini meliputi kegiatan eksplorasi dan


eksploitasi. Tujuan daripada kegiatan eksplorasi sendiri adalah untuk mengetahui
endapan tambang yang meliputi observasi permukaan bumi yang sesekaliharus melewati
semak belukar, lembah, bukit, tak jarang harus ada pembangunan jembatan darurat untuk
jalur lalulintas pekerja, pengangkutan, serta aktivitas lainnya. Pabila VICO dapat
menemukan gas bumi, maka selanjutnya mereka akan mengajukan sebuah permohonan
kepada pihak PERTAMINA yang memiliki wewenang atas perusahaan tersebut untuk
melakukan pengeboran di daerah yang pihak VICO inginkan.

Selanjutnya untuk selalu menjaga kedisiplinan dan ketaatan pekerjaan, maka


teguran bisa saja di dapatkan oleh seorang buruh entah itu oleh para pekerja staf maupun
non-staf apabila bersalah. VICO memiliki sebuah jaringan telepon pribadi, sehingga
interaksi antar pekerjanya di Muara Badak, Samarinda, Tenggarong, Balikpapan, dan
Jakarta dapat dilakukan dengan nomor lokal dan gratis. Tanggung jawab atas sangsi
pelanggaran diserahkan kepada majikannya, yakni pimpinan perusahaan subkontraktor.
Dan perlu diketahui jika pengusaha subkontraktor tersebut cenderung loyal kepada
VICO, dikarenakan memiliki ketergantungan pekerjaan.

Sebagain karyawannya mulanya merupakan buruh subkontraktor. Jangka


kontraknya pun bervariasi. Ada yang sedari tiga tahun, dua tahun, setengah tahun, dan
bahkan tiga bulan. Buruh memulai pekerjaan sebagai pembantu tukang. Hal ini
merupakan sesuatu yang cukup unik, dimana seorang tukang memiliki pembantu. Akan
tetapi, apabila sang buruh tersebut telah mendapatkan sebuah kepercayaan maka ia
berpeluang menjadi seorang mandor. Dan yang lebih bagusnya lagi, apabila ketika
menjadi mandor ia berprestasi maka akan diangkat menjadi kepala mandor, bahkan
supervisor. Jumlah pekerjanya yang mencapai ribuan tersebut, memungkinkan untuk
pengawasan yang demokratis.

VICO sebagai pemberi pekerjaan menempati posisi dominan dalam menentukan


isi kontrak kerja yang meliputi peralatan yang digunakan, mereka yang ditugaskan, serta
mengenai hak dan kewajiban perusahaan. Contohnya ketika tahun 1983. Suatu
permasalahan pernah terjadi tepatnya pada CV Karina. Dimana saat itu terdapat buruh
subkontraktor menolak menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan majikannya
karena menuntut kenaikan gaji, tunjangan lapangan, perumahan, dan kematian. Karena
tuntutannya tersebut ditolak, maka aksi pemogokan pun terjadi. Tetapi pada akkhirnya,
tuntutan itu ditolak karena kontrak antara PT Karina dan VICO tidak dinyatakan rencana
kenaikan anggaran pekerja. Para buruh subkontraktor pun bersama dengan karyawan
VICO dikenai kewajiaban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai perusahaan.

Perusahaan ini menganut sudut pandang, bahwa organisasi kerja bisa berfungsi
apabila kepemimpinan berda pada satu orang, yakni pimpinan tertinggi eksekutif.
Komunikasi antara karyawan diperlukan agar terciptanya keselarasan dan kekompakan,
yang maka dari itu VICO menerbitkan buletin berkala Warta VICO. Personalia VICO
yang dipimpin pejabat kepala seksi akan melayani dengan sikap yang lemah lembut dan
juga ramah. Keberadaan perusahaan besar ini mendorong terjadinya migrasi pencari ke
kerja ke Muara Badak termasuk para kalangan pedagang.

Produksi minyak negara – negara non OPEC sejak tahun 1982 melimpah di
pasaran dunia, sehingga hal itu membuat harga minyak turun. Hal ini pun memberikan
arti jika keuntungan perusahaan minyak terus berkurang. Kegiatan eksplorasi di
Indonesia mulai berkurang sejak tahun 1981, dan diikuti pada tahun setelahnya jumlah
daripada pekerjanya pun mulai dikurangi. Akan tetapi pada tahun 1983 kembali
meningkat. Dan ini memperlihatkan bahwa VICO merupakan penyumbang utama kas
negara. Pengendalian pekerja juga lebih mudah oleh pembentukan kelompok – kelompok
etnis. Kedudukan perusahaan menjadi kuat dihadapan para pekerjanya, dikarenakan
masing – masing kelompok etnis menunjukan loyalitasnya kepada pemimpin. Tetapi,
apabila terjadi konflik antar karyawan dengan pengusaha maka pimpinan perusahaan bisa
memanfaatkan ketidakadilan antar karyawan yang berbeda etnisnya.

