Maluku utara adalah surga tropis di Indonesia bagian timur. Inilah tempat wisata bahari,
budaya, purbakala, sejarah, dan ada istiadat. Daerah ini pada mulanya adalah bekas wilayah empat
kerajaan Islam terbesar di bagian timur Nusantara yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Moloku
Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku) yaitu Bacan, Jailolo, Ternate, dan Tidore.
Ibu kota Maluku Utara terletak di Sofifi, Kecamatan Oba Utara. Sejak 4 Agustus 2010
daerah ini menggantikan kota terbesarnya, Ternate, yang berfungsi sebagai ibu kota sementara selama
11 tahun untuk menunggu kesiapan infrastruktur di Sofifi.
Provinsi Maluku Utara terdiri dari 395 pulau besar dan kecil yang tersebar di perairan
yang menakjubkan. Pulau yang telah dihuni sebanyak 64 buah dan yang tidak dihuni sebanyak 331
buah.
Palau Bobale, Halmahera Utara, Maluku Utara, Indonesia
Salah satu pulau yang tidak berpenghuni adalah Pulau Dodola. Pulau ini adalah contoh
dari pantai tropis yang indah. Pasir putih seluas 16 km mengelilingi pantai dengan airnya yang jernih.
Di pulau ini, pengunjung dapat melakukan banyak kegiatan menarik seperti berenang, berjemur, dan
menyelam. Pulau Maitara juga menawarkan kehidupan laut yang fantastis. Pulau ini terletak di tengah
Pulau Tidore dan Ternate.
Maluku Utara memiliki objek wisata bahari berupa pulau-pulau dan pantai yang indah
dengan taman laut serta jenis ikan hias beragam jenis. Wisata alam seperti batu lubang tersebar
hampir di seluruh wilayah. Ada juga hutan wisata sekaligus taman nasional dengan spesies endemik
ranking ke 10 di dunia.
Kawasan suaka alam yang terdiri dari beberapa jenis, baik di daratan maupun di perairan
laut seperti Cagar Alam Gunung Sibela di Pulau Bacan, Cagar Alam di Pulau Obi, Cagar Alam
Taliabu di Pulau Taliabu dan Cagar Alam di Pulau Seho.
Kawasan Cagar Alam Budaya yang memiliki nilai sejarah kepurbakalaan tersebar di
wilayah Provinsi Maluku Utara meliputi cagar alam budaya di Kota Ternate, Kota Tidore, Kabupaten
Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan, dan Halmaerah
Utara.
Luas total wilayah Provinsi Maluku Utara mencapai 140.255,32 km. Sebagian besar
merupakan wilayah perairan laut, yaitu seluas 106.977,32 km (76,27%). Sisanya seluas 33.278 km
(23,73%) adalah daratan.
Kebudayaan Daerah Maluku Utara yang menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia
Alat Musik Daerah Maluku Utara : Tifa merupakan alat musik yang paling terkenal dari
Maluku. Alat musik ini bentuknya menyerupai kendang dan terbuat dari kayu yang di lubangi
tengahnya. Ada beberapa macam jenis alat musik Tifa seperti Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa
Jekir Potong dan Tifa Bas.
Alat musik lainnya yang berasal dari Maluku Utara adalah Toto Buang dan Kulit Bia. Alat
musik ini merupakan serangkaian gong-gong yang kecil bentuknya dan biasanya di taruh pada sebuah
meja dengan beberapa lubang sebagai penyanggah. Sedangkan alat musik Kulit Bia merupakan alat
musik tiup yang terbuat dari Kulit Kerang.
Tari Cakalele merupakan nama tarian yang paling populer dan terkenal dari Maluku.Utara
dan Maluku Tarian ini menggambarkan Tari perang. Tari ini sering di pentaskan dan di peragakan oleh
Nama tarian lain yang berasal dari Maluku adalah tari Saureka-Reka dan tari Katreji. Tari
Katreji dimainkan oleh wanita dan pria. Saat memainkan Tarian ini diiringi berbagai alat musikseperti
biola, suling bambu, ukulele, karakas, guitar, tifa dan bas gitar.
Bahasa Daerah Maluku utara
Karena provinsi Maluku Utara memiliki banyak sekali pulau, di sini juga terdapat
berbagai macam bahasa. Tapi sebagian besar bahasa yang dipakai di Maluku Utara adalah adalah jenis
Bahasa Melayu Ambon yang berbaur dengan logat daerah, yang masih satu dialek bahasa Melayu.
Papeda atau bubur sagu itulah makanan pokok di daerah Maluku dan Papua. Makanan pengganti nasi
ini terbuat dari tepung sagu dan diolah oleh para penduduk di pedalaman Papua
Budaya Maluku adalah aspek kehidupan yang mencakup adat istiadat, kepercayaan, seni
dan kebiasaan lainnya yang dijalani dan diberlakukan oleh masyarakat Maluku. [1]Maluku adalah
sekelompok pulau yang merupakan bagian dari Nusantara. [2] Maluku berbatasan
dengan Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di sebelah timur
dan Palau di timur laut. [2] Maluku memiliki beragam budaya dan adat istiadat mulai
dari alat musik, bahasa, tarian, hingga seni budaya. [1]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Budaya Kalwedo
o
2 Budaya Hawear
3 Batu Pamali
5 Hibua Lamo
6 Budaya Arumbae
8 Referensi
[3]
sah atas kepemilikan masyarakat adat di Maluku Barat Daya (MBD). [3] Kepemilikan ini
merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang bersaudara.
[4]
Kalwedo telah
[4]
kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah kekerabatan adat, dimana
mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama. [3] Nilai Kalwedo
diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas pulau dannegeri, yaitu: inanara ama
yali (saudara perempuan dan laki-laki). [4] Inanara ama yali menggambarkan keutamaan hidup
dan pusaka kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi
totalitas hati, jiwa, pikiran dan perilaku.[4]
Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi
hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta (hidup berdampingan dengan baik). [3] Tradisi hidup masyarakat
MBD dibentuk untuk saling berbagi dan saling membantu dalam hal
potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang diwariskan oleh alam kepulauan MBD.
[3]
Hawear (Sasi) adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan
masyarakat Kepulauan Kei secara turun menurun. [5] Cerita rakyat, lagu rakyat, dan berbagai
dokumen tertulis merupakan prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya termasuk
Hawear. [4] Sejarah Hawear bermula dari seorang gadis yang diberikan daun kelapa kuning
(janur kuning) oleh ayahnya. [4] Kemudian janur kuning itu disisipkan atau diikat di kain seloi yang
dipakainya. [4] Gadis tersebut melakukan perjalanan panjang untuk menemui seorang raja (Raja
Ahar Danar). [4]Maksud dari janur kuning tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dimiliki oleh
seseorang, dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh siapapun selama perjalanan.
[4]
Janur
kuning tersebut diberikan oleh sang ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-orang
tak dikenal dalam perjalanannya. [4] Hal ini adalah proses Hawear yang masih dijalankan sesuai
dengan maknanya hingga saat ini.[5]
[6]
dan teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati
masyarakat adat Maluku.[6] Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar berdirinya sebuah
negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo, sekaligus sebagai representasi
kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam kehidupan masyarakat.
[6]
bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik
bersama setiap soa. [4] Di beberapa negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif,
termasuk negeri adat yang masyarakatnya memeluk agama yang berbeda.
[6]
Seiring dengan
perkembangan agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu
Pamali. [6] Dengan adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti dengan
penyeragaman sistem pemerintahan desa.
[6]
[7]
[7]
Upacara Fangnea
[7]
[9]
bersama yang disebut Nanga Tau Mahirete (rumah kita bersama). [9] Orang
Tobelo, Galela dan Loloda tersegregasi secara geografis, dan terbelenggu dalam tradisi, agama
dan kepercayaan yang berbeda. [9] Perbedaan tersebut dipahami dan dihayati dengan kesucian
hati dan kemurnian pikiran, kemudian diterapkan dalam sebuah ungkapan filosofis Ngone O'Ria
Dodoto yang bermakna satu ibu satu kandung. [8] Konsekuensi dari falsafah Nanga Tau
Mahurete dan Ngone O'Ria Dodoto adalah lahirnya sebuah komunitas asli Halmahera Utara
daratan maupun kepulauan dalam satu kesatuan yang teridentifikasi sebagai komunitas Hibua
Lamo dan kemudian disimbolkan dalam rumah adat Himua Lamo.
[8]
Dalam konteks ini komunitas Tobelo, Galela, dan Loloda mengalami proses penyatuan
dalam satu sosiokultural baru yang dinamis. [8] Sosiokultural ini berlandaskan pada nilainilai O'dora (saling kasih), O'hanyangi (saling sayang), O'baliara (saling
peduli), O'adili (perikeadilan) dan O'diai (kebenaran) dalam bingkai Nanga Tau
Mahurete dan Ngone O'Ria Dodoto. [8]
Arumbae adalah bentukan karakter masyarakat Maluku, baik yang tinggal di pesisir
maupun di pegunungan. [9] Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam masyarakat
Maluku. [9] Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari terbentuknya suatu
masyarakat. [9] Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar - dalam mitos Barsaidi meyakini bahwa
leluhur mereka tiba di pulau Yamdena setelah melewati perjuangan yang sulit di
lautan. [9] Perjuangan melintasi lautan merupakan sejarah keluhuran.
[1]
dari pulau Seram, pulau Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari
cerita keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru, Ambon, Lease, dan Maluku
Tenggara. [1] Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan Pela Gandong antar
negeri. [1] Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya
terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan.
[1]
Secara filosofis,
maknanya ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang
dalam menghadapi tantangan untuk menyongsong masa depan yang gemilang.
[1]
Laut adalah medan penuh bahaya dan Arumbae menstrukturkan cara pandang bahwa laut
adalah medan kehidupan yang harus dihadapi. [1] Itulah sebabnya, masyarakat Maluku melihat
laut sebagai jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau
lainnya. [1] Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong bertujuan untuk mengeratkan
jalinan hidup orang bersaudara sebagai pandangan dunia orang
Maluku. [1] Kebiasaan papalele, babalu,maano, dan konsekuensi berlayar ke pulau lain, membuat
laut dan arumbae sebagai simbol perjuangan ekonomi.
Arumabe tampak dalam beragam karya seni.
[1]
[1]
[1]
[10]
[10]