Kelompok 5
Kelompok 5
Permukiman Tradisional di
02 Kabupaten Manggarai
Lansekap Etnik
di Pulau Flores
SEJARAH DAN KEBUDAYAAN SUKU FLORES
Pulau Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia dan termasuk dalam gugusan
Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km².
Suku yang berada di kepulauan Flores merupakan percampuran antara etnis melayu,
Melanesia, dan portugis. Flores identik dengan kebudayaan Portugis karena pernah menjadi
koloni portugis. Hal ini membuat kebudayaan portugis sangat terasa dalam kebudayaan flores
baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.
Penelitian mengungkapkan bahwa, ada sedikitnya delapan sub-suku-bangsa yang
memiliki logat-logat dan bahasa yang berbeda-beda.
Perbedaan kebudayaan antara sub-suku-bangsa Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio dan
Sikka tidaklah amat besar. Tetapi, Perbedaan antara kelompok sub-suku-bangsa tersebut
dengan orang Manggarai termasuk besar. Seperti halnya dari segi bentuk fisik, ada satu
perbedaan yang mencolok. Penduduk Flores mulai dari orang-orang Riung makin ke
Timur menunjukkan lebih banyak cirri-ciri Melanesia, seperti penduduk Papua,
sedangkan orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu.
Adapun sub-suku-bangsa Larantuka berbeda dari yang lain. Hal ini dikarenakan mereka
lebih tercampur dengan mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain
suku-bangsa Indonesia yang dating dan bercampur di kota Larantuka.
Sistem Kepercayaan
Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu begitu luas mencakup aspek
simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya), asal mula kejadian manusia, binatang
dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media untuk mengekspresikan
simbol-simbol secara fisik dalam kebersamaan. Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau
Flores awal pemunculannya, tampak pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat
dan monumen-monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya.
Selain itu, tampak juga pada upacara pemujaan termasuk
prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara dan
tari serta perlengkapan-perlengkapan upacara
(ubarampe) dan sebagainya.Tradisi megalitik pun tampak
pada tata ruang, fungsi, konstruksi sertastruktur
bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus hidup
mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan pola menetap
setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta
perkabungan. Sudah tentu juga berkaitan dengan
upacara untuk mencari mata pencarian, seperti
pembukaan lahan, penebaran benih, panen, berburuan,
pengolahanlogam dan sebagainya, serta pembuatan
benda-bendagerabah, tenun dan senjata.
Kesenian
Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik juga kita dapat membagi beberapa unsur bahasa daerah
di Flores yang didasarkan pada perbedaan tiap-tiap suku. Masing-masing suku ini memiliki berbagai
macam bahasa dan cara-cara pelafalannya. Secara umum bahasa tersebut berasal dari bahasa Melayu
yang turut berkembang menyesuaikan daerah-daerah yang dihuni oleh suku-suku tersebut.
Permukiman Tradisional
di Kabupaten Manggarai
ASAL NAMA MANGGARAI
Pusat persebaran kelompok etnik Masyarakat Lio mengenal adanya Penataan ruang tradisional di wilayah ini
Lio berada di Kabupaten Sikka, berbagai jenis sumber daya flora- sangat memperhatikan keadaan fisik dan
Provinsi Nusa Tenggara Timur. fauna yang dianggap totem, flora alam. Lahan yang berbatu atau tidak
Daerah ini terletak di bagian dan fauna tertentu yang pantang memiliki vegetasi, yang dikenal sebagai
pinggang pulau Flores, di mana ditangkap atau dimakan. Di fila ngoba, dilarang digunakan untuk
terdapat dua buah gunung, yaitu Kecamatan Paga, misalnya pada kegiatan produksi. Wilayah di sekitar
Kimang Bulang dan Taraf Egon. klen (nggua) Bhiku, Kokoli, Bia dan sungai yang didominasi oleh semak dan
bu, dikenal jenis flora dan fauna rerumputan dijadikan lokasi
yang pantang dikonsumsi, yaitu perdagangan. Sementara wilayah biri dan
daging anjing, buaya darat, detu umumnya digunakan untuk
kelelawar, tupai, tikus, suja (sejenis perdagangan atau budidaya tanaman
ubi), buah wutake, dan tebu merah. komersial seperti kemiri dan mente,
Pada suku Bu pantang dengan vegetasi alami yang mencakup
mengkonsumsi daging anjing, rusa. pepohonan, semak, dan alang-alang.
Khobe, yang merupakan cekungan besar,
digunakan untuk permukiman dan
pertanian, termasuk tanaman seperti
kopi, coklat, jeruk, dan mangga dalam
jumlah terbatas. Cekungan kecil di dalam
Khobe, yang memiliki sumber air, disebut
deno dan dianggap sebagai daerah
penyedia sumber air yang penting bagi
penduduk setempat.
LANSEKAP ETNIK DESA TODO
Dalam sejarahnya kampung Todo berawal dari kerajaan Todo yang melahirkan bentuk baru
dalam rumah adatnya. Rumah adat semula menye- rupai rumah adat Minangkabau, kemudian
berubah menjadi bentuk kerucut yang menerus dari tanah sampai ke puncaknya dengan denah
berbentuk lingkaran (seperti kondisi sekarang. Bentuk ini merupakan simbolisasi dari kesatuan
masyarakat adat yang terdiri dari 38 kedatuan/hamente di seluruh Manggarai. Rumah adat
semacam itu disebut sebagai Niang Wowang. Ada sembilan tiang yang menjadi struktur utama
bangunan yang melambangkan adanya sembilan struktur pemerintahan. Tiang utama terletak
di tengah: tiang Siri-bongko, tidak boleh berukir - lambangkan satu kepemimpinan yang lurus,
jujur dan bersih.
Kampung Todo, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur merupakan
salah satu kampung adat masyarakat Manggarai. Pada masa lampau, daerah ini merupakan
salah satu pusat Kerajaan Todo yang menjadi penguasa wilayah Manggarai saat ini. Kampung
Todo kini menyisakan bangunan rumah adat (Niang Todo) berbentuk kerucut. Rumah adat ini
beralaskan kayu. Meski sudah mengalami renovasi, bangunan ini merupakan satu-satunya sisa
peninggalan sejarah dan tradisi yang kini bersanding dengan rumah-rumah modern warga
sekitar.
TIPOLOGI ARSITEKTUR
LANSEKAP DESA TODO
Rumah adat todo disebut juga Rumah
Gendang karena menyimpan Loke
Nggerang, sebuah gendang yang
dipercaya terbuat dari kulit seorang
gadis yang diperebutkan untuk
dipersunting antara raja Todo dan raja
Bima. Konon bila gendang tersebut
ditabuh, suaranya akan terdengar
sampai ke wilayah Kesultanan Bima.
Rumah adat itu kini masih tersisa a.l. di desa adat Wae Rebo, Kabupaten Manggarai, NTT.
Jumlahnya hanya 7 buah, 4 masih asli dan 3 sudah melalui proses renovasi (oleh arsitek Yori
Antar tahun 2008). Pada bulan Agustus 2012 Mbaru Niang mendapat penghargaan UNESCO
Asia-Pacific sebagai warisan budaya untuk konservasi arsitektural Rumah Mbaru Niang di Wae
Rebo.
Lantai 1: disebut tenda, Tempat untuk makan, tidur, istirahat, bercengkerama, menerima
tamu, memasak, bermusyawarah.
Lantai 2: disebut lobo, artinya loteng. Disini disimpan bahan makanan yang akan dimasak utk
makan bersama.
Lantai 3: dinamakan Lentar, artinya: jagung - tempat penyimpanan makanan pokok warga.