Anda di halaman 1dari 23

Pertemuan -1

Tuhan dan
Men-Tauhid-kan Allah SWT
Oleh :
Dr. Suparno, SH.,MH.,MM
PEMBAHASAN

Pengertian dan Pemahaman


Ketuhanan (Makna Illah dan Tuhan dalam Kehidupan
01 Allah SWT)
02 Muslim

03 Hubungan Makhluk dan 04 Implementasi nilai sila ke-1:


Khaliq Ketuhanan Yang Maha Esa
1
Pengertian dan
Pemahaman Ketuhanan
(Makna Illah dan Allah
SWT)
Pengertian dan Pemahaman Ketuhanan (Makna
Illah dan Allah SWT)
Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap
yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh
manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah
(tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu  Allah,
dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-
benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan
sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) :
165, sebagai berikut:

ِ ‫ون هَّللا ِ َأ ْندَ ًادا ُي ِحبُّو َن ُه ْم َكحُبِّ هَّللا‬


ِ ‫اس َمنْ َي َّت ِخ ُذ ِمنْ ُد‬
ِ ‫َو ِم َن ال َّن‬
Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah.
Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.
Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep
tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari
ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara
ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan
Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-
kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah)
telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran.
Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-
lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep
ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi
Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras
dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama
dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan


dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;
َ ‫مْس َو ْال َق َم َر َل َيقُولُنَّ هَّللا ُ َفَأ َّنى يُْؤ َف ُك‬
‫ون‬ َ ْ‫ت َواَأْلر‬
َ ‫ض َو َس َّخ َر ال َّش‬ ِ ‫َو َلِئنْ َسَأ ْل َت ُه ْم َمنْ َخ َل َق ال َّس َم َوا‬
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan menundukkan
matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.
Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti
orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan
bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas
dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan
ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan
sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana


dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai
jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika
Allah yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah
disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah
sebagai Uswah hasanah.
2
Tuhan dalam
Kehidupan Muslim
Tuhan dalam Kehidupan Muslim

Allah SWT berfirman: “Fir’aun berkata: Siapa Tuhan semesta alam itu? Musa
menjawab: Yaitu Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa di antara
keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) yang
mempercayai-Nya.

Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya: Apakah kamu tidak


mendengarkan? Musa berkata (pula): Tuhan kamu dan Tuhan nenek-moyang
kamu yang dahulu. Fir’aun berkata: Sesungguhnya rasul yang diutus kepada
kamu sekalian benar-benar orang gila. Musa berkata: Tuhan yang menguasai
timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya (itulah Tuhanmu) jika
kamu menggunakan akal” (QS. Asy-Syu’araa, 26:23-28)
Di dalam Al-Qur’an kita akan melihat bahwa wujud Allah yang diyakinkan
kepada kita yang pertama melalui fitrah iman dan makhluk ciptaan-Nya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi,
sesungguhnya itu adalah tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan” (QS. Al Baqarah, 2:164).

Demikian pula, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya: “Apakah mereka


diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri?). Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?
Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)” (QS. Ath
Thuur, 52:35-36).
Lebih jelas lagi Allah SWT menjelaskan melalui dialog antara Nabi Musa
As dengan Fir’aun. Allah SWT berfirman: ”Berkata Fir’aun: Maka
siapakah Tuhanmu berdua, wahai Musa. Musa berkata: Tuhan kami
ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk
kejadiannya, kemudian Dia memberinya petunjuk” (QS. Thaahaa,
20:49-50).

Inilah beberapa ayat dimana Allah SWT menuntut akal manusia untuk
memikirkan penciptaan langit dan bumi dengan segala isinya yang
sebenarnya bila akal setiap manusia mau berfikir, maka tidak akan ada
yang bisa dilakukan oleh manusia kecuali harus menyatakan bahwa
Allah adalah pencipta segalanya.
Salah satu ayat yang layak kita renungkan dalam kehidupan ini untuk lebih mengenal
wujud Allah di antaranya dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang
yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-
sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al Imran, 3:
190-191).

Kembali perlu digarisbawahi bahwa secara fitrah, setiap manusia meyakini


keberadaan wujud Allah, dan di samping itu melalui firman-firman-Nya Allah
mengajak manusia untuk berfikir tentang penciptaan-Nya. Allah yang kita yakini
adalah Dia yang Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa dari segi Dzat, Sifat, dan
juga dari segi aturan dan hukum.
Esa dari segi Dzat di antaranya dijelaskan dalam firman-Nya: “Katakanlah: Dia-lah
Allah, Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang
pun yang setara dengan Dia” (QS. Al Ikhlash, 112:1-4).

