Anda di halaman 1dari 10

TUGAS AKHIR

MATA KULIAH SOSIOLOGI HUKUM

Dosen: Brigjen. Pol. Dr. RM. Panggabean, SH., MH

KONFLIK PERTAMBANGAN DI MANDAILING NATAL

NAMA: AMIR HAMDANI NASUTION


NIP: 7112034

PROGRAM PASCA SARJANA JURUSAN ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA
2013

KONFLIK PERTAMBANGAN DI MANDAILING NATAL

1. Latar Belakang

Catatan Akhir Tahun 2012 dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) 1 menyebutkan
bahwa diakui atau tidak, sektor pertambangan Indonesia merupakan sektor yang paling
mengancam terhadap keselamatan rakyat. Sepanjang tahun 2012 tercatat 14 kasus yang
melibatkan aparat Kepolisian, mengakibatkan lima orang tewas 45 luka-luka dan sedikitnya 64
orang yang dikriminalisasi, serta tiga orang yang telah divonis bersalah 9 bulan hukuman
penjara. Belum ribuan lainnya yang ruang hidupnya terancam atau kehilangan rasa aman.
Pemerintah menggadang-gadang pertambangan sebagai pilar penopang pertumbuhan
ekonomi. Segala fasilitas tertuju untuk memuluskan sektor ini berdeyut kencang. Bak gayung
bersambut, Indonesia disebut-sebut akan mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 6,3% di tahun
2013. Laporan terbaru Bank Dunia menyebutkan hal itu bisa dicapai karena terdorong oleh
investasi, konsumsi pemerintah dan publik.
Senada dengan data Badan Koordinator Penanaman Modal Nasional (BKPMN) 2012,
sektor pertambangan masih menjadi tujuan utama penanaman modal asing langsung. Menurut
ekonom Bank Dunia, Indonesia harus menjaga dan meningkatkan aliran masuk investasi asing
karena investasi dan konsumsi publik menjadi motor pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013.
Sektor pertambangan Indonesia di tahun 2013 dipastikan akan meningkatnya laju komodifikasi
hutan menjadi konsesi tambang dengan luasan gigantik dan melibatkan modal asing.
Salah satu konflik pertambangan yang mengemuka akhir-akhir ini adalah konflik
pertambangan di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara. Konflik yang terjadi
tidak terlepas dari kehadiran PT Sorik Mas Mining. PT Sorik Mas Mining (SMM) adalah
perusahaan tambang emas dengan wilayah kontrak karya yang dikeluarkan oleh Pemerintah
1

Jatam adalah Jaringan organisasi non pemerintah (ornop) dan organisasi komunitas yang memiliki
kepedulian terhadap masalah-masalah HAM, gender, lingkungan hidup, masyarakat adat dan isu-isu keadilan sosial
dalam industri pertambangan dan migas. Beralamat di Jl. Mampang Prapatan IV No. 30B RT 008 RW.002 - Jakarta
Selatan 12790 Telp/Fax 021-7997174

Pusat berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal, persisnya di Kecamatan Kotanopan, Muara


Sipongi, dan Ulupungkut dengan area kontrak seluas 24.300 Ha. Sementara seluas 41.900 Ha
yang lain terletak di Kecamatan Siabu, Bukit Malintang dan Panyabungan Utara. Sebanyak 75%
saham PT SMM dimiliki Sihayo Gold Limited (http://www.sihayogold.com/view/home/) dan
25% sisanya oleh PT Aneka Tambang.
Area kontrak PT SMM sebagian besar berada di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG)
yang merupakan area tangkapan air bagi Sungai Batang Gadis yang berperan sangat penting
untuk menjaga ketersediaan air bagi 360.000 orang, 34.500 Ha sawah, serta 43.000 perkebunan
rakyat.
Bertitik tolak dari masalah diatas, maka penulis membuat makalah ini yang penulis
beri judul Konflik Pertambangan di Mandailing Natal

2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis
dan pembaca tentang konflik sosial di Kabupaten Mandailing Natal.

BAB II
PEMBAHASAN

1. KONFLIK SOSIAL
a. Pengertian Konflik Sosial

Sigit Dwi Kusrahmadi menyebutkan bahwa konflik sosial mengandung pengertian


pertentangan atau pertikaian antar pribadi, mulai dari konflik kelas sampai tingkat nasional.
Dalam kondisi konflik kelompok kepentingan akan saling bersaing dan bertikai untuk
memenangkan kelompoknya. Konflik sebagai gejala sosial yang melekat pada masyarakat
bersumber dari permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
Perubahan sosial yang timbul dalam masyarakat karena dalam masyarakat ada unsur-unsur
yang saling bertentangan. Kontradiksi ini bersumber dalam kenyataan bahwa dalam
masyarakat mengenal pembagian kekuasaan yang tidak merata, sehingga terjadi penindasan
sebagai benih konflik . Terjadinya konflik sebagai hal wajar, namun memiliki sisi positif
karena konflik dapat mendorong terjadinya perubahn sosial dalam masyarakat yang maju.
Bambang Sugeng Pusat Kajian Bencana dan Pengungsi (PUSKASI) STKS Bandung
menyebutkan bahwa beberapa ahli berpendapat bahwa konflik memiliki fungsi yang positif,
bahkan para penganut Marxisme membela pendiriannya yang cukup ekstrim, yaitu bahwa
konflik merupakan satu-satunya syarat mutlak dan eksklusif untuk mencapai kemajuan
masyarakat. Pendirian ini didukung oleh filsafat Karl Marx, yaitu filsafat materialisme
dialektik dan materialisme historis. Namun, hal ini tidak dapat diterima oleh sarjana-sarjana
non-Marxis; yang menyatakan bahwa konflik mempunyai fungsi positif (di samping fungsi
negatif), namun bukan dalam arti yang absolut. Konflik sosial yang menjadi obyek ilmu-ilmu
sosial adalah konflik sosial sebagai suatu fakta sosial, artinya sungguh terjadi dan dapat
diobservasi. Dalam konflik sosial ini melibatkan dua pihak, dan masing-masing pihak
berusaha membuat pihak lain tidak berdaya.
Teori Konflik dibangun atas dasar paradigma fakta sosial, tidak berbeda dengan
teori fungsional struktural. Namun demikian, pola pikir teori konflik bertentangan dengan

teori fungsional struktural. Tokoh teori konflik yang hasil pemikirannya secara ekstrim
berseberangan dengan teori fungsional struktural adalah Ralp Dahrendorf, diantaranya
(Ritzer,1980 : 52):
1) Menurut teori fungsional struktural, masyarakat berada dalam kondisi statis atau lebih
tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan; sedang menurut teori konflik justru
sebaliknya, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya.
2) Dalam teori fungsional struktural setiap elemen dianggap memberikan dukungan
terhadap stabilitas, sedang teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan
sumbangan terhadap disintegrasi sosial.
3) Teori fungsional struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh
norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, sedang teori konflik menilai keteraturan
yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan
kekuasaan dari atas oleh
Selain para pengikut teori konflik yang pemikirannya cukup kontras terhadap teori
fungsional struktural, ada juga ahli teori konflik yang lebih bersifat moderat dalam
hubungannya dengan teori fungsional struktural tersebut, diantaranya adalah Lewis A Coser.
Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif.
Fungsional secara positif apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok,
sebaliknya bersifat negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan
sistem nilai yang ada dalam masyarakat, konflik bersifat fungsional negatif apabila
menyerang suatu nilai inti. Dalam hal konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain,
konflik dapat bersifat fungsional positif karena akan membantu pemantapan batas-batas
struktural dan mempertinggi integrasi dalam kelompok.
Ahli lain adalah Piere Van den Berghe (Ritzer, 1980: 63). Berghe mencoba
mempertemukan kedua perspektif tersebut. Dia menunjukkan beberapa persamaan analisis
antara kedua pendekatan itu, yaitu sama-sama bersifat holistik karena sama-sama melihat
masyarakat sebagai terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lain,
serta perhatian pokok ditujukan kepada antar hubungan bagian-bagian itu. Teori fungsional
struktural maupun teori konflik, keduanya cenderung sama-sama memusatkan perhatian

terhadap variabel-variabel mereka sendiri dan mengabaikan variabel yang menjadi perhatian
teori lain. Sebagai upaya untuk mempertemukan kedua teori tersebut, Berghe beranggapan
bahwa konflik dapat memberikan sumbangan terhadap integrasi dan sebaliknya integrasi
dapat pula melahirkan konflik.
b. Konflik Pertambangan di Mandailing Natal

Konflik Pertambangan di Mandailing Natal mulai mencuat sekitar tahun 2006, yakni
masyarakat Kecamatan Ulu Pungkut Kabupaten Mandailing Natal yang terdiri dari Kepala
Desa, Ketua Badan Pemberdayaan Desa, Tokoh Adat dan Tokoh Pemuda se-Kecamatan
Ulupungkut melaksanakan pertemuan di Aula Kantor Camat Ulu pungkut untuk membuat
suatu kesepakatan bersama berupa pernyataan sikap seluruh elemen masyarakat di kecamatan
Ulu Pungkut menyangkut keberadaan Perusahaan Pertambangan PT Sorik Mas Mining (PT
SMM) dan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) di kabupaten Mandailing Natal.
Juli 2010, ratusan warga Kecamatan Naga Juang, Kabupaten Mandailing Natal
(Madina) membakar base camp PT SMM . Empat warga Naga Juang yang di rawat sempat
dirawat di Rumah Sakit Umum Panyabungan. Masing-masing bernama Hetlen Daulay
mengalami luka tembak di paha kanan. Tiga orang lainnya bernama Sepber, Langser dan
Pardede masing-masing mengalami luka robek dibagian kepala dan tangan.
Informasi yang dihimpun di lapangan, aksi pembakaran ini dilakukan warga dari
berbagai desa di Kecamatan Naga Juang dalam upaya merebut wilayah Bukit Sambung dari
pihak PT. Sorikmas Mining. Warga menginginkan kawasan Bukit Sambung dikeluarkan
pemerintah dari peta kontrak PT. Sorikmas Mining dan selanjutnya menjadi wilayah kuasa
tambang warga. Kawasan perbukitan Sambung ini mengandung serbuk emas. Lokasi base
camp yang dibakar berjarak tempuh 3 jam perjalanan kaki dari pemukiman Desa Tambiski
yang berada di kawasan berbukit. Hingga berita ini diterbitkan, kondisi di lokasi kejadian
belum diketahui secara detail.
September 2010, Masyarakat Kecamatan Naga Juang Kabupaten Mandailing Natal
(Madina) tolak keberadaan PT Sorik Mas Mining (PT. SMM). Penolakan tersebut
disampaikan masyarakat Kecamatan Naga Juang dalam dialog antara masyarakat Kecamatan
Naga Juang dengan elemen mahasiswa dan LSM seperti Walhi Sumut, tentang dampak

tambang bagi masyarakat sekitar yang digelar masyarakat Naga Juang di Desa Sarak Matua
Kecamatan Naga Juang, Kamis (5/8) malam.
Di bulan yang sama, kelompok masyarakat Batang Pungkut Green Conservation
dideklarasikan sebagai salah satu upaya resistensi dunia pertambangan di Madina. Dalam
press release, Batang Pungkut Green Conservation menuliskan;
Batang Pungkut Green Conservation (BPGC), bukanlah NGO yang didirikan
digedung ber-AC dengan harapan mendapat bantuan dana pengelolaan lingkungan
dari badan dunia atau lembaga donor lainnya, BPGC juga tidak pernah punya
niatan untuk masuk dalam NGO yang mendapat bantuan APBD apalagi ABPN.
BPGC juga tidak pernah menaburkan proposal bantuan dana kemana-mana. BPGC
tidak pernah berniat untuk menyoroti proyek-proyek bermasalah atau korupsi yang
dilakukan oleh para penyelenggara pemerintahan. Namun BPGC didirikan sebagai
reaksi masyarakat adat/ lokal/suku asli yang bersentuhan bahkan masuk dalam
wilayah kontrak karya PT. Sorikmas Mining. BPGC didirikan pada tanggal 13 Juni
2010 didesa Hutagodang setelah melihat bahwa kesepakatan tokoh adat, agama,
kepala desa, badan perwakilan desa kecamatan Ulupungkut tahun 2004 tidak cukup
sebagai penolakan atas kontrak karya tersebut, karena setelah terusir dari desa
patahajang pada tahun 2004 PT. SM terus berusaha untuk masuk Kecamatan
Ulupungkut, maka kami memandang diperlukan wadah perjuangan, itulah yang
menjadi motivasi lahirnya BPGC.2
Oktober 2010, Kepala Desa, BPD, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda dan warga Desa
Ujungmarisi, warga Desa Simpang Tolang Julu dan Desa Simpang Tolang Jae, pada hari
Minggu 24 Oktober 2010 melaksanakan rapat bersama yang bertempat di Madrasah
Islamiyah Desa Simpang Tolang Julu dan membuat kesepakat bersama bahwa menolak
aktivitas pertambangan di wilayah ini dengan alasan apapun khususnya PT SMM.
Tahun 2011, ada 13 desa di kecamatan Ulu Pungkut yang menolak kegiatan
penambangan PT SMM. 13 desa tersebut meminta kepada pemerintah Republik Indonesia
agar segera meninjau ulang dan membatalkan kontrak karya PT. Sorikmas Mining didaerah
kami.
Konflik di PT SMM mencapai puncaknya ketika ratusan warga Desa Huta Godang
Muda, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal menyerang basecamp milik
perusahaan di Dolok Sihayo pada 29 Mei 2011, sekitar pukul 11.00 WIB. Dalam aksi
penyerangan tersebut, warga membakar sejumlah aset perusahaan yang bergerak dalam

Naskah Deklarasi Batang Pungkut Green Conservation di unduh dari website


http://usirsorikmasmining.wordpress.com/2010/10/04/naskah-deklarasi-batang-pungkut-green-conservation/

penambangan emas itu. Seorang warga, Solatiah (20), tertembak oleh personel Brimob
Kompi C Tapsel.
Tim pencari fakta (TPF) bentukan DPRD Provinsi Sumatra Utara diberi waktu satu
bulan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara PT Sorikmas Mining (SM) dengan
warga Desa Huta Godang, Kecamatan Siabu.

DPRD Sumut sendiri sebelumnya

merekomendasikan pembentukan TPF untuk mencari solusi terbaik terkait konflik antara
warga dengan PT SMM. Keputusan itu diambil dalam rapat dengar pendapat yang digelar
Komisi B dan dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Sumut Saleh Bangun didampingi wakil
ketua Chaidir Ritonga dan M Affan di Medan. Rapat itu juga dihadiri Ketua Komisi B DPRD
Bustami HS beserta segenap anggota komisi, Kapolda Sumut Irjen Pol Wisjnu A Sastro,
Kepala Dinas Kehutanan Sumut JB Siringoringo, Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Mandailing
Natal Aspan Sofian, serta perwakilan manajemen PT SMM.
Selain membentuk TPF, DPRD Sumut dalam rekomendasinya juga meminta aparat
kepolisian menangguhkan penahanan terhadap warga yang ditangkap karena diduga sebagai
provokator dalam peristiwa 29 Mei itu, sementara Plt Bupati Mandailing Natal diminta untuk
dapat menenangkan warganya. Rekomendasi lainnya, DPRD Sumut juga meminta PT SM
menghentikan aktivitas menyusul berakhirnya izin eksplorasi yang telah dilakukan sejak
tahun 1998, sambil menunggu izin pinjam pakai hutan sebagai salah satu syarat untuk
melakukan eksploitasi.
November 2010, ribuan masyarakat Kecamatan Naga Juang tergabung dalam Aliansi
Forum Masyarakat Naga Juang (FMNJ) berunjuk rasa ke gedung DPRD Mandailing Natal (Madina).
FMNJ terdiri dari tujuh desa yakni Desa Banua Rakyat, Banua Simanosor, Humbang I, Sayur Matua,
Tambiski Nauli, Tambiski dan Tarutung Panjang. Ribuan masyarakat dalam pernyataan sikapnya
menyatakan, surat No 02/FMN.TT/2010 yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia tanggal
11 Oktober 2010, agar izin kontrak karya PT Sorikmas Mining ditinjau ulang di wilayah Kabupaten
Mandailing Natal, harus ditindaklanjuti. Kemudian, masyarakat Naga Juang menolak segala bentuk
kegiatan yang dilakukan oleh PT Sorikmas Mining di wilayah Kecamatan Naga Juang. Masyarakat
Naga Juang juga meminta Bupati dan DPRD Madina serta instansi terkait, agar dapat
memperjuangkan aspirasi penolakan terhadap PT Sorikmas Mining. Apabila tidak ada
penyelesaiannya, maka masyarakat akan menduduki PT Sorikmas Mining hingga keluar dari
Mandailing Natal.

Kasus kekerasan Oknum Brimob Poldasu dalam konflik ini kembali terjadi, rabu 20
Maret 2013, sejumlah personil Satuan Brimob Polda Sumatera Utara sebanyak 3 mobil colt
diesel mendatangi Gunung Sihayo, daerah lokasi perusahaan pertambangan PT Sorik Mas
Mining, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Kamis, 21 Maret 2013, menurut
pengakuan saksi dan korban, sekitar pukul 1 siang, masyarakat penambang tradisional yang
berasal dari beberapa desa di dua kecamatan yakni kecamatan Naga Juang dan kecamatan
Panyabungan Utara, sekitar 150 orang

menuju Tor Raja Onggang atau disebut Camp

Sambung di sekitar Gunung Sihayo, diluar wilayah perusahaan perusahaan PT Sorik Mas
Mining. Kamis malam, sekitar 30 orang menyusul ke lokasi yang sama. Malam itu, seorang
petinggi Brimob menemui masyarakat seraya mengatakan bahwa masyarakat boleh
bermalam di lokasi dan melakukan aktivitas menambang.
Keesokan harinya, Jum'at, 22 Maret 2013, sekitar pukul 5 pagi, ada saksi di
perkampungan warga melihat sejumlah personil Brimob dengan menaiki 1 mobil colt diesel
dan 1 mobil berukuran kecil. Sekitar pukul 10 pagi, personil Brimob yang berjumlah sekitar
200 orang mendatangi lokasi penambangan masyarakat, kemudian masyarakat dikumpulkan
dan diberi perintah tiarap. Masyarakat dipisah menjadi 3 kelompok, tangan diikat ke
belakang dan disuruh buka baju masing-masing. Perlengkapan dan peralatan masyarakat di
ambil paksa Brimob. Menurut korban, ada yang dipukul dan ditendang. Setiap kali Brimob
mengajukan pertanyaan kepada setiap penambang, langsung dipukul. Sekitar pukul 2 siang,
warga mendapatkan foto masyarakat yang berada di sekitar Gunung Sihayo telah ditangkap
dan diperlakukan dengan tidak manusiawi. Tidak terima dengan perlakuan tersebut, warga
yang di perkampungan memblokir Jalan Lintas Sumatera di desa Jambur Padang Matinggi,
Kecamatan Panyabungan Utara. Masyarakat menuntut agar keluarga mereka yang ditangkap
segera dibebaskan. Sekitar pukul 4 sore, masyarakat penambang yang ditangkap kemudian
dilepas dan dibawa ke lapangan helikopter sekaligus diberi pengarahan oleh seorang petinggi
polres Madina. Setelah melewati perjalanan 2 jam lebih dari lokasi kejadian, masyarakat
sampai ke kampung masing