Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan 116°48' - 122°36'
Bujur Timur. Luas wilayahnya 45.764,53 km². Provinsi ini berbatasan dengan Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di timur, Selat
Makassar di barat dan Laut Flores di selatan.
Sampai dengan Mei 2010, jumlah penduduk di Sulawesi Selatan terdaftar sebanyak
8.032.551 jiwa dengan pembagian 3.921.543 orang laki-laki dan 4.111.008 orang perempuan.
Pada tahun 2013, penduduk di Sulawesi Selatan sudah mencapai 8.342.047 jiwa.
Sejarah
Provinsi Sulawesi Selatan, Sekitar 30.000 tahun silam pulau ini telah dihuni oleh
manusia. Penemuan tertua ditemukan di gua-gua dekat bukit kapur dekat Maros, sekitar 30 km
sebelah timur laut dan Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Kemungkinan
lapisan budaya yang tua berupa alat batu Peeble dan flake telah dikumpulkan dari teras sungai
di lembah Walanae, diantara Soppeng dan Sengkang, termasuk tulang-tulang babi raksasa dan
gajah-gajah yang telah punah.
Selama masa keemasan perdagangan rempah-rempah, diabad ke-15 sampai ke-19,
Sulawesi Selatan berperan sebagai pintu Gerbang ke kepulauan Maluku, tanah penghasil
rempah. Kerajaan Gowa dan Bone yang perkasa memainkan peranan penting didalam sejarah
Kawasan Timur Indonesia dimasa Ialu. Pada sekitar abad ke-14 di Sulawesi Selatan terdapat
sejumlah kerajaan kecil, dua kerajaan yang menonjol ketika itu adalah Kerajaan Gowa yang
berada di sekitar Makassar dan Kerajaan Bugis yang berada di Bone. Pada tahun 1530,
Kerajaan Gowa mulai mengembangkan diri, dan pada pertengahan abad ke-16 Gowa menjadi
pusat perdagangan terpenting di wilayah timur Indonesia. Pada tahun 1605, Raja Gowa
memeluk Agama Islam serta menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Islam, dan antara tahun 1608
dan 1611, Kerajaan Gowa menyerang dan menaklukkan Kerajaan Bone sehingga Islam dapat
tersebar ke seluruh wilayah Makassar dan Bugis.
Perusahaan dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie) yang datang ke wilayah ini pada abad ke-15 melihat Kerajaan
Gowa sebagai hambatan terhadap keinginan VOC untuk menguasai perdagangan rempah-
rempah di daerah ini. VOC kemudian bersekutu dengan seorang pangeran Bugis bernama
Arung Palakka yang hidup dalam pengasingan setelah jatuhnya Bugis di bawah kekuasaan
Gowa. Belanda kemudian mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan
perlawanan masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah berperang
selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Dan Raja Gowa, Sultan Hasanuddin
dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya yang sangat mengurangi kekuasaan Gowa.
Selanjutnya Bone di bawah Palakka menjadi penguasa di Sulawesi Selatan. Persaingan
antara Kerajaan Bone dengan pemimpin Bugis lainnya mewarnai sejarah Sulawesi Selatan.
Ratu Bone sempat muncul memimpin perlawanan menentang Belanda yang saat itu sibuk
menghadapi Perang Napoleon di daratan Eropa. Namun setelah usainya Perang Napoleon,
Belanda kembali ke Sulawesi Selatan dan membasmi pemberontakan Ratu Bone. Namun
perlawanan masyarakat Makassar dan Bugis terus berlanjut menentang kekuasaan kolonial
hingga tahun 1905-1906. Pada tahun 1905, Belanda juga berhasil menaklukkan Tana Toraja,
perlawanan di daerah ini terus berlanjut hingga awal tahun 1930-an. Sebelum Proklamasi RI,
Sulawesi Selatan, terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami empat
etnis yaitu ; Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
Pada abad ke XVI dan XVII ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas di Sulawesi
Selatan yaitu kerajaan Luwu, Gowa dan Bone, yang telah mencapai kejayaan pada masa
tersebut. Setelah kemerdekaan, dikeluarkan UU Nomor 21 Tahun 1950 dimana Sulawesi
Selatan menjadi provinsi Administratif Sulawesi dan selanjutnya pada tahun 1960 menjadi
daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960.
Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 1964 Pemisahan dilakukan dari daerah otonom
Sulawesi Selatan dan Tenggara menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan, kemudian terus
disempurnakan dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. Terakhir, pemerintah memecah Sulawesi Selatan menjadi dua,
berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004. Kabupaten Majene, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara
dan Polewali Mandar yang tadinya merupakan kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan resmi
menjadi kabupaten di provinsi Sulawesi Barat seiring dengan berdirinya provinsi tersebut pada
tanggal 5 Oktober 2004 berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004.
Suku Bangsa
• Bugis
• Makassar
• Mandar
• Toraja
• Duri
• Pattinjo
• Bone
• Maiwa
• Endekan
• Pattae
• Kajang/Konjo
Bahasa
Bahasa yang umum digunakan adalah:
Bahasa Makassar adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah
Makassar dan Sekitarnya. Tersebar di Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto,
Bantaeng, sebagian Bulukumba sebagian Maros dan sebagian Pangkep.
Bahasa Bugis adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Bone sampai
ke Kabupaten Pinrang, Sinjai, Barru, Pangkep, Maros, Kota Pare Pare, Sidrap, Wajo,
Soppeng Sampai di daerah Enrekang, bahasa ini adalah bahasa yang paling banyak di pakai
oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
Bahasa Pettae adalah salah satu bahasa yang dipertuturkan di daerah Tana Luwu, mulai
dari Siwa, Kabupaten Wajo, Enrekang Duri, sampai ke Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara.
Toraja adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Kabupaten Tana
Toraja dan sekitarnya.
Bahasa Mandar adalah bahasa suku Mandar, yang tinggal di provinsi Sulawesi Barat,
tepatnya di Kabupaten Mamuju, Polewali Mandar, Majene dan Mamuju Utara. Di samping
di wilayah-wilayah inti suku ini, mereka juga tersebar di pesisir Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Bahasa Massenrempulu adalah salah satu rumpun bahasa Austronesia di Sulawesi
Selatan. Bahasa ini memiliki tiga kelompok dialek di Kabupaten Enrekang, yaitu dialek
Duri, Endekang dan Maiwa. Kelompok dialek bahasa Duri memilki kedekatan dengan
bahasa Toraja dan bahasa Tae' Luwu. Penuturnya tersebar di wilayah utara Gunung
Bambapuang, Kabupaten Enrekang sampai wilayah perbatasan Tana Toraja. Kelompok
dialek bahasa Endekang mempunyai penutur di ibukota Kabupaten Enrekang dan beberapa
kecamatan sekitarnya. Sedangkan penutur kelompok dialek bahasa Maiwa terdapat di
Kecamatan Maiwa dan di Kecamatan Bungin (Maiwa Atas).
Bahasa Konjo terbagi menjadi dua yaitu Bahasa Konjo pesisir dan Bahasa Konjo
Pegunungan, Konjo Pesisir tinggal di kawasan pesisir Bulukumba dan Sekitarnya, di sudut
tenggara bagian selatan pulau Sulawesi sedangkan Konjo pegunungan tinggal di kawasan
tenggara gunung Bawakaraeng.
Bahasa Selayar adalah bahasa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Sulawesi
Selatan yang bermukim diujung selatan provinsi ini khususnya Kab. Kep. Selayar.
Agama
Mayoritas masyarakat Sulawesi Selatan beragama Islam (88.34%) kecuali
di Kabupaten Tana Toraja dan sebagian wilayah lainnya beragama Kristen (8.12%). Agama-
agama lainnya yang dianut oleh masyarakat Sulawesi Selatan antara lain Katolik (2.25%),
Hindu (1.02%), Budha (0.25%), dan Konghucu (0.04%).
Secara topografi, pantai timur di Sulawesi Selatan memiliki tanah yang berawa serta air
payau karena pengaruh pasang surut air laut. Sulawesi Selatan pun juga memiliki banyak
bukit barisan yang cukup tinggi misalnya puncak Gunung Seminung dengan ketinggian
1.964 mdpl, Gunung Patah dengan ketinggian 1.107 mdpl, Gunung Bengkuk dengan
ketinggian 2.125 mdpl. Sedangkan untuk masalah demografi, jumlah penduduk yang
hingga saat ini tinggal di Sulawesi Selatan adalah sekitar 8.032.551 jiwa. Jumlah laki-laki
lebih sedikit dibandingkan jumlah perempuan yakni 3.921.543 jiwa untuk laki-laki dan
4.111.008 jiwa untuk perempuan. Jumlah tersebut mengacu pada sensus yang dilakukan
hingga Mei 2010.
Seperti yang ditunjukan melalui tabel, nampak bahwa hingga tahun 2013, penduduk
Sulawesi Selatan terkonsentasi di Kota Makassar yakni kurang lebih 1,39 juta jiwa atau 16,72
persen dari jumlah penduduk Sulawesi Selatan, sementara itu Kabupaten Selayar merupakan
daerah yang memiliki jumlah penduduk terkecil yakni hanya 126,86 ribu jiwa lebih atau 1,52
persen dari jumlah penduduk daerah ini.
Melihat jumlah penduduk pada kabupaten/kota dan luas wilayah masing- masing
daerah, maka nampak bahwa Kota Makassar merupakan daerah yang memiliki tingkat
kepadatan penduduk tertinggi yakni 7.936,62 jiwa/km2, sementara daerah dengan tingkat
kepadatan terendah adalah Kabupaten Luwu Timur dengan tingkat kepadatan penduduk hanya
36,46 jiwa/km2.
No Kabupaten/ Kota Pria (Jiwa) Wanita (Jiwa) Jumlah (Jiwa) Sex Rasio (Persen)
1 Selayar 60.910 65.955 126.864 92,35
2 Bulukumba 193.424 215.007 408.431 89,96
3 Bantaeng 88.528 94.308 182.836 93,87
4 Jeneponto 172.063 182.535 354.598 94,26
5 Takalar 134.780 145.357 280.138 92,72
6 Gowa 335.790 347.116 682.906 96,74
7 Sinjai 114.791 122.137 236.928 93,99
8 Maros 162.190 169.249 331.439 95,83
9 Pangkep 153.203 164.183 317.386 93,31
10 Barru 82.232 88.920 171.152 92,48
11 Bone 354.159 388.100 742.259 91,25
12 Soppeng 108.669 121.731 230.399 89,27
13 Wajo 189.655 207.125 396.781 91,57
14 Sidrap 137.748 144.851 282.599 95,10
15 Pinrang 176.618 187.104 363.721 94,40
16 Enrekang 99.235 98.042 197.277 101,22
17 Luwu 170.203 174.689 344.892 97,43
18 Tator 116.157 112.532 228.689 103,22
19 Luwu Utara 150.191 148.006 298.198 101,48
20 Luwu Timur 131.363 123.895 255.258 106,03
21 Toraja Utara 113.428 110.964 224.392 102,22
22 Makassar 690.462 704.559 1.395.020 98,00
23 Parepare 66.102 68.396 134.498 96,65
24 Palopo 76.045 79.491 155.537 95,67
Sulawesi Selatan 4.077.947 4.264.253 8.342.200 95,63
Sumber : Data diolah dari Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 - 2035 Bappenas - BPS RI
1. Rumah Adat
Rumah adat Sulawesi Selatan disebut Tongkonan. Tongkonan adalah rumah adat orang
Toraja di Sulawesi Selatan. Kolong rumah itu berupa kandang kerbau belang atau tedong
bonga. Kerbau ini merupakan lambang kekayaan, disepan rumah tersusun tanduk tanduk
kerbau, sebagai perlambang pemiliknya telah berulang kali mengadakan upacara kematian
secara besar besaran. Tongkonan terdiri dari 3 ruangan yaitu ruang tamu, ruang makan, dan
ruang belakang.
2. Pakaian Adat
a. Pakaian Wanita dalam Adat Sulawesi Selatan
Baju Bodo dianggap sebagai pakaian adat Sulawesi Selatan paling pertama dikenal oleh
masyarakatnya. Dalam kitab Patuntung, kitab suci ajaran Animisme dan Dinamisme nenek
moyang suku makassar, baju ini bahkan disebutkan dengan jelas, mulai dari bentuk, jenis
hingga cara pemakaiannya. Ilmu tekstil yang telah dikenal sejak zaman batu muda oleh
nenek moyang suku makassar membuat baju bodo begitu nyaman dikenakan.
Baju ini sengaja dibuat dari bahan kain muslin. Kain ini adalah kain hasil pintalan kapas
yang dijalin bersama benang katun. Rongga dan kerapatan benang yang cukup renggang,
menjadikan kain ini sejuk dikenakan sehingga cocok dipakai di iklim tropis Sulawesi
Selatan.
Sebagian masyarakat Makassar menyebut baju bodo dengan nama bodo gesung.
Alasannya adalah karena pakaian ini memiliki gelembung di bagian punggungnya.
Gelembung tersebut muncul akibat baju bodo dikenakan dengan ikatan yang lebih tinggi.
Secara sederhana, berikut ini adalah penampakan dari baju bodo yang lebih sering
digunakan oleh kaum wanita.
Dari kenampakan gambar pakaian adat Sulawesi Selatan di atas, kita dapat melihat
bahwa baju bodo merupakan baju tanpa lengan. Jahitan hanya digunakan untuk
menyatukan sisi kanan dan kiri kain, sementara pada bagian bahu dibiarkan polos tanpa
jahitan. Bagian atas baju bodo digunting atau dilubangi sebagai tempat masuknya leher.
Lubang leher ini pun dibuat tanpa jahitan. Sebagai bawahan, sarung dengan motif kotak-
kotak akan dikenakan dengan cara digulung atau dipegangi menggunakan tangan kiri.
Pemakainya juga akan mengenakan beragam pernik aksesoris seperti kepingan-kepingan
logam, gelang, kalung, bando emas, dan cincin.
Dalam kitab Patuntung, ada aturan yang menyebutkan penggunaan warna khusus
bagi tingkatan usia wanita yang akan mengenakan baju dodo ini. Aturan warna tersebut
antara lain:
Warna jingga dipakai oleh perempuan umur kurang dari 10 tahun.
Warna jingga dan merah darah dipakai oleh perempuan umur 10 hingga 14 tahun.
Warna merah darah dipakai oleh untuk 17 hingga 25 tahun.
Warna putih dipakai oleh para inang dan dukun.
Warna hijau dipakai oleh puteri bangsawan.
Warna ungu dipakai oleh para janda.
Kendati aturan tersebut pada masa silam wajib dipatuhi, namun sekarang ini para
wanita yang akan menggunakan pakaian adat Sulawesi Selatan ini bebas hendak
mengenakan baju dodo dengan warna apapun, mengingat kepercayaan animisme dan
dinamisme yang dianut oleh warga Sulawesi Selatan semakin luntur setelah masuknya
Islam ke Indonesia.
Berbeda dengan baju bodo yang dibuat dari kain muslin, pakaian adat Sulawesi Selatan
khusus untuk laki-laki ini justru dibuat dari bahan yang lebih tebal. Seperti dari kain lipa
sabbe atau lipa garusuk. Sementara untuk warnanya biasanya tidak ada ketentuan alias bisa
disesuaikan dengan selera para penggunanya.
Passapu atau tutup kepala yang digunakan sebagai pelengkap baju bella dada umumnya
dibuat dari anyaman daun lontar dengan hiasan mbring atau benang emas yang disusun.
Passapu dapat pula tidak diberi hiasan. Passapu polos atau biasa disebut passapu guru ini
lazimnya digunakan oleh para dukun atau tetua kampung.
Selain passapu, para laki-laki juga tak ketinggalan untuk mengenakan aksesoris
pelengkap pakaian yang digunakan. Beberapa aksesoris di antaranya adalah gelang, keris,
selempang atua rante sembang, sapu tangan, dan sigarak atau hiasan penutup kepala.
Gelang yang digunakan adalah gelang dengan motif naga dan terbuat dari emas, sehingga
gelang ini dinamai gelang ponto naga. Keris yang dipakai adalah keris dengan kepala dan
sarung terbuat dari bahan emas. Keris ini disebut pasattimpo atau tatarapeng. Sapu tangan
yang dikenakan adalah sapu tangan dengan hiasan khusus. Sapu tangan ini dinamai passapu
ambara.
5. Senjata Tradisional
Badik merupakan senjata tradisional yang sangat terkenal di Sulawesi Selatan.
Bentuknya kokoh dan cukup mengerikan. Senjata terkenal lainnya adalah peda (semacam
perang), sabel, tombak, papporok dan perisai.
7. Alat Musik
1) Tolindo / Popondi
Tolindo merupakan alat musik tradisional khas Sulawesi Selatan yang tepatnya berasal
dari tanah Toraja. Alat musik Tolindo juga cukup terkenal didunia, nama Tolindo
merupakan sebutan alat musik tradisional ini di daerah Bugis sedangkan Popondi untuk
sebutannya di daerah Makasar. Alat musik tradisional ini terbuat dari kayu, tempurung
kelapa dan tentunya senar karena kita memainkan Tolindo dengan cara dipetik. Tolindo /
Popondi memiliki bentuk seperti busur, alat musik ini juga termasuk kedalam jenis sitar
berdawai satu. Alat musik TradisionalPopondi / Tolindo biasanya dimainkan oleh para
petani saat melakukan panen sawah mereka atau saat mengisi waktu senggang para remaja.
2) Gendang Bulo
Idiokardo adalah alat musik tradisional daerah sulawesi selatan yang berbentuk seperti
gendang namun ukurannya cukup kecil dan juga panjang. Gendang ini dimainkan pada
saat acara-acara tertentu saja seperti adanya pernikahan atau acara adat tertentu, selain itu
pemain dari alat musik Gendang Bulo adalah laki-laki, namun sayang jarang dijumpai
pemain yang masih muda saat ini. Gendang Bulo memiliki ukuran yang berbeda, salah
satu sisinya berukuran lebih lebar pada bagian yang dipukul. Untuk memainkan Gendang
Bulo, anda harus mengatur letaknya terlebih dahulu dan jika anda normal (tidak kidal) sisi
yang lebih besar ada di sebelah kanan dan untuk memukulnya menggunakan seperti
sebuah batang kayu atau stik drum, dan bagian kiri dipukul menggunakan telapak tangan.
3) Alosu / Lalosu
Alat musik tradisional Sulawesi Selatan Alosu adalah alat musik yang terbuat dari
anyaman daun kelapa dan berbentuk kotak-kotak kecil yang tersusun rapih. Di bagian
dalamnya terdapat biji-bijian yang jika kita goyangkan akan menimbulkan suara seperti
beras yang terdapat dalam botol plastik. Penggunaan Alosu sulit ditemukan.
4) Ana’ Becing
Becing adalah sebuah alat musik yang terbuat dari logam dan dimainkan dengan cara
dipukulkan satu sama lain. Bentuknya yang menarik, yakni mirip sepasang dayung
membuat alat musik ini cukup tersohor, terlebih karena sering dimainkan dalam karnaval
atau parade pesta dan upacara adat.
5) Keso-Keso
Alat musik tradisional ini memiliki nama “keso” karena memang cara memainkannya
digesek, sehingga disebut “keso-keso” dan beberapa orang juga ada yang menyebutnya
“Kere-Kere Galang”. Pada bagian tubuh keso-keso yang digunakan sebagai resonatornya
terbuat dari kayu nangka dan dibentuk menyerupai jantung pisang dengan rongga
ditengahnya agar menciptakan suara yang maksimal. Setelah dipahat se-demikian rupa
sehingga berbentuk cekungan, kekosongan dari kayu nangka tersebut ditutup dengan
membran yang terbuat dari kulit kambing pilihan. Dari alat menggeseknya tidak
diperlukan kayu khusus karena asalkan kuat, kayu tersebut bisa digunakan sebagai busur
yang digunakan untuk menggesek keso-keso. Namun yang terpenting terletak pada benda
yang terlihat.
6) Suling Lembang
Suling Lembang adalah alat musik tradisional di Sulawesi Selatan yang berasal dari asal
Toraja yang memiliki panjang yang berbeda dari suling lainnya, dengan panjang 40 hingga
100 cm, Suling Lembang merupakan suling terpanjang di daerah Toraja. Suling Lembung
memiliki 6 lubang nada yang biasanya digunakan pada lagu lagu Toraja terutama pada saat
acara berduka, namun suling ini tidak dimainkan solo dan seringnya diiringi dengan alat
musik lain yaitu Suling deata. Peran Suling Lembang ini baru akan terlihat pentingnya
pada sebuah kegiatan Rambu Tuka’ dan juga Aluk Rampe Matampu (Upacara panen padi
dan Upacara kematian). Penggunaan alat musik tradisional ini sangat penting untuk
mengiringi syair dan lagu pada upacara tersebut.
7) Puwi-Puwi
Satu lagi alat musik tiup dengan bentuk yang cukup unik, Puwi-puwi atau juga disebut
puik-puik adalah sebuah alat musik berupa terompet khas dari Sulawesi Selatan. Bentuk
dan cara memainkan alat musik ini sama persis dengan beberapa alat musik dari daerah
lain di Indonesia, seperti serunai di Sumatera, Sronen di Jawa Timur, dan Tarompet di
Jawa Barat.
8) Basi-Basi / Klarinet
Bentuk dari alat musik tradisional ini mengingatkan kita seperti alat musik yang digunakan
pawang ular pada film-film yang membuat ular menjadi jinak. Masyarakat Bugis
menyebut alat musik ini dengan sebutan basi basi sedangkat penduduk Makasar
menyebutnya Klarinet (seperti terompet panjang dengan banyak lubang suara). Basi basi
dimainkan dengan cara ditiup, didalamnya terdapat sebuah membran yang nantinya dapat
menghasilkan bunyi saat dimainkan.
9) Jalappa / Kancing-Kancing
Jalappa adalah alat musik tradisional yang berbentuk seperti simbal, alat musik ini terbuat
dari logam kuningan dan dimainkan pada saat upacara adat tertentu saja seperti saat
persembahan sesaji untuk para dewata. kancing-kancing karena bentuknya yang
menyerupai kancing berukuran besar. Jalappa juga digunakan pada saat upacara adat tolak
bala dan juga dipercaya menjadi bagian dari peralatan dukun di beberapa daerah. Jika
digunakan untuk acara adat, biasanya sebelum sebuah tarian dimulai alat musik ini terlebih
dulu dibacakan mantra-mantra saat diiringi alat musik lainnya.
Makanan Khas/Tradisional
Pisang Epe
Pisang ijo
Bassang
Coto Makassar
Kapurung
Nasu Palekko
Roti Maros
Tenteng
Baje Bandong
Bipang
Benno
Baroncong
Sop Saudara
Barongko
Bandang-Bandang
Sup Konro
Pallubasa
Pallu Butung
Pa’piong
Kue Biji Nangka
Cucur Bayao
Jalangkote
Putu Cangkiri
Roko-roko Cangkuning
Songkolo Bagadang
Sistem Teknologi
Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugis yang sudah
terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalam naskah Lontarak I Babad La
Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 M. Menurut naskah tersebut, Perahu
Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk
membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat
kokoh dan tidak mudah rapuh. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh
buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan
untuk pengangkutan barang antarpulau. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan
jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna
bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.
Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi, dimana
para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut, terutama
di Keluharan Tana Beru.