Pendahuluan
Bali dikenal sebagai tujuan wisata dengan keunikan berbagai seni-budaya. Bali juga dikenal sebagai Pulau Dewata.
Menurut filsafat Bali, dinamika kehidupan akan tercapai ketika ada hubungan harmonis antara aspek Parahyangan,
Pawongan, dan Palemahan. Untuk pembangunan rumah, harus memperhatikan aspek-aspek ini atau disebut Tri Hita
Karana. Dalam konteks perumahan, parahyangan dimaksudkan sebagai hubungan yang harmonis antara penghuni
sebuah rumah dan Tuhan Yang Maha Esa; pawongan adalah hubungan yang harmonis antara penghuni sebuah rumah,
dan palemahan dimaksudkan sebagai hubungan yang harmonis antara penghuni sebuah rumah dan lingkungan.
Rumah Tradisional Bali memiliki bentuk dan penampilan unik yang dipenuhi dengan ukiran atau ornamen. Itu proses
membangun Rumah Adat Bali membutuhkan waktu yang relatif lama mulai dari proses pengukuran tanah (nyikut
karang),mecaru ritual, ritual peletakan landasan (nasarin), proses konstruksi, dan melaspas upacara. Semua proses
ini memiliki tujuan agar rumah yang dibangun memberikan manfaat terbaik bagi pemilik dan penghuninya (Gambar
1a dan 1b). Pengukuran konstruksi atau tata letak bangunan didasarkan pada aturan Asta Kosala Kosali dan Asta
Bhumi (bagian dari Veda yang mengatur tata letak kamar, bangunan, dan jarak antar bangunan). Aturan Asta Kosala
Kosali dan Asta Bhumi menggunakan Pengukuran Tradisional Bali, yaitu bagian tubuh pemilik rumah atau tubuh
orang tertua di rumah, seperti depa, hasta, tapak, alengkat, petang nyari, tampak lima, dll.
Matematika adalah digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Matematika dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Bagaimanapun, pengetahuan matematika selalu digunakan. Kebiasaan atau kegiatan sehari-hari sarat dengan
matematika. Seluruh sistem pemikiran, nilai, moral, norma, dan kepercayaan masyarakat manusia adalah budaya
(Balitbang Puskur, 2010). Istilah yang digunakan untuk mengasosiasikan matematika dan budaya disebut
Ethnomathematics. Istilah Ethnomathematics pertama kali digunakan pada akhir 1960-an oleh seorang ahli
matematika Brasil, D'Ambrosio, untuk menggambarkan identifikasi praktik matematika dalam kelompok budaya.
Menurut Jenni L. Harding-DeKam (2007); François (2010), Ethnomathematics bertujuan untuk menarik pengalaman
budaya dan penggunaan matematika sehingga tidak hanya membuat belajar matematika lebih bermakna, tetapi juga
untuk memberi siswa wawasan bahwa pengetahuan matematika tertanam atau melekat dalam lingkungan sosial dan
budaya, serta siswa bisa lebih menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Mohammed Waziri
Yusuf, Ibrahim Saidu, Aisha Halliru (2010) menemukan bahwa dengan menggunakan permainan Ethnomathematics
pada budaya Hausa, matematika dapat dipelajari dengan lebih mudah. Rosa & Orey (2011) menemukan bahwa
implementasi Ethnomathematics dalam kurikulum matematika sekolah membantu siswa untuk mengembangkan
kemampuan kognitif mereka sendiri, sikap sosial dan emosional. Studi yang dilakukan oleh Unodiaku, Stanislus
Sochima (2013) menemukan bahwa penerapan Ethnomathematics dapat meningkatkan prestasi siswa dalam
mempelajari volume silinder. Studi serupa menunjukkan bahwa implementasi pembelajaran berbasis
Ethnomathematics dapat meningkatkan prestasi belajar siswa (Iluno, C. dan Taylor, 2013; Patrick Obere Abiam,
Okechukwu S. Abonyi, JO Ugama dan Gabriel Okafor, 2016). Oleh karena itu, tujuan utama dari penelitian ini adalah
untuk mengeksplorasi Ethnomathematics di Rumah Tradisional Bali.
2. Metode Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang Etnomathematik Rumah Tradisional Bali. Oleh
karena itu, desain penelitian ini adalah eksplorasi. Objek penelitian ini adalah 3 pemahat dan 2 pembangun Rumah
Tradisional Bali. Karakteristik objek penelitian adalah pria, lulusan sekolah dasar, memiliki pengalaman rata-rata 12
tahun, dan usia rata-rata 25 tahun. Data dikumpulkan melalui observasi, kuesioner, dan wawancara. Pengamatan
dilakukan di beberapa Rumah Tradisional Bali, menggunakan teknik rekaman dan dokumentasi. Responden kuesioner
adalah Pemahat dan Pembangun Rumah Tradisional Bali. Wawancara dilakukan untuk melengkapi data dan
memverifikasi data. Data Etnomatik tentang Ukiran dan Bangunan Tradisional Bali dianalisis secara deskriptif.
Gambar 5. Shift
Sesuai dengan penjelasan di atas, ukiran pada Rumah Tradisional Bali menggunakan
Ethnomathematics seperti simetri, shift, dll.
Secara umum, tipe Rumah Tradisional Bali yang paling sering dibuat adalah seketus (pilar 8) dan sange (pilar 9).
Proses ini menggunakan pengukuran nyari, rai, atau lengkat, selain menggunakan meter. Selain itu, ia juga
menggunakan ukuran lebar tubuh (tuked bangkiyang) terutama untuk ukuran angkulangkul -dan instink (penentuan
proporsi) yang digunakan juga. Ukuran nyari dan lengkat masing-masing ditunjukkan pada gambar berikut.
nothHaler adalah dalam membuat Saka 1 Rai dihitung 10 cm atau 11 cm. Ketika 1 Rai menunjukkan 10 cm, maka
ketinggian Saka dibuat 2,25 m. Dan jika 1 Rai adalah 11 cm maka Saka tingginyaadalah 111x 225 = 24,75 m. Rai
adalah lebar Saka.saka Tinggidisesuaikan dengan lebarnya. Yang paling penting, ada baiknya melihat, misalnya 15
kali, 20 kali, dan sebagainya. Dalam praktik menentukan Saka ketinggian, meteran sering digunakan. Ketinggian Saka
dibuat sekitar 2,25 m kali Saka lebar. Seperti yang diungkapkan oleh objek penelitian, bahwa Saka lebardisebut rai,
maka ketinggian Saka diukur sekitar 2,25 m kali, dan sering diukur hanya dengan perasaan "senang melihat".
Rumah Tradisional Bali cenderung menawarkan konsep kenyamanan, kekokohan, dan seni. Selain itu, disesuaikan
dengan keinginan pemilik. Untuk konsep ini, didasarkan pada pengalaman dan membaca buku. Untuk menjaga
keharmonisan rumah, desainnya menggunakan Asta Kosala Kosali, sedangkan ornamen yang banyak diminati adalah
sanggul, wayang, kombinasi lingkaran dan bujur sangkar. Dalam proses ini, konsep simetri, shift, dan rotasi sering
digunakan. Dalam membuat ornamen ini, bisa menggunakan pola atau tanpa pola. Menggunakan pola terutama untuk
desain ornamen yang agak rumit dan panjang. Pola biasanya difotokopi, ditempelkan pada kayu yang siap diukir dan
dipahat. Contoh polanya mirip dengan gambar 4 di atas.
Analisis
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ethnomathematics telah tumbuh dan berkembang di Rumah Tradisional Bali.
Penggunaan Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi konsepdi Rumah Tradisional Bali masih menjadi tolok ukur.
Penggunaan pengukuran berdasarkan ukuran tubuh yaitu lengkat, nyari, rai sangat dominan pada bangunan Rumah
Adat Bali, terutama dalam pembuatan Saka. Rasio Saka lebar dan tinggimenggunakan rai ukuranagar penampilannya
terlihat menarik. Konsep simetri, pergeseran, dan refleksi banyak digunakan dalam konstruksi dan dalam bentuk
ornamen Ukiran Bali. Dilihat dari matematika formal, konsep yang digunakan dalam ukiran Bali adalah simetri,
refleksi, dan terjemahan. Penggunaan ukuran tubuh Ethnomathematics, seperti lengkat, nyari, dan rai dianggap kurang
praktis, sehingga pembangun Rumah Tradisional Bali cenderung menggunakan instrumen meteran untuk mengukur.
Mempertahankan proporsi estetika semata-mata karena penglihatan, "baik" untuk dilihat. Ini didukung oleh hasil
wawancara berikut.
O: Rai adalah lebar Saka. saka Tinggibisa 15 kali lebarnya. Yang paling penting, enak
dilihat.
S: Bagaimana dalam menentukan ketinggian rai?
O: Tidak, meter saja.
R: Mengapa Anda menggunakan meter?
O: E..e ... Ini lebih umum dan lebih cepat
Ethnomathematics dari Rumah Tradisional Bali sangat menarik bagi siswa, karena terkait dengan budaya. Ketika
Ethnomathematics dibawa ke kelas maka itu dapat menarik rasa ingin tahu siswa. Penggunaan lengkat, nyari, dan rai
pengukurandapat dikaitkan dengan materi matematika yaitu pengukuran panjang. Dengan menggunakan pengukuran
ini, pembelajaran akan lebih menarik bagi siswa karenasiswa lengkat berbeda satu sama lain. Alasan utama untuk
menggunakan Ethnomathematics dalam matematika adalah untuk mengurangi asumsi bahwa matematika telah
menjadi final dan absolut. Berikut ini akan menjelaskan beberapa pembelajaran Matematika yang mengintegrasikan
Ethnomathematics.
1. Panjang pembelajaran
Siswa diperkenalkan atau ditampilkan dengan pengukuran yang digunakan oleh arsitektur Bali, yaitu lengkat, nyari,
dan rai. Selanjutnya, siswa diminta untuk mengukur panjang bangku dengan menggunakan pengukuran ini. Beberapa
siswa diminta untuk melaporkan hasil pengukuran mereka, dan siswa lain memberikan komentar. Selanjutnya, bangku
siswa diukur menggunakan penggaris / meter. Siswa diminta mengubah panjang meter dan sentimeter menjadi
lengkat, nyari, atau rai, dan sebaliknya. Melalui bimbingan guru, siswa diharapkan menemukan hubungan antara
satuan panjang meter atau sentimeter.
2. Pembelajaran Refleksi Pembelajaran
konsep refleksi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan Etnomathematika bangunan tradisional Bali dalam
pembelajaran. Pertama-tama, siswa disuruh menyiapkan pola ukiran (pola sederhana), atau disediakan oleh guru.
Selama belajar, siswa diberi kesempatan untuk membuat ukiran Bali di atas kertas menggunakan pola ukiran Bali.
Dengan menggunakan teknik untuk mencerminkan garis-garis tertentu, maka dapat diperoleh motif-motif tertentu.
Selanjutnya, siswa diberitahu bahwa motif ukiran Bali dapat dibuat dengan menggunakan konsep refleksi. Konsep
refleksi telah diterapkan pada ukiran Bali dengan mencerminkan sehingga menghasilkan bayangan ukiran Bali. Siswa
mendiskusikan jarak bayangan dengan bentuk asli dan ukuran motif. Kesimpulan yang diharapkan adalah bahwa siswa
mengetahui bahwa mendapatkan bayangan memiliki bentuk dan ukuran yang sama dengan aslinya, jarak ke cermin
motif dan bayangan asli sama. Dengan cara yang sama, siswa dapat diajarkan konsep yang kongruen.
Berdasarkan uraian di atas, karakteristik pembelajaran berorientasi Ethnomathematics adalah dengan memberikan
masalah, fenomena, pola, gambar, terkait dengan Ethnomathematics. Dalam hal ini, dimungkinkan juga ketika siswa
membuat atau menampilkan model Ethnomathematical. Ethnomathematics digunakan sebagai sumber belajar untuk
matematika. Selanjutnya, siswa melakukan investigasi secara individu atau berpasangan yang berkaitan dengan ide-
ide matematika yang ada di Etnomati. Ide-ide harus ditetapkan melalui diskusi kelas atau interaksi. Dengan bimbingan
guru, melalui proses negosiasi makna yang memberi siswa kesempatan untuk membangun pengetahuan matematika.
4. Kesimpulan
Matematika dan budaya terkait erat. Matematika berkembang dari budaya. Ethnomathematics adalah hubungan antara
matematika dan budaya. Di Rumah Tradisional Bali, baik di ukiran yang digunakan dan di bangunan,
Ethnomathematics ditemukan yaitu, penggunaan kesamaan, pergeseran, dan konsep refleksi. Ini sangat cocok dengan
konsep matematika formal dari bahan transformasi. Dalam pembangunan Rumah Tradisional Bali, dalam menentukan
ukurannya menggunakan Asta Kosala Kosali sedangkan dalam menentukan lokasi menggunakan konsep Asta Bhumi.
Dua konsep ini merupakan ciri khas bangunan Rumah Adat Bali. Pengukuran tradisional Bali yang digunakan dalam
bangunan Rumah Tradisional Bali adalah lengkat, nyari, dan rai.
Ethnomathematics dapat digunakan dalam pembelajaran di kelas, baik untuk menumbuhkan motivasi siswa dan
sebagai sumber belajar agar siswa dapat belajar secara bermakna. Penerapan Ethnomathematics dalam pembelajaran
memberikan berbagai manfaat, yaitu (1) mengurangi asumsi bahwa matematika itu final, absolut (pasti), (2) untuk
menggambarkan perkembangan intelektual berbagai budaya, profesi, jenis kelamin, dll., Dan (3) ) untuk membantu
siswa mengembangkan kemampuan untuk merumuskan, menerapkan dan menafsirkan berbagai konteks, serta sikap
sosial dan emosional. Dengan demikian, direkomendasikan (1) bagi peneliti lain untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk
Ethnomathematics lainnya, dan (2) bagi guru untuk mengintegrasikan Ethnomathematics ke dalam pembelajaran
matematika di kelas.