Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 1

Nataijul 'Ibadah ( Hasil Ibadah )

Guna memenuhi salah satu syarat ujian

guna memperoleh gelar sarjana

pada program studi Akuntansi

Oleh :

Syahrul Rivaldy Irawan


NPM : 10220073

Pembimbing :

Abdul Mutholib

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
STEMBI BANDUNG BUSINESS SCHOOL
Lampiran
A. Pengantar
Ibadah kepada Allah Ta’ala hendaknya tidak sekedar dipahami
sebagai praktek ritual belaka. Ia harus memiliki pengaruh-pengaruh positif
ke dalam jiwa manusia yakni tumbuhnya ketundukan dan kepasrahan
kepada-Nya. Dengan kata lain, suatu amalan ibadah dapat disebut sebagai
ibadah yang baik, benar, utuh, atau sempurna (al-‘ibadatus salimah) jika
membawa pengaruh-pengaruh yang positif pada jiwa. Pembahasan materi
ini bermanfaat untuk melengkapi pengetahuan Anda dengan berbagai
keutamaan dan dalil-dalil agar mampu menerapkannya dan
mengamalkannya pada kehidupan kita sehari-hari guna memperoleh
kebahagiaan didunia maupun diakhirat kelak.
B. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mempelajari materi ini Anda diharapkan:
a. Dapat memahami apa yang dimaksud dengan Nataijul Ibadah (Buah
Ibadah)
b. Dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
C. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari materi ini Anda diharapkan:
a. Memahami makna ibadah salimah
b. Mengerti unsur-unsur yang dihasilkan dan wajib diwujudkan dalam
beribadah secara benar.
c. Mengerti hubungan ibadah salimah dengan taqwa.
D. Bagan Materi
E. Uraian Materi
Allah telah menetapkan tujuan penciptaan manusia dan jin yaitu untuk
beribadah kepada-Nya, sebagai mana terdapat dalam firman-Nya:

Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan


supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Adz Dzariyat 56)

Ibadah dalam Islam mencakup seluruh sisi kehidupan, ritual dan


sosial, habluminallah, dan habluminan naas, meliputi pikiran, perasaan, dan
pekerjaan. “Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku,dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (Al An’am 162).

Ibadah disebut benar manakala terpenuhi dua syarat yaitu ikhlash


karena Allah dan mengikuti aturan syariat. Allah berfirman: “yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(Al Mulk 2).

Para ahli tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan ahsana amala
adalah akhlashuhum lillah dan atba’uhum lisysyariah. Semua ibadah yang
diperintahkan dalam Islam bertujuan untuk membentuk manusia
membentuk manusia taqwa.

Hakikat Ibadah

Ibnu Taimiyah berkata: “makna asal dari kata ibadah adalah tunduk,
namun ibadah yang diperintahkan oleh syariat adalah perpaduan antara
ketaatan sempurna dan kecintaan yang sempurna. Ibnu Qoyyim mengatakan
bahwa ibadah adalah gabungan antara ketaatan yang penuh dan cinta yang
sempurna. Maka yang taat kepada Allah tapi tidak cinta kepada-Nya maka
ia belum dikatakan beribadah.
Artinya: “Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-
saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,dan tempat
tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari Allah dan rasulNya
dan dari berjihad di jalanNya. Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusannya, dan Allah tidak member petunjuk kepada
orang-orang yang fasik”. (QS At Taubah 24)

Dan yang mencintai Allah tapi tidak taat kepadaNya maka ia belum
dikatakan beribadah kepada Allah. “katakanlah jika kamu benar-benar
mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran
31)

Ibadah yang shahih akan menghasilkan dan melahirkan sikap dan


perilaku yang positif dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi bekal dan
pegangan dalam mengemban amanah sebagai hamba Allah khususnya tugas
da’wah. Ibadah yang benar (al-ibadatus salimah) akan membawa pengaruh-
pengaruh yang positif pada jiwa kita diantaranya:
1. Semakin teguhnya keimanan (al-iman).
Imanlah yang membedakan amal orang mukmin dan amal orang
munafik. Tanpa iman, suatu amal menjadi tanpa ruh dan kosong. Al-Qur’an
menyebutnya sebagai fatamorgana atau bagai debu yang tertiup angin
kencang. Demikian itu karena ibadah yang dilakukan tanpa iman tidak
diperuntukkan bagi Allah, tidak disertai harapan untuk mendapatkan pahala di
sisi-Nya, dan tidak mengikuti tuntunan Rasul-Nya. (Jasiman)
Allah Ta’ala menyeru kita untuk selalu istiqamah menjaga keimanan.
Dia berfirman,

