Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KEBUDAYAAN INDONESIA

Membahas Tentang Kebudayaan Flores

Disusun oleh Kelompok 8:

1. A. Zilfi Chamim
2. Dinar Achmad Danizar
3. Masruroh
4. Muhammad Oriza Antasena
5. Nada Najibah
6. Oscar Romarchelino T
7. Ratu Mutiara Kalbu
8. Wahyu Bambang Irawan

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Bulaksumur, Caturtunggal, Kec. Depok, Kab. Sleman, DIY
2020
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG ....................................................................................................1

II. RUMUSAN MASALAH................................................................................................1

III. TUJUAN PEMBAHASAN.........................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN

I. LATAR BELAKANG SEJARAH FLORES DAN KEBUDAYAANYA .....................2

II. PENINGGALAN KEBUDAYAAN FLORES...............................................................3

III. UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN ...........................................................................9

BAB 3 PENUTUP

I. KESIMPULAN.............................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan sebuah bangsa yang memiliki begitu banyak kebudayaan.


Kebudayaan-kebudayaan tersebut ada yang perlahan-lahan mulai lang ditelan zaman namun
ada juga yang tetap mempertahankan eksistensinya sampai saat ini. Budaya-budaya di
Indonesia tersebut berkembang banyak sesuai dengan daerahnya masing-masing. Budaya-
budaya di Indonesia juga sudah ada yang sudah melesat menuju ke dunia internasional. Seperti
yang kita ketahui budaya-budaya yang berkembang di Indonesia adalah budaya daerah, budaya
nasional dan budaya internasional. Dalam makalah kali ini akan diperjelas mengenai
kebudayaan daerah, khususnya budaya daerah yang masih berkembang di Kabupaten Flores
Timur Nusa Tenggara Timur.

Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Flores termasuk dalam gugusan kepulauan
sunda kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Daerah ini
termasuk daerah yang kering dengan curah hujan rendah, maka ia memiliki potensi di bidang
pertanian yang rendah. Meskipun potensi di bidang pertanian rendah, Flores memiliki potensi
di bidang lain yang cukup menjanjikan. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu mengenai
mengenai potensi-potensi tersebut. Potensi pariwisata dan budaya Flores dianggap akan dapat
memakmurkan perekonomian daerah Flores. Budaya Flores yang beraneka ragam juga dapat
menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Aneka tarian, lagu daerah, alat musik dan
berbagai produk budaya lainnya merupakan kekayaan Flores yang menuntut warganya untuk
selalu melestarikannya. Upacara-upacara adat yang unik juga dapat memberikan ciri khas bagi
daerah Flores. Apabila potensi-potensi di bidang budaya ini dikembangkan, akan dapat
memajukan dan meningkatkan perekonomian Flores di masa depan. Pembelajaran,
pendalaman, pengembangan-pengembangan dan pelestarian terhadap budaya-budaya Flores
harus mulai dilakukan sekarang, terutama oleh masyarakat Flores sendiri.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Sejarah kebudayaan Flores dan proses terbentuknya?


2. Peninggalan-peninggalan dari kebudayaan Flores?
3. Unsur-unsur kebudayaan yang terdapat di kebudayaan Flores?

1
III. TUJUAN PEMBAHASAN

Sebagaimana yang terdapat dalam rumusan masalah, makalah ini bertujuan untuk
mendeskripsikan fenomena kebudayaan yang berkembang di masyarakat Flores. Tujuan khusus
lainnya adalah untuk mengetahui proses sejarah atau awal mula kebudayaan Flores dan
mengaitkannya dengan unsur-unsur kebudayaan yang terjadi di dalamnya serta mengetahui
peninggalan-peninggalan dari kebudayaan di Flores.

BAB 2
PEMBAHASAN

I. LATAR BELAKANG SEJARAH FLORES DAN KEBUDAYAANYA

Nama Pulau "Flores" berasal dari bahasa Portugis "Cabo de Flores'" yang artinya "Tanjung
Bunga". Namun nama yang diberikan oleh S. M. Cabot ini ternyata digunakan untuk menyebut
hanya wilayah pulau Flores yang paling timur. Kemudian oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, Hendrik Brouwer, nama "Flores" ini dipakai secara resmi sejak tahun 1636. Pulau
Flores dihuni oleh kelompok-kelompok etnik yang heterogen dan masing-masingnya
cenderung eksklusif. Tiap etnis memiliki wilayah tertentu yang ditempatinya dan menganut
dasar-dasar tatanan sosial dan ideologi yang berlaku bagi masyarakatnya secara komprehensif.

Asal-mula suku bangsa Flores dianggap berasal dari campuran antara etnis Melayu,
Melanesia, dan Portugis. Dalam akulturasinya, dipercaya akan adanya interaksi antara budaya
Flores dengan budaya Portugis dikarenakan lokasinya yang berdekatan dengan Timor (yang
pernah menjadi koloni Portugis).

Akulturasi dan inkulturasi budaya Portugis terhadap budaya Flores diawali dengan interaksi
kebudayaan Portugis dengan kebudayaan Flores di masa pendudukan Portugis terjadi dalam dua
bentuk, yaitu secara genetik dan secara sosial budaya. Secara genetik interaksi terjadi akibat
adanya hubungan perkawinan antara suku bangsa Portugis dengan suku bangsa flores yang
menghasilkan keturunan berdarah persilangan Portugis dan Flores. Inkulturasi yang berasal dari
bangsa Portugis ke Flores tentunya juga dapat dilihat dari nama pulau Flores sendiri yang
asalnya justru dari salah satu bangsa Portugis sendiri. Secara sosial budaya interaksi budaya
Portugis dan Flores berlangsung sangat erat hingga mencapai pada tahap

2
inkulturasi budaya Portugis terhadap budaya asli Flores. Salah satu contohnya adalah
penyebutan nama-nama klan misalnya de costa , de hornay, dan de gomez.

Pengaruh Portugis yang terbesar di Flores adalah terhadap agama. Portugis adalah bangsa
yang pertama kali mengenalkan agama Kristen Katholik di tanah Flores, sebelum itu hanya ada
kepercayaan lokal dan Islam yang berkembang. Melalui para misionarisnya Portugis
mengajarkan agama Katholik yang ritualnya di padukan dengan kebudayaan setempat
sehingga ritual tersebut tidak akan ditemukan di tempat lain. Salah satu hasil inkulturasi budaya
yang terkenal adalah Semana santa. Semana santa merupakan kegiatan umat Katholik larantuka
merayakan paskah, ritual ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam perayaan paskah pada
umumnya sehingga menjadi ikonik bagi masyarakat larantuka.

II. PENINGGALAN KEBUDAYAAN FLORES

1. Semana santa, sebuah perayaan paskah umat katholik di Larantuka yang merupakan
peninggalan dari Portugis sejak 5 abad yang lalu. Semana santa dirayakan selama 5
hari mulai dari Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci dan diakhiri Minggu
Paskah. Semana santa bukan hanya sekedar prosesi agama, namun juga prosesi adat,
dimana pelaksananya merupakan suku-suku lokal yang sudah ditetapkan sejak dulu,
suku-suku tersebut adalah Suku Kabelen, Suku Lewai, Suku Raja Ama Koten (Diaz
Viera Da Godinho), Suku Kea Alyandu, Suku Ama Kelen De Rosary, Suku Maran,
Suku Sau Diaz, Suku Riberu Da Gomes, Suku Lamuri, Suku Mulowato, Suku Lewerang
dan suku Kapitan Jentera. Semana santa tidak hanya diminati oleh penduduk lokal,
namun banyak juga ribuan peziarah dari Spanyol, Portugal, Italia, Brazil, dan masih
banyak lagi.

3
2. Upacara Penti, ritual peringatan tahun baru dan juga mulainya masa bercocok tanam
atau berladang. Kegiatan ini dilaksanakan turun-temurun dan wajib hukumnya, sebab
kegiatan ini merupakan bentuk rasa syukur dan juga momen berkumpulnya keluarga
besar masyarakat Wae Rebo, selain itu adapun pemberkatan terhadap kelestarian alam.
Upacara yang digelar pertengahan bulan November ini diisi dengan beragam acara,
seperti upacara adat, pemberkatan, serta penampilan budaya yang menarik salah satunya
tarian Caci yang mana bagi masyarakat Wae Rebo hanya menampilkan saat upacara
Penti. Acara ini berlangsung dari pagi hingga malam hari, saat malam semua warga
berkumpul di rumah Gendang untuk melaksanakan ritual-ritual adat.

3. Tradisi lisan Kuda Lelonang. Di wilayah provinsi NTT ada banyak tradisi lisan. Dari
mulai yang paling kukuh sampai yang paling encer (longgar). (Kebudayaan, 1991) Yaitu
sebuah tradisi seni bercerita atau Oral, yang berbentuk penuturan cerita. Di lingkup besar
provinsi NTT tradisi ini disebut Rai Jawi, diduga kesenian ini terpengaruh dari pulau
Jawa dilihat dari arti nama Rai Jawi dan cerita yang dituturkan di dalamnya. Rai yang
artinya kuna dan Jawi yang bisa diartikan dalam dua kata yaitu purba atau Jawa sebagai
sebutan untuk Pulau Jawa. (Kebudayaan, 1991) Dan dari segi cerita di dalamnya sendiri
banyak cerita yang diduga berasal dari kerajaan-kerajaan besar di suatu pulau terkenal
di sebelah barat yang berarti Jawa. Duntuk spesifik di daerah Pulau Flores biasa disebut
Kuda Lelonang, Lego-lego, dan Hering. Sebut saja Kuda Lelonang, dalam tradisi ini
tidak hanya tradisi memaparkan cerita tetapi juga terdapat yang bersifat narasi
pengungkapan terima kasih kepada hadirin saat ada acara maupun ungkapan sara syukur
kepada tuhan. Tradisi lisan ini semua bersifat pemujaan terhadap leluhur, tetapi
kemudian berkembang di zaman ini menjadi berbentuk seni tutur yang dipertontonkan
secara khas oleh juru tutur dipertunjukkan teater. Dalam teater tersebut seni ini bercerita
tentang cerita legendaris dan mitologis dalam prosa liris dan diiringi lagu daerah
dengan alat musik tradisional sasando. (Kebudayaan, 1991)

4
4. Tradisi Sastra Puisi lisan masyarakat Lamaholot di Kabupaten Flores Timur. Tradisi ini
masih dikeramatkan sampai saat ini bagi sebagian orang. Terpeliharanya tradisi sastra
lisan di Flores Timur disebabkan karena tradisi lisan dan tradisi retorika menduduki
peran penting dalam komunikasi antar komunitas. Dalam tradisi lisan masyarakat Flores
Timur, ragam sastra dikenal sebagai tutu maring atau tutu koda. Kemudian dalam tutu
maring atau tutu koda tersebut dibagi dalam beberapa sub jenis, seperti tutu usu maring
asa (yang bercerita tentang asal-usul), tani tutu tani maring (cerita yang mengungkapkan
dengan tangisan, seperti nyanyian kematian), opak belun (cerita yang dituturkan lewat
nyanyian), uri sele (cerita prosa lirik), dolo-dolo (pantun yang dinyanyikan untuk
mengiringi tarian), dan lain sebagainya. Pada awalnya tradisi sastra tradisional tutu
maring ini digunakan sebagai bahasa ritual atau koda knalan yang dituturkan dalam
ruang khusus. Kemudian dalam perkembangannya baru dapat pula dituturkan dengan
koda lamohot, yaitu bahasa Flores Timur yang bergaya puitis. Sastra tradisional Flores
Timur ini bisa disebut menjadi salah satu bagian dari sastra nusantara. (Taum, 1997)

5. Etu merupakan olahraga tradisional dari Nagakeo Flores, NTT. Etu mirip dengan tinju,
namun bedanya terdapat beberapa aturan yang membedakan. Etu adalah bagian yang
integral di dalam rangkaian adat mulai dari menanam hingga memanen. Etu, dan juga
ritual adat lainnya, wajib dilaksanakan di kisa nata (alun-alun) rumah adat (sa'o waja)
yang merupakan pusat dari aktivitas adat dan kebudayaan masyarakat setempat. Tujuan
diadakannya Etu murni karena adat, sebagai alat pemersatu masyarakat. Para petarung
pun dilarang membawa dendam hingga keluar aren Etu, setelah bertarung mereka
berpelukan sebagai tanda persaudaraan dan sportivitas.

5
6. Berbagai macam alat musik tradisional, seperti Sasando, Heo, Foy Doa, Foy Pay, dan
masih banyak lagi. Alat-alat musik tersebut memiliki beragam keunikan bentuk serta
cara memainkan masing-masing. Kebanyakan dari alat-alat musik tersebut digunakan
untuk acara adat. Berikut beberapa alat musik tersebut:
a. Sasando, merupakan alat musik petik yang berasal Pulau Rote. Secara bahasa,
Sasando berasal dari kata sasandu yang merupakan bahasa Rote yang berarti,
alat yang bergetar atau berbunyi. Sasando terbuat dari bambu untuk bagian
utamanya dan daun lontar untuk bagian yang melingkar. Konon Sasando telah
digunakan oleh masyarakat Rote sejak abad ke-7.
b. Heo, alat musik tradisional gesek ini berasal dari daratan Pulau Timor. Alat
musik ini terbuat dari kayu pada bagian utamanya, lalu pada penggeseknya
terbuat dari ekor kuda yang telah dirangkai menjadi ikatan pada kayu
penggeseknya. Untuk dawai pada Heo yang berjumlah empat, menggunakan
usus hewan kuskus sebagai bahannya, dimana masing-masing dawai diberi
nama masing-masing,
- Dawai 1 [ Paling Bawah ] Tain Mone, Artinya Tali Laki-laki
- Dawai 2 Tain Ana, Artinya Tali Anak [ Kecil ]
- Dawai 3 Tain Feto, Artinya Tali Perempuan
- Dawai 4 Tain Ena, Artinya Tali Induk.
c. Foy Doa dan Foy Pay, merupakan dua alat musik tiup yang berasa dari kabupaten
Ngada, Flores. Foy Doa biasa terdiri dari dua suling atau lebih yang dikaitkan
bersama. Sedangkan untuk Foy Pay berukuran lebih besar dari Foy Doa. Foy
Pay digunakan untuk mengiringi Foy Doa dalam memainkan lagu adat NTT baik
untuk acara adat, maupun untuk hiburan semata.
d. Dan masih banyak lagi.

7. Puluhan jenis tarian adat


Dimana masing-masing tarian mempunyai keunikan gerakan juga kostum masing-
masing. Seperti halnya alat musik, tarian juga biasa digunakan untuk prosesi adat dan
juga untuk menyambut kedatangan tamu. Berikut beberapa jenis tarian tersebut:
a. Tarian Caci, awalnya tarian ini hanya dilakukan oleh pejuang perang sebagai
bentuk perayaan juga mengenang perang. Tarian yang berasal dari kampung
cecer ini biasa dilakukan untuk menyambut para tamu yang berkunjung. Selain
itu, Caci juga digunakan untuk merayakan musim panen, ritual tahun baru

6
(Penti), dan upacara adat lainnya. Caci dapat diartikan sebagai ujian satu lawan
satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah. Tarian ini dilakukan
dengan saling cambuk antar penari. Dengan pakaian unik dan juga membawa
perisai serta cambuk itu sendiri, penari melakukan tarian dengan diiringi musik
khas Manggarai Barat.
b. Tari Gawi, tarian adat ini berasal dari Ende, Flores. Tarian ini dilakukan oleh
suku Endo Lio sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas rahmat dan berkah
yang telah mereka dapatkan. Tari Gawi dilakukan secara masal dengan
bergandengan tangan dan membentuk lingkaran yang merupakan ciri khas tarian
ini, dimana hal ini mengandung makna persatuan, kebersamaan, dan
persaudaraan. Tari Gawi biasa dilakukan pada upacara setelah panen,
pembangunan tumah adat, pengangkatan kepala suku, dan acara adat lainnya.
Penari tarian Gawi menggunakan pakaian adat, laki-laki menggunakan kaos
putih, sarung, dan juga kain tenun, sedangkan perempuan menggunakan baju
khas Ende, sarung ikat, dan tenun.
c. Tari Bebing, merupakan tarian perang yang mengisahkan penyambutan unuk
prajurit dari medan perang. Tarian ini berasal dari desa Hokkor, di kabupaten
Sikka. Tarian ini dibagi 4 babak, yaitu babak doa meminta bantuan Tuhan dan
arwah leluhur untuk mendapat kemenangan, babak pemilihan prajurit, babak
latihan, babak perang. Lalu diakhiri dengan babak kemenangan yang diiringi
oleh gong waning yang disebut boka atau pekikan kemenangan. Atribut yang
digunakan penari antara lain adalah topi hulu lado sebagai penanda pemimpin
yang gagah berani, lalu ada kalung sang hulu balang yang disebut wuli, dimana
jumlah pernak-pernik di sana merupakan jumlah kemenangan atas perang-
perang sebelumnya.
d. Dan masih banyak lagi tarian yang lain.

8. Kebudayaan flores juga meninggalkan beberapa senjata dan alat perang, seperti Sundu,
Kabeala, Lo’at, Kampak. Senjata tersebut umumnya digunakan sebagai alat perang,
berburu, alat rumah tangga, hingga aksesoris. Seperti Kabeala misalnya, berbentuk
seperti parang, untuk yang bergagang kayu biasa digunakan untuk bekerja, sedangkan
yang bergagang tanduk hewan biasa digunakan sebagai aksesoris baju adat.

7
9. Ragam bahasa Flores:
a. Bahasa Lamaholot, bahasa yang sebagian besar digunakan penduduk Flores Timur
dan Kepulauan Solor. Susunan atau struktur bahasa Lamaholot sangat berbeda
dengan bahasa Indonesia, sehingga mengubah kalimat bahasa Lamalohot ke bahasa
Indonesia atau sebaliknya adalah perkara yang rumit. Dan juga karena hal tersebut
menjadikan orang-orang Flores Timur sulit untuk berbahasa Indonesia. (Ahmad
Suryadi, 2020)
b. Bahasa Kedang, bahasa yang digunakan penduduk Kecamatan Omesuri dan Buyasuri
di Kabupaten Lambuta. Bahasa Kadang ini bisa di analogikan seperti bahasa Madura
di Jawa Timur yang bahasanya berbeda total dengan bahasa Jawa. Meskipun
Lembata mayoritas dikelilingi penduduk berbahasa Lamaholot, namun orang
Kadang mempunyai bahasa sendiri. (Ahmad Suryadi, 2020)
c. Bahasa Nagi (Melayu Larantuka)
Bahasa ini digunakan di Kecamatan Larantuka, Were, dan Konga. Bahasa ini
tergolong bahasa Melayu tetapi saat awal masuknya ke Flores Timur terpengaruh
bahasa Lamaholot dan Portugis. Digunakan oleh sekitar 25000 orang. Bahasa ini
menjadi lingua franca atau bahasa penghubung didaerah timur pulau Flores antara
bahasa Lamaholot dengan bahasa Indonesia yang sangat berbeda. (Ahmad Suryadi,
2020)
d. Bahasa Sikka
Bahasa ini digunakan di enam Kecamatan di Kabupaten Sikka, yaitu Talibura,
Kawapante, Bola, Maumere, Nita dan Lela. Dalam dialektikanya bahasa ini
dipengaruhi oleh bahasa Bima di Pulau Sumba (Ahmad Suryadi, 2020)

8
III. UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN

1. Sistem Bahasa
Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik, dapat dibagi beberapa unsur
bahasa daerah di Flores yang didasarkan pada perbedaan tiap-tiap suku. Dikenal dengan
sistem multibahasa, sebab tidak mengerti bahasa ibu dan masing-masing suku memiliki
berbagai macam bahasa dan cara-cara pelafalannya. Secara umum, bahasa tersebut
berasal dari bahasa Melayu yang turut berkembang menyesuaikan daerah-daerah yang
dihuni oleh suku-suku tersebut. Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat
pengaruh pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis,
Makassar, Belanda dan sebagainya. Maka, bahasa Manggarai juga memiliki bahasa
yang lebih khas terlepas dari ciri-ciri fisiknya yang berbeda dari orang-orang suku lain
yang berada di Flores. Keenam sub-kelompok etnis itu adalah: etnis Manggarai-Riung
(yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen). Etnis
Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo,
Palue, Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang
dan Muhang). Kelompok etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat,
Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah). Terakhir kelompok bahasa Kedang
(yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).

2. Sistem Pengetahuan
Di kabupaten Flores timur tepatnya di desa Lewotala, kecamatan Lewolema
terdapat kalender tradisional. Kalender ini berdasarkan pada aspek sosio-kultural di desa
itu yang berkaitan erat dengan dunia pertanian.
Bulan dalam kalender tersebut antar lain: a.
Bulan pertama disebut wulan nikat b.
Bulan kedua disebut wulan ga taken c.
Bulan ketiga disebut wulan matun
d. Bulan keempat disebut wulan nalan
e. Bulan kelima disebut wulan muren

9
3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Klen (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klen
merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis)dan
kesatuan adat (tradisi). Klen adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan darah atau
keturunan yang sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral. Pada Masyarakat
Flores menganut klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) di mana klennya
disebut Fam antara lain : Fernandes, Wangge, Da Costa, Leimena, Kleden, De-Rosari,
Paeira. Kelompok kekerabatan di Manggarai yang paling kecil dan yang berfungsi
paling intensif sebagai kesatuan dalam kehidupan sehari-sehari di dalam rumah tangga
atau di ladang dan kebun, adalah keluarga luas yang virilokal (kilo). Pada orang Ngada
suatu keluarga luas virilokal serupa itu disebut Sipopali. Beberapa istilah yang dikenal
dalam sistem kekerabatan Manggarai antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae
Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan
keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara
perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe
(adik dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae
(kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri).
Sedangkan mengenai sistem pemerintahan di Flores, mereka masih menganut
sistem tradisional. Sistem kesatuan di Flores berupa Desa-desa dengan kepala adat
sebagai pemimpinnya. Pemimpin dalam masing-masing wilayah adalah ketua adat
sebagai penguasa tertinggi. Jabatan ini sebagai warisan atau berdasarkan pada
keturunan. Pemimpin harus laki-laki tertua dalam garis keturunan bapak dari klan
pertama. Dalam menjalankan pemerintahan, pemimpin dibantu oleh tetua adat.
Contohnya di Manggarai, di sana desa disebut dengan Beo dan tetua adat yang disebut
dengan tua teno.

4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi


Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan mampu
menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Secara
tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah. Dalam hal pembuatan rumah,
misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang sekaligus menggambarkan konstruksi
segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan
sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara

10
kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam
ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima.
Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan
pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun). Sementara untuk perhiasan
sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat dari tempurung
kelapa, kayu atau akar bahar. Begitu pun teknologi pembuatan minuman tradisional juga
sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur
air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak
atau tuak. Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan obat-
obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu
untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk pengombatan disentri. Sebelum mengenal
logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari
bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan
yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk.
5. Sistem Ekonomi atau Mata Pencaharian Hidup
Sebagian besar penduduk (85%) hidup dan bekerja pada sektor pertanian,
termasuk peternakan. Selebihnya bekerja pada sektor-sektor perdagangan, industri,
angkutan, jasa-jasa kemasyarakatan, dan lain-lainnya. Komoditi-komoditi utama yang
banyak dihasilkan dan diperdagangkan, baik lokal, antarpulau, maupun ekspor adalah
hasil-hasil peternakan seperti sapi, kerbau, kuda, dan babi, hasil-hasil pertanian seperti
jagung, beras, ubi-ubian, kacang-kacangan, kopra, kopi, asam, kemiri, dan kapuk, hasil-
hasil kehutanan (antara lain kayu cendana), hasil-hasil perikanan, dan hasil-hasil
industri kecil, industri rakyat seperti minyak kelapa, minyak kayu putih, minyak atau
serbuk cendana, dan hasil-hasil kerajinan. Belum lagi puluhan jenis komoditi pertanian
seperti padi sawah atau ladang, jagung, kacang-kacangan terutama kacang tanah dan
kacang merah, ubi kayu atau singkong, nenas. Dalam sektor pertanian, kabupaten Ngada
memegang peranan penting, wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan tanaman
pangan dan perkebunan bahkan menjadi salah satu andalan Lumbung Pangan Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Luas potensial lahan basah meliputi 12.982 Ha dan
3.547 Ha diantaranya merupakan irigasi teknis.

11
6. Sistem Religi
Pada masa sekarang banyak penduduk Flores yang memeluk agama Katolik, dan
beberapa yang memeluk agama Protestan. Namun meski demikian, unsur kepercayaan
asli dari penduduk Flores masih mewarnai keseharian dan kehidupan keberagamaan
Orang-orang Flores. Menurut orang-orang Flores, bahwa orang yang telah meninggal
dunia masih akan melanjutkan kehidupannya di alam lain atau yang lebih di kenal
dengan “alam-nitu”. Pada alam ini segala sesuatunya serba terbalik. Ketika di bumi
siang, maka di sana malam atau sebaliknya. Segala wadah (alai-alai makan dan minuet)
selalu digunakan dengan posisi terbalik. Manusia akan mengalami kematian sampai
tujuh kali. Pada setiap kali kematian, ia akan mencapai tingkat yang lebih rendah,
sampai pada tingkat ke tujuh, ia akan diuji dengan melalui sebuah titian. Jika ia berhasil
melaluinya, maka ia akan selamat. Tetapi bila tidak berhasil ia akan jatuh pada kuali
besar yang berisi air yang mendidih. Keyakinan akan Yang Maha Kuasa dikenal dengan
beberapa nama atau bentuk. Misalnya orang Manggarai menyebutnya dengan Mori
Kareng, orang Sikka dengan Lero Wulan, orang Lio dengan Dua Nggae, dan lain-lain.
Percaya pada takhayul, seperti adanya hantu, peri, roh jahat, roh orang-orang meninggal
yang gentayangan, magi, doti (semacam racun dari jarak jauh), tempat-tempat keramat
dan lain-lain, masih mewarnai masyarakat Flores hingga saat ini. Namun pada saat ini
kepercayaan-kepercayaan tersebut kini telah banyak tercampur dengan agama-agama
besar yang kini masuk ke nusantara. Terutama agama Katolik dan Protestan dan
sebagian kecil Islam. Salah satu unsur penting dari religi atau sistem kepercayaan asli
orang Flores dan Suku Maggarai khususnya adalah kepercayaan kepada ruh-ruh nenek
moyang. Dalam bahasa Manggarai Ruh-ruh nenek moyang di sebut “Empo” atau
“Andung”. Lain dengan istilah “Poti”, istilah tersebut digunakan untuk ruh orang yang
telah meninggal secara umum. Ruh-ruh tersebut di percaya atau di anggap menempati
tempat-tempat di sekeliling manusia atau tempat tinggal manusia, seperti tiang-tiang
rumah, dalam sebuah perigi, di simpangan jalan, dan di dalam sebuah pohon besar.
Kecuali ruh-ruh nenek moyang dan ruh-ruh orang yang telah meninggal, orang-orang
di Maggarai juga mempercayai kepada makhluk- makhluk halus, yang menjaga rumah
dan halaman, yang menjaga Desa (nagagolo), yang menjaga tanah pertanian (nagatana),
dan sebagainya. Ruh-ruh halus ini di sebut Ata Pelesina (makhluk-makhluk yang berada
di dunia lain). Selain itu ada juga kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus yang
menguasai hutan, sungai, sumber- sumber mata air, dan sebagainya yang semua di sebut
dengan satu istilah yaitu “darat”.

12
Banyak dari Ata Pelesina dan darat tersebut di hubungkan dengan upacara-upacara
kesuburan atau upacara-upacara pertanian. Semua ruh dan makhluk halus tadi bisa
bersifat baik, dan bisa pula bersifat jahat, dan menjadi penyebab dari sebuah penyakit,
bencana dan kematian, jika tidak diperhatikan pada saat-saat atau cara-cara yang
ditentukan oleh adat. Adapun ruh-ruh yang memang asalnya bersifat jahat itu adalah
jin atau setan. Suatu unsur penting dari unsur religi dari penduduk Flores adalah
kepercayaan kepada Dewa Tertinggi. Pada orang Maggarai tokoh dewa tersebut di sebut
Mori Karaeng, sedangkan dalam masyarakat Ngada di sebut Deva. Dalam mitologi
masyarakat Manggarai Mori Karaeng itu dianggap pencipta alam dan ada dongeng-
dongeng khusus mengenai caranya menciptakan bumi ini, manusia, dunia ruh, binatang,
dan tumbuh-tumbuhan seperti padi dan jagung. Sedangkan ada pula dongeng- dongeng
mengapa ia menyebabkan adanya angin, adanya gempa bumi, mengapa ia menghukum
bulan dengan suatu eklips bulan, dan bagaimana ia mempergunakan petir untuk
menghukum para jin. Ada beberapa dongeng pula yang menceritakan atau menerangkan
bagaimana ia menolong manusia, menghukum yang melanggar adat, dan yang berbuat
dosa karena melakukan pembunuhan, menentang orang tua, atau karena mengabaikan
kewajiban untuk melakukan upacara. Ada pula dongeng-dongeng yang menceritakan
bagaimana Mori Karaeng mengajarkan manusia seni tenun, dan juga mengajarkan
kepada manusia bagaimana caranya membuat tuak. Demikian, kecuali dalam
penciptaan alam dan penjaga adat, Mori Karaeng di sebut sebagai tokoh dewa yang
dalam ilmu antropologi disebut sebagai dewa pembawa adat atau kultural hero. Namun
siapa menyangka bahwa kepercayaan terhadap Dewa, yang kini mungkin ada yang
beragama Katolik, Kristen, maupun Islam, tidak mampu mengubah salah satu kebiasaan
sulit untuk bergotong-royong, karena banyaknya pengunjung di setiap hari minggu
datang ke gereja namun seolah-olah hanya menganggap itu hanya sebuah aktivitas rutin
dan yang terjadi adalah kehampaan dan perasaan yang kosong. Satu hal unik dalam hal
keagamaan, terutama yang berada di pantai utara, yang beragama Kristen, di dalam
melihat dunia gaib dan akhirat masih banyak tidak memedulikan ajaran Kristen, justru
dalam hal-hal demikian masih menganut kepercayaan asli. Seperti contoh, masih ada
pengasingan bagi keluarga yang sedang berkabung saat ada salah satu anggota dari
keluarganya yang meninggal. Beranggapan atas dasar kekhawatiran kematian
keluarganya yang akan menularkan kematiannya, karena memiliki kepercayaan bahwa
roh orang yang mati dalam beberapa hari masihlah berada di

13
sekitar, dan belum menghadap nenek moyang, dan bagi yang beragama Kristen
menganggap menghadap kepada Yesus.

7. Sistem Kesenian
a. Alat musik daerah

Tatabuang: Alat musik pukul yang berasal dari daerah Lamanole, Flores Timur.
Alat musik ini dipercaya dibawa oleh suku maluku ke Flores Timur. Alat musik
ini dimainkan dengan 2 cara yaitu di gantung atau diletakkan di pangkuan
pemain. Alat musik ini terbuat dari kayu sukun.

b. Kain tradisional

Kain songket khas Manggarai: Kain ini ditenun secara manual membentuk motif
yang melambangkan harapan orang Manggarai dalam berbagai Hal. Motif yang
paling sering digunakan adalah motif wela kawa atau bunga kapuk,
ranggong atau Laba-laba, jual atau garis-garis batas, ntala atau bintang, serta
wela runu atau bunga runu.

14
BAB 3
PENUTUP

I. KESIMPULAN

Pulau Flores dihuni oleh kelompok-kelompok etnik yang heterogen yang masing-masing
cenderung ekslusif. Tiap etnis memiliki wilayah tertentu yang ditempatinya dan menganut
dasar-dasar tatanan sosial dan ideologi yang berlaku bagi masyarakatnya secara komprehensif.
Asal-mula suku bangsa Flores dianggap berasal dari campuran antara etnis Melayu, Melanesia,
dan Portugis. Dalam akulturasinya, dipercaya akan adanya interaksi antara budaya Flores
dengan budaya Portugis dikarenakan lokasinya yang berdekatan dengan Timor (yang pernah
menjadi koloni Portugis). Akulturasi dan inkulturasi budaya Portugis terhadap budaya Flores
diawali dengan interaksi kebudayaan Portugis dengan kebudayaan Flores di masa pendudukan
portugis terjadi dalam dua bentuk, yaitu secara genetik dan secara sosial budaya. Secara genetik
interaksi terjadi akibat adanya hubungan perkawinan antara suku bangsa Portugis dengan suku
bangsa Flores yang menghasilkan keturunan berdarah persilangan Portugis dan Flores.
Inkulturasi yang berasal dari bangsa Portugis ke Flores tentunya juga dapat dilihat dari nama
pulau Flores sendiri yang asalnya justru dari salah satu bangsa Portugis sendiri. Secara sosial
budaya interaksi budaya Portugis dan Flores berlangsung sangat erat hingga mencapai pada
tahap inkulturasi budaya Portugis terhadap budaya asli Flores. Portugis adalah bangsa yang
pertama kali mengenalkan agama Kristen Katholik di tanah Flores, sebelum itu hanya ada
kepercayaan lokal dan Islam yang berkembang.

Banyak peninggalan-peninggalan dari kebudayaan Flores yang masih dilakukan sampai saat
ini seperti tradisi-tradisi nenek moyang sebagai prosesi agama dan adat. Seperti contohnya
adalah Semana santa, Upacara Penti untuk peringatan ritual bercocok tanam, Tradisi lisan Kuda
Lelonang sebagai bentuk tradisi lisan dengan penuturan cerita, dan lain-lain. Unsur-unsur
kebudayaan Flores meliputi sistem Bahasa yang memiliki Bahasa daerah berbeda bagi tiap- tiap
suku, sistem kekerabatan yang berdasarkan dengan ikatan darah atau keturunan pada
masyarakat unilateral serta sistem pemerintah yang masih menganutnya sistem tradisional
dengan kepala adat sebagai pemimpinnya, sistem ekonomi yang banyak bekerja pada sektor
pertanian, sistem religi, sistem kesenian yang memiliki banyak peninggalan kesenian di
dalamnya, sistem teknologi dengan menghasilkannya peralatan atau perkakas untuk hidup, lalu
pembuatannya rumah, minuman, serta obat dalam unsur peralatan dan teknologi. Terakhir
adalah sistem pengetahuan mengenai sistem kalender yang dibuat berdasarkan pada aspek
sosio-kultural di desa serta berkaitan erat dengan dunia pertanian.

15
Bisa disimpulkan ciri-ciri kebudayaan Flores sangat berpengaruh terhadap akulturasinya
yang terjadi dengan budaya bangsa Portugis yang pernah menduduki wilayah Flores beberapa
ratus tahun silam. Masyarakat Flores adalah tipikal yang sangat mensyukuri nikmat yang telah
diberikan oleh Tuhan dengan banyaknya diadakan upacara-upacara dan tradisi yang dilakukan
untuk merayakan syukuran terutama setelah musim panen tiba. Banyak diadakannya ritual-
ritual oleh masyarakat suku Manggarai Timur yang sangat menghormati dan menyatu dengan
alam. Karena pengaruh bangsa Portugis, mayoritas penduduk Flores memeluk agama Katolik
dan mereka memiliki tradisi turun-temurun bekas peninggalan bangsa Portugis dalam
menyambut Hari Raya Paskah yang dinamakan Semana Santa.