Kemudian dalam firman-Nya pula Allah SWT menegaskan: “Dan Tuhanmu adalah
Tuhan yang Mahaesa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah, 2:163). Lebih rinci
lagi Allah SWT menunjukkan bukti-bukti kesalahan kepercayaan orang-orang
musyrik, sebagaimana firman-Nya: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-
tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka, Mahasuci Allah
yang mempunyai ’Arsy daripada apa yang mereka sifatkan” (QS. Al Anbiyaa,
21:22)
Demikian pula Allah SWT menegaskan: “Allah tiada mempunyai anak, dan tiada
tuhan bersama-Nya, kalau sekiranya demikian niscaya tiap-tiap tuhan membawa
makhluk yang diciptakannya dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan
sebahagian yang lain. Mahasuci Allah dari yang mereka sifatkan itu” (QS. Al
Mu’minuun, 23:91).

Jadi, kita sangat meyakini bahwa yang mengendalikan alam ini hanya Dia, Dia Esa
tidak ada yang mendampingi dalam mengendalikan alam semesta alam ini. Sebab
kalau ada yang mendampingi maka alam semesta ini akan hancur, yang satu
menghendaki bumi berputar, yang satu lagi menghendaki bumi tidak berputar, dan
lain sebagainya.

Dia juga Esa dalam Rubbubiyyah, sifatnya sebagai Rabb (dalam hamdallah),
sebagai pencipta, pemelihara, dan pendidik. Dia juga Esa dalam segi Uluhiyah,
berarti Esa untuk diibadahi, artinya tidak dimungkinkan kita untuk beribadah
kepada selain Allah, karena Dia-lah yang menentukan kehidupan kita (iyyaaka
na’budu wa iyyaka nasta’iin).
3
Hubungan
Makhluk dan
Khaliq
Khaliq adalah sesuatu yang menciptakan. Yang menjadikan sesuatu asalnya tidak
ada menjadi ada. Dialah Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Maka hanyalah Ia yang
mampu menciptakan sesuatu. Segala alam semesta ini dan seluruh isinya adalah
hasil karya-Nya. Dan termasuk kita manusia sebagai makhlukNya. Lalu apa yang
dimaksud dengan makhluk? Makhluk adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh
sang Khaliq. Jadi Khaliq adalah yang menciptakan sedangkan makhluk adalah
yang diciptakan.

Jadi akhlaq adalah suatu perbuatan yang dilakukan makhluk terhadap Khaliq.
Sedangkan hubungan khaliq terhadap makhluknya disebut Kholaq. Dalam
berkehidupan tentu, Khaliq lah yang mengatur segala urusan kita. Oleh karena itu,
sudut pandang dalam berkehidupan pun harus berdasarkan sudut pandang Allah
sebagai sang khaliq. Jadi sangat penting kita sebagai makhluk mengetahui akhlaq
seperti apa yang diinginkan oleh-Nya. Akhlaq yang baik tentu harus didasari oleh
keyakinan sebagai pondasi yang kuat. Pondasi ini adalah ketauhidan diri kita
kepadaNya.
Akhlaq terbagi menjadi dua, yaitu akhlaq azimah dan karimah. Akhlaq azimah
berarti mulia dan harus sesuai dengan Al-Quran. Sedangkan karimah berarti
beramal yang agung. Jadi akhlaq yang baik itu adalah perbuatan yang sesuai
dengan Al-Quran. Bahkan akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Quran. Maka mari kita
contoh suri tauladan kita untuk berkehidupan Qurani.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa akhlaq harus didasari oleh
keyakinan yang kuat, yaitu Tauhid kepada Allah. Adapun pondasi Akhlaq secara
terperinci adalah sebagai berikut :
• Iman kepada Allah SWT
• Al-Quran, sebagai akhlaq Rasul
• Rasul, sebagai panutan
• Sunah-Nya, sebagai petunjuk bagaimana cara Rasul melaksanakan Al-Quran

Dari akhlaq inilah suatu perbuatan baik atau buruknya akan muncul. Saat akhlaq
berasal dari yang bathil maka akan menghasilkan perbuatan yang buruk. Akan
tetapi jika akhlaq berasal dari sesuatu yang baik dan benar (Al-Quran) maka akan
menghasilkan perbuatan yang baik.
4
Implementasi nilai sila
ke-1: Ketuhanan Yang
Maha Esa
Implementasi nilai sila ke-1:
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan sendi
tauhid di dalam Islam. Sudah menjadi fitrah manusia secara naluriah memiliki
potensi bertuhan dalam bentuk pikir dan zikir dalam rangka mengemban misi
sebagai khalifah fil-ardhi, serta keyakinan yang terkadang tidak sanggup
untuk dikatakan, yaitu kekuatan yang maha segala, sebuah kekuatan di atas
kebendaan fana.3 Hakikat tauhid di dalam Al-Qur’an sangat jelas termaktub
dalam surat Al-Ikhlash ayat 1-4, yang berbunyi:
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
kepada-Nya segala sesuatu bergantung. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Surat ini meliputi dasar yang paling penting dari risalah Nabi saw. yaitu
mentauhidkan Allah dan menyucikan-Nya. Keesaan Allah meliputi tiga
hal: Dia Maha Esa pada zat-Nya, Maha Esa pada sifat-Nya dan Maha
Esa pada afal-Nya. Maha Esa pada zat-Nya berarti zat- Nya tidak
tersusun dari beberapa zat atau bagian. Maha Esa pada sifat-Nya berarti
tidak ada satu sifat makhlukpun yang menyamai-Nya dan Maha Esa
pada af'al-Nya berarti hanya Dialah yang membuat semua perbuatan
sesuai dengan firman-Nya. Sangat jelas sekali bahwa dalam Islam, umat
manusia harus mengakui adanya satu Tuhan yang diyakini dan
disembah. Begitu pula dengan Pancasila, yang menyatakan adanya
ketuhanan yang juga satu, meskipun berbeda agama.
Allah tidak pernah memaksa hamba- Nya untuk menyembah kepada-Nya, karena
kesadaran akan bertuhan merupakan fitrah, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Selain itu, salah satu bentuk toleransi dalam Islam mengenai bertuhan yaitu , “Lakum
dinukum waliadiin” yang tidak memaksa orang lain untuk masuk dalam Islam secara
paksa.

Dalam sila ini, terdapat unsur-unsur yang melibatkan hubungan antara manusia
dengan Tuhan, yang dalam Islam disebut hablu min Allah. Dalam berhadapan dengan
Allah, seorang muslim menempati kedudukan sebagai hamba, sehingga tampaklah
kepatuhan dan kecintaan dalam pengabdian. Dengan demikian terdapat keterikatan
yang yang kemudian melahirkan komitmen (dimensi akidah).

Komitmen ini pun tampak dari pernyataan setiap muslim ketika menyatakan ikrar do’a
iftitah “inna shaalatii wa nusuki wa mahyaya wa mamaatii lillaahi...”. Jika setiap muslim
menghayati makna ikrar tersebut, maka sesungguhnya kesaksian tersebut harus
diupayakan wujud aktualnya dalam kehidupan dengan sungguh-sungguh.
Pancasila mengandung nilai-nilai Ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan
spiritualitas (yang bersifat vertikal-transendental) dianggap penting sebagai fundamen
etik kehidupan bernegara. Maka Indonesia bukanlah negara sekuler ekstrim, yang
memisahkan “agama” dan “negara” dan berpotensi untuk menyudutkan peran agama
ke ruang privat/komunitas. Tetapi juga, Indonesia bukanlah :negara agama”, yang
hanya merepresentasikan salah satu (unsur) agama.

Maka negara bersifat netral dan mengambil jarak yang sama terhadap semua
agama/keyakinan, melindungi semua agama/ keyakinan, dan mengembangkan
politiknya berdasarkan nilai-nilai agama. Bahkan menurut Pancasila, agama harus
dapat memainkan peran publik yang berkaitan dengan etika social24. Umat Islam
sebagai mayoritas penduduk Indonesia, tidak perlu ragu bahwa Pancasila merupakan
bagian dari sistem ideologi yang memiliki dasar-dasar teologis dan filosofis Islam.
Kesalehan orang beriman sebagai hamba terhadap Allah (‘abd Allah) bermuara dan
berdampak langsung pada kesalehan dalam relasi-relasi sosial- horizontal. Kedua
aspek ini menjadi ciri keseimbangan ajaran Islam. Oleh karena itu, yang seharusnya
menjadi pikiran kita bersama adalah nilai-nilai Pancasila secara substansial tidak
bertentangan bahkan bersesuaian dengan Islam. Mengenai Nilai-nilai Pancasila dalam
Pandangan Islam, Dr. H. Ridhahani Fidzi, M.Pd berpandangan bahwa Sila pertama dan
kedua merupakan Metapisikal Fundation, Sila ketiga dan keempat merupakan
Instrumental Fundation, dan Sila kelima merupakan keadilan.

Karena itu kita harus melakukan: mahasabah (evaluasi), murakabah


(mengawal/mengawasi), dan muhawalah (menyiasati). Seperti hal nya ungkapan yudi
latif, Ridhahani Firdzi juga mengatakan bahwa kita bukan negara agama dan bukan
pula negara sekuler, tapi kita negara pancasila dimana butir-butir dari panca itu sangat
bersesuaian dengan nilai-nilai agama. Negara memberi ruang kepada warganya untuk
melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai