Anda di halaman 1dari 6

UNIVERSITAS PENDIDIKAN NASIONAL (UNDIKNAS) DENPASAR

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


Jl. Bedugul No. 39 Sidakarya Denpasar, Telp./Fax. (0361) 723077/723868

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)


SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2018-2019

Mata Kuliah : Corporate Social Responsibility (Sore)Pengajar : Kt. Tanti


Kustina, SE,MM,Ak,CA
Hari : Selasa ,4 DESEMBER 2018
Ruang : A.4.1 - A. 4.3 / TAKE HOME Jam : 20.00-21.30 WITA

 KASUS CSR :
    
PT.Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas
sahamnya dimiliki Freeport-MCMoRan Copper & Gold Inc. sebuah perusahaan Amerika
Serikat,PT. Freeport Indonesia merupakan penghasil emas terbesar di dunia melalui
tambang Grasberg. Freport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di
Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari tahun 1967) dan tambang Grasberg
(sejak tahun 1988) di kawasanTembaga Pura, Kabupaten Mimika, Propinsi Papua.
         Freeport telah berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 milliar
dollar AS pertahun, keberadaannya telah memberikan manfaat langsung dan tidak
langsung Indonesia dimana 33 milliar dollar AS dari tahun 1992 –2004 telah berikan
kepada Pemerintah Indonesia. Menurut New York Times pada Desember 2005, jumlah
yang telah dibayarkan Freport Indonesia kepada pemerintah Indonesia antara
tahun1998 – 2004 mencapai hampir 20 milliar dollar AS. Pemerintah Indonesia,
masyarakat Papua dan PT. Freepot telah menyetujui pembaruan kontrak investasi PT.
Freeport di Papua dengan di tanda-tanganinya kontrak investasi untuk 30 tahun yang
akan datang.
         Perusahaan sudah melaksanakan tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan
lingkungannya, ini dibuktikan dengan mempekerjakan orang-orang Papua diarea
pertambangan dan melakukan konservasi terhadap lingkungan. Sebenarnya apabila
dilihat dari sudut pandang perusahaan bahwa investasi yang sangat besar yang
dilakukan di tanah Papua harus menguntungkan dari segi financial untuk jangka
panjang karena terkait dengan kepentingan para pemegang saham perusahaan.
Dengan ditanda tanganinya kontrak artinya semua pihak yang terlibat paham dan
mengerti isi kontrak tersebut, jadi PT. Freeport harus menjalankan kewajibannya
terhadap pemerintah, masyarakat dan lingkungan sesuai dengan isi kontrak tersebut.
PT. Freeport Indonesia telah memberikan kompensasi terhadap masyarakat Papua,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian masyarakat Papua yang lain tidak
mendapatkan ganti rugi. Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika,
yang penghasilannya hanya sekitar $132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan
penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang
ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk
asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa
dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas
pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan
pelanggaran HAM
        Mereka yang tidak memperoleh kompensasi dengan didukung oleh pihak-pihak
yang menolak keberadaan PT Freeport Indonesia dan atau mereka yang mencari
keuntungan pribadi, selalu berusaha untuk mengganggu kegiatan opersional
perusahaan baik melalui media massa maupun dengan melakukan penyerangan
langsung ke area pertambangan, sehingga banyak karyawannya yang tidak bersalah
telah menjadi korban penyerangan tersebut.
Beberapa permasalahan atau kasus CSR yang melibatkan PT Freeport Indonesia dan
dipublikasikan oleh beberapa media di tanah air antara lain:

1. Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak
seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah
rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa
kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai
itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai
tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport
(Davis, G.F., et.al., 2006). Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau
tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi
yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran
tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan
ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
2. Keberadaan tambang emas terbesar di dunia yang berada di Papua sama sekali
tidak memberikan keuntungan pada masyarakat sekitarnya. Freeport sebagai
pengelola hanya ‘menyuap’ masyarakat dengan dana CSR (Corporate Social
Responsibility) atau dana bantuan dan bina lingkungannya. Salah satu anggota
DPR yang tergabung dalam tim pemantau Otonomi Khusus Aceh dan Papua,
Irene Manibuy mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana
CSR. Papua butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk pengelolaan.

Bacalah artikel diatas. Buatlah analisis dari teori CSR yang sudah dibahas dalam kelas.
Dan analisis masalah perlu dijawab sebagai berikut:
1. Apakah PT Freeport Indonesia termasuk perusahaan yang professional jika
dilihat dari CSR yang dilakukannya?
2. Apakah CSR yang dilakukan PT Freeport Indonesia sudah memenuhi kewajiban
hukum dan kewajiban moral jika ditinjau dari etika bisnis?

UNIVERSITAS PENDIDIKAN NASIONAL (UNDIKNAS) DENPASAR


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
Jl. Bedugul No. 39 Sidakarya Denpasar, Telp./Fax. (0361) 723077/723868

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)


SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2018-2019
(ANALISIS KASUS PT. FREEPORT INDONESIA)

Mata Kuliah : Corporate Social Responsibility (Sore)


Nama : Ni Ketut Ayu Rosiana Dewi
Nim : 1.15.2.10217

1. Apakah PT Freeport Indonesia termasuk perusahaan yang professional jika


dilihat dari CSR yang dilakukannya?

Analisis : PT. Freeport Indonesia belum dikatakan professional, ini dilihat dari
bagaimana cara perusahaan tersebut didalam melaksanakan CSR, dimana memang
betul, bahwa perusahaan tersebut melakukan CSR dengan cara memberikan lapangan
pekerjaan bagi penduduk sekitar dengan memperkerjakan orang-orang Papua di area
pertambangan dan melakukan konservasi di lingkungan sekitarnya. Dengan adanya
salah satu Perusahaan tambang terbesar di Dunia yang dikenal dengan sebutan PT.
Freeport Indonesia, seharusnya tanah Papua menjadi provinsi yang memiliki
kesejahteraan hidup yang tinggi, karena Papua sendiri sudah memiliki kekayaan alam
yang sangat melimpah. Namun kenyataannya yang terjadi sebaliknya, masyarakat
Papua tetap hidup dengan taraf hidup yang rendah dan masih di bawah garis
kemiskinan. Seharusnya sebagai salah satu perusahaan tambang terbesar, PT.
Freeport tidak hanya mementingkan keuntungan perusahaan namun juga
mensejahterakaan rakyat papua, karena mereka telah banyak berkontribusi untuk
kepentingan PT. Freeport Indonesia. Tidak hanya itu, alasan mengapa PT. Freeport
dikatakan belum professional karena kegiatan dari perusahaan tersebut merusak
lingkungan dan menimbulkan pelanggaran HAM. Keberadaan tambang emas terbesar
di dunia yang berada di Papua sama sekali tidak memberikan keuntungan pada
masyarakat sekitarnya. Freeport sebagai pengelola hanya ‘menyuap’ masyarakat
dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility) atau dana bantuan dan bina
lingkungannya menurut saya, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana
CSR. Papua butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk pengelolaan.
Untuk melaksanakan CSR perusahaan harus mengakui bahwa permasalahan
masyarakat adalah milik mereka juga. Tidak hanya itu, perusahaan juga harus bersedia
menanganinya. Itu dasarnya untuk melaksanakan CSR. Jadi hanya dengan mengakui
masalah apa yang ada di masyarakat dan itu menjadi bagian mereka, maka CSR lebih
mudah dilakukan. Sebab suatu rencana strategis di belakang program-program CSR
bisa jadi akan memberi kontribusi bagi pengurangan kemiskinan dan ketidakadilan
sosial di Republik ini. Dua masalah utama yang harus segera dihapus bersama agar
martabat orang Indonesia tegak berdiri. Dapat disimpulkan jika CSR sangat bermanfaat
untuk masyarakat dan dapat meningkatkan image perusahaan. Jadi, seharusnya dunia
usaha tidak memandang CSR sebagai suatu tuntutan represif dari masyarakat,
melainkan sebagai kebutuhan dunia usaha.

2. Apakah CSR yang dilakukan PT Freeport Indonesia sudah memenuhi kewajiban


hukum dan kewajiban moral jika ditinjau dari etika bisnis?

