Anda di halaman 1dari 9

ETIKA BISNIS DAN BUDAYA

PERUSAHAAN DALAM
KASUS PELANGGARAN ETIKA
BISNIS DI PT FREEPORT DI
PAPUA

M. BILAL
PROFIL SINGKAT PT. FREEPORT
INDONESIA
• PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper
& Gold Inc.. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang
mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten
Mimika Provinsi Papua, Indonesia. Kami memasarkan konsentrat yang mengandung
tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.
• PT Freeport Indonesia merupakan jenis perusahaan multinasional (MNC),yaitu perusahaan
internasional atau transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang
di berbagai negara maju dan berkembang
• Saat ini, saham sebesar 51,23 persen PT Freeport Indonesia di miliki oleh Indonesia ketika
di beli oleh PT Inalum (Persero) baru-baru ini, agak lucu sih “Masak Kita Beli Punya Sendiri”.
AWAL PERMASALAHAN YANG
TERJADI
Ada sinyal kuat bahwa memang telah terjadi distorsi etika dan pelanggaran kemanusiaan
yang hebat di Papua. Martabat manusia yang seharusnya dijunjung tinggi, peradaban,
kebudayaan, sampai mata rantai penghidupan jelas-jelas dilanggar. Ketika sistematika
kehidupan yang sangat drastis tersebut sudah tidak bisa lagi ditahan, ledakan kemarahan
komunitas itu terjadi (Hutchins, M.J., et.al., 2007).
Itu adalah fakta keteledoran pemerintah yang sangat berat karena selama ini bersikap
underestimate kepada rakyat Papua. Gagasan mendapatkan kesejahteraan dengan
intensifikasi industrialisasi nyata-nyata gagal. Ironisnya, Freeport sebagai representasi
hegemoni peradaban industrialisasi modern yang terkenal dengan implementasi konsep
menghargai heterogenitas dan diversitas (Velasquez, M.G., 2006), ruparupanya, hanya jargon
belaka. Dua kali pekerja Freeport melakukan aksi mogok kerja sejak Juli untuk menuntut hak
normatifnya soal diskriminasi gaji, namun dua kali pula harus beradu otot.
MASALAH MASALAH YANG ADA DI PT
FREEPORT INDONESIA
• Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) disebabkan perbedaan indeks
standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport di seluruh dunia.
Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja
Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5– USD
3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh ini,
perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak
tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
• Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational company) yang otomatis berkelas dunia,
apalagi umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan.
Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab, di situlah terjadi
hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan membutuhkan dedikasi dan
loyalitas agar produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan komitmen
manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.
• Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti tidak
memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang sangat mendasar.
Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege berlebihan,
ternyata sia-sia.
• Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati bertentangan
dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah
diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya
klasik, untuk menambah kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara signifikan sumbangan
PT FI benar-benar untuk negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport
untuk negara Amerika, bukan Indonesia
• Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa
karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar
lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya
habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa
ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008
tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap
Freeport.
Kasus PT. Freeport Indonesia yang di
tinjau dari berbagai teori etika bisnis:
• Teori etika utilitarianisme berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut
teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus
menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Berdasarkan teori utilitarianisme, PT.Freeport Indonesia dalam hal ini sangat bertentangan
karena keuntungan yang di dapat tidak digunakan untuk mensejahterakan masyarakat
sekitar, melainkan untuk Negara Amerika.
• Teori Hak dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan
yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau
perilaku. Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan
kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan
atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok
dengan suasana pemikiran demokratis.
Pengembangan Budaya PT
Freeport Indonesia
Dalam bidang budaya, PTFI berkomitmen untuk
melakukan promosi kebudayaan lokal agar ciri khas
dan khazanah budaya suku asli tetap terpelihara
seiring dengan pembangunan yang berlangsung.
Promosi yang dilakukan ini meliputi promosi ke
dalam dan promosi ke luar. Promosi ke dalam
diperlukan agar masyarakat lokal tetap memahami
budayanya meskipun hidup dan tinggal dan
bersinggungan dengan berbagai macam budaya dari
luar. Sedangkan promosi ke luar bertujuan agar
masyarakat luas dapat mengenal corak kebudayaan
lokal dari Kabupaten Mimika.
Dukungan terhadap pengembangan di bidang agama
menjadi penting karena kehidupan masyarakat
kabupaten Mimika disatukan oleh ikatan keagamaan.
Oleh karena itu, PTFI dan LPMAK juga turut
• Dapat disimpulkan bahwa PT Freeport Indonesia telah melanggar etika
bisnis dimana, upah yang dibayar kepada para pekerja dianggap tidak layak
dan juga telah melanggar UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan yang sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang
Minerba. Karena PT FI berizin penambangan tembaga, namun mendapat
bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon uranium. Selain
bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan
Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F.,
et.al., 2006).
• Sebaiknya pemerintah Indonesia, dalam hal ini menteri ESDM, melakukan
renegosiasi ulang terhadap PT FI. Karena begitu banyak SDA yang ada di
Papua ,tetapi masyarakat papua khususnya dan Negara Indonesia tidak
menikmati hasil dari kekayaan alam yang ada di papua. Justru Amerika lah
yang mendapat untung dari kekayaan alam yang ada di papua. Atau kalau
tidak dapat di negosiasi ulang dan hak para pekerja tidak terpenuhi, lebih
baik pemerintah menasionalisasi PT FI supaya masyarakat papua khususnya
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai