Anda di halaman 1dari 3

Sejak perusahaan pertambagan terbesar dan bermodal asing pertama di Indonesia mulai melakukan

eksploitasi di kabupaten Timika propinsi Papua, eksploitasi terhadap sumberdaya alam menimbulkan
konflik, konflik sumber daya alam yang terjadi antara masyarakat tujuh suku (dua suku besar dan lima
suku kekerabatan) dan perusahaan. Kehadiran PT FI di Kabupaten Timika berdampak negatif dimana
terjadi masalah sosial terpinggirkannya masyarakat Amungme dan Kamoro serta lima suku kekerabatan,
masalah lingkungan,limbah tailing hampir 1 milyar ton waste rock yang menghancurkan gunung
gasberg,tercemarnya sungai aijwa, meluapnya danau wanagon, dan masalah pelanggaran Ham,
pembunuhan dan penghilangan orang, penyiksaan dan kekerasan seksual dilokasi dan sekitar tambang.
Konflik sosial masyarakat tujuh suku dengan perusahaan Freeport terjadi terus dan berkepanjang, dan
perusahaan telah berkomiten untuk menyisihkan pendapatan kotor perusahaan untuk pengembangan
masyarakat tujuh suku (dana satu persen). Berdasarkan hal tersebut sehingga sangat menarik
malakukan penelitian dengan judul “STUDI DAMPAK PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
PT FREEPORT INDONEDIA TERHADAP KONFLIK SOCIAL MASYARAKAT TUJUH SUKU DI KABUPATEN
TIMIKA PAPUA”, dengan rumusan masalah : Bagaimana Dampak pengembangan program Corporate
Social Responsibiliy oleh PT FI melalui LPMAK dengan program pengembangan masyarakat tujuh suku
terhadap pola konflik sosial pada masyarakat tujuh suku di Papua? Apa isi program CSR dan Bagaimana
Efektivitas program CSR dalam meredam konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan,
masyarakat tujuh suku dengan pendatang, dan masyarakat lokal dengan masyarakt lokal? Untuk
menjawab rumusan masalah tersebut maka metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian deskriptif kualitatif yakni prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dan menggambarkan
subjek/objek penelitian,Teknik yang digunakan adalah teknik dokumentasi, wawancara,dan observasi
dan teknik analisis data yaitu Triangulasi. Sebagai responden Lembaga Pengembangan Masyarakat
Amungme dan Kamoro, Pejabat perusahaan Freeport, Kepala -kepala Adat (kepala suku) masyarakat
tujuh suku, Aparat keamanan, Kelompok masyarakat tujuh suku, ketua ikatan penduduk pendatang, dan
pemerintan daerah. Hasil penelitian menunjukkan dengan adanya program CSR PTFI yang dikelola oleh
LPMAK,dengan dana satu persen dari pendapatan kotor perusahaan yang merupakan komitmen sosial
perusahaan dengan program pengembangan masyarakat pada bidang ekonomi masyarakat, bidang
kesehatan dan bidang pendidikan, ala san mengapa Program CSR harus ada, karena konflik sosial
masyarakat yang terjadi berkepanjangan antara masyarakat pemilik hak ulayat dengan perusahaan
Freeport,Bentuk program yang dilakukan yaitu program ekonomi, program kesehatan dan program
pendidikan, Dampak dari program yang telah dilakukan tidak berhasil memberdayakan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tujuh suku.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana keterlibatan PT Freeport dalam
mengisi peningkatan pembangunan sumber daya pendidikan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat
Asliiuku Amungme dan Kamoro Kabupaten Mimika di pedalaman Papua sebagai hak pemilik ulayat
daerah penambangan ketika eksplorasi sampai pada eksploitasi pertambangan dimulai. Ketika PT
Freeporl telah berada diwilayah Kabupaten Mimika telah terjadi peningkatan bidang ekonomi dan
pendidikan pada masyarakat dua Suku Amungme dan suku Kamoro, tetapi juga terjadi mengalami
permasalahan atas kehadirannya. Sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai, maka metode
penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif dimana akan
menggambarkan tentang permasalahan yang ada secara kualitatif. Penulis menjelaskan fakta yang ada
dari berbagai sumber buku dan majalah surat kabar atau internet ataupun literature literatur. Semua
data ini pengumpulannya melalui penelitian pustaka atau Library research. Hasil penetitian ini
menunjukkan bahwa keberadaan PT Freeport - Ameika Serikat dari pandangan positif telah dan akan
terjadi perubahan daerah dan tersolir karena atas nama pembangunan daerah. Tetapi dalam kaitannya
dengan perubahan wilayah daerah masyarakat ada segi negatifnya Adat  akan menimbulkan konflik
antara marga, etnis atau suku baik veftikal maupun horizontal pihak perusahan atau pemerintah karena
proses pelaksanaan pembangunannya tidak melibatkan masyarakat dalam peningkatan ekonomi dan
pendidikan secara penuh. Kalaupun dalam berbagai media tetah dituliskan bahwa Community
Develpoment telah memfokuskan program bermitra masyarakat dua suku melalui lembaga
pemberdayaan masyarakat Amungme dan Kamoro. Akibatnya adatah terjadi konflik karena rasa
ketidakadilan atas ekonomi dan pendidikan sense of injustice educations and economic pada
masyarakat dua suku pedalaman Papua yang berada pada wilayah kekuasaan penambangan PT Freeport
Amerika Serikat.

Masih berkaitan dengan poin di atas, ternyata keuntungan maha besar yang diperoleh Freeport
tak serta merta dirasakan oleh para penduduk di sekitarnya. Terdapat kesenjangan lebar antara
mereka yang bekerja di Freeport dengan penduduk setempat.

Ilustrasi kesenjangan sosial. Para penduduk asli yang tinggal di komplek pertambangan tersebut
ternyata hanya menempati Indeks Pembangunan Manusia ke 212 dari 300an lebih kabupaten
yang ada di Indonesia. Sebagian besar penduduknya kesulitan memperoleh akses kesehatan atau
sekadar air bersih untuk kehidupan mereka sehari-hari.

Lingkup area pertambangan semakin luas, sedangkan wilayah permukiman penduduk semakin
tersingkir. Area modern di sekitar Timika hanya ditempati oleh kalangan pendatang yang
biasanya merupakan para profesional atau ekspatriat dari Freeport. Ironis bukan, ketika kita
melihat adanya permukiman kumuh di sekitar kawasan industri pertambangan terbesar, yang
bukan hanya di Asia saja, tapi juga di dunia.

Salah satu yang paling memprihatinkan adalah banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di
tanah Papua tersebut. Masyarakat asli yang berasal dari Suku Amungme dan Suku Komoro yang
merupakan pemilik sejati kekayaan di sekitar daerah itu, tersisih begitu saja oleh tangan-tangan
kapitalisme yang menguasai pertambangan tersebut.

Masyarakat Papua yang berujunk rasa menentang Freeport. Seorang ahli Antropologi bernama
Chris Ballard dan aktivis HAM dari Amerika Serikat, Abigail Abrash, mengestimasi bahwa
selama kurun waktu 1975 hingga 1997 sedikitnya 160 orang telah tewas. Para pelakunya
merupakan militer negara kita yang diduga telah memperoleh kompensasi tinggi dan
perlindungan dari Freeport sehingga mereka dapat lolos dari jerat hukum.

Bahkan, pada tahun 2014 lalu, mengacu pada hasil penyelidikan dan pemantauan yang telah
dilakukan, Komnas HAM menyatakan kalau Freeport diduga kuat telah lalai menjalankan tugas
yang mengakibatkan 28 nyawa pekerjanya tewas. Kejadiannya sendiri terjadi pada tanggal 14
Mei 2013, ketika itu terowongan Big Gossan yang menjadi salah satu akses masuk para pekerja
ke pertambangan, runtuh.

Terlepas dari banyak atau sedikitnya permintaan negara-negara di dunia terhadap logam mulia
yang dihasilkan, Freeport tak pernah menunjukkan tanda-tanda untuk mengurangi daya produksi
mereka. Hal ini tentu saja semakin melipatgandakan keuntungan yang mereka dapatkan. Hal
yang berbanding lurus dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan mereka. Pada awal
berdirinya, Freeport hanya mendapat wilayah konsesi seluas 10 ribuan hektar. Sedangkan, saat
ini wilayah mereka telah mencapai 2,6 juta hektar.

Ilustrasi pendemaran lingkungan. Dari total luas wilayah dan masa mereka beroperasi, Freeport
telah menimbulkan dampak lingkungan yang tak main-main. Limbah batuan yang berasal dari
tambang Grasberg berpotensi membentuk asal limbah bantuan. Serta yang paling parah adalah
tingginya tingkat racun tailing dan logam berat yang telah mencemari lingkungan perairan serta
ekosistem flora dan fauna yang ada di sekitarnya.

PT Freeport Indonesia juga selama ini belum pernah lagi mengumumkan dokumen-dokumen
penting terkait bukti tanggung jawab mereka terhadap dampak lingkungan sosial yang
dihasilkan. Sejak tahun 1999. Freeport juga tak pernah mengumumkan laporan audit eksternal
independen tiga tahunan yang seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan sebesar
mereka.

Freeport bisa seperti sekarang karena pemerintah menilai bahwa sumber daya manusia maupun
teknologi yang tersedia Indonesia dinilai belum mampu mengelola pertambangan besar ini.
Terkait dengan negosiasi yang masih berlangsung, semoga saja pemerintah saat ini berani
mengambil kebijakan yang paling tepat yang dapat membawa era baru untuk perubahan
Indonesia yang lebih maju.

Anda mungkin juga menyukai