16
DAFTAR PUSTAKA

DestinAsian Indonesia. (2014, October 21). Flores dan Ritual Paskah Magis. Retrieved
October 28, 2020, from DestinAsian Indonesia website: https://destinasian.co.id/flores-
dan-ritual-paskah-magis/
Ibnu, Syujai. (2020). BUDAYA FLORES. Retrieved October 28, 2020, from Academia.edu
website: https://www.academia.edu/10007303/BUDAYA_FLORES
Revina. Semana Santa » Budaya Indonesia. (2018). Retrieved October 26, 2020, from
Budaya-indonesia.org website: https://budaya-indonesia.org/Semana-Santa
Darisandi, Roby. Upacara Penti » Budaya Indonesia. (2014). Retrieved October 27, 2020,
from Budaya-indonesia.org website: https://budaya-indonesia.org/Upacara-Penti
INDOSPORT.com. (2017, November 4). Etu: Tinju Adat Nagekeo yang Mempersatukan
Masyarakat. Retrieved October 26, 2020, from INDOSPORT.com website:
https://www.indosport.com/multisport/20171104/etu-tinju-adat-nagekeo-yang-
mempersatukan-masyarakat
Sutomo Hurint. (2019, July 30). Masyarakat Adat Lewotala Ternyata Punya Kalender
Tersendiri. Retrieved October 27, 2020, from EKORA NTT website:
https://ekorantt.com/2019/07/30/masyarakat-adat-lewotala-ternyata-punya-kalender-
tersendiri/
Sasando, si merdu dari Pulau Rote » Budaya Indonesia. (2014). Retrieved October 26, 2020,
from Budaya-indonesia.org website: https://budaya-indonesia.org/Sasando-si-merdu-
dari-Pulau-Rote
Tarian Caci, bukti ketangguhan pria Labuan Bajo » Budaya Indonesia. (2014). Retrieved
October 26, 2020, from Budaya-indonesia.org website: https://budaya-
indonesia.org/Tarian-Caci-bukti-ketangguhan-pria-Labuan-Bajo
Bebing, Tarian Perang Kab Sikka » Budaya Indonesia. (2020). Retrieved October 27, 2020,
from Budaya-indonesia.org website: https://budaya-indonesia.org/bebing-tarian-
perang-kab-sikka
Ahmad Suryadi, S. (2020). Menelusuri Surga di Tanah Flores. Sukabumi: CV Jejak.

Kebudayaan, T. K. (1991). Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Barkeley:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Taum, Y. Y. (1997). Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam tradisi puisi lisan Flores Timur.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

17
Tito Adonis dan Djoko. 1997. Sistem Pemerintahan Tradisional di Nusa Tenggara Timur.
Jakarta: CV. Putra Sejati Raya.

Kabeala » Budaya Indonesia. (2018). Retrieved October 27, 2020, from Budaya-indonesia.org
website: https://budaya-indonesia.org/4-Kabeala

Anderson, B.R.O.G. 1972. “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Holt. C.,ed.
Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Fernandez, F.K. 1981. Semana Santa: Upacara Devoci Tradisional di Larantuko. Larantuka:
Konfrerta Reriha Rosari.
Fernandez, Inyo Yos., 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores: Kajian Linguistik
Historis komparatif terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende: Nusa Indah.

Fernandez, Stephanus Osias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini.
Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik.

Graham, Penelope. 1985. Issues in Social Structure in Eastern Indonesia. Oxford


University Press.

Huntington, Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order.
New York: Simon and Schuster.

Kennedy, R. 1955. A Notes on Indonesia: Flores 1949-1950.

Human Relations Area Keraf, Gregorius, 1978. Morfologi Dialek Lamalera. Disertasi
Doktor Ilmu Sastra Universitas Indonesia. Ende: Percetakan Offset Arnoldus.

Koentjaraningrat, 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Orinbao, Sareng, 1969. Nusa Nipa: Nama Pribumi Nusa Flores Warisan Purba. Ende:
Pertjetakan Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah.

Pinto da Franca, Antonio. 2000. Pengaruh Portugis di Indonesia. Diterjemahkan oleh


Soemargono, K. et.al. 1992. Profil Propinsi RI: Nusa Tenggara Timur. Jakarta: PT
lntermasa.

Taum, Yoseph Yapi. 1993. Tradisi dan Transformasi Cerita Wato Weie-Lia Nurat dalam
Cerita Rakyat Flores Timur: Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: FS-U1.

Taum, Yoseph Yapi, 1997. Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam Tradisi Puisi Lisan Flores
Timur. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

18
Taum, Yoseph Yapi, 1997b. Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam Tradisi Puisi Lisan
Masyarakat Flores Timur. Jakarta: Yayasan Obor.

Van Wouden, F.A.E. 1985. KIen, Mites don Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia Bagian
Timur. Jakarta: Grafiti Pers.

Widiyatmika, Munandjar, dkk., 1981. Adat-istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud.

Barlow, Colin, Ria Gondowarsito, A.T. Birowo, S.K.W. Jayasurya, 1989. Potensipotensi
Pengembangan Sosial Ekonomi di Nusa tenggara Timur. Canberra; Australian National
University.

19

Anda mungkin juga menyukai