Anda di halaman 1dari 26

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


2023

BENTANG ALAM DAN


LANSKAP BUDAYA
DR. IR. JUDY O. WAANI ST, MT

Kelompok 5
Kelompok 5

Dhea A.R Mokoginta


210211050075
Eugenia A.I Sundah
210211050039
Daftar isi

01 Lansekap Etnik di Pulau Flores

Permukiman Tradisional di
02 Kabupaten Manggarai
Lansekap Etnik
di Pulau Flores
SEJARAH DAN KEBUDAYAAN SUKU FLORES
Pulau Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia dan termasuk dalam gugusan
Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km².

Suku yang berada di kepulauan Flores merupakan percampuran antara etnis melayu,
Melanesia, dan portugis. Flores identik dengan kebudayaan Portugis karena pernah menjadi
koloni portugis. Hal ini membuat kebudayaan portugis sangat terasa dalam kebudayaan flores
baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.
Penelitian mengungkapkan bahwa, ada sedikitnya delapan sub-suku-bangsa yang
memiliki logat-logat dan bahasa yang berbeda-beda.

Perbedaan kebudayaan antara sub-suku-bangsa Riung, Ngada, Nage-Keo, Ende, Lio dan
Sikka tidaklah amat besar. Tetapi, Perbedaan antara kelompok sub-suku-bangsa tersebut
dengan orang Manggarai termasuk besar. Seperti halnya dari segi bentuk fisik, ada satu
perbedaan yang mencolok. Penduduk Flores mulai dari orang-orang Riung makin ke
Timur menunjukkan lebih banyak cirri-ciri Melanesia, seperti penduduk Papua,
sedangkan orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu.
Adapun sub-suku-bangsa Larantuka berbeda dari yang lain. Hal ini dikarenakan mereka
lebih tercampur dengan mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain
suku-bangsa Indonesia yang dating dan bercampur di kota Larantuka.
Sistem Kepercayaan

Masyrakat Flores sudah menganut beberapa


ajaran agama modern, seperti Islam, Kristen dan
lain sebagainya. Namun masih terdapat tradisi
unsur pemujaan terhadap leluhur. Salah satunya
adalah tradisi megalitik di beberapa sub etnis
Flores. Misalnya, tradisi mendirikan dan
memelihara bangunan-bangunan pemujaan bagi
arwah leluhur sebagai wujud penghormatan
(kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya
berawal sejak sekitar 2500 - 3000 tahun lalu dan
sebagian diantaranya masih berlangsung sampai
sekarang.

Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu begitu luas mencakup aspek
simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya), asal mula kejadian manusia, binatang
dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media untuk mengekspresikan
simbol-simbol secara fisik dalam kebersamaan. Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau
Flores awal pemunculannya, tampak pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat
dan monumen-monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya.
Selain itu, tampak juga pada upacara pemujaan termasuk
prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara dan
tari serta perlengkapan-perlengkapan upacara
(ubarampe) dan sebagainya.Tradisi megalitik pun tampak
pada tata ruang, fungsi, konstruksi sertastruktur
bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus hidup
mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan pola menetap
setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta
perkabungan. Sudah tentu juga berkaitan dengan
upacara untuk mencari mata pencarian, seperti
pembukaan lahan, penebaran benih, panen, berburuan,
pengolahanlogam dan sebagainya, serta pembuatan
benda-bendagerabah, tenun dan senjata.
Kesenian

Tari yang berasal dari Flores salah satunya


adalah tari Caci adalah tari perang sekaligus
permainan rakyat antara sepasang penari laki-
laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai
di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Caci
merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae
Manggarai. Hampir semua daerah di wilayah ini
mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat
Manggarai ini sering dibawakan pada acara-
acara khusus. Tarian Caci Caci berasal dari kata
ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi,
caci bermakna ujian satu lawan satu untuk
membuktikan siapa yang benar dan salah dan
merupakan ritual Penti Manggarai.
Mata Pencaharian

Salah satu mata pencaharian suku Flores adalah berladang. Mereka


menggunakan sistem gotong royong dalam hal membuka ladang di
dalam hutan. Aktivitas itu sendiri dari memotong dan membersihkan
belukar bawah, menebang pohon-pohon dan membakar daun-daunan,
batang-batang dan cabang-cabang yang telah di potong dan di tebang.
Kemudian bagian hutan yang di buka dengan cara tersebut dibagi
antara berbagai keluarga luas, yang telah bersama-sama membuka
hutan tadi. Dari atas sekelompok ladang-ladang serupa itu akan tampak
seperti suatu jaringan sarang laba-laba. Tanaman pokok yang di tanam
di ladang-ladang adalah jagung dan padi.

Beternak juga merupakan salah satu mata pencaharian suku Flores.


Hewan piaraan yang terpenting adalah kerbau. Binatang ini tidak dipiara
untuk tujuan-tujuan ekonomis tetapi untuk membayar mas kawin, untuk
upacara-upacara adat, dan untuk menjadi lambang kekayaan serta
gengsi. Selain itu kuda juga merupakan hewan piaraan yang penting,
yang dipakai sebagai binatang tenaga memuat barang atau menghela. Di
samping itu kuda juga sering dipakai sebagai harta mas kawin. Kerbau
dan juga sapi dimasukkan ke dalam kandang umum dari desa dan
digembala di padang-padang rumput yang juga merupakan milik umum
dari desa. Pemeliharaan babi, kambing, domba atau ayam dilakukan di
pekarangan rumah atau dikolong rumah seperti halnya di daerah
Manggarai
Sistem Masyarakat

Di dalam masyarakat flores kuno ada suatu


sistem statifikasi, yang terdiri dari tiga lapisan.
Dasar pelapisan itu adalah klan-klan yang
dianggap mempunyai sifat keaslian satau
bersifat senioritet. Yaitu diantaranya :
1. Lapisan orang kraeng
2. Lapisan orang ata lehe
3. Lapisan orang budak

Pada orang Ngada misalnya terdapat tiga


lapisan juga seperti :
1. Lapisan orang gae meze
2. Lapisan orang gae kiss
3. Lapisan orang azi ana
Bahasa

Diperkirakan terdapat tujuh kelompok bahasa, yaitu


kelompok bahasa-bahasa Flores Barat, Flores Timur, Sumba,
Timor Barat, Timor Timur, Pantara, dan Alor. Dalam pada itu,
berdasarkan hasil penghimpunan berkas isoglos dan
perhitungan dialektometri di NTT, diperkirakan terdapat lima
kelompok bahasa, yaitu kelompok bahasa-bahasa Flores-
Sumba, Timor Barat, Timor timur, Pantar, dan Alor.
Interpretasi yang dapat ditarik dari perbedaan hasil
pengelompokan bahasa antara historis komparatif dan
dialektologi kemungkinan besar karena sifat dasar dari
pendekatannya. Linguistik historis komparatif cenderung
mengarah pada diakronis, sedangkan dialektologi cenderung
mengarah pada kondisi bahasa secara sinkronis.

Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik juga kita dapat membagi beberapa unsur bahasa daerah
di Flores yang didasarkan pada perbedaan tiap-tiap suku. Masing-masing suku ini memiliki berbagai
macam bahasa dan cara-cara pelafalannya. Secara umum bahasa tersebut berasal dari bahasa Melayu
yang turut berkembang menyesuaikan daerah-daerah yang dihuni oleh suku-suku tersebut.
Permukiman Tradisional
di Kabupaten Manggarai
ASAL NAMA MANGGARAI

Masyarakat di permukiman tradisional Manggarai, khususnya


di Desa Todo, mengemban keyakinan mendalam terhadap
mitos sejarah yang mengisahkan tentang kedua kakak beradik
dari Minangkabau, Sumatera Barat, yang melakukan
perjalanan melintasi perairan, singgah di Sulawesi, dan
berlabuh di Briloka. Dalam mitos ini, mereka membawa balok
batu panjang bernama Watu Leba, yang saat air laut
mencapai Kilor, perahu mereka terdampar dan meninggalkan
meriam dan jangkar batu bernama Watu Manggar. Nama
"Manggarai" berasal dari kata ini, menggantikan sebutan
sebelumnya, "Nusalale." Selanjutnya, sang adik, Mashur,
dikisahkan pergi ke Desu dan kemudian ke Todo, membawa
seekor babi. Mashur kemudian menetap di Todo, diyakini
sebagai leluhur raja-raja Manggarai. Mitos ini mencerminkan
bagaimana legenda sejarah lokal berperan penting dalam
membentuk identitas dan budaya masyarakat Manggarai
serta menjelaskan asal-usul nama dan mitologi di daerah
tersebut.
Masyarakat Manggarai secara tradisional melanjutkan
praktik upacara ungkapan syukur kepada leluhur dan
pencipta semesta setelah panen dengan perayaan yang
mencakup tari tradisional Caci (tari cambuk) dan
permainan tradisional tete alu dengan bambu. Upacara
ini mencerminkan filosofi penting dalam menghormati
serta memuji para leluhur dan pencipta atas kesehatan
dan kesuksesan dalam panen. Salah satu contohnya
adalah tarian Caci yang sering dipentaskan saat
membuka kebun, dengan kostum penari yang khusus
dipakai untuk acara ini, dan menjadi bagian integral dari
budaya dan kepercayaan masyarakat Manggarai dalam
menyambut hasil panen yang melimpah.
POLA SAWAH Area persawahan tradisional penduduk
Manggarai yang disebut Lingkol/Lodok