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada


Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-
Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (QS. An-Nisa, 4: 136).
Diantara cara menjaga dan meneguhkan keimanan tersebut adalah dengan
melakukan perbuatan baik (ibadah) dan amal shaleh. Allah Ta’ala
berfirman,

Artinya: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman


dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan
Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia
kehendaki”. (QS. Ibrahim, 14:27).

Ketika menafsirkan ayat ini Imam Qatadah berkata, “Adapun dalam


kehidupan dunia, Allah meneguhkan iman mereka dengan perbuatan baik
(ibadah) dan amal shaleh (yang mereka kerjakan)”1

Maka, semakin banyak beribadah, akan semakin teguhlah keimanan


kita kepada Allah Ta’ala.
2. Semakin kuatnya penyerahan diri dan ketundukkan kita kepada Allah Ta’ala
(al-Islam).
Di saat kita melakukan ibadah, hakikatnya, saat itu kita sedang
melakukan kristalisasi kesadaran diri terhadap keagungan Allah Ta’ala (as-
syu’ur bi ‘adzhamatillah) dan banyaknya nikmat yang diberikan oleh-Nya
kepada kita (as- syu’ur bi katsrati ni’amillah). Maka, semakin banyak
beribadah akan semakin kuatlah syu’ur kita; dan semakin berserah dirilah
kita kepada-Nya.
Islam sikapnya [ketundukan dan menyerahkan diri] maupun Islam
sebagai sistem. Dalam konteks sistem, iman lebih banyak menyangkut
urusan hati dan berkaitan dengan aspek aqidah. Islam mengatur bagaimana
beriman itu. Al-Qur’an mengatakan bahwa beriman dengan cara selain
Islam, tidak dianggap iman karena barangsiapa yang mencari selain Islam
sebagai agamanya, ia termasuk orang yang rugi. Sebab, agama di sisi Allah
hanyalah Islam. Karena itu orang belum dianggap beriman kalau ia belum
Islam.
Sebagai muslim, kita pun memiliki keyakinan, semakin kuat
komitmen ibadah, semakin kuat pula dukungan dan pertolongan Allah
Ta’ala kepada kita. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam,

Artinya: “Jagalah Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah Allah


maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu“. (HR at-Tirmidzi no. 2516,
Ahmad [1/293] dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan
syaikh al- Albani dalam “Shahihul jaami’ish shagiir” no. 7957).

Makna “menjaga Allah” adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu


beribadah kepadanya, serta menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Dan makna “kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu“: Dia
akan selalu bersamamu dengan selalu memberi pertolongan dan taufik-Nya
kepadamu

3. Memperkokoh ihsan.

Ihsan adalah sikap seseorang yang melakukan ibadah seakan-akan ia


melihat Allah dan kalaupun ia tidak melihat, ia yakin bahwa Allah
melihatnya. Kondisi hati yang demikian akan mempengaruhi kualitas
amalnya sehingga ia akan merupakan amal yang terbaik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang apa itu ihsan.

Artinya: “Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu


melihatNya; jika kamu tidak dapat melihatNya maka sesungguhnya
Dia melihatmu.” (HR. Bukhari-Muslim).

“‫راك‬
َ َ‫ي‬ ُ‫َّللاَ َكأَنه َك ت ََراهُ فَإِ إن لَ إم ت َ ُك إن ت ََراهُ فَإِنهه‬
‫ان أ َ إن ت َ إعبُدَ ه‬
ُ ‫س‬ ِ ‫“َ إ‬
َ ‫اْلحإ‬
“Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Allah Melihat
kamu.” (HR.Bukhari).[1]

Maka jika kita beribadah kepada Allah -seraya terus berupaya


memperbaikinya sehingga menjadi ibadah yang benar- akan semakin
kuatlah ihsan kita, dalam arti semakin kokohnya kesadaran akan
muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam diri.

4. Memperkuat sikap al-ikhbat (ketundukkan) kepada Allah.


Yaitu kondisi hati yang tunduk mengakui kebesaran Allah dan
keagungan ayat-ayat-Nya, tidak ada kesombongan, kecongkakan, dan
kepongahan.
Tujuan beribadah kepada Allah Ta’ala adalah menunjukkan al-ikhbat
(ketundukkan) kepada-Nya agar Dia ridha. Maka, dengan ibadah yang benar
al-ikhbat akan tertanam kuat dalam diri kita. Allah Ta’ala befirman,

Artinya: “Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu
berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan, berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang merendahkan diri (kepada Allah).” (Al-
Hajj, 22: 34).

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan


amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka
itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS.
Hud, 11: 23).

Ikhbat menurut pengertian bahasa artinya permukaan tanah yang


rendah. Atas dasar pengertian bahasa ini pula Ibnu Abbas radhiyallahu
anhu dan Qatadah mengartikan lafazh mukhbitin di dalam ayat Al-
Qur’an sebagai orang-orang yang merendahkan diri. Sedangkan
menurut Mujahid, mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang
bersama Allah. Karena menurut pendapatnya, khabtu artinya tanah
yang stabil. Menurut Al-Akhfasy, mukhbitin artinya orang-orang yang
khusyu’. Menurut Ibrahim An-Nakha’y, artinya orang-orang yang
shalat dan ikhlas. Menurut Al-Kalby, artinya orang-orang yang hatinya
lembut. Menurut Amr bin Aus, artinya orang-orang yang tidak berbuat
zhalim, dan jika dizhalimi tidak membalas. Pendapat-pendapat tentang
lafazh mukhbitin ini berkisar pada dua makna, yaitu merendahkan diri,
dan merasa tenang terhadap Allah. Karena itu lafazh ini disertai dengan
kata ila (kepada), sebagai jaminan terhadap pengertian ketenangan dan
ketundukan kepada Allah.
“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya
Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu, lalu mereka beriman dan
tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah pemberi
petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (al-
Hajj 54).[2]
5. Meneguhkan tawakkal kepada-Nya.
Yaitu menyerahkan urusan kepada Allah. Tugas manusia hanya
melakukan berproses sesuai manhaj. Hasilnya ia serahkan kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,

Artinya: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya


Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Thalaq, 65 : 3)
Mengenai tawakkal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
bersabda,

Artinya: “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan


sungguh-sungguh tawakkal kepada-Nya, sungguh kalian akan
diberikan rizki oleh Allah sebagaimana Dia memberikan rizki kepada
burung. Pagi hari burung tersebut keluar dalam keadaan lapar dan
pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad).
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu.
tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang
memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang
lurus.” (Hud :56).[3]

Al-Allamah Al Munawi mengatakan, “Tawakkal adalah


menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang
ditawakkali.” (Faidhul Qadir, 5/311).Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu’anhuma mengatakan bahwa tawakkal bermakna percaya
sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan,
“Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan
terhadap makhluk.” Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang
tawakkal, maka beliau menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”. Ibnu
Rajab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati
dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh
kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat
secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan,
“Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah
sebab disiapkan.” Semua sikap itu akan muncul dalam diri jika kita
beribadah dengan benar kepada-Nya.
6. Melahirkan al-mahabbah (kecintaan) kepada Allah Ta’ala.
Salah satu tuntutan ibadah kepada Allah Ta’ala adalah lahirnya al-
mahabbah kepada-Nya di atas segalanya. Allah Ta’ala berfirman,

Artinya: “Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara,


isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal
yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya
dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Maka, jika ibadah kita benar, akan lahirlah keindahan dan
kenikmatan mahabbah kepada-Nya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

Artinya: “Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih
manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain
keduanya, (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya
melainkan karena Allah, (3) Ia membenci untuk kembali kepada
kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia
benci apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)

‫عادَى ِلي‬ َ ‫سله َم ِإ هن ه‬


َ ‫َّللا قَا َل َم إن‬ َ ‫علَ إي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ع إن أ َ ِبي ه َُري َإرة َ قَا َل قَا َل َر‬
ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫َّللا‬ َ
َ ُ‫ي ِم هما ا إفت ََرضإت‬
‫علَ إي ِه‬ ‫ش إيءٍ أ َ َحبه ِإلَ ه‬ َ ‫ع إبدِي ِب‬ َ ‫ي‬ ‫ب ِإ َل ه‬
َ ‫ب َو َما تَ َق هر‬ِ ‫َو ِليًّا َف َق إد آذَ إنتُهُ ِب إال َح إر‬
َ ُ‫ي ِبال هن َوافِ ِل َحتهى أ ُ ِح هبهُ فَإِذَا أَحإ َب إبتُهُ ُك إنت‬
‫س إم َعهُ الهذِي َي إس َم ُع‬ ‫ب ِإلَ ه‬
ُ ‫ع إبدِي َيتَقَ هر‬ َ ‫َو َما َيزَ ا ُل‬
َ ‫ش ِب َها َو ِرجإ لَهُ اله ِتي َي إمشِي ِب َها َوإِ إن‬
‫سأَلَ ِني‬ ُ ‫إص ُر ِب ِه َو َيدَهُ اله ِتي َيب ِإط‬
ِ ‫ص َرهُ الهذِي يُب‬ َ ‫ِب ِه َو َب‬
َ ‫ش إيءٍ أَنَا فَا ِعلُهُ ت ََردُّدِي‬
‫ع إن َن إف ِس‬ َ ‫ع إن‬َ ُ‫إط َي هنهُ َولَ ِئ إن ا إستَعَاذَ ِني ََل ُ ِعيذَ هنهُ َو َما ت ََردهدإت‬
ِ ‫ََلُع‬
َ ‫إال ُمؤإ ِم ِن َي إك َرهُ إال َم إوتَ َوأَنَا أ َ إك َرهُ َم‬
ُ‫سا َءتَه‬

Dari Abu Hurairah ra. berata, bersabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya


Allah berfirman: “Barang siapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku
,maka Aku telah mengumumkan perang padanya, dan tidaklah hamba-
Ku melakukan pendekatan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling
Aku cintai selain melakukan apa yang telah Aku wajibkan padanya,
dan hamba-Ku terus-menerus melakukan pendekatan diri kepada-Ku
dengan ibadah-ibadah sunnah, sehingga Aku mencintainya, dan
apabila Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya
yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang
dengannya ia melihat, dan menjadi tangan dan kakinya yang
dengannya ia bertindak. Jika ia meminta sesuatu kepada-Ku, pasti Aku
kabulkan permintaanya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku
lindungi dia. Tidak ada sesuatu yang Aku gamang melalukannya selain
mencabut nyawa seorang muslim sedangakan ia tidak menyukainya.”
(HR.Bukhari).[4] (Jasiman)

Sebagian salaf berkata,

ُ‫ َم َحبهة‬:َ‫ب َما فِي َها؟ قَال‬ ‫ َو َما أَ إ‬:َ‫ قِيل‬.‫ب َما فِي َها‬
ُ َ‫طي‬ ‫سا ِكيإنُ أَ إه ِل الدُّ إنيَا خ ََر ُجوا ِم إن َها َو َما ذَاقُوا أَ إ‬
َ َ‫طي‬ َ ‫َم‬
ُ‫هللاِ َو َم إع ِرفَتُهُ َو ِذ إك ُره‬

“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang


meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di
dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di
dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-
Nya.” (Jasiman)

7. Ketujuh dan kedelapan, memupuk khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan)
kepada Allah Ta’ala.
Jika kita beribadah dengan benar, akan muncul dalam diri kita
khauf (rasa takut) jangan-jangan ibadah kita tidak diterima dan tidak
diridhoi-Nya. Meskipun begitu kita pun akan senantiasa memunculkan
raja’ (pengharapan) terhadap kemurahan, pengampunan dan kasih
sayang Allah Ta’ala.
Khauf dan Raja’ ini hendaknya tumbuh seimbang dalam diri seorang
muslim. Jangan sampai khauf menyebabkan manusia putus asa dari
rahmat dan ampunan Allah Ta’ala, dan jangan sampai raja’
menyebabkan manusia menganggap remeh ancaman dan siksa-Nya,

Artinya: “Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di


sisi Allah, maka dia tidak akan berharap sedikitpun untuk masuk
syurga. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di
sisi Allah, maka dia tidak akan berputus asa sedikitpun untuk memasuki
Syurga-Nya.” (HR. Muslim)
8. Menumbuhkan sikap at-taubah (taubat) kepada Allah Ta’ala.
Menurut bahasa, At-taubah berarti ar-rujuu’ (kembali).
Sedangkan menurut istilah, taubat adalah kembali dari kondisi jauh dari
Allah Ta’ala menuju kedekatan kepada-Nya. Atau juga berarti,
pengakuan atas dosa, penyesalan, berhenti, dan tekad untuk tidak
mengulanginya kembali di masa datang.
Betapapun telah melakukan ibadah dan ketaatan, seorang
mukmin tetap hatus senantiasa bertaubat dan istighfar. Hal ini untuk
mengantisipasi kalau ia melakukan kesalahan yang tidak disadari.
Sarana kita untuk kembali dan mendekat kepada Allah Ta’ala
adalah dengan beribadah kepada-Nya. Maka, jika kita senantiasa
beribadah kepada-Nya, akan tumbuhlah suasana taubat dalam
keseharian kita. Sikap taubat inilah diantaranya yang menjadi ciri
orang-orang yang sempurna keimanannya. Allah Ta’ala berfirman,

Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang


beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang
memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang
mu’min itu.” (QS. At-Taubah, 9: 112)
“Tidak ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan Kami, ampunilah
dosa-dosa Kami dan tindakan-tindakan Kami yang berlebih-lebihan
dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah
kami terhadap kaum yang kafir.” (al-Ali ‘Imran:147).[5]
9. Membiasakan ad-du’a (menyeru/memohon) kepada Allah Ta’ala.
Harap dan takut menjadikannya berdoa agar ibadahnya diterima dan
dijauhkan dari kerugian dunia dan akhirat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Artinya: “Doa adalah inti ibadah“. (HR. Tirmidzi)5


Di dalam “Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi”
terdapat penjelasan bahwa doa itu disebut sebagai inti dari sebuah
ibadah sebab orang yang berdo’a hakikatnya adalah sedang memohon
kepada Allah ketika harapan kepada selain-Nya sudah terputus. Dan hal
itu merupakan hakikat tauhid (pengesaan Allah) dan keikhlasan
(kemurnian aqidah), dan tidak ada ibadah yang melebihi derajat

keduanya. Dalam hadits lain disebutkan,


Artinya: “Do’a adalah sesuatu yang sangat mendasar dalam ibadah”
(HR. Abu Dawud)

Jika kita membiasakan diri beribadah kepada-Nya, maka akan


terbiasalah kita menyeru dan memohon kepada-Nya. Dengan begitu
kita tidak akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
menyombongkan diri kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
Arinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku akan masuk Jahannam dalam keadaan hina dina.”
(QS. Al-Mu’min, 40: 60)

‫س هب ُحوا ِب َح إم ِد َر ِب ِه إم َو ُه إم ََل‬ ُ ‫إِ هن َما يُؤإ ِم ُن ِبآ َيا ِتنَا الهذِينَ إِذَا ذُ ِك ُروا ِب َها خ َُّروا‬
َ ‫س هجدًا َو‬
‫ط َمعًا َو ِم هما‬ َ ‫اج ِع َي إدعُونَ َر هب ُه إم خ إَوفًا َو‬
ِ ‫ض‬َ ‫ع ِن إال َم‬
َ ‫ تَتَ َجافَى ُجنُوبُ ُه إم‬. َ‫َي إستَ إك ِب ُرون‬
َ‫َرزَ إقنَا ُه إم يُ إن ِفقُون‬
“Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat ayat
Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat ayat itu
mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan
lagi pula mereka tidaklah sombong. Lambung mereka jauh dari tempat
tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh
rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezki yang
Kami berikan.” (as-Sajdah:15-16).[6]
Sebagian mufassir mengatakan bahwa makna ‘an ‘ibadatiy (dari
menyembah-Ku) dalam ayat di atas adalah ‘an du’aiy (dari berdoa
kepada-Ku).
10. Terwujudnya sikap khusyu’ (lembut, tenang, tunduk, dan kerendahan diri di
hadapan Allah Ta’ala).
Secara bahasa khusyu’ berarti as-sukuun (diam/tenang) dan at-
tadzallul (merendahkan diri). Sifat mulia ini bersumber dari dalam hati
yang kemudian pengaruhnya terpancar pada anggota badan manusia.
Kekhusyu’an hati akan terindikasikan oleh kekhusyu’an lahir
apabila dilakukan dengan tuma’ninah.
Imam Ibnu Rajab berkata: “Asal (sifat) khusyu’ adalah
kelembutan, ketenangan, ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati
manusia (kepada Allah Ta’ala). Tatkala Hati manusia telah khusyu’
maka semua anggota badan akan ikut khusyu’, karena anggota badan
(selalu) mengikuti hati, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh
manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka
akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk
maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal
daging itu adalah hati manusia”.
Maka jika hati seseorang khusyu’, pendengaran, penglihatan,
kepala, wajah dan semua anggota badannya ikut khusyu’, (bahkan)
semua yang bersumber dari anggota badannya”
Allah Ta’ala menyebut orang-orang yang khusyu’ di antaranya dalam
firman-Nya berikut ini,

Artinya: “Dan mintalah pertolongan (kepada) Allah dengan sabar dan


sholat. Dan sesungguhhya yang demikian itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyu’ , (yaitu) orang-orang yang menyakini,
bahwa mereka akan
menemui Rabb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
(QS. Al-Baqarah, 2 : 45 -46)

ۙ َ‫ِى َخلَقَ ُك ۡم َوالهذ ِۡينَ ِم ۡن قَ ۡب ِل ُك ۡم لَ َعله ُك ۡم تَتهقُ ۡون‬


ۡ ‫اعبُد ُۡوا َر هب ُك ُم الهذ‬ ُ ‫ٰۤيا َ ُّي َها ال هن‬
ۡ ‫اس‬
Artinya: “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu
bertakwa”. (al-Baqarah: 21)[7]

Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-


laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-
laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah
telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”
(QS. Al-Ahzab, 33: 35).
Dari uraian poin-poin di atas dapat disimpulkan bahwa al-
‘ibadatus salimah (ibadah yang benar) akan menghasilkan pengaruh
yang positif pada jiwa kita, yakni tertanamnya at-taqwa (ketakwaan).
Allah Ta’ala berfirman,

Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah


menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu
bertakwa…” (QS. Al-Baqarah, 2: 21).
DAFTAR PUSTAKA

http://www.dakwatuna.com/2008/08/28/909/buah-ibadah/#ixzz6lPkqRprc. (n.d.).

Jasiman, L. (n.d.). Nataijul Ibadah. In syarah rasmul bayan tarbiyah (1 ed.). Jl.
Empu Tantular 5 Songgolangit Solo: Aulia Press Solo.

Jasiman, L. (n.d.). Nataijul Ibadah. In syarah rasmul bayan tarbiyah (Best Seller
ed.). Jl. Empu Tantular 5 Songgolangit Solo: Aulia Press Solo.

Jasiman, L. (n.d.). syarah rasmul bayan tarbiyah. In syarah rasmul bayan tarbiyah
(Refisi ed.). Jl. Empu Tantular 5 Songgolangit: Aulia Press Solo.

http://www.dakwatuna.com/2008/08/28/909/buah-ibadah/#ixzz6lPlcrDJw
http://www.dakwatuna.com/2008/08/28/909/buah-ibadah/#ixzz6lPoYSvC1
https://bincangsyariah.com/khazanah/al-sajdah-ayat-15-16-menjadi-mukmin/
https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-21

Anda mungkin juga menyukai