PERTAMINA menangani masalah Hubungan Industrial dan Kesejahteraan (HIK)


yang meliputi pengawasan pelaksanaan peraturan perusahaan, analisa, evaluasi usul
perubahan organisasi perusahaan, penyelesaian industrial dan penanganan kasus – kasus
tenaga kerja di perusahaan KABH. Upaya melindungi buruh migrasi hanya sebatas
wacana di tingkat pusat. Ketika tanggal 3 Oktober 1977, KANWIL DIRJEN
PERWATAN Balikpapan memasang sebuah pengumuman yang kurang mengenakkan.
Karena dalam pengumuman itu disebutkan bahwa “eks buruh CV Suba Bechtel, jika
masih mempersoalkan kasusnya tidak akan ditanggapi”. Para buruh yang malang
tersebut mengeluhkan jika mereka hampir sewarsa tidak mendapatkan uang ganti rugi
sebesar Rp. 500.000. Sebelum 1987, penyelesaian masalah tersebut memerlukan waktu
sampai enam bulan. PERTAMINA yang selaku penanggung jawab tidak merespon.
Dalam jangka waktu tersebut para pekerja merasakan kegelisahan akan sesuatu yang tidak
tentu tersebut. Pemimpin PERTAMINA Balikpapan meyatakan bahwa kasus – kasus
tersebut meningkat. Wakil VICO menyampaikan jika bentuk protes yang dilakukan oleh
para buruh dilakukan dengan surat kaleng.

Atas segala kejadian – kejadian yang berkelnjutan sepanjang sejarah VICO,


terlihat bahwa protes yang dilakukan itu hanya sebatas pada perusahaan subkontraktor
saja. Para pekerja ini cenderung memilih upah yang didapatkannya pada masa
sebelumnya sebagai tarif dasar untuk menerima pekerjaan yang baru. Dan apabila dipikir
kembali, mungkin hal mengenai kenaikan upah tersebut tidak menjadikan perusahaan ini
beban, dikarenakan adanya peningkatan yang terjadi sesuai dengan laju inflasi.

Ketika krisis ekonomi melanda, Muara Badak dijadikan sebagai tempat tulang
punggung kehidupan penduduk daerah lain. Maka untuk meminimalisirkan krisis
ekonomi tersebut sebagian penduduk mulai mencari atau beralih untuk menyambung
hidup mereka. Sebagian ada yang menjadi petani, menjadi nelayan, dan ada juga yang
menjadi pedagang. Selain itu juga, ada pula yang membuka lahan perkebunan tanpa
adanya ijin yang permanen. Meski krisis ekonomi itu telah usai, kekecewaan buruh
subkontraktor masih berjalan. Kelompok – kelompok eks buruh subkontraktor inilah
yang menjadi pendukung daripada pemogokan tahun 1999 dan 2000.
BAB V. PEMOGOKAN BURUH SUBKONTRAKTOR VICO DI MUARA BADAK
(1999 – 2000)

Pada bab ini, merupakan inti dari pada disertasi sang penulis. Dan pada bab ini pun
terdapat tiga bagian yang akan menguraikan penjelasan mengenai pemogokan tersebut.

Pada September 1999, kontrak kendaraan berupa mobil termasuk dengan sopirnya
yang terdiri atas ratusan orang, yakni 419, berakhir. Bersamaan dengan hal tersebut,
perusahaan gergasi itu memborong mobil yang merupakan brand baru sebanyak 150 unit.
Hal ini menunjukkan jika perusahaan itu tidak akan lagi menyewa kendaraan, lantaran
telah memiliki kendaraan pribadi. VICO telah memberikan pernyataan jika hasil produksi
gas dan minyak bumi sudah mulai menurun. Bukan hanya itu, akan tetapi perusahaannya
pun hanya bisa merekrut dan menerima 200 eks sopir.

Hal ini pun dinilai tidak manusiawi dan sewenang – wenangnya. Dari situlah
timbul sebuah keinginan untuk melakukan sebuah protes. Para sopir – sopir ini pun
menemui sopir lainnya untuk terlibat atau turut andil dalam protes tersebut. Para sopir
berpendapat bahwa, jika mereka menjadi karyawan VICO, maka itu adalah sebuah
keberuntungan. Solidaritas buruh terbentuk oleh organisasi kerjanya. Para sopir
terorganisasi pada tempat – tempat pemberangkatan (pool driver). Di tempat tersebut
mereka berkumpul untuk mendapatkan tugas pimpinannya yakni koordinator
(dispatcher) yang bertugas sebagai buruh subkontraktor.

