Anda di halaman 1dari 11

REMEMBERING DAN CONTOHNYA DALAM

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan
Kognitif dalam Pembelajaran Matematika dengan dosen pengampu
Dr. H. Sufyani Prabawanto, M.Ed.

oleh:
AGUS WINARJI 1803142
HARUN ABDUR ROHMAN 1803067

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2019
REMEMBERING DAN CONTOHNYA DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
Remembering (mengingat) melibatkan (encoding processes) proses
pengkodean, (retrieval processes) proses pemanggilan dan (metacognitive
processes) proses metakognitif. Proses pengkodean (membentuk ingatan jangka
panjang baru) akan optimal ketika peserta didik melakukan kegiatan usaha yang
yang berkaitan dengan makna materi. Proses retrival dimulai dengan isyarat
pengambilan yang memulai pencarian untuk informasi yang dikodekan. Isyarat
pengambilan akan efektif jika menghadirkan konteks yang sama dengan konteks
yang digunakan pada saat pengkodean. Proses metakognisi berkaitan dengan
pengetahuan tentang proses berpikir seseorang, termasuk pengetahuan tentang cara
kerja memori. Keterampilan metakognitif yang terlibat dalam mengingat
mencakup kemampuan untuk mendiagnosis tugas belajar, memilih strategi
pembelajaran yang sesuai, dan memantau efektivitas strategi tersebut.

1. Encoding Process
Pengkodean berarti menempatkan informasi baru ke dalam memori jangka
panjang. Kita sudah mengenal tahap pertama pengkodean, yaitu memahami input
stimulus. Ingat tentang bagaimana melibatkan fitur stimulus dan mengaktifkan
skema dalam memori jangka panjang? Sekarang, ketika suatu skema begitu
diaktifkan dan di dalam memori kerja, memori yang digunakan untuk memahami
input terbentuk dalam memori jangka panjang. Memori jangka panjang terdiri dari
salinan skema yang diaktifkan ditambah informasi lingkungan yang dipasang pada
slot skema. (Rumelhart, Let 1980).
Dengan demikian, ingatan dibentuk sebagai produk sampingan dari persepsi.
Harus diingat bahwa ingatan semacam itu bukan sekadar salinan dari stimulus
lingkungan. Alih-alih, ingatan untuk peristiwa-peristiwa yang dialami adalah
interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa itu dan mengandung hiasan dan
kesimpulan. Memori juga dibentuk sebagai produk sampingan dari proses
pemahaman. Saat kita membaca teks atau mendengarkan percakapan, kami
menggunakan skema kami yang diaktifkan untuk membuat inferensi dan
elaborasi. Seperti yang kita ketahui sekarang, proses awal persepsi dan
pemahaman (sampai pada titik pengenalan pola) cukup otomatis, membutuhkan
sedikit usaha mental atau perhatian. Namun, ada banyak teori pemrosesan
informasi yang percaya bahwa kecuali kegiatan pengkodean lebih lanjut, lebih
mudah, dilakukan dalam memori kerja, memori jangka panjang untuk materi tidak
akan terlalu kuat. Selain menjadi usaha, kegiatan pengkodean yang menghasilkan
ingatan yang kuat harus berurusan dengan makna atau fitur semantik materi.

Craik dan Lockhart (1972) mengembangkan kerangka kerja untuk berpikir


tentang bagaimana berbagai jenis kegiatan pengkodean mempengaruhi memori.
Dalam perspektif mereka, daya ingat sangat tergantung pada apa yang dilakukan
peserta saat mereka berinteraksi dengan informasi baru. Jika siswa terlibat dalam
kegiatan yang mengharuskan mereka untuk fokus pada makna atau dasar semantik
dari informasi baru (pemrosesan dalam istilah Craik dan Lockhart), maka memori
untuk materi akan lebih baik daripada jika siswa terlibat dalam kegiatan yang
fokus pada aspek konsep yang dangkal.
Secara umum, kegiatan pengkodean yang efektif mengharuskan siswa untuk
membuat keputusan yang lebih sulit atau usaha saat belajar. Keputusan yang
berhasil dianggap menghasilkan ingatan yang lebih khas (Jacoby & Craik, 1979).
Misalnya, Glover dan rekan (Glover, Bruning, & Plake, 1982; Glover, Plake, &
Zimmer, 1982) telah melakukan penelitian untuk menentukan bagaimana
pengambilan keputusan siswa saat membaca yang dipengaruhi recall. Keputusan
yang berhasil dianggap menghasilkan penelitian yang dirancang untuk
menentukan bagaimana pengambilan keputusan siswa selama membaca
mempengaruhi ingatan. Pertama, penelitian ini menunjukkan bahwa menuntut
siswa untuk membuat keputusan tentang apa yang mereka baca menghasilkan
ingatan yang lebih baik daripada tidak membutuhkan keputusan. Tingkat kesulitan
keputusan bervariasi dengan menggunakan taksonomi hasil pembelajaran yang
dibuat oleh Bloom dan rekan-rekannya (Bloom, Englehart, Furst, Hill, &
Krathwohl, 1956). Taksonomi ini membedakan antara tingkat pembelajaran yang
lebih rendah (yaitu, pengetahuan, pemahaman) di mana fakta, konsep, dan aturan
dipelajari dan dipahami.Dan hasil pembelajaran tingkat yang lebih tinggi (yaitu,
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) di mana pengetahuan digunakan dan
diubah. Kemampuan siswa untuk meningat akan meningkat ketika mereka
mempelajari materi yang lebih sederhana, lebih mudah, di tingkat taksonomi yang
lebih rendah ke tingkat yang paling tinggi. Jadi, jika kita ingin siswa
mempertahankan lebih banyak materi pengajaran yang mereka butuhkan,
pendekatannya adalah meminta mereka untuk menjawab pertanyaan saat
berinteraksi dengan materi. Secara umum, keputusan dan pertanyaan yang lebih
sulit dan kompleks menghasilkan retensi yang lebih baik

Secara umum, semakin mudah aktivitas pengkodean semantik, semakin


banyak menguraikan makna materi; semakin banyak penjabaran semantik,
semakin baik retensi (Anderson & Reder, 1979; Craik & Tulving, 1975). Salah
satu cara untuk meningkatkan elaborasi semantik adalah memberikan peserta
didik konteks yang lebih kaya, lebih rumit. Pendekatan ini diilustrasikan oleh
salah satu pengalaman dalam studi Craik dan Tulving (1975).
Pemrosesan yang rumit membutuhkan penyandian materi yang sama dengan
cara yang berbeda tetapi terkait. Ketika menguraikan materi, pada saat itu pula
menghubungkan materi yang akan dipelajari dengan materi yang berada di
memori jangka panjang. Ini memfasilitasi memori untuk materi dalam beberapa
cara. Pertama, itu membuat materi lebih mudah diakses dengan menyediakan
lebih banyak cara atau rute untuk mengambil materi. Kedua, elaborasi dapat
membantu peserta didik untuk menyimpulkan informasi apa yang mungkin terjadi
ketika informasi itu sendiri tidak dapat ditarik kembali (Anderson, 1985).
Kegiatan pengkodean yang mudah biasanya adalah apa yang ada dalam
benak para guru ketika mereka menggunakan istilah "strategi pembelajaran."
Diskusi proses pengkodean di atas memberikan kriteria untuk mengevaluasi
potensi efektivitas strategi pembelajaran. Secara umum, strategi yang paling
efektif mengharuskan siswa untuk berurusan dengan makna materi. Selain itu,
ketika keputusan semantik yang dibutuhkan oleh strategi meningkatkan kesulitan,
ingatan meningkat. Akhirnya, strategi yang membutuhkan pengkodean yang rumit
menyebabkan memori yang jauh lebih baik daripada strategi yang menghasilkan
pengkodean yang jarang atau berlebihan.

Strategi encoding dan contoh dalam pembelajaran matematika


 Strategi pengulangan/ latihan
Strategi latihan melibatkan gagasan daur ulang melalui materi dan biasanya
melibatkan subvocalizing (yaitu, mengulangi bahan berulang-ulang untuk diri
sendiri). Tujuan kognitif dari jenis latihan ini adalah untuk menjaga bahan tetap
aktif dalam memori kerja. Dalam konteks pembelajaran matematika, perkalian
dasar bilangan pada tingkat sekolah dasar dapat dilakukan dengan pengucapan
secara berulang-ulang setiap pulang sekolah akan memicu ingatan yang kuat pada
siswa. Begitu juga dengan pengetahuan procedural, ketika siswa dilatih setiap hari
dalam melakukan prosedural pembagian dua digit oleh satu digit atau tiga digit
oleh satu digit dan seterusnya maka siswa akan terlatih dan memiliki ingatan yang
kuat dalam melakukan prosedur pembagian.

