Anda di halaman 1dari 6

KEHIDUPAN SUKU FLORES

Flores, dari bahasa Portugis yang berarti "bunga" adalah sebuah pulau yang berada di wilayah
administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Kata Flores berasal dari bahasa Portugis
yaitu “cabo de flores “ yang berarti “Tanjung bunga”. Nama tersebut semula di berikan oleh S.M.
Cabot untuk menyebut wilayah timur dari pulau Flores. Akhirnya di pakai secara resmi sejak
tahun 1636 oleh gubernur jenderal hindia belanda Hendrik Brouwer. Sebuah studi yang cukup
mendalam oleh Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli sebenarnya pulau Flores
adalah Nusa Nipa (pulau ular) yang dari sudut antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena
mengandung berbagai makna filosofis, Kultural, dan Tradisi Ritual masyarakat Flores.

GEOGRAFI
•Lokasi Asia Tenggara
•Koordinat 8°40′29″S 121°23′04″E
•Kepulauan Kepulauan Sunda Kecil
•Luas 13.540 km2[1]
•Peringkat luas 60th
•Panjang 354 km
•Lebar 66 km
•Titik tertinggi Poco Mandasawu (2.370 m)
PEMERINTAHAN
•Negara Indonesia
•Provinsi Nusa Tenggara Timur
•Kota terbesar Ende dan Maumere (Ende 93.894 Jiwa (2018) dan Maumere 70.000 jiwa)
KEPENDUDUKAN
•Penduduk 1.831.000 jiwa (2010)
•Kepadatan 135 jiwa/km2
Flores termasuk dalam gugusan Gugusan pulau Nusa tenggara bersama Bali dan NTB, dengan
luas wilayah sekitar 14.300 km². Penduduk di Flores, pada tahun 2007, mencapai 1,6 juta jiwa.
Puncak tertinggi adalah Gunung Ranaka (2350m) yang merupakan gunung tertinggi kedua di
Nusa Tenggara Timur, sesudah Gunung Mutis, 2427m di Timor Barat.
Pulau Flores bersama Pulau Timor, Pulau Sumba dan Kepulauan Alor merupakan empat pulau
besar di Provinsi NTT yang merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan 566
pulau. Flores, dengan luas, jumlah penduduk dan sumber daya baik alam maupun manusia yang
dinilai cukup memadai, kini tengah mempersiapkan diri menjadi sebuah provinsi pemekaran di
NTT.
Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di sebelah timur ada
gugusan Pulau Lembata, Adonara dan Solor, sedangkan di sebelah barat ada gugusan Pulau
Komodo dan Rinca.
Sebelah barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil tersebut, terdapat pulau
Sumbawa (NTB), sedangkan di sebelah timur setelah gugusan pulau-pulau kecil tersebut,
terdapat kepulauan Alor. Di sebelah tenggara terdapat pulau Timor. Di sebelah barat daya
terdapat pulau Sumba, di sebelah selatan terdapat laut Sawu, sebelah utara, di seberang Laut
Flores terdapat Sulawesi.

SUKU, BAHASA, SISTEM KEPERCAYAAN DAN BUDAYA

-SUKU
Suku bangsa Flores adalah percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis.
Dikarenakan pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis
sangat terasa dalam kebudayaan Flores, baik melalui genetik, agama, dan budaya. Ada beberapa
suku-suku yang terdapat di Pulau Flores yang terdiri dari delapan suku besar antara lain:
Suku Lio
Riung
Ngada
Nage-Keo
Suku Ende
Suku Manggarai
Suku Sikka
Suku Lamaholot (Larantuka)
Lembata
Perbedaan kebudayaan antara sub-suku-bangsa Riung, Nage-Keo, Ende, Lio dan Sikka tidaklah
amat besar. Tetapi, Perbedaan antara kelompok sub-suku-bangsa tersebut dengan orang
Manggarai dan Bajawa termasuk besar. Seperti halnya dari segi bentuk fisik, ada satu perbedaan
yang mencolok. Penduduk Flores mulai dari orang-orang Riung makin ke Timur menunjukkan
lebih banyak cirri-ciri Melanesia, seperti penduduk Papua, sedangkan orang Manggarai dan
Bajawa (Ngada) lebih banyak menunjukkan ciri-ciri Mongoloid-Melayu. Adapun sub-suku-bangsa
Larantuka berbeda dari yang lain. Hal ini dikarenakan mereka lebih tercampur dengan mendapat
pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari lain-lain suku-bangsa Indonesia yang dating dan
bercampur di kota Larantuka.
-Bahasa
Berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik kita dapat membagi beberapa unsur bahasa
daerah di Flores yang didasarkan pada perbedaan tiap-tiap suku. Masing-masing suku ini
memiliki berbagai macam bahasa dan cara-cara pelafalannya. Secara umum bahasa tersebut
berasal dari bahasa Melayu yang turut berkembang menyesuaikan daerah-daerah yang dihuni
oleh suku-suku tersebut. Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh
pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan
sebagainya. Maka tidak heran apabila bahasa Manggarai juga memiliki bahasa yang lebih khas
terlepas dari ciri-ciri fisiknya yang berbeda dari orang-orang suku lain yang berada di Flores.
Walaupun tiap wilayah tertentu memiliki ragam dialektika berbeda tetapi secara umum orang
Flores memiliki setidaknya 5 bahasa daerah yaitu:
1.Bahasa Lamaholot: umumnya dilafalkan oleh orang Flores Timur yang terdiri dari bagian Flores
daratan, pulau Adonara, pulau Solor dan pulau Lembata.
2.Bahasa Sikka: Secara umum digunakan oleh orang Flores pada wilayah kabupaten Sikka.
3.Bahasa Ende/Lio: Digunakan oleh orang Flores dari suku Ende dan Lio
4.Bahasa Ngada: Pemakaian bahasa ini meliputi masyarakat kabupaten Ngada dan
Pemekarannnya yaitu wilayah kabupaten Nagekeo.
5.Bahasa Manggarai: Penuturnya umumnya orang yang mendiami kabupaten Manggarai
termasuk pemekarnya wilayahnya yaitu Manggarai Timur dan Manggarai Barat.
Dikatakan umumnya atau secara umum, karena pada wilayah-wilayah perbatasan tertentu
secara geografis dan secara kultur sosial berbeda dan saling berpengaruh sehingga bahasa
daerah pada wilayah tersebut juga ikut terpengaruh. Misalnya pada perbatasan kabupaten
Flores Timur dan Kabupeten Sikka, pada bagian barat kabupaten Flores Timur ada beberapa
wilayah tertentu yang masyarakatnya berbahasa Sikka, begitu juga terjadi di beberapa wilayah
lain seperti perbatasan wilayah kabupaten Ende dan Maumere.
Disamping 5 bahasa tersebut, orang Flores juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
ibu, penuturnya umumnya orang yang tinggal di kota Larantuka dan beberapa daerah lain
seperti Hokeng di wilayah Kecamatan Wulanggitang di kabupaten Flores Timur.
-Sistem Kepercayaan
Masyarakat Flores sudah menganut agama seperti Katolik, Islam, Kristen dan lain sebagainya.
Namun masih terdapat tradisi atau kepercayaan leluhur yang dipertahankan, salah satunya
adalah tradisi megalitik di beberapa sub etnis Flores. Misalnya, tradisi mendirikan dan
memelihara bangunan-bangunan pemujaan bagi arwah leluhur sebagai wujud penghormatan
(kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya berawal sejak sekitar 2500 - 3000 tahun lalu dan
sebagian diantaranya masih berlangsung sampai sekarang.
Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu begitu luas mencakup aspek
simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya), asal mula kejadian manusia, binatang dan
sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media untuk mengekspresikan simbol-
simbol secara fisik dalam kebersamaan. Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal
pemunculannya, tampak pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan monumen-
monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya.
Selain itu, tampak juga pada upacara pemujaan termasuk prosesi doa mantra, pakaian, pelaku
seni, seni suara dan tari serta perlengkapan-perlengkapan upacara (ubarampe) dan
sebagainya.Tradisi megalitik pun tampak pada tata ruang, fungsi, konstruksi sertastruktur
bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus hidup mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan
pola menetap setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta perkabungan. Sudah tentu
juga berkaitan dengan upacara untuk mencari mata pencarian, seperti pembukaan lahan,
penebaran benih, panen, berburuan, pengolahanlogam dan sebagainya, serta pembuatan
benda-bendagerabah, tenun dan senjata.
-Budaya dan Kesenian
Tarian yang berasal dari Flores salah satunya adalah tari Caci adalah tari perang sekaligus
permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai di
Flores. Caci merupakan tarian atraksi dari bumi Congkasae Manggarai. Hampir semua daerah di
wilayah ini mengenal tarian ini. Kebanggaan masyarakat Manggarai ini sering dibawakan pada
acara-acara khusus. Tarian Caci Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji.
Jadi, caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah dan
merupakan ritual Penti Manggarai, selain dari tarian Caci di Manggarai terdapat pula tarian -
tarian di Flores yang mulai digemari secara Nasional yakni Gawi, Sodh'a, Rokatenda, Ja'i.
-Administrasi
Flores adalah bagian dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini dibagi menjadi sejumlah 8
kabupaten; dari barat ke timur sebagai berikut:
1.Manggarai Barat dengan ibu kota Labuan Bajo,
2.Manggarai dengan ibu kota Ruteng,
3.Manggarai Timur dengan ibu kota Borong,
4.Ngada dengan ibu kota Bajawa,
5.Nagekeo dengan ibu kota Mbay,
5.Ende dengan ibu kota Ende,
6.Sikka dengan ibu kota Maumere,
7.Flores Timur dengan ibu kota Larantuka.
8.Lembata dengan ibu kota Lewoleba