MELINGKAR (LODOK) memiliki bentuk dan pola pembagian


yang khas, yaitu area sawah secara
keseluruhan berbentuk lingkaran dan
dibagi menjadi petak-petak berupa
tembereng lingkaran yang ditarik
berdasarkan jari-jari di pusat lingkaran.
Besarnya petak tembereng ditentukan
dari besarnya sudut jari-jari di pusat
lingkaran, di mana pemilik tanah atau
tuan adat mendapat bagian sudut
sebesar ibu jari, pembantu terdekat
mendapat bagian sudut sebesar jari
telunjuk dan para pekerja mendapat
bagian sebesar jari kelingking. Sistem
pembagian tersebut dinamakan
Mosokeret.
LANSEKAP ETNIK LIO DI
PULAU FLORES

Pusat persebaran kelompok etnik Masyarakat Lio mengenal adanya Penataan ruang tradisional di wilayah ini
Lio berada di Kabupaten Sikka, berbagai jenis sumber daya flora- sangat memperhatikan keadaan fisik dan
Provinsi Nusa Tenggara Timur. fauna yang dianggap totem, flora alam. Lahan yang berbatu atau tidak
Daerah ini terletak di bagian dan fauna tertentu yang pantang memiliki vegetasi, yang dikenal sebagai
pinggang pulau Flores, di mana ditangkap atau dimakan. Di fila ngoba, dilarang digunakan untuk
terdapat dua buah gunung, yaitu Kecamatan Paga, misalnya pada kegiatan produksi. Wilayah di sekitar
Kimang Bulang dan Taraf Egon. klen (nggua) Bhiku, Kokoli, Bia dan sungai yang didominasi oleh semak dan
bu, dikenal jenis flora dan fauna rerumputan dijadikan lokasi
yang pantang dikonsumsi, yaitu perdagangan. Sementara wilayah biri dan
daging anjing, buaya darat, detu umumnya digunakan untuk
kelelawar, tupai, tikus, suja (sejenis perdagangan atau budidaya tanaman
ubi), buah wutake, dan tebu merah. komersial seperti kemiri dan mente,
Pada suku Bu pantang dengan vegetasi alami yang mencakup
mengkonsumsi daging anjing, rusa. pepohonan, semak, dan alang-alang.
Khobe, yang merupakan cekungan besar,
digunakan untuk permukiman dan
pertanian, termasuk tanaman seperti
kopi, coklat, jeruk, dan mangga dalam
jumlah terbatas. Cekungan kecil di dalam
Khobe, yang memiliki sumber air, disebut
deno dan dianggap sebagai daerah
penyedia sumber air yang penting bagi
penduduk setempat.
LANSEKAP ETNIK DESA TODO

Dalam sejarahnya kampung Todo berawal dari kerajaan Todo yang melahirkan bentuk baru
dalam rumah adatnya. Rumah adat semula menye- rupai rumah adat Minangkabau, kemudian
berubah menjadi bentuk kerucut yang menerus dari tanah sampai ke puncaknya dengan denah
berbentuk lingkaran (seperti kondisi sekarang. Bentuk ini merupakan simbolisasi dari kesatuan
masyarakat adat yang terdiri dari 38 kedatuan/hamente di seluruh Manggarai. Rumah adat
semacam itu disebut sebagai Niang Wowang. Ada sembilan tiang yang menjadi struktur utama
bangunan yang melambangkan adanya sembilan struktur pemerintahan. Tiang utama terletak
di tengah: tiang Siri-bongko, tidak boleh berukir - lambangkan satu kepemimpinan yang lurus,
jujur dan bersih.

Kampung Todo, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur merupakan
salah satu kampung adat masyarakat Manggarai. Pada masa lampau, daerah ini merupakan
salah satu pusat Kerajaan Todo yang menjadi penguasa wilayah Manggarai saat ini. Kampung
Todo kini menyisakan bangunan rumah adat (Niang Todo) berbentuk kerucut. Rumah adat ini
beralaskan kayu. Meski sudah mengalami renovasi, bangunan ini merupakan satu-satunya sisa
peninggalan sejarah dan tradisi yang kini bersanding dengan rumah-rumah modern warga
sekitar.
TIPOLOGI ARSITEKTUR
LANSEKAP DESA TODO
Rumah adat todo disebut juga Rumah
Gendang karena menyimpan Loke
Nggerang, sebuah gendang yang
dipercaya terbuat dari kulit seorang
gadis yang diperebutkan untuk
dipersunting antara raja Todo dan raja
Bima. Konon bila gendang tersebut
ditabuh, suaranya akan terdengar
sampai ke wilayah Kesultanan Bima.

Susunan batu megalith membentuk altar


(compang) diyakini sebagai tempat
arwah leluhur yang diundang dalam
upacara (Penti) dengan per- sembahan
binatang korban yang diikat pada
tonggak kayu.
Susunan batu megalith
membentuk altar (compang)
diyakini sebagai tempat
arwah leluhur yang
diundang dalam upacara
(Penti) dengan per-
sembahan binatang korban
yang diikat pada tonggak
kayu.
RUMAH ADAT MANGGARAI (MBARU NIANG)

Menurut kepercayaan orang Manggarai,rumah bukan sekedar arsitektur. Rumah adalah


budaya. Di dalamnya tersimpan Gendang Adat. Rumah adat Manggarai, Mbaru niang,
berbentuk kerucut dan bertingkat lima. Mbaru niang memiliki tiang pancang utama (siri
bongkok) di tengah-tengah. Tiang pancang itu dilingkari delapan tiang penyangga luar (siri leles)
membentuk sebuah lingkaran. Rumah dibangun hanya menggunakan kayu-kayu yang di setiap
ujungnya dikuatkan dengan simpul tali dari rotan. Mulai pucuk hingga ke bawah rumah tertutup
oleh ijuk. Bangunan lantai dasar dibuat menggantung di atas tanah, seperti rumah panggung.

Rumah adat itu kini masih tersisa a.l. di desa adat Wae Rebo, Kabupaten Manggarai, NTT.
Jumlahnya hanya 7 buah, 4 masih asli dan 3 sudah melalui proses renovasi (oleh arsitek Yori
Antar tahun 2008). Pada bulan Agustus 2012 Mbaru Niang mendapat penghargaan UNESCO
Asia-Pacific sebagai warisan budaya untuk konservasi arsitektural Rumah Mbaru Niang di Wae
Rebo.
Lantai 1: disebut tenda, Tempat untuk makan, tidur, istirahat, bercengkerama, menerima
tamu, memasak, bermusyawarah.

Lantai 2: disebut lobo, artinya loteng. Disini disimpan bahan makanan yang akan dimasak utk
makan bersama.

Lantai 3: dinamakan Lentar, artinya: jagung - tempat penyimpanan makanan pokok warga.

Lantai 4: disebut lemparai. Fungsinya hampir sama dengan lentar.

Lantai 5: disebut HekangKode. Menjadi tempat memberi sesaji pada leluhur.


Bentuk kerucut rumah Mbaru niang bermakna
bahwa kehidupan orang Manggarai selalu
berhubungan kepada Tuhan. Rumah berbentuk
panggung ini dahulu digunakan untuk tempat Bagian pusat di tengah rumah yang
tinggal seluruh kerabat. Satu rumah mampu melingkar simbol persaudaraan yang tak
menampung 6-7 keluarga. Misalnya, satu pernah terputus, Bagian tengah adalah
keturunan memiliki 7 anak laki-laki, maka representasi leluhur sebagai pusat
seluruh keturunannya tinggal semua di rumah mereka. Keluarga yang tinggal dalam
tersebut. Itu sebabnya lantai paling bawah Mbaru niang menempati bagian pinggir
berdiameter cukup besar, sekitar 10 m. mengelilingi tungku di tengah. Rumah ini
Biasanya di pucuk rumah ditaruh simbol mendukung kerbersamaan,
tanduk kerbau jantan (kerbau ada hubungan persaudaraan, juga tempat
sosiologis dengan orang Manggarai). Secara bermusyawarah untuk menyelesaikan
vertikal, makna lain bentuk kerucut rumah masalah yang tengah dihadapi.
terkait dengan kegiatan pertanian. Pembagian
tanah di sini berbentuk jaring laba-laba (spider
web), simbol bahwa semuanya menuju pada
satu titik.
RAGAM HIAS

Simbol Ornamen Rumah :


1. Mata Tombak. 2. Simbol lelaki
(Marangga) 3. Keberuntungan 4. Kekuatan
5. Simbol perempuan (kesucian) 6. Ikatan
sapu, simbol kesatuana keluarga. 7. Mata
kerbau, Mamole 8. Jalan arwah 9.
Kesejukkan, kebahagiaan 10. Penjelmaan
arwah.
LANSEKAP DESA ETNIK
RUTENG

Tata ruang kampung Ruteng mirip desa Todo,


rumah-rumah berjajar mengelilingi Watu Like
dan berpusat di Compang. Awal Watu Like dari
depan rumah adat utama/riumah raja, dan
berujung pada sebatang pohon beringin.
Konon, Watu Like Kampung Ruteng dibuat
oleh makhlus halus.

Terdapat 2 jenis rumah adat: Rumah Gendang


& Rumah Tambor (tempat menyimpan alat
musik tambur). Rumah Tambor desa Ruteng
sudah terbakar & tidak direkonstruksi kembali.
Terima kasih!

Anda mungkin juga menyukai