 Elaborasi
Elaborasi adalah proses menambah informasi yang dipelajari. Penambahan
dapat berupa kesimpulan, contoh, detail, gambar, atau konstruksi mental lainnya.
Elaborasi yang efektif mengikat materi yang harus dipelajari dan
menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah ada dalam ingatan jangka
panjang.
Elaborasi juga telah dipelajari dalam konteks yang lebih kompleks dalam
mempelajari fakta dan konsep dari teks dan pelajaran. Banyak penelitian telah
menunjukkan bahwa membuat siswa untuk menguraikan sambil membaca dan
mempelajari retensi alat bantu teks (E. Gagné, 1985; Reder, 1982). Mendorong
siswa untuk menjelaskan ide dengan kata-kata mereka sendiri atau untuk
mengaitkan informasi baru dengan situasi konkret yang akrab meningkatkan
kemungkinan elaborasi dan retensi.
Dalam konteks pembelajaran matematika khususnya disekolah dasar,
mempelajari bangun ruang dan bangun datar tidak hanya menjelaskan secara
verbal konsep masing-masing, tapi guru dapat mengelaborasinya dengan
menghadirkan benda koncrit dalam ruang kelas. Guru dapat meminta siswa
mendapat benda apa saja yang termasuk bangun ruang balok, kubus, kerucut, bola,
tabung dan lain-lain yang ada disekitar atau dirumah. Guru juga dapat meminta
siswa menggambar bangun datar pada buku mereka. Elaborasi tersebut diharapkan
dapat memperkuat daya ingat siswa terhadap konsep yang diajarkan
 Pengorganisasian
Pengorganisasian adalah suatu proses untuk membagi sebuah materi
menjadi beberapa bagian, dengan hubungan antar bagian yang dapat diketahui
dengan pasti. Salah satu contoh pengorganisasian yaitu untuk menghafalkan
beberapa kata, misalnya persegi, tabung, balok, limas, trapesium, segitiga,
kerucut, bola, prisma. Siswa dapat lebih mudah menghafalkannya jika mereka
mengorganisir informasi tersebut ke dalam dua kelompok, yaitu bangun ruang dan
bangun datar. Jadi, pengorganisasian dapat dilakukan di dalam situasi dimana para
subjek diberikan daftar informasi yang dapat diorganisasikan menjadi beberapa
bagian. Jawaban para subjek kemudian diperiksa untuk menentukan apakah
mereka menggunakan kategori untuk membantu mengorganisir jawaban mereka.
Tentu saja tes ini hanya dapat dilakukan ketika para subjek sudah familiar dengan
kategori-kategori yang berkaitan dengan daftar tersebut. Beberapa penelitian telah
menyimpulkan bahwa pengorganisasian dapat meningkatkan kemampuan
mengingat (Bousfield, 1953; Jenkins & Russell, 1952; Reitman & Rueter, 1980).
Dalam konteks pembelajaran matematika, guru dapat mempermudah siswa
untuk mengingat informasi dengan cara memberikan materi yang sudah
terorganisasi dengan baik maupun dengan memberikan garis besar materi pada
siswa. Selain itu, guru juga dapat mengajarkan siswa cara untuk
mengorganisasikan suatu materi. Merangkum merupakan sebuah strategi
pengorganisasian yang baik untuk diterapkan guru. Melalui teknik merangkum,
siswa dapat mengidentifikasi ide-ide pokok dalam materi yang sedang dipelajari,
sehingga siswa dapat melihat keterkaitan antar ide-ide pokok tersebut. Siswa pada
umumnya akan melihat bahwa satu-satunya hubungan antar materi yaitu suatu
materi akan menjadi prasyarat bagi materi lainnya. Misalnya, siswa akan
memahami bahwa mereka harus menguasai aljabar terlebih dahulu sebelum
mereka dapat menyelesaikan sistem persamaan linear.
Peta konsep merupakan salah satu cara dalam mengorganisasi materi
sehingga lebih mudah diingat

Gambar 1. Peta konsep pengorganisasian bilangan


Sumber : matematika SMP/MTs kelas VII semester 1 Kemendikbud 2017
 Mnemonics
Mnemonics adalah sebuah strategi yang sangat tepat untuk membantu
mengingat sebuah informasi (Bellezza, 1981). Secara umum, bekerja dengan
menghubungkan informasi baru yang belum diketahui dengan informasi yang
sudah diketahui. Dengan kata lain, mnemonics merupakan salah satu bentuk
spesifik dari elaborasi.
Tabel 1. Contoh strategi mnemonic dalam pembelajaran matematika
Strategi Contoh
First-letter  Menghafal rumus trigonometri
mnemonic Sindemi (sin = depan/miring)
Cosami (cos = samping/miring)
Tandesa (tan = depan/ samping)
 Menghafal Nilai Sin, Cos dan Tan pada kuadran
“AlSinTanKos”, Al=semua positif (kuadran I), Sin=Hanya Sin yang
positif (kuadran II), Tan=Hanya tan yang positif (kuadran III) dan Kos
= hanya cos yang positif (kuadran IV)
 Menghafap prosedur urutan pengerjaan operasi hitung campuran
KuKaBaTaKu kiri dulu (Ku=kurung, KaBa=Kali Bagi kiri dulu,
TaKu=Tambah Kurang kiri dulu
Peg method Penjumlahan dua bilangan yang selalu berjumlah sepuluh, yaitu:
1 dengan 9 : Satu + Sembilan : SS
2 dengan 8 : Dua + Delapan: DD
3 dengan 7 : Tiga + Tujuh
4 dengan 6 : Empat + Enam
5 dengan 5 : Lima + Lima

Bilangan yang di awali dengan huruf yang sama jika dijumlahkan selalu
10

Loci Kadang siswa sulit membedakan antara limas segitiga dan prisma
segitiga. Limas segitiga dapat di ibaratkan representasikan dengan
Method
negara mesir (piramida), prisma dengan kegiatan perkemahan (tenda)

Key-word Untuk mengingat rumus suku ke-n dari barisan aritmetika ,yaitu :
method 𝑈𝑛 = 𝑎 + (𝑛 − 1)𝑏
Dengan a = suku pertama, n= menyatakan urutan suku ke-n, dan b=
beda antar suku

Cara mengingat rumus ini adalah dengan menggunakan kata yang


menyerupai rumus tersebut, yaitu 𝑈𝑛 = 𝑎𝑛𝑖𝑏 dengan (𝑛 − 1) diganti
dengan kata ni .

Seperti dengan sebelumnya, untuk mengingat rumus suku ke-n dari


barisan geometri
𝑈𝑛 = 𝑎𝑟 𝑛−1 cara mengingatnya yaitu dengan 𝑈𝑛 = 𝑎𝑟𝑛𝑖

2. Proses Retrieval (Pengambilan / Pemanggilan Informasi) dan contoh


dalam pembelajaran matematika
Mengingat lebih bergantug kepada penyandian. Untuk mengingat sesuatu
yang telah kita simpan dalam memori jangka panjang, kita harus dapat
mengambilnya. Retrieval adalah sebuah proses dalam mengakses informasi dalam
ingatan jangka panjang dan menempatkannya pada ingatan jangka pendek. Ingat
bahwa dalam teori proses informasi, menempatkan informasi dalam ingatan
jangka pendek sederhananya berarti membawanya kedalam kesadaran.

Tindakan pengambilan dimulai dengan semacam isyarat. Sebuah Isyarat


Pengamblian (retrieval cues) adalah sebuah rangsangan yang memulai dengan
sebuah pencarian dari beberapa representasi didalam ingatan jangka panjang.
Semakin efektif sebuah isyarat pengambilan, semakin baik pengambilan. Pada
umumnya, agar efektif sebuah isyarat harus terdapat baik pada pengkodean
maupun pada pengambilan. Pentingnya konteks dalam ingatan dan fakta bahwa
ingatan dapat ditingkatkan ketika konteks pada pengkodean dan pengambilan
adalah sama.
Dalam konteks pembelajaran matematika untuk meningkatkan pengambilan
memori, guru perlu mempertimbangkan konteks mengingat. Secara umum, kinerja
memori akan lebih baik jika ada kecocokan antara isyarat yang ada saat
pengodean dan saat pengambilan dan kaya konteks. Secara praktis, ini berarti
bahwa guru perlu mendorong siswa untuk menjelaskan dan mengatur materi
selama pengkodean, menggunakan strategi yang telah kita bahas sebelumnya. Ini
akan memastikan bahwa banyak isyarat dikodekan dengan materi. Kemudian,guru
perlu menyusun tes yang memberi isyarat kepada siswa mengenai yang dikodekan
selama pembelajaran
Sebagai contoh dalam pembelajaran bangun ruang kepada siswa sekolah
dasar. Siswa dapat membedakan konsep kubus dan balok ketika guru dapat
menghadirkan contoh konkrit dalam kehidupan sehari hari misalnya konsep balok
menggunakan kardus indomie, konsep kubus dadu atau rubrik. Ketika guru akan
memanggil kembali atau memperkuat ingatan siswa terkait konsep guru dapat
menjukkan kembali contoh benda konkrit tersebut.
3. Porses Metakognisi dan Contoh dalam Pembelajaran Matematika
Metakognisi menunjukan pengetahuan seseorang mengenai proses
berpikirnya. Secara umum metakognisi merupakan kesadaran atau pengetahuan
seseorang terhadap proses dan hasil berpikirnya (kognisinya) serta
kemampuannya dalam mengontrol dan mengevaluasi proses kognitif tersebut.
Sebagai contoh seseorang percaya bahwa dia belajar dengan baik, jika mampu
memahami informasi dengan menceritakan kembali menggunakan kata-katanya
sendiri dari pada persis seperti yang terdapat pada teks.
Baker dan Brown (1984) membedakan menjadi dua tipe yaitu: (1)
Knowledge about cognition termasuk seseorang pengetahuan tentang sumber
daya kognitif sendiri dan kompatibilitas antara karakteristik orang sebagai
pembelajar dan situasi belajar. Baker dan Brown percaya bahwa pengetahuan
tentang kognisi stabil sepanjang waktu. Contoh dalam pembelajaran geometri
seseorang mampu menjelaskan suatu materi dengan menggunakan kata-katanya
sendiri. Dalam geometri, seseorang mampu mendefinisikan kembali jajar genjang
dengan kata-katanya sendiri, namun tidak menghilangkan substansi dari definisi
tersebut. Pada sebuah buku dituliskan definisi jajar genjang, “Jajar
genjang atau jajaran genjang adalah bangun datar dua dimensi yang dibentuk
oleh dua pasang sisi yang masing-masing sama panjang dan sejajar dengan
pasangannya, dan memiliki dua pasang sudut yang masing-masing sama besar
dengan sudut di hadapannya”. Siswa bisa saja mendefinisikannya, “Jajargenjang
adalah segi empat yang sisi-sisi berhadapannya sejajar dan sama panjang serta
sudut-sudut yang berhadapan sama besar” sesuai dengan kata-kata yang menurut
mereka mudah dipahami.
Tipe kedua, regulation of cognition regulasi kognisi, terdiri dari
"mekanisme regulasi diri yang digunakan oleh pelajar aktif selama upaya
berkelanjutan untuk memecahkan masalah. Indeks metakognisi ini meliputi
memeriksa hasil dari setiap usaha untuk memecahkan masalah, perencanaan
langkah berikutnya, pemantauan efektivitas setiap tindakan berusaha, dan
pengujian, merevisi, dan mengevaluasi strategi seseorang untuk belajar" (Baker
& Brown , 1984, p. 354). Dalam pembelajaran matematika, guru bisa
memberikan siswa suatu permasalahan berupa soal problem solving yang
melibatkan siswa aktif berkelanjutan untuk memecahkan masalah. Model
penyelesaian masalah yang terkenal adalah dari Polya yang terdiri dari 4 tahap
(dalam Susiana, 2010) yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian,
menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan kembali
terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.
Salah satu teknik yang digunakan untuk strategi metakognitif eksplisit
melalui verbalisasi adalah meminta siswa untuk melengkapi “daftar pemikiran”
pada akhit pembelajaran suatu topik (Risnanosanti, 2008). Beberapa contoh
daftar pertanyaan yang bisa diajukan adalah:
(1) Gagasan dan keterampilan baru apa yang telah saya kuasai?
(2) Apa bagian tersulit dari topik ini?
(3) Apakah saya telah mencoba untuk mengatasi berbagai kesulitan
mempelajari ini?
(4) Jenis aktivitas belajar mana yang saya senangi dan sukai? Mengapa ?
Kegiatan ini merupakan bagian juga dari kegiatan refleksi diri pada siswa
dari pertanyaan-pertanyaan di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Risnanosanti, R. (2008). Kemampuan Metakognitif Siswa Dalam


Pembelajaran Matematika. Pythagoras: Jurnal Pendidikan Matematika, 4(1).

Susiana, E. (2010). IDEAL Problem Solving dalam Pembelajaran


Matematika. Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif, 1(2), 73-82.

Anda mungkin juga menyukai