Bagi para buruh mereka merasakan ketidakadilan. Kelompok – kelompok tersebut


beranggapan jika merekalah yang paling berjasa dibandingkan dengan pekerja di unit
lainnya. Pada aktivitas pengeboran terlibat PERTAMINA yang seringkali turut
melibatkan subkontraktor asing. Mereka menyaksikan para pemimpin hanya berpangkat
sebagai superintendent berangkat ke tempat pengeboran dan pulang dengan
menggunkaan helikopter.

Penutupan unit pengeboran dipandang sebagai sutu kebijakan yang diskriminatif.


Hal ini pun menimbulkan rasa kekecewaan dikalangan buruh subkontraktor. Kawilarang
yang juga memiliki wewenang atas ini mengumpulkan berbagai aspirasi yang
berkembang di kalangan buruh subkontraktor. Dan suatu yang perlu diketahui, bahwa
seluruh buruh dipersatukan oleh perasaan tiadanya keadilan. Maka dari itu dilakukan
sebuah rapat yang mana hasilnya memperlihatkan tentang apa yang menjadi tuntutan para
buruh, yakni :

1. Supaya pekerja tetap (subkontrakrot) diangkat menjadi karyawan VICO.


2. Penghapusan Yayasan Dana Tabungan Pensiun (YDTP) sebesar 3,88% dari total
kontrak, karena tidak transparan penggunaannya bagi buruh.
3. Karyawan yang telah di PHK dipekerjakan kembali.

Pada tanggal 6 September 1999 buruh melakukan aksi mogok kerja. Pada hari
pertama dari aksi mogok kerja tersebut hanya didukung sekitar 100 orang, yang mana
terdiri atas buruh subkontraktor jasa pengelasan dan perpipaan PT Perdana Karya.
Selanjutnya di hari kedua pemogokan kerja tersebut meningkat menjadi 800an orang. Dan
pada hari ketiga mencapai angka ribuan yakni 2000 orang, yang mana terdiri atas 16
perusahaan subkontraktor tersmasuk pada bagian catering juga ikut mogok. Bagi
karyawan VICO aksi tersebut diluar dugaan. Hal itu dikarenakan akibat dari pemogokan
kerja yang dilakukan oleh para buruh, maka pada saat itu juga karyawan yang maju
menggantikan posisi mereka dalam menjalankan kegiatan mereka.

Akan tetapi, pihak daripada perusahaan raksasa ini tidak memberikan respon
terhadap para penuntut. Tetapi hal ini pun karena memang pada kontrak yang menyatakan
bahwa tiadanya pertanggungjawaban atas buruh subkontraktor. Buruh dibiarkan
melakukan aksi unjuk rasa begitu saja. Atas tiadanya respon yang diterima oleh kaum
buruh, maka aksi mereka tidak sampai disitu saja. Para buruh tersebutpun sampai
melakukan tindakan pemblokadean seluruh akses perusahaan. Maka akan hal itu, Juanda
Pangaribuan selaku KORWIL SBSI Kalimantan Timur mengambil tindakan. Juanda
menuding DEPNAKER menjerumuskan para buruh demi kepentingan perusahaan
dengan mengalihkan tanggungjawab pengusaha pemberi kerja dengan menggonta – ganti
subkontraktornya.

Ketika pihak VICO membuka suara, mereka malah mengatakan bahwa tuntutan
SBSI salah sasaran. Mereka menyatakan jika seharusnya tuntutan tersebut ditujukan
kepada perusahaan subkontraktor. Kemudian, pada tanggal 7 Oktober 1999, HUMAS
DPC SBSI Samarinda memobilisasi puluhan Pengurus Komisariat (PK) melakukan aksi
unjuk rasa di gedung DPRD. Sayangnya, usaha tersebut gagal. Setelah itu beberapa kali
perundingan sempat dilakukan agar dapat memecahkan dan mencari solusi dari masalah
tersebut. Akan tetapi, para buruh mulai bekerja kembali tepatnya pada 25 Oktober 1999.

Pada akhir Maret 2000 pemerintah menyelenggarakan Forum Komunikasi


TRIPARTIT Indonesia (FKTI), dimana didalamnya terdiri atas pengusaha, pekrja, serta
pemerintah. FKTI menyerukan kepada pengusaha agar dapat memberikan hak – hak
buruh secara normatif. Dan pernyataan itupun ditandatangani oleh pengusaha, pekerja,
dan pemerintah. Ajuan FKTI serta desakan TKPP direspon oleh VICO yang tidak
menghendaki pemogokan yang terjadi pada satu tahun sebelumnya, dengan
melaksanakan program pendidikan perburuan pada 27 dan 28 Juni 2000. Hal ini tak lain
agar dapat menciptakan kemitraan dalam hubungan industrial yang harmonis antara
pengusaha dan pekerja. Akhirnya pada saat proses pengajaran tersebut berlangsungterjadi
perdebatan mengenai masalah ketenagakerjaan. Mereka meminta hak yang diberikan
kepada karyawan, seperti upah lembur, cuti, dan lain sebagainya.

Bagi perusahaan gergasi ini, segala permintaan buruh tertuju pada wewenang
pengusaha jasa penunjang yang memiliki kedudukan sebagai badan hukum tersendiri.
VICO dipandang sewenang – wenang dalam mencampuri urusan perusahaan lain.
Padahal sama saja dengan yang lain ia pun harus tunduk kepada PERTAMINA. Hingga
pada 2 Agustus 2000 buruh dan mantan buruh subkontraktor kembali melakukan aksi
mogok kerja dikarenakan tuntutan SBSI tidak ditanggapi. Lalu menuding VICO tidak
melaksanakan perjanjian. Pada 3 Agustus 2000, pihak VICO mengadakan rapat bersama
Forum Komunikasi Jasa Penunjang serta wakil – wakil subkontraktor membahas tuntutan
SBSI. Akan tetapi hasilnya masih sama dengan pernyataan “jika tuntutan tersebut salah
alamat”.

Berbagai perudingan dilakukan demi mengobati rasa kekecewaan yang dirasakan


oleh para buruh. Hingga pada 31 Oktober, para buruh kembali melakukan aksi
memblokade kamp VICO. Serta turut menggerakkan masyarakat lain seperti anak
sekolah dan kaum wanita untuk menutup akses. Dengan cara mereka membangun sebuah
penghalang setinggi dua meter. Pihak SBSI menyatakan bahwa pada saat itu yang terlibat
sebanyak 4000 orang. Dalam aksi pemogokan tersebut ternyata juga mendapatkan
dukungan dari kelompok mahasiswa yang tergabung dalam POKJA 30 yang dipimpin
oleh Kahar Al Bahri S.Pd. Dimana kelompok ini bercita – cita agar pemerintahan bisa
mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan terbuka.

Keberanian buruh untuk melakukan aksi pemogokan selain karena rasa


solidaritas, tetapi juga karena mereka memiliki alternatif pekerjaan lainnya. Pemogokan
yang merupakan sebuah bentuk protes atas tidak adanya keadilan hidup. Para pemimpin
kelompok pemogok – pemogok menanamkan kesadaran kelompok dan mengkoordinasi
gerakan pemogokan sebgai upaya mendesak pengusaha untuk berunding. Persoalan
hubungan perburuhan diperlakukan sebagai masalah antara buruh dan pengusaha. Pejabat
DENPAKER cenderung memihak buruh. Namun, setelah interaksi meluas ke luar
komunitas tambang, posisi buruh menjadi Lemah. PERTAMINA menarik diri sebagai
penanggugjawab. Pengadilan tidak mempersoalkan pelaksanaan sistem kontrak maupaun
polisi menembaki pemogok, akan tetapi mengadili pimpinan SBSI sebagai penghasut
tindakan kekerasan.

C. Kesimpulan

Pemogokan yang terjadi merupakan suatu gejala yang pelik. Dari segi sudut
pandang hukum bahwa apa yang sebelumnya dikatakan memang yang sebenarnya. Akan
tetapi pemogokan terjadi pada tahun 1999 dan setelahnya, 2000. Hal ini pun
memperlihatkan kepada kita bahwa apa yang terjadi pada saat itu bukan sekedar konflik
hukum bahkan hubungan kerja. Pemogokan yang terjadi pada kaum buruh itu sebenarnya
merupakan hasil daripada hubungan – hugungan sosial, ekonomi, serta juga budaya
masyarakat di sekitarnya atau bisa dibilang merupakan suatu protes komunitas lokal.

Peranan negara yang sangat menentukan corak hubungan antar buruh dan
pengusaha, dalam sejarah Indonesia mengalami perubahan yang kontradiktif. Hal ini bisa
terlihat pada masa sebelum Indonesia merdeka. Negara – negara kolonial cenderuang
berpihak kepada para pengusaha serta sebuah bentuk pemerintahan yang tidak adanya
penempatan hitam di atas putih. Bisa kita pahami jika bentuk protes buruh ini terjadi pada
saat kekuasaan negara sedang lemah, yaitu krisi ekonomi yang tngah melanda Indonesia,
1997. Buruh diberi kelonggalaran dalam berserikat untuk berekspresi dalam politik untuk
memperoleh sebuah kesejateraan hidup dan keadilan.
SUMBER :

Bambang Sulistyo Edy, P. 2005. PEMOGOKAN BURUH


SUBKONTRAKTOR VICO DI MUARA BADAK, KALIMANTAN
TIMUR 1999 – 2001 . Disertasi. Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai