MARATABAT PEREMPUAN
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Secara historis, sejak zaman pencerahan (renaisans) pencarian akan kebenaran tidak lagi
bersumber pada revelasi dogmatis agama, melainkan bersumber pada suatu yang kodrati yang
secara empiris ada. Adanya perubahan sumber kebenaran dari suatu yang adikodrati (Allah) ke
yang kodrati melahirkan sebuah konsep pemikiran baru yang menjadikan manusia sebagai pusat
kebenaran. Konsep pemikiran ini lebih dikenal sebgai antroposentrisme, manusia sebagai pusat
alam semesta.1
Jika berbicara tentang manusia maka akan ada begitu banyak aspek kehidupan yang dapat
digali. Salah satunya adalah aspek kebudayaan manusia itu sendiri. Pada hakikatnya aspek
kebudayaan ini telah lama muncul dalam diri manusia, bahkan sejak manusia itu masih dalam
rahim seorang ibu. Dalam perkembangannya banyak ahli mulai mengklasifikasikan kebudayaan
manusia dalam kategori-kategori yang beragam, sehingga tak heran jika dewasa ini dapat
ditemukan beragam kebudayaan dengan keanekaragaman tertentu.
Dalam konteks indonesia, keanekaragaman budaya juga dapat ditemukan. Ada banyak
suku, bahasa, dan budaya yang beragam yang dapat dijumpai. Salah satyunya adalah budaya
manggarai yang terdapat di ujung barat pulau flores. Budaya manggarai tentu saja punya
keunikan tersendiri. Mulai dari bahasa, adat/istiadat, dan ritus-ritus sakral lainnya.
Berbicara tentang konsep dan budaya manggarai, tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan
budaya belis yang sudah mengakarkuat dalam diri setiap orang manggarai. Belis menjadi suatu
persyaratan yang harus dipenuhi jika seorang pria ingin menikahi seorang wanita. Sebagai
sebuah budaya yang lahir dari rahim orang manggarai sendiri, belis sudah sepatutnya menjadi
warisan budaya yang mesti dilestarikan. Namun dilain pihak budaya belis sangat controversial
bagi pihak-pihak tertentu.
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia offline, diakses pada 16 September 2019.
1
Pada umumnya budaya belis tidak hanya ditemukan dalam adat/istiadat orang manggarai.
Orang Sikka, Bejawa, Ende, Nagekeo, Lamaholot, juga punya adat/istiadat yang sama. Namun
walaupun budaya belis juga dimiliki oleh suku-suku lain di flores, hemat kelompok ada beberapa
perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing suku mengenai budaya belis. Untuk itu kelompok
tertarik melakukan studi kepustakaan mengenai belis di manggarai secara umum dalam judul
makalah “BELIS DALAM BUDAYA MASYARAKAT MANGGARAI: PENGHARGAAN
ATAU PEENDAHAN MARTABAT PEREMPUAN”. Oleh sebab itu tulisan ini akan dibagi
dalam 4 subjudul berikut. Pertama, pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Kedua,
aspek kultural masayarakat manggarai, yang memuat beragam aspek budaya yang dimiliki
masyarakat manggarai sebagai suatu komunitas budaya. Ketiga, pokok studi, yang memuat
tentang belis dalam budaya manggarai. Pada bagian ini kelompok akan berusaha menguraikan
tentang belis yang sudah menjadi budaya yang mengikat masyarakat maggarai. Pada bagian ini
juga akan dikupas beberapa hal penting seperti pengertian, sejarah singkat, makna, tujuan dan
peran belis orang manggarai, penentuan belis, persiapan pihak laki-laki, dan belis dalam tahap
perkawinan. Keempat, yakni penutup, yang memuat kesimpulan dan rekomendasi dari
kelompok mengenai budaya belis.
2
I.4 Metode penulisan
Karena jenis studi dan penelitian yang dilewati kelompok adalah jenis studi dan
penelitian kepustakaan maka metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode dari
jenis pustaka, yakni analisis data sekunder.
Manggarai adalah daerah yang terletak di ujung barat Pulau Flores, propinsi Nusa
Tenggara Timur. Wilayah Manggarai dahulu hanya memiliki satu kabupaten yaitu Manggarai
(sekarang telah dimekarkan menjadi tiga wilayah, Manggarai Timur dan Manggarai Barat).
Secara geografis daerah Manggarai bagian Timur dibatasi oleh Kabupaten Ngada, bagian Barat
dibatasi oleh Selat Sape, bagian Utara dibatasi oleh laut Flores dan bagian Selatan dibatasi oleh
Pulau Sumba. Sementara itu, dari segi topografi, Manggarai adalah daerah berbukit, bergunung
dan sebagiannya dataran (padang).
3
bukit, gunung, keris. Lebih jauh, alasan utama orang Manggarai mendirikan rumah di
bukit/gunung agar terhindar dari serangan Musuh. Karena itu, Verheijen menjelaskan bahwa
dapatlah dimengerti mengapa orang Manggarai mendirikan kampungnya jauh dari pantai.
Sampai saat ini, masih ada sebagian kampung yang berada di bukit.
Pada umumnya, sekalipun orang Manggarai menggunakan bahasa daerah yang satu,
beberapa wilayah di distrik (hamente/dalu) atau wilayah kecamatan di Manggarai memiliki
dialek bahasa yang berbeda-beda. Di sini, Verheijen menyimulkan, tidaklah jelas apakah
golongan bangsawan (keraeng) pada umumnya berasal dari satu kelompok imigran tertentu.
Kepastiannya, bahwa keberadaan suku luar di daerah Manggarai justru lebih mempengaruhi
Mangagrai (Sulawesi Selatan, kerajaan Goa/Makasar/Bugis). Sebagai Contoh, istilah keraeng
yang lazim digunakan orang Mangarai sesungguhnya lebih merujuk pada sebutan bangasawan
yang digunakan di Makasar. Bangsawan adalah status sosial masyarakat yang terhormat.
Golongan bangsawan sebagai pemangku adat untuk mengatur tata hidup sosil. Bedanya, dalam
soal penyebutan, orang Manggarai menyebutnya keraeng (ke-ra-eng); sedangkan orang Makasar
menyebutnya Karaeng (ka-ra-eng). Sementara itu, Manggarai dan Makasar juga memilki
kesamaan dalam konstruksi (baca: bentuk) rumah. Bentuk rumah orang Manggarai dikenal
dengan rumah panggung (mbaru gendang). Dan bentuk rumah orang Makasar (Bugis,
Goa/Makasar) pun berbentuk rumah panggung. Itu berarti, ada kemugkinan bahwa leluhur orang
Mangarai berasal dari suku yang berdekatan dengan Manggarai seperti: suku
Goa/Makasar/Bugis.
3
Ibid., hlm 26.
4
2.3 Aspek Ekonomi (Kebudayaan Agraris)4
Menyangkut lingko, orang Manggarai telah memasukannya dalam tata ruang budaya
Manggarai. Misalnya, apabila sekelompok masyarakat terkecil (kampung:beo) tidak mempunyai
lingko, maka masyarakat tersebut tidak diakui keabsahannya sebagai masyarakat
terkecil/kampung yang disebut golo/golo lonto, yaitu untuk menggambarkan satu-kesatuan.
Dalam kaitan ini, muncul istilah Manggarai beo one lingko peang (kampung di dalam, kebun
bundar di luar). Karena itu, kebun bundar/tanah ulayat (lingko) merupakan salah satu syarat
legalitas adat akan kesatuan masyarakat di dalam kampung.
Pada tahun 1975 penduduk NTT berjumlah 2.438.301 jiwa. Dari segi kuantitas, daerah
Manggarai memiliki penduduk sebanyak 341.107 jiwa (14, 2 %) (data ini merupakan konsentrasi
penduduk terbanyak di NTT yang terbagi ke dalam 12 kabupaten yang indentik dengan 12 suku).
Penelitian Nuri kemudian menambahkan, untuk mendongkrak kemajuan pembangunan di
Manggarai, maka diperlukan pemberdayakan terhadap kualitas penduduk suku/SDM orang-
orang Manggarai. Lebih dari pada itu, kesatuan geneologis yang paling besar dan terutama ialah
klan patrilineal (wa,u). Namun, pernikahan antara saudara-saudari sepupu kadang-kadang
ditemukan. Perkawinan bersifat patrilokal misalnya pada keluarga (klan) pemberi istri (anak
rona) memiliki pengaruh besar. Realitas ini dikukuhkan oleh perkawinan crosscousin unilateral
(tungku) yang mana diwajibkan satu anak laki-laki dan satu anak perempuan dari tiap
perkawinan.
4
Ibid., hlm. 24.
5
Ibid., hlm. 25.
5
Sementara itu, garis keturunan keluarga nenek moyang dilihat berdasarkan garis
keturunan garis keturunan laki-laki (Ayah). Kondisi ini kemudian mempengaruhi pembagian
harta ahli waris yang secara total diperuntukan untuk klan patrilineal (wa,u). Di sini, anak laki-
laki mempuyai hak yang besar atas kepemilikan warisan harta kekayaan orangtua kandung.
Kenyataan ini marak terjadi, sebab orang Manggarai beranggapan bahwa anak laki-laki
selamanya akan tinggal tetap pada marga orang tuanya. Atas dasar ini, laki-laki serignkali
disebut sebagai ata one (orang dalam). Sebutan ata one ini, dikukuhkan sejak manusia lahir yaitu
melalui budaya (tradisi) entap dinding/entap siding. Pada sisi lain, perempuan sering disebut
sebagai ata peang (orang luar). Sebutan ini dipengaruhi oleh anggapan orang Manggarai, bahwa
ketika perempuan menikah, mereka akan tinggal dan menetap pada kampung halaman/marga
suaminya. Dan karena itu, perempuan tidak berhak mendapat harta warisan orangtua kandung.
Pada intinya, sebutan ata peang telah dikukuhkan juga sejak manusia lahir dari kandungan ibu
melalui suatu tradisi yang disebut entap dinding/entap siding.
Apabila dikaji lebih jauh, efek laten dari sistem patrilineal yang berlaku di Manggarai
adalah bahwa yang memegang tampuk pemimpin adat istiadat baik dari tingkat yang terendah
maupun tingkat yang lebih tinggi di atasnya adalah kaum laki-laki. Bahkan, ketika laki-laki
mempersunting perempuan, maka perempuan tersebut ibaratnya seperti dibeli yaitu dengan
istilah belis (paca). Dalam kaitan ini, mengutip Hidayat bahwa belis sebagai simbol status
pribadi disebut paca; wagal atau gelar weki. Dalam perkawinan kontan yaitu perkawinan di
mana belis dibayar kontan, sehingga dengan demikian istrinya dapat dibawa dan dimasukkan
menjadi anggota klan suaminya (Hidayat, 1976: 130). Menurut Nggoro, inilah salah satu budaya
yang diulas J. Sunarka bahwa dalam keluarga yang berwawasan budaya patrilineal, semua
berada dalam kuasa suami. Apalagi dengan adanya paham cultural di bawah sadar bahwa dalam
pernikahan perempuan itu dibeli.
6
III. Belis dalam Budaya Masyarakat Manggarai: Penghargaan atau Perendahan Martabat
Perempuan
3.1.1 Pengertian
Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008 mengartikan belis sebagai harta yang
diberikan oleh pihak laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat melamar. Sementara itu,
Remigius Nahal6 mengutip Jillis Verheijen seorang penulis kamus bahasa manggarai, menulis
belis (paca) adalah emas kawin, pembayaran pihak laki-laki kepada pengantin perempuan.
Kemudian Kanisius T. Deki7 menambahkan belis (paca) dalam tradisi manggarai biasanya
diberikan dalam bentuk hewan dan kemudian memakai uang yang diistilahkan pe’ang tana agu
one mbaru, atau wa loce (apa yang ada di luar rumah berupa hewan dan dalam rumah berupa
uang). Demikian, belis atau paca adalah emas kawin berupa hewan atau uang dari pada pihak
laki-laki yang diberikan kepada pihak perempuan sebagai salah satu syarat dalam melamar
mempelai perempuan.
6
Remigius Nahal, ”Menelisik Makna Belis Manggarai Yang Sesungguhnya”, dalam Marjin News
http://www.marjinnews.com/2017/12/menelisik-makna-belis-manggarai-yang.html?m=1, diakses pada 29
September 2019.
7
Kanisius T. Deki, “Konsep Belis Orang Manggarai”, dalam http://kanisusdeki.blogspot.com, diakses pada 7
Oktober 2019
7
mempertahankan eksistensi keluarga”.8 Dalam pada ini, Lawang menyebut belis pun menjadi
sebuah bentuk penghargaan terhadap keluarga perempuan dari wa’u lain itu.
Tidak hanya itu, sejarah belis Manggarai menurut Tuname sebagaimana dikutip Santiana
Gaudiosa9 dalam studi tentang tradisi menelisik makna belis orang manggarai, dijabarkan bahwa
sejarah belis di manggarai telah berlangsung sejak zaman kerajaan Todo sampai dengan
kedatangan kerajaan Goa di daerah manggarai.
Ada tiga makna sekaligus tujuan belis (paca) dalam adat istiadat orang manggarai:
Pertama belis merupakan penghargaan terhadap tuka wing de ende atau rahim ibu. Bentuk ini
menempatkan rahim sebagai sesuatu yang mesti dihargai sebab hanya melalui rahim ibu manusia
memperoleh kehidupan. Demikian, belis (paca) menjadi salah satu model penghargaan terhadap
rahim itu. Kedua, adanya belis (paca) membuat kelangsungan hidup dari suami istri menjadi
kukuh. Karena itu, perceraian sejatinya tidak dikehendaki, apalagi anggapan buruk terhadap
hubungan suami istri yang telah direstui. Ketiga, belis menjadi pertanda bahwa pihak laki-laki
sungguh bertanggung jawab dan berkemampuan menghidupkan istri dan anak. Pihak wanita dan
keluarga pun memperoleh kenyamanan. Sedangkan peran belis oleh Deki dapat dijelaskan
sebagai berikut.
“Pertama, hewan yang diberikan pihak laki-laki atau anak wina dipakai untuk memenuhi
kebutuhan keluarga besarnya. Sebagai misal, kerbau yang dibawa anak wina dipelihara
ataupun dijual. Dalam kenyataannya, tak jarang kuda atau kerbau yang dibawa dijual
untuk memenuhi kebutuhan keuangan dari acara perkawinan. Kedua, uangnya dipakai
untuk menyelesaikan urusan perkawinan yakni seremoni adat (memberi sejmlah uang
kepada pihak anak rona, keluarga dan konsumsi) dan perayaan pesta perkawinan
(konsumsi, tenaga kerja, gedung, musik dll.)”
Demikian, peran belis orang Manggarai tidak semata-mata diberikan kepada pihak anak
rona tetapi juga digunakan secara bersama dengan anak wina dalam memenuhi kebutuhan acara
perkawinan.
8
Floresa “Ternyata, Belis di Manggarai Muncul Setelah Ada Penyakit Cacar”, dalam Floresa
http://www.floresa.co/2014/11/18/ternyata-belis-di-anggarai-muncul-setelah-ada-penyakit-cacar/ , diakses pada 9
Oktober 2019
9
Ibid.,
10
Teobaldus K. Deki. loc. cit.
8
3.1.4 Penentuan Belis11
Pemberian belis (paca) orang Manggarai pada masa silam ditentukan oleh status sosial
kemasyarakatan. Ada perbedaan antara kelas raja, dalu, gelarang dan masyarakat biasa. Akan
tetapi selanjutnya penentuan model ini diganti dengan tingkat sosial yang baru. Deki, menyitir
Pahun dalam kajiannya mengemukakan bahwa penentuan belis selanjutnya disesuaikan dengan
tingkat pendidikan dan kedudukan sosial seorang perempuan di Manggarai. Besar kecil jumlah
belis (paca) ditentukan kedua hal tersebut. Jumlah yang ditentukan pun tidak sedikit, bahkan jika
dinominalkan dapat mencapai ratusan juta.
Ungkapan “bom salang tuak-maik salang wae”(bukan jalan air tuak yang hanya
memberikan airnya sesaat, tetapi sumber air yang senantiasa memberikan airnya sepanjang
masa), memberikan kelonggaran bagi pihak laki-laki akan ketentuan jumlah belis (paca).
Maksudnya, kendati upacara pong/tuke mbaru telah memutuskan jumlah belis (paca) tersebut
pihak perempuan atau anak rona sebagai penerima belis (paca) harus tetap memahami keadaan
pihak anak wina. Ada pepatah le mbaru teno yang bermakna pemberian belis menunggu hasil
keringat suami istri.
Pemberian mas kawin dalam kejadian khusus seperti membawa lari anak perempuan
orang dan membawa lari istri orang berbeda dengan yang biasanya. Wendo atau roko (membawa
lari) di zaman lampau hanya dilakukan oleh lelaki yang berasal dari keluarga kaya. Alasannya
karena kala keluarga perempuan mengikuti anak mereka yang dibawa lari, saat itu pula belis
harus dilunasi oleh anak wina (pihak laki-laki). Belis harus dibayar tuntas, mulai dari “belas
gendang-bike nggong” hingga puncaknya pada “paca weki”, bila perempuan tersebut
sebelumnya sudah dipinang oleh lelaki lain. Dan bila perempuan itu telah memiliki suami yang
sah, pihak laki-laki yang wendo/roko wina data (bawa lari istri orang) harus membayar belis dua
kali lipat. Istilahnya tala tumpa: pihak perempuan mengembalikan mas kawin dari suami
sebelumnya.
11
Ibid.,
12
Adi M. Nugroho, op. cit. hal. 86-97.
9
Dalam bagian ini, akan disajikan beberapa bentuk persiapan pihak laki-laki dalam
menjawabi belis atau paca untuk pihak perempuan.
10
Kole berarti parang dibawa pulang. Istilah ini dipakai untuk laki-laki yang gagal melamar
perempuan. Ditujukan kepada laki-laki karena kope itu adalah kiasan laki-laki dan kiasan
dana. Disebut kope ba kole karena laki-laki itu pergi ke luar rumah melamar perempuan,
dan kalau lamarannya ditolak oleh perempuan, maka ia harus kembali lagi ke kampung
halamannya.
1. Ba pangkang
Pada tahap ini terjadi pemberian bukti cinta pihak laki-laki semisal berupa kuda atau
kerbau meski anak gadis masih di bawah umur atau masih sekolah. Penukaran cincin atau tukar
kila dapat dilakukan bila anak gadis itu telah beranjak dewasa. Kuda atau kerbau bukti cinta yang
telah dibawa sebagai ba pangkang diperhitungkan juga sebagai belis (paca) (jarang ko kaba
pangkang). Dan andaikata hubungan keduanya kandas maka kerbau atau kuda tadi dikembalikan
lagi.
Istilah adat ini bermaknya pengikatan, masuk minta, masuk rumah sambil membawa
sirih pinang. Pada tahap ini juru bicara atau tongka/paeng dari masing-masing pihak.
Tongka/pateng tei dari pihak laki-laki dan tongka/pateng tiba mewakili pihak perempuan. Dalam
sacara pongo dibicarakan secara intens jumlah belis (paca) baik berupa uang maupun hewan.
Bila mencapai kata sepakat, tanggal pernikahan dapat segera ditentukan. Hal yang cukup penting
dalam pongo juga ialah kesepakatan bilamana dengan pelbagai alasan pernikahan tidak
terlangsungkan. Tentang hal ini, Deki menjelaskan demikian:
“Keputusannya biasanya begini: Bila anak gadis tidak mau menikahi pasangannya
maka belis yang sudah dikeluarkan oleh pihak laki-laki dikembalikan dan ditambah seekor
babi untuk memulangkan si pemuda kepada pihak keluarganya. Babi itu dalam bahasa
adatnya disebut “ela podo wa’u”. Tetapi jika laki-laki yang tidak bersedia menikahi
pasangannya maka belis yang sudah dikeluarkannya dan sudah diterima pihak anak gadis
tidak akan dikembalikan lagi dan malah ditambah dengan seekor kuda atau kerbau sebagai
penutup rasa malu pihak keluarga wanita. Dalam bahasa adatnya disebut jarang ko kaba
cému ritak. Kesepakatan antara juru runding /tongka itu diresmikan dalam “ela mbukut”.
(seekor babi sebagai simbol pengikatan kesepakatan adat pongo). Ela mbukutitu diberikan
oleh anak rona kepada anak wina. Upacara pongo bisa berjalan lancar, bisa juga
sebaliknya. Tergantung pendekatan kedua belah pihak sebelumnya, di samping itu juga
tergantung kelihaian juru runding berbicara soal adat.”
3. Peresmian perkawinan
13
Teobalus k. Deki, loc. cit.
11
Tradisi Manggarai memaklumkan tiga jenis peresmian perkawinan. Ada perkawinan
masuk atau “pumpuk ulu-rami wa’i”/ “tu’us wa-cangkem éta”/ “donggo mata olo-donggé mata
oné”. Peresmian perkawinan yang kedua disebut umber dan wagal /nempung menjadi model
peresmian ketiga.
Belis dalam peresmian model pertama tidak dibayar tuntas sebab memang model ini
hanya diadakan bagi orang yang tidak mampu. Pihak anak rona menghargai cinta mereka dan
alasan yang cukup penting juga ialah anak rona yang momang ata lengge (memaklumi anak
wina yang miskin). Tidak ada podo (menghantar perempuan kepada keluarga lelaki) dalam
peresmian jenis ini tetapi lelaki tinggal bersama dan membantu keluarga si perempuan. Bila
dalam perjalanan mereka memperoleh rejeki, urusan adat perkawinan bisa diminta untuk
diselesaikan. Istilah “tu’us wa-cangkem éta” diganti dengan “kawé woja wolé-latung coko”. Si
istri pun dapat podo ke kampung suami.
Dalam model peresmian yang kedua umber, belis sebagian kecilnnya disesuaikan dengan
kemampuan pihak anak wina. Perkawinan bisa diresmikan sebab sebagian belis dapat dibayar.
Ada istilah Cehi ri’i-wuka wancang-radi ngaung yang diterjemahkan peresmian perkawinan
dapat dilaksanakan karena pihak anak wina masuk dengan cara membuka alang-alang-membuka
pelepah bambu- menggunakan tangga dari kolong rumah. Bom salang tuak-maik salang waé
teku tédéng menjadi dasar bahwa belis dapat dibayar pada waktu yang akan datang adat yang
berlaku.
Umber menjadi titik awal sebelum podo. Selain itu, umber menempatkan seorang
perempuan sebagai anggota suku atau wa’u suaminya. Dalam hal warisan, si perempuan
memiliki hak berdasarkan apa yang dikehendaki bagi suaminya. Umber dapat dikatakan sahih
apabila anak wina telah membawa kerbau atau kaba ute/lebong dan dagingnya diberikan kepada
saudara kandung si perempuan atau anak rona sa’i/anak rona ulu,anggota suku dari ayah atau
asé-ka’é de ema dan seluruh warga kampung atau pa’ang olo-ngaung musi.
Model ketiga ialah wagal/nempung. Model ini dapat dikatakan sebagai yang sempurna
sebab belis dibayar tuntas. Pada model ini juga ada pendoaan hewan kurban yang disebut cikat
kina-wagak kaba, ela lé-lancungsili . Artinya babi atau kerbau didoakan untuk kesejahteraan
keluarga. Ada pula acara sompo/wéla héndéng (pengantin perempuan diayubahagiakan dengan
12
mengenakan pakaian adat dan bali-belo (mahkota pada kepalanya) lalu dipersandingkan dengan
suaminya dihadapan para tetua adat dari pihak anak rona dan anak wina serta seluruh warga
kampung (weki pa’ang olo-ngaung musi). Sebelum babi didoakan ada pula pemberian wida
(pemberian berupa barang-barang seperti kain-kain songke, perhiasan, dll). Dalam bahasa
adatnya disebut: lipa lecak dari anak rona dan wida rampas dari semua tetua adat dalam
kampung itu.
Sebagaimana yang telah dijelaskan secara panjang lebar di atas pada hakikatnya belis
merupakan budaya yang memberi penghargaan terhadap harkat dan martabat perempuan. Hemat
kelompok ada beberapa pokok penting yang melatarbelakangi hal ini, anatara lain;
Di samping budaya belis memiliki nilai luhur yang perlu dilestarikan, akhir-akhir ini
praktik belis keluar dari hakikat dasarnya sebagai bentuk penghormatan terhadap martabat
seorang perempuan menjadi praktik merendahkan martabat seorang perempuan. Adapun
alasannya yang ditemukan, Pertama: Belis dijadikan sebagai komoditi dari pihak
perempuan (anak rona). Nasib perempuan seolah-olah disubordinasikan dalam bentuk
barang dagangan. Artinya harkat dan martabat seorang perempuan dapat ditukar dengan
uang rupiah ratusan juta. Dan ketika uang dan peralatan lainnya tidak mampu untuk
meminang seorang perempuan maka sekuat apapun cinta dan kasih sayang dari sepasang
kekasih tidak akan bersatu. Ini sama halnya ketika sorang pembeli tomat di pasar, yang
kebetulan uangnya tidak pas untuk membeli tomat maka tidak terjadi transaksi antara
pembeli dan penjual di sana.
Kedua: Praktik belis yang cukup mahal melahirkan kelas masyarakat ekonomi
kapitalis. Nilai belis di Manggarai sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan seorang
perempuan, semakin tinggi pendidikan seorang perempuan maka nilai belis yang ditetapkan
semakin besar.14 Sebagai contoh untuk seorang perempuan dengan kualifikasi pendidikan
strata 1 (S1), nilai belisnya sekitar 75-100 juta rupiah. Apabila finansial pihak anak wina
(pihak laki-laki) tidak mencapai standar permintaan anak rona (pihak perempuan) minimal
acara pernikahannya ditunda atau pada titik ekstrim bisa dibatalkan. Oleh karena itu, pihak-
pihak yang mencapai standar permintaan tersebut dominan datang dari kalangan pemodal
Kraeng Goido, “Belis Di Manggarai Yang Mencekik Leher”, dalam Kompasiana, diakses pada tanggal 6 Oktober
14
2019.
14
(kaum kapilatis). Jelas bahwa warna kelas masyarakat kapitalis sangat kental dalam paraktik
budaya belis di Manggarai.
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Mekipun dalam tataran konsep, belis sarat akan nilai penghargaan terhadap perempuan,
namun kelompok juga melihat bahwa adanya penyelewengan konsep belis dalam praksisnya.
Paraksis penyelewangan ini yang mesti diperangi, dan belis mesti dituntun kembali pada nilai
asalinya. sebab di sini belis bukan menjadi ajang perendahan maratabat seorang perempuan
melainkan penghargaan terhadap martabat perempuan.
4.2 Rekomendasi
1 Bagi pemerintah
15
Belis merupakan suatu warisan turun-temurun yang telah ada sejak zaman dahulu, dan
menjadi salah satu budaya yang penting di Manggarai. Oleh sebab itu kelestarian budaya
belis ini harus terus dilestarikan dan dijalankan oleh masyarakat Manggarai, demi menjaga
kelestarian budaya dan sebagai salah satu identitas dari budaya Manggarai. Untuk itu
pemerintah sebagi suatu instansi terkait punya andil yang besar dalam merawat budaya belis,
karena ini merupakan khazana budaya yang paling luhur.
2 Bagi masyarakat
16