Anda di halaman 1dari 9

PERTAMBANGAN BATU GAMPING DAN PABRIK SEMEN

DI MANGGARAI TIMUR

I. Pengantar
Berbicara tentang industri pertambangan memang cukup relevan dalam konteks
masyarakat saat ini. Namun jamak diketahui bahwa berbicara tentang pertambangan sama
dengan berbicara tentang kehancuran alam dan manusia. Alih-alih datang sebagai mega
proyek yang mengantar manusia dan alam pada hubungan yang saling menguntungkan,
tambang malah membuat relasi alam dan manusia menjadi semakin semrawut. Konsekuensi
logisnya adalah alam dan manusia sama-sama dijadikan tumbal dari kecongkakan industri
pertambangan yang merajalela.
Hak-hak asasi manusia dan alam dikebiri begitu saja oleh industri pertambangan yang
berbau neoliberalisme. Seperti yang diketahui neoliberalisme atau ekonomi pasar bebas
selalu bersifat kapitalistis. Artinya neolibearisme selalu berwajah sangar dengan prinsip-
prinsip ekstrem dan pragmatis. Sistem ekonomi neoliberal selalu berorientasi pada korporasi
ekstraktif (perusahaan tambang) dan sangat anti demokrasi.1 Sebab tak ada kesepakatan yang
jelas antara pemerintah, perusahaan tambang dan masyarakat pemilik tanah sebagai tiga
elemen dasar.
Selain itu tak dapat disangkal bahwa kehadiran tambang juga erat dipengaruhi oleh
munculnya para bos lokal di daerah. Bos-bos lokal ini kerap dipandang sebagai orang-orang
dengan kapasitas ekonomi di atas rata-rata dan punya jaringan politik yang cukup luas dan
besar.
II. Pertambangan sebagai Masalah Sosial.

Dalam konteks masyarakat Flores, pertambangan bagaikan serigala dalam selimut. Ia


hadir dalam kehidupan masyarakat namun keganasannya tidak disadari.2 Pertambangan dan
segala macam hal yang menyelimutinya menimbulkan pertanyaan konseptual mengenai; apa
itu pertambangan? Apakah pertambangan termasuk dalam kategori masalah sosial? Mengapa
orang sering mereduksi pertambangan sebagai terminologi yang berbau negatif? Lalu apakah
benar kehadiran bos-bos lokal semakin memperkeruh masalah pertambangan di bumi flores?
Lalu bagaimana dengan masalah pertambangan di Matim, apakah bosisme lokal juga terlibat

1
Alex Jebadu, Drakula Abad 21: (Maumere: Penerbit Ledalero, Maumere: Penerbit Ledalero, 2020), hlm. 238.
2
Alex Jebadu, dkk. (ed.),“Pengantar” dalam Pertambangan di Flores dan Lembata: Berkah atau Kutuk
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2009), hlm. vi.

1
di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan sebuah sarana bagi penulis untuk
mendefinisikan pertambangan dan segala hal yang melekat padanya.

Pertama, pengertian pertambangan. Secara umum pertambangan dapat didefinisikan


sebagai suatu aktivitas pengambilan endapan galian berharga dan bernilai ekonomis dari
dalam kulit bumi, baik secara mekanis maupun manual.3 Dalam UU No.4 tahun 2009 seturut
yang dikutip Benny Denar ditegaskan bahwa ada beberapa tahap kegiatan pertambangan. (1)
tahap prospeksi atau penyelidikan umum, (2) eksplorasi, (3) studi kelayakan, (4) eksploitasi,
(5) reklamasi, dan (6) pemulihan pasca tambang.4

Kedua, pertambangan pada awalnya baik karena melalui tambang kekayaan alam yang
terpendam di bumi bisa dimanfaatkan demi kepentingan manusia. Namun seiring berjalannya
waktu tambang ternyata membawa begitu banyak ekses destruktif bagi kehidupan. Kelalaian
dari korporasi/perusahaan dan pemerintah dalam menjalankan aktivitas pertambangan
menjadi cikal-bakal timbulnya dehumanisasi. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa
tambang dikategorikan sebagai salah satu masalah sosial. Ada nilai, institusi, dan norma
sosial masyarakat yang dikebiri oleh aktivitas tambang.

Ketiga, alasan utama tambang selalu direduksi sebagai hal yang negatif ialah karena
dampak yang dihasilkan tambang itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan pada awal bahwa
tambang hadir dengan segala hal yang merusak kehidupan, khususnya kehidupan manusia
dan alam itu sendiri. Selain itu, dampak dari tambang juga bukan hanya dirasakan oleh
generasi-generasi sekarang melainkan juga oleh generasi-generasi penerus. Lebih dari itu,
tambang sebenarnya merupakan sebuah bisnis yang bersifat pragmatis demi keuntungan
segelintir orang atau korporasi tertentu dengan cara mengakali sistem (hukum, norma, nilai
dan institusi sosial masyarakat). Kongkalikong antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan
dalam bentuk undang-undang (sistem) dengan korporasi/perusahaan tambang (individu)
mengafirmasi pandangan publik tentang tambang sebagai sesuatu yang negatif dan berdaya
menghancurkan manusia dan alam.

Selain karena yang bermasalah ialah korporasi tambang, salah satu penyebab utama
permasalahan tambang ialah karena kehadiran para bos lokal yang berafiliasi dengan
pemerintah dan perusahaan tambang. Tujuan mereka tetap sama yakni memperoleh
keuntungan ekonomi dan selebihnya adalah punya daya dukung dalam bidang politik.

3
Beny Denar, Mengapa Gereja (harus) Tolak Tambang (Maumere: Penerbit Ledalero, 2015), hlm. 164.
4
Ibid., hlm. 166-168.

2
Menurut Jhon T Sidel bosisme lokal selalu terarah pada pengertian orang kuat yang berhasil
memelihara jaringan politik mereka dan mendapat akses terhadap monopoli kontrol sosial di
tengah masyarakat melalui penguasaan sumber-sumber politik, ekonomi, dan penguasaan
pada tindak kekerasan dalam yuridiksi teritori mereka.5

Hal inilah yang terjadi di Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai
Timur (Matim). Pembangunan tambang batu gamping yang disertai dengan pembangunan
pabrik semen merupakan sebuah masalah sosial yang sedang dihadapi masyarakat saat ini.
Persoalan ini kemudian melahirkan begitu banyak gejala yang disertai dengan penyebab-
penyebab utama. Oleh karena itu, hemat penulis penting untuk mengkaji lebih jauh mengenai
proyek raksasa ini sebagai suatu masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

III. Gejala-Gejala Masalah Pertambangan dan Pabrik Semen di Matim

Secara umum kehadiran tambang di bumi Nusa Nipa (Flores) mendatangkan gejala-gelala
yang cukup bertentangan dengan keadaan dan posisi masyarakat. Dalam hasil investigasi
beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti WALHI (Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia) dan JATAM (Advokasi pertambangan) serta komisi JPIC (Justice Peace and
Integrity of Creation) dari Gereja Katolik Flores, industri pertambangan di flores ternyata
penuh dengan masalah mulai dari pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat hingga pelanggaran terhadap hukum dan undang-undang negara.6

Kehadiran tambang batu gamping dan pabrik semen di Matim mendatangkan beberapa
gejala di masyarakat. Pertama, adanya penolakan dari berbagai kalangan masyarakat terhadap
rencana pertambangan dan pembangunan pabrik semen. Kalangan-kalangan tersebut seperti,
masyarakat adat yang mendiami wilayah Matim, tepatnya di desa Satarpunda, kecamatan
Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Lalu penolakan dari diaspora Manggarai Raya
(DPR RI dan mahasiswa),7 dan juga penolakan dari para aktivis lingkungan seperti dari JPIC-
OFM.8

5
Eka Suaib dan La Husen Zuada, “Fenomena Bosisme Lokal di Era Desentralisasi: Studi Hegemoni Politik
Nur Alam di Sulawesi Tenggara” dalam Jurnal Penelitian Politik, 12: 2 (Jakarta, Desember 2012), hlm. 53-54.
6
Alex Jebadu, “Relasi Pertambangan, Kekejaman Neoliberalisme, dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi” dalam
https://www.slidedhere.net/mobile/PerpusMaya/relasi-pertambangan-dan-kekejaman-neoliberalisme-alex-
jebadu, diakses pada Jumat, 18 Desember 2020.
7
https://amp.kompas/regional/read/2020/07/02/17503921/masyarakat-diaspora-manggarai-raya-dan-anggota-
dpr-ri-tolak-tambang-dan-pabrik-semen, diakses pada Sabtu, 7 November 2020
8
https://www.floresa.co/2020/05/11-jpicofm-hentikan-secara-total-dan-permanen-tambang-dan-pabrik-semen-
di-manggarai-timur/, diakses pada Sabtu, 7 November 2020

3
Kedua, penolakan ini pada dasarnya dilandasi oleh berbagi macam alasan mengenai
dampak destruktif yang merong-rong kehidupan masyarakat sekitar tambang dan pabrik.
Alasan-alasan tersebut ditinjau dari beberapa perspektif yang menyimpang seperti AMDAL,
budaya, ekonomi dan sosial. Ketiga, secara psikologis kehadiran tambang dan pabrik semen
juga menimbulkan beban bagi masyarakat. Beban psikologis akan membuat masyarakat stres
dan frustrasi sehingga tingkat harapan hidup dari masyarakat juga ikut menurun.

Keempat, secara umum kehadiran tambang dan pabrik semen di Matim sudah melanggar
regulasi-regulasi baik yang telah diratifikasi pemerintah maupun regulasi lokal melalui
hukum adat. Direktur eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang menegaskan bahwa wilayah
yang ditambang merupakan satu-satunya ekoregion perbukitan karst di pulau Flores. Karst itu
telah diputuskan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dengan surat nomor
sk.8/menlhk/setjen/PLA.3/1/2018 tentang penetapan wilayah ekoregion Indonesia.9 Kelima,
kehadiran tambang dan pabrik semen dengan iming-iming meningkatkan kesejahteraan
rakyat hanyalah sebuah jargon untuk menarik hati rakyat.

Pada tataran ini benarlah teori yang diungkapkan oleh Weinberg (1981:4) tentang
masalah sosial bahwa masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan bertentangan dengan
nilai oleh sejumlah warga masyarakat yang cukup signifikan. 10 Hal ini berarti bahwa karena
adanya penolakan dari berbagai elemen masyarakat, lalu dampak destruktif yang dihasilkan
oleh aktivitas tambang, kemudian membebankan masyarakat secara psikologis dan juga
bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku di masyarakat maka tambang dan
pabrik semen yang berada di Matim adalah masalah sosial yang mesti diatasi.

Selain lima poin pentin di atas salah satu gejala yang juga menghiasi permasalahan
tambang di Matim ialah adanya bosisme lokal atau orang-orang lokal yang kuat secara
ekonomi dan politis. Orang-orang ini punya andil yang besar dalam melancarkan mega
proyek tabang batu gamping dan pabrik semen di Matim. Berikut akan dijelaskan siapa dan
bagaiaman peran para bosisme lokal dalam memuluskan jalan korporasi tambang di Matim.

Dalam permasalahan tambang di Matim bos lokal ini nyata dalam diri bupati Matim.
Argumentasinya jelas bahwa PT. Istindo Mitar Manggarai dan PT. Mitra Perdana adalah dua
perusahaan yang dimiliki oleh satu orang yang telah mendapat ijin usaha pertambangan

9
https://www.mongabay.co.id/2020/06/19Gubernur-ntt-didesak-batalkan-ijin-tambang-dan-pabrik-semen-di-
manggarai-timur-kenapa,diakses pada Sabtu, 7 November 2020
10
Robert Mirsel, Sosiologi Masalah-Masalah Sosial,dalam slide materi kuliah di STFK Ledalero.

4
eksprlorasi mineral logam-mangan dari bupati Matim.11 Sepak terjang dua perusahaan besar
ini di Matim memang patut diacungi jempol. Sebab sejak tahun 2008 PT ini telah beroperasi
di wilayah Matim. Izin yang diberikan oleh Bupati tentunya bukan tanpa alasan. Memang
kita tidak bisa mengaitkannya langsung dengan dugaan bahwa kedua PT ini telah membantu
bupati Matim dalam hal biaya politik semasa kampanye di pilkada 2018. Namun pergerakan
dari kedua PT ini telah diungkap oleh Goerge Junus Aditjondro dalam argumentasinya.
Seperti yang dikutip Alex Jebadu, George Junus Aditjondro berani mengklaim bahwa pada
tahun 2008 PT. Istindo Mitra Perdana dalam kenyataanya mendukung calon bupati
manggarai timur dan calon anggota DPR RI dan DPRD dari kabupaten Manggrai Timur di
Flores12. Jadi benarlah apa yang dikatakan oleh Sidel bahwa bosisme lokal adalah orang yang
punya kekuatan politik dan ekonomi untuk memuluskan kehendak mereka menguasai suatu
wilayah baik dalam politik, ekonomi maupun secara administrasi pemerintahan. Pada tataran
ini sebagai bos lokal bupati Matim punya peran yang cukup besar dalam memuluskan jalan
bagi PT. Istindo Mitar Manggarai dan PT. Mitra Perdana untuk mendapat IUP. Walaupuan
dalam kenyataannya banyak ketimpangan yang terjadi seperti yang telah ijelaskan
sebelumnya.

IV. Sebab-SebabTerjadinya Masalah

Setelah menguraikan gejala-gejala atau gambaran pertambangan dan pabrik semen di


Matim, pada bagian selanjutnya akan dijelaskan sebab-sebab terjadinya masalah dengan
menggunakandua teori dari Eitzen (1987:12)13 yakni System Blame Approach yang
mengetengahkan sistem sebagai sumber atau penyebab masalah dan teori Person Blame
Approach yang mengetengahkan sumber atau penyebab masalah ada pada individu.
Berkaitan dengan masalah tambang dan pabrik semen di Matim penulis lebih memilih
mengelaborasi kedua teori ini dengan sebuah pendekatan komprehensif yang menekankan
bahwa individu (korporasi/perusahaan tambang) dan sistem (produk hukum pemerintah)
punya porsi masing-masing dalam menciptakan masalah sosial.

Pertama, System Blame Approach. Pendekatan ini menjadikan sistem sebagai objek kajian
masalah sosial. Dengan kata lain, akar masalah sosial yang terjadi ialah pada sistem yang
bertolak belakang dengan masyarakat. Sistem yang ada bersikap diskriminatif terhadap

11
Berita , “Fakta 2 Perusahaan Tambang di Matim: Punya Izin Eksplorasi dan Dimiliki Satu Orang, dalam
https://voxntt.com/2020/05/01/fakta-2-perusaaan-tambang-punya-izin-eksplorasi-dan-dimiliki-satu-
orang/62117/ diakses pada Jumat, 18 Desember 2020.
12
Alex Jebadu, Bahtera Terancam Karam, Op. Cit., hlm. 239-240.
13
Ibid.,

5
masyarakat sehingga ruang gerak masyarakat dibatasi dengan dalil penegakan aturan. Melihat
pendekatan sistem sebagai sumber masalah sangat koheren dengan permasalahan tambang
dan pabrik semen di Matim. Pemerintah melalui kewenangannya dalam membuat produk
hukum dengan semena-mena memberi ijin kepada para korporasi tambang dan pabrik semen
untuk mengeksploitasi kawasan atau wilayah yang telah didiami masyarakat adat. Pada
tataran ini produk hukum kita dinilai gagal karena lebih berpihak pada korporasi yang ingin
menggerus kehidupan masyarakat.

Kedua, Person Blame Approach. Pada pendekatan ini pihak yang bertanggung jawab ialah
individu. Dalam konteks masalah di Matim, korporasi/perusahaan tambang (individu) adalah
penyebab utama lahirnya masalah sosial. Korporasi yang dikuasai oleh orang-orang tertentu
menjadikan masyarakat sebagai tumbal dari keganasannya. Mental kapitalis yang menguras
semua sumber daya alam semakin memperburuk keadaan di Matim. Konsekuensi dari mental
ambisius korporasi tentu saja akan menjadi senjata yang membunuh masyarakat Matim secara
perlahan namun pasti.

Selain menggunakan dua pendekatan di atas penulis juga ingin menggunakan teori
kejahatan kerah putih (White Collar Crime) dari Shuterlad.14 Menurut teori ini penyebab
masalah sosial adalah orang yang paling terhormat yang sulit sekali untuk dihukum. 15
Kejahatan kerah putih biasanya juga dilalukan oleh organisasi melalui korporasi. Tujuan
utama mereka adalah ekonomi sehingga terkadang mereka punya kekuasaan yang besar baik
dalam politik maupun ekonomi.16 Berkaca dari teori Shuterlad di atas dapat ditarik satu
benang merah bahwa pada posisi tertentu masalah pertambangan di Matim bisa juga
dikategorikan sebagai salah satu kejahatan kerah putih sebab yang menjadi salah satusumber
utama masalah tersebut ialah korporasi tambang yang berkongsi dengan pemerintah.
Korporasi/perusahaan tambang hadir dengan daya dukung ekonomi dan politik yang tinggi
dan punya orientasi yang bernilai ekonomis, sehingga kelompok ini sulit sekali dijatuhi
hukuman. Hal ini dipertegas oleh Alex Jebadu dalam bukunya yang berjudul “Bahterah
Terancam Karam” ia menegaskan bahwa:

“pada umumnya bisnis pertambangan di Indonesia termasuk secara khusus yang


dioperasikan sejak era Reformasi, merupakan merupakan sebuah konspirasi
kaum kerah putih (white collar cospiracy) karena industri pertambangan ini
telah direncanakaan tanpa partisipasi aktif dan langsung serta tanpa persetujuan

14
Jokie M. S. Siahaan, Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi (Jakarta: PT Indeks, 2009), hlm. 109.
15
Ibid.
16
Ibid.,hlm. 113.

6
bebas dari warga masyarakat petani miskin di daerah-daerah pedesaan di
seluruh Indonesia”17
Dalam kejahatan kerah putih ini yang menjadi pemeran utama ialah bos-bos lokal sepeti
pemilik perusaahaan tambang dalam hal ini pemilik PT. Istindo Mitar Manggarai dan PT.
Mitra Perdana yakni Trenggono dan bupati Matim.

V. Cara-cara dan langkah-langkah pemecahannya.

Dalam konteks masalah pertambangan di Matim hemat penulis basis pemecahan masalah
utama ialah pada pemerintah dan korporasi/perusahaan tambang.

 Bagi pemerintah

Pertama, pemerintah mesti melakukan supervisi yang ketat terhadap korporasi tambang. 18
Artinya pemerintah mesti menggunakan asas keadilan dalam memberi ijin usaha tambang
(IUP), sehingga aktivitas tambang tidak menimbulkan keresahan dan berdampak buruk bagi
lingkungan dan masyarakat. Jika suatu wilayah de facto tidak layak untuk dijadikan wilayah
tambang maka pemerintah tidak boleh memberi IUP dengan alasan apapun.

Kedua, pembuatan regulasi (undang-undang). Pemerintah punya tugas untuk menerbitkan


aturan yang berpihak pada rakyat, bukan malah mengangkangi kehidupan rakyat. Regulasi
mesti berpihak pada rakyat bukan kepada para kapitalis (korporasi).

Ketiga, moratorium tambang di wilayah NTT. Berdasarkan topografi yang ada yakni
topografi yang berbukit dan rawan, NTT tak cocok untuk pertambangan, NTT bukan koridor
tambang tetapi koridor pariwisata dan pertanian.19 Hal ini berarti bahwa segala macam jenis
tambang di NTT termasuk di wilayah Matim tentu saja tidak memenuhi persyaratan yang ada
sehingga moratorium tambang merupakan langkah yang tepat untuk memblokade kehadiran
tambang di wilayah NTT. Moratorium ini bisa dilakukan oleh pemerintah pusat melalui
kementrian LHK maupun oleh pemerintah NTT melalui Gubernur.

 Bagi korporasi/perusahaan tambang

Hemat saya ada beberapa prinsip yang bisa mengatasi masalah pertambangan di Matim.
Pertama, mengutamakan kaum miskin dan kaum lemah. Karena sebagian besar masyarakat
lingkar tambang dan pabrik semen adalah penduduk miskin maka korporasi mesti

17
Alex Jebadu, Bahterah Terancam Karam (Maumere: Penerbit Ledalero, 2019), hlm. 287.
18
Fredy Hasiman, Monster Tambang (Jakarta: JPIC-OFM, 2014), hlm. 131-132.
19
Ibid., hlm 140.

7
memperhatikan kondisi ini sehingga aktivitas tambang tidak terjadi di wilayah tersebut.
Kedua, prinsip menghormati hidup manusia. Korporasi seharusnya bisa melihat masyarakat
lingkar tambang dan pabrik semen sebagai manusia yang mesti dihormati dan diakui hak dan
kedaulatannya sebagai manusia. Ketiga, prinsip kesejahteraan umum. Ketika korporasi
mengupayakan aktivitas tambang di Matim maka kesejahteraanmasyarakat ikut tergerus. Atas
dasar ini mestinya korporasi mesti memperhatikankesejahteraan masyarakat lingkar tambang
sebagaiupaya menyejahterakan kehidupan rakyat.

Korporasi/perusahaan tambang seharusnya memperhatikan prinsip-prinsip ini dalam


menjalankan aktivitas tambang mereka, sehingga masyarakat tidak menjadi tumbal dari sikap
mereka yang tamak dan rakus.Oleh karena itu, ketika aktivitas pertambangan dijalankan
dengan memperhatikan prinsip-prinsip ini maka pertambangan mungkin tidak akan menjadi
sebuah masalah sosial di tengah masyarakat.

Kesimpulan

Industri pertambangan di bumi flores khsusnya di Matim memang bukanlah hal yang
baru. Industri ini sudah ada di bumi flores bahkan sejak era Orde Baru hingga saat ini.
proliferasi pertambangan di bumi flores nyatanya bukan datang membawa keuntungan bagi
masyarakat, melainkan membawa dampak destruktif yang turut menyumbang munulkanya
berbagai masalah. Berbagi upaya penolakan pertamngan yang dilakukan oleh semua elemen
masyarakat hingga saat ini memang belum membawakan hasil sebab pemerintah dan
perusahaan tambang punya daya dukung yang lebih masif. Belum lagi peran bos-bos lokal
juga turut memperkeruh situasi.

Menanggpi situasi ini tentu saja semua elemen masyarakat dan pemerintah punya andil
yang besar dalammenyelesaikan maslah ini. peran pemerintah seperti melakukan supervisi
yang ketat terhadap korporasi tambang, mengeluarkan produk hukum yang punya basis yang
kuat, dan melakukan moratorium tambang. Sebab dalam konteks topograsi, flores bukanlah
wilaya yang tepat untuk aktivitas pertambngan. Di sisi lain masyarakat mestinya brsatu untuk
melawan korporasi tambang. Masyarakat tidak boleh terpecah bela dan tidak boleh dengan
mudahnya terprovokasi oleh para pegiat tambang. Dalam arti masyarakat punya kesadaran
bahwa aktivitas tambang sangat tidak cocok untuk dibuat di pualau flores, khususnya Matim.

8
Daftar Pustaka

Buku
Denar, Beny. Mengapa Gereja (harus) Tolak Tambang. Maumere: Penerbit Ledalero, 2015.
Hasiman, Fredy. Monster Tambang. Jakarta: JPIC-OFM, 2014.
Jebadu, Alex. Bahterah Terancam Karam. Maumere: Penerbit Ledalero, 2019.
---------------- dkk. (ed.),“Pengantar” dalam Pertambangan di Flores dan Lembata: Berkah
atau Kutuk. Maumere: Penerbit Ledalero, 2009.
---------------- Drakula Abad 21. Maumere: Penerbit Ledalero, 2020.
Mirsel, Robert. Sosiologi Masalah-Masalah Sosial. Dalam slide materi kuliah di STFK
Ledalero.
Siahaan, Jokie M. S. Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi. Jakarta: PT Indeks, 2009.
Suaib, Eka dan La Husen Zuada. “Fenomena Bosisme Lokal di Era Desentralisasi: Studi
Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara” dalam Jurnal Penelitian
Politik, 12: 2. Jakarta, Desember 2012.
Internet
Berita , “Fakta 2 Perusahaan Tambang di Matim: Punya Izin Eksplorasi dan Dimiliki Satu
Orang, dalam https://voxntt.com/2020/05/01/fakta-2-perusaaan-tambang-punya-
izin-eksplorasi-dan-dimiliki-satu-orang/62117/ diakses pada Jumat, 18 Desember
2020.
https://amp.kompas/regional/read/2020/07/02/17503921/masyarakat-diaspora-manggarai-
raya-dan-anggota-dpr-ri-tolak-tambang-dan-pabrik-semen, diakses pada Sabtu, 7
November 2020
https://www.floresa.co/2020/05/11-jpicofm-hentikan-secara-total-dan-permanen-tambang-
dan-pabrik-semen-di-manggarai-timur/, diakses pada Sabtu, 7 November 2020
https://www.mongabay.co.id/2020/06/19-Gubernur-ntt-didesak-batalkan-ijin-tambang-dan-
pabrik-semen-di-manggarai-timur-kenapa,diakses pada Sabtu, 7 November 2020
Jebadu, Alex. “Relasi pertambangan, kekejaman neoliberalisme, dan ilusi pertumbuhan
ekonomi”. Dalam https://www.slidedhere.net/mobile/PerpusMaya/relasi-
pertambangan-dan-kekejaman-neoliberalisme-alex-jebadu, diakses pada Jumat,
18 Desember 2020.

Anda mungkin juga menyukai