-Geografi
Topografi Flores.
Flores memiliki beberapa gunung berapi aktif dan tidur, termasuk Ia(Ende), Egon, Ilimuda,
Lereboleng, Lewotobi, dan ile Ape (lembata), Rokatenda (Palu'e), Ebulobo(Boawae), Ine rie
(Ngada)
-Flora and fauna
Flores memiliki satu dari sekian satwa langka dan dilindungi di dunia yakni Varanus komodoensis
atau lebih dikenal dengan Biawak raksasa. Raptil ini hidup di Pulau Komodo dan Pulau Rinca,
keduanya berada di Kabupaten Manggarai Barat, Flores Barat. Selain Pulau Komodo dan Pulau
Rinca yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo, Flores juga memiliki satu Taman
Nasional lagi yang terletak di Kabupaten Ende, yakni Taman Nasional Kelimutu. Daya tarik utama
Taman Nasional Kelimutu adalah Danau Tiga Warna-nya yang selalu berubah warna air
danaunya. Akan tetapi sesungguhnya di dalam Kawasan Taman Nasional Kelimutu itu tumbuh
dan berkembang secara alami berbagai jenis spesies tumbuhan dan lumut. Oleh karena itu pada
awal tahun 2007, pihak pengelola Taman Nasional Kelimutu mulai mengadakan identifikasi
terhadap kekayaan hayati Taman Nasional Kelimutu untuk kemudian dikembangkan menjadi
Kebun Raya Kelimutu. Jadi, nantinya para wisatawan yang datang ke Kawasan Wisata Alam
Kelimutu, selain dapat menikmati keajaiban Danau Tiga Warna, juga dapat mengamati
keanekaragaman hayati dalam Kebun Raya Kelimutu.
Di Mataloko, Kabupaten Ngada terdapat sumber panas bumi yang saat ini sedang dikembangkan
menjadi sumber listrik. Di Soa, sebelah timur kota Bajawa, ibu kota kabupaten Ngada terdapat
tempat pemandian air panas alami. Banyak turis asing yang datang ke sana.
Di Riung, utara kabupaten Ngada, terdapat taman laut 17 Pulau yang seindah Taman laut
Bunaken di Manado. Yang unik dari taman laut ini adalah terdapat sebuah pulau yang bernama
pulau Kelelawar yang menjadi tempat tinggal ribuan kelelawar.[2]
-Situs arkeologi
Pada September 2003, di gua Liang Bua di Flores barat, paleoantropologis menemukan
tengkorak spesies hominid yang sebelumnya tak diketahui. Temuan ini dinamakan "manusia
Flores" (Homo floresiensis, dijuluki hobbit). Penemuan ini dimuat dalam majalah Nature edisi 28
Oktober 2004. Status temuan ini sekarang masih diperdebatkan, apakah termasuk Homo
erectus atau Homo sapiens.
Transportasi
Sedikitnya ada enam bandar udara yang tersebar di seluruh Flores (diurutkan dari barat ke
timur):
•Bandar Udara Komodo di Labuan Bajo
•Bandar Udara Frans Sales Lega di Ruteng
•Bandar Udara Turelelo Soa di Bajawa
•Bandar Udara H. Hasan Aroeboesman di Ende
•Bandar Udara Frans Xavier Seda di Maumere
•Bandar Udara Gewayantana di Larantuka
- Catatan kaki
^ Monk, K.A.; Fretes, Y.; Reksodiharjo-Lilley, G. (1996). The Ecology of Nusa Tenggara and
Maluku. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 7. ISBN 962-593-076-0.
^ "Menengok keindahan Pulau Kelelawar dan Pulau Pasir di NTT". merdeka.com (dalam bahasa
Inggris). Diakses tanggal 2020-02-12.
- Referensi
L, Klemen (1999–2000). "Forgotten Campaign: The Dutch East Indies Campaign 1941-1942".
Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 July 2011.
Pranala luar
Media terkait Flores, Indonesia di Wikimedia Commons
Flores & Komodo - History Diarsipkan 2010-03-24 di Wayback Machine.

Penutup
Dari seluruh uraian mengenai struktur birokrasi dan sistem kekuasaan tradisional Flores Timur di
atas, tampak bahwa ada hasrat yang kuat dalam masyarakat yang sangat heterogen itu untuk
membentuk ‘organisasi bersama’ yang lebih kohesif dan efektif
mengatasi berbagai kelemahan struktural dalam masyarakatnya. Selalu ada pemikiran tentang
relasi timbal-balik yang harmonis antar berbagai faktor yang saling bertentangan. Yang terjadi
dalam kasus pembentukan birokrasi dan pola-pola kekuasaannya tak lain adalah internalisasi
dialektis atau dinamis dari unsur-unsur kebudayaan yang
heterogenetik dan ortogenetik. Dari pengalaman dan penghayatan hidup bersama itu,
terciptalah sistem nilai dalam
bentuk simbol-simbol yang akan menjadi acuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Demikian maka kekuasaan raja hanya bersifat temporal dan berasal dari berbagai sumber.

Anda mungkin juga menyukai