ANALISIS :
a.     CSR PT Freeport Indonesia berdasarkan Teori Etika Deontology
Konsep teori etika deontologi ini mengemukakan bahwa kewajiban manusia untuk
bertindak secara baik, suatu tindakan itu bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan
akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri
sebagai baik pada dirinya sendiri dan harus bernilai moral karena berdasarkan
kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari
tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak
yang baik dari pelaku.
Dalam kasus CSR PT Freeport Indonesia sesungguhnya mempunyai tujuan yang
baik, yaitu bertujuan untuk memnuhi kebutuhan masyarakat sekitar dengan membuat
sebuah program dana kemitraan untuk pengembangan masyarakat. Akan tetapi
Freeport sendiri ternyata hanya sebatas memberikan dana kemitraan tersebut, melalui
Lempaka Pembangunan Masyarakat Amungne dan Kamoro (LPMAK).
b. CSR PT Freeport Indonesia Berdasarkan Teori Etika Teleologi
            Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya
suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan tindakan itu, atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Jika didasarkan pada Pasal 74
UUPT ayat (2) maka tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban
perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, dalam arti
patut dan wajar untuk membantu kesejahteraan masyarakat.
Namun ternyata dengan adanya program CSR PTFI yang dikelola oleh LPMAK,
dengan dana satu persen dari pendapatan kotor perusahaan yang merupakan
komitmen sosial perusahaan dengan program pengembangan masyarakat pada bidang
ekonomi masyarakat, bidang kesehatan dan bidang pendidikan, alasan mengapa
Program CSR harus ada, karena konflik sosial masyarakat yang terjadi berkepanjangan
antara masyarakat pemilik hak ulayat dengan perusahaan Freeport. Bentuk program
yang dilakukan yaitu program ekonomi, program kesehatan dan program pendidikan,
Dampak dari program yang telah dilakukan tidak berhasil memberdayakan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tujuh suku.
c. Aliran Egoisme Etis
            Aliran ini adalah sebuah tindakan dari perusahaan untuk mengejar kepentingan
pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Berdasarkan aliran ini, dapat dikatakan bahwa
CSR yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia cenderung masuk aliran ini karena
CSR yang diberikan hanya berupa dana kemitraan sebesar 1% dari pendapatan kotor
perusahaan.
Jadi, menurut masyarakat Papua sendiri, pemberian dana sosial lebih pada
ucapan terimakasih perusahaan yang untung kepada negara dalam hal ini rakyat
disekitar tambang. Hanya sebatas ikatan moral sebuah usaha asing yang mau berbagi
berkat. Efek hukum dari CSR tak begitu kuat. Tergantung perusahaan saja mau
membagi atau tidak. Kadang dengan alasan rugi, CSR dikurangi bahkan ditiadakan
sama sekali. Komitmen pembagian tetesan penghasilan yang dikenal melalui dana
sosial sejatinya menjadi kesepakatan baru diluar hukum positif yang tentunya berbicara
soal kewajiban perusahaan kepada warga lokal.
Tanggung jawab Sosial Perusahaan/ Tanggung jawab sosial dan Lingkungan
(Corporate Social Responsibility) yang dulu bersifat mandatory dan voluntary, setelah di
berlakukannya   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas berubah menjadi hanya bersifat mandatory. Dan besarnya CSR yang
dibebankan kepada perusahaan adalah antara 2-5% dari total penerimaan perusahaan.
d. Etika Utilitarianisme
            Aliran utilitarianisme ini adalah suatu kebijakan aau etika perusahaan yang
berupa tindakan dan dapat dikatakan baik jika mendatangkan manfaat atau keuntungan
bagi banyak orang. Dan jika dilihat berdasarkan aliran ini, maka CSR PT Freeport pun
termasuk bertentangan karena menurut masyarakat Papua, PT Freeport hanya
melakukan CSR sebagai bentuk kewajiban atau bisa dikatakan sebagai “keterpaksaan”
demi menaati peraturan perundangan yang ada di Indonesia,  yang jika tidak diikuti
maka bisa mengancam keberadaan Freeport di Papua, sehingga hal tersebut pun
tercermin dari CSR yang tidak mampu untuk memajukan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Pendekatan CSR seperti yang dilakukan oleh Freeport ini tentu saja tidak
memberikan kontribusi secara signifikan bagi peningkatan ekonomi rumah tangga.
Secara ekonomis masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan yang berarti.
Secara politis mereka tidak terberdayakan. Mereka masih terlihat sebagai penerima
program pasif. Masyarakat tidak memiliki ruangan yang cukup untuk berpartisipasi
dalam penentuan program dan mengelolany, karena masyarakat belum ditempatkan
pada posisi sentral dalam realisasi program. Hal ini bukan mekanisme yang tepat untuk
menyiapkan masyarakat pasca ekstraksi. Masa tersebut merupakan masa yang sulit
bagi masyarakat karena resources yang selama ini menjadi bagian dalam
kehidupannya setiap hari tidak bisa dikelola lagi. Masyarakat lokal yang sarat dengan
keterbatasan perlu diberdayakan dan disiapkan untuk menghadapi masa-masa
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai