NIM : F061201050
Email : tritry07@gmail.com
No. Hp : 085600961376
IDENTITAS DISERTASI:
Disertasi ini dijadikan sebagai objek review, dikarenakan; pertama, karena judul
daripada disertasi ini sejalan dengan mata kuliah yang diikuti, yakni Sejarah Tambang.
Kedua, disertasi ini memiliki bacground dan tema yang sama dengan reviewer, yaitu
Tambang.
Pada pendahuluan yang terdapat di disertasi, dikatakan bahwa pada tahun 1999
dan pada tahun setelahnya, buruh subkontraktor melakukan pemogokan kerja serta
melakukan aksi memblokade kamp (kompleks perkantoran, kilang dan mes penginapan
karyawan) Virginia Company (VICO), perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi,
multi-nasional yang beroperasi di daratan (onshore) Blok Sanga – sanga, Kalimantan
Timur. Perlu diketahui bahwa masyarakat atau buruh – buruh yang melakukan
pemogokan tersebut mencapai angka yang tidak main – main, yakni sesuai dengan
pengakuan para pemogok mencapai angka lebih dari 4. 000 orang.
Pemogokan ini sendiri terjadi pada bulan November 1999, Agustus, September,
Oktober dan November 2000, dan pemogokannya pun baru berakhir ketika para penegak
hukum atau polisi melakukan aksi penembakan terhadap para pemogok dan menangkap
para pemimpinnya pada tanggal 12 November 2000.
pada bab kedua daripada disertasi ini memberikan informasi bagaimana latar
belakang sosial, politik serta geografisnya. Muara Badak sendiri diresmikan pada tahun
1965, yang mana lokasinya berada di daratan delta Sungai Mahakam tepatnya di bagian
utara, dengan luas yang dimiliki adalah 939,09 kilo meter persegi. Daerah ini diapit oleh
beberapa kecamatan. Pada sebalah Baratnya, berbatasan dengan Kecamatan Tenggarong
dan Kotamadya Samarinda. Lalu pada bagian Selatannya, Muara Badak berbatasan
dengan Kecamatan Anggana yang kemudian pada sebelah Utaranya berbatasan dengan
kecamatan Marangkayu.
Sebelum tahun 1997, daerah ataupun kecamatan ini luas karena pada saat itu
Kecamatan Marangkayu masih menjadi bagiannya (dengan luas yang dimiliki mencapai
angka 1. 165,71 km persegi). Ketika kecamatan tersebut masih menyatu, mereka
berbatasan dengan Kota Madya Bontang dan juga Kecamatan Sebulu. Kecamatan Muara
Badak terdiri atas beberapa kelurahan yang terhampar dari Selatan ke Utara (Saliki,
Salopalai, Muara Badak Ulu, Muara Badak Ilir, dan Tanjung Limau.
Dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat tersebut, maka sikap anti perusahaan
asing tersebut memuncak pada saat MPRS menerima gagasan Sukarna yang mana
bunyinya adalah :
Setelah itu sikap anti perusahaan asing tersebut berubah menjadi sebuah
kompromistis ketika radikal penentang daripada kapitalisme asing jatuh akibat dari
gagalnya pemberontakan G 30 S PKI pada 1965. Hutang negara mencapai angka US
2.500.000.000,-. Perdagangan hampir lumpuh. Wacana yang berkembang adalah krisis
ekonomi yang semkain parah.
VICO sama halnya dengan perusahaan tambang lain, yakni masih menjalankan
tradisi yang ada pada mas pemerintahan kolonial. Pada starata atas hirarki meliputi orang
– orang yang berkulit putih, meskipun jumlahnya bisa dibilang kecil tetapi hebatnya
mereka memiliki hak yang istimewa. Selanjutnya pada tataran kedua, hirarki pekerja,
yaitu para pekerja Indonesia (karyawan), dimana mereka mendominasi jabatan staf dan
non-staf. Yang dimaksudkan sebagai staf adalah jabatan pimpinan sedangkan non-staf
sendiri adalah tenaga ahli.
Perusahaan ini menganut sudut pandang, bahwa organisasi kerja bisa berfungsi
apabila kepemimpinan berda pada satu orang, yakni pimpinan tertinggi eksekutif.
Komunikasi antara karyawan diperlukan agar terciptanya keselarasan dan kekompakan,
yang maka dari itu VICO menerbitkan buletin berkala Warta VICO. Personalia VICO
yang dipimpin pejabat kepala seksi akan melayani dengan sikap yang lemah lembut dan
juga ramah. Keberadaan perusahaan besar ini mendorong terjadinya migrasi pencari ke
kerja ke Muara Badak termasuk para kalangan pedagang.
Produksi minyak negara – negara non OPEC sejak tahun 1982 melimpah di
pasaran dunia, sehingga hal itu membuat harga minyak turun. Hal ini pun memberikan
arti jika keuntungan perusahaan minyak terus berkurang. Kegiatan eksplorasi di
Indonesia mulai berkurang sejak tahun 1981, dan diikuti pada tahun setelahnya jumlah
daripada pekerjanya pun mulai dikurangi. Akan tetapi pada tahun 1983 kembali
meningkat. Dan ini memperlihatkan bahwa VICO merupakan penyumbang utama kas
negara. Pengendalian pekerja juga lebih mudah oleh pembentukan kelompok – kelompok
etnis. Kedudukan perusahaan menjadi kuat dihadapan para pekerjanya, dikarenakan
masing – masing kelompok etnis menunjukan loyalitasnya kepada pemimpin. Tetapi,
apabila terjadi konflik antar karyawan dengan pengusaha maka pimpinan perusahaan bisa
memanfaatkan ketidakadilan antar karyawan yang berbeda etnisnya.
Ketika krisis ekonomi melanda, Muara Badak dijadikan sebagai tempat tulang
punggung kehidupan penduduk daerah lain. Maka untuk meminimalisirkan krisis
ekonomi tersebut sebagian penduduk mulai mencari atau beralih untuk menyambung
hidup mereka. Sebagian ada yang menjadi petani, menjadi nelayan, dan ada juga yang
menjadi pedagang. Selain itu juga, ada pula yang membuka lahan perkebunan tanpa
adanya ijin yang permanen. Meski krisis ekonomi itu telah usai, kekecewaan buruh
subkontraktor masih berjalan. Kelompok – kelompok eks buruh subkontraktor inilah
yang menjadi pendukung daripada pemogokan tahun 1999 dan 2000.
BAB V. PEMOGOKAN BURUH SUBKONTRAKTOR VICO DI MUARA BADAK
(1999 – 2000)
Pada bab ini, merupakan inti dari pada disertasi sang penulis. Dan pada bab ini pun
terdapat tiga bagian yang akan menguraikan penjelasan mengenai pemogokan tersebut.
Pada September 1999, kontrak kendaraan berupa mobil termasuk dengan sopirnya
yang terdiri atas ratusan orang, yakni 419, berakhir. Bersamaan dengan hal tersebut,
perusahaan gergasi itu memborong mobil yang merupakan brand baru sebanyak 150 unit.
Hal ini menunjukkan jika perusahaan itu tidak akan lagi menyewa kendaraan, lantaran
telah memiliki kendaraan pribadi. VICO telah memberikan pernyataan jika hasil produksi
gas dan minyak bumi sudah mulai menurun. Bukan hanya itu, akan tetapi perusahaannya
pun hanya bisa merekrut dan menerima 200 eks sopir.
Hal ini pun dinilai tidak manusiawi dan sewenang – wenangnya. Dari situlah
timbul sebuah keinginan untuk melakukan sebuah protes. Para sopir – sopir ini pun
menemui sopir lainnya untuk terlibat atau turut andil dalam protes tersebut. Para sopir
berpendapat bahwa, jika mereka menjadi karyawan VICO, maka itu adalah sebuah
keberuntungan. Solidaritas buruh terbentuk oleh organisasi kerjanya. Para sopir
terorganisasi pada tempat – tempat pemberangkatan (pool driver). Di tempat tersebut
mereka berkumpul untuk mendapatkan tugas pimpinannya yakni koordinator
(dispatcher) yang bertugas sebagai buruh subkontraktor.
Pada tanggal 6 September 1999 buruh melakukan aksi mogok kerja. Pada hari
pertama dari aksi mogok kerja tersebut hanya didukung sekitar 100 orang, yang mana
terdiri atas buruh subkontraktor jasa pengelasan dan perpipaan PT Perdana Karya.
Selanjutnya di hari kedua pemogokan kerja tersebut meningkat menjadi 800an orang. Dan
pada hari ketiga mencapai angka ribuan yakni 2000 orang, yang mana terdiri atas 16
perusahaan subkontraktor tersmasuk pada bagian catering juga ikut mogok. Bagi
karyawan VICO aksi tersebut diluar dugaan. Hal itu dikarenakan akibat dari pemogokan
kerja yang dilakukan oleh para buruh, maka pada saat itu juga karyawan yang maju
menggantikan posisi mereka dalam menjalankan kegiatan mereka.
Akan tetapi, pihak daripada perusahaan raksasa ini tidak memberikan respon
terhadap para penuntut. Tetapi hal ini pun karena memang pada kontrak yang menyatakan
bahwa tiadanya pertanggungjawaban atas buruh subkontraktor. Buruh dibiarkan
melakukan aksi unjuk rasa begitu saja. Atas tiadanya respon yang diterima oleh kaum
buruh, maka aksi mereka tidak sampai disitu saja. Para buruh tersebutpun sampai
melakukan tindakan pemblokadean seluruh akses perusahaan. Maka akan hal itu, Juanda
Pangaribuan selaku KORWIL SBSI Kalimantan Timur mengambil tindakan. Juanda
menuding DEPNAKER menjerumuskan para buruh demi kepentingan perusahaan
dengan mengalihkan tanggungjawab pengusaha pemberi kerja dengan menggonta – ganti
subkontraktornya.
Ketika pihak VICO membuka suara, mereka malah mengatakan bahwa tuntutan
SBSI salah sasaran. Mereka menyatakan jika seharusnya tuntutan tersebut ditujukan
kepada perusahaan subkontraktor. Kemudian, pada tanggal 7 Oktober 1999, HUMAS
DPC SBSI Samarinda memobilisasi puluhan Pengurus Komisariat (PK) melakukan aksi
unjuk rasa di gedung DPRD. Sayangnya, usaha tersebut gagal. Setelah itu beberapa kali
perundingan sempat dilakukan agar dapat memecahkan dan mencari solusi dari masalah
tersebut. Akan tetapi, para buruh mulai bekerja kembali tepatnya pada 25 Oktober 1999.
Bagi perusahaan gergasi ini, segala permintaan buruh tertuju pada wewenang
pengusaha jasa penunjang yang memiliki kedudukan sebagai badan hukum tersendiri.
VICO dipandang sewenang – wenang dalam mencampuri urusan perusahaan lain.
Padahal sama saja dengan yang lain ia pun harus tunduk kepada PERTAMINA. Hingga
pada 2 Agustus 2000 buruh dan mantan buruh subkontraktor kembali melakukan aksi
mogok kerja dikarenakan tuntutan SBSI tidak ditanggapi. Lalu menuding VICO tidak
melaksanakan perjanjian. Pada 3 Agustus 2000, pihak VICO mengadakan rapat bersama
Forum Komunikasi Jasa Penunjang serta wakil – wakil subkontraktor membahas tuntutan
SBSI. Akan tetapi hasilnya masih sama dengan pernyataan “jika tuntutan tersebut salah
alamat”.
C. Kesimpulan
Pemogokan yang terjadi merupakan suatu gejala yang pelik. Dari segi sudut
pandang hukum bahwa apa yang sebelumnya dikatakan memang yang sebenarnya. Akan
tetapi pemogokan terjadi pada tahun 1999 dan setelahnya, 2000. Hal ini pun
memperlihatkan kepada kita bahwa apa yang terjadi pada saat itu bukan sekedar konflik
hukum bahkan hubungan kerja. Pemogokan yang terjadi pada kaum buruh itu sebenarnya
merupakan hasil daripada hubungan – hugungan sosial, ekonomi, serta juga budaya
masyarakat di sekitarnya atau bisa dibilang merupakan suatu protes komunitas lokal.
Peranan negara yang sangat menentukan corak hubungan antar buruh dan
pengusaha, dalam sejarah Indonesia mengalami perubahan yang kontradiktif. Hal ini bisa
terlihat pada masa sebelum Indonesia merdeka. Negara – negara kolonial cenderuang
berpihak kepada para pengusaha serta sebuah bentuk pemerintahan yang tidak adanya
penempatan hitam di atas putih. Bisa kita pahami jika bentuk protes buruh ini terjadi pada
saat kekuasaan negara sedang lemah, yaitu krisi ekonomi yang tngah melanda Indonesia,
1997. Buruh diberi kelonggalaran dalam berserikat untuk berekspresi dalam politik untuk
memperoleh sebuah kesejateraan hidup dan keadilan.
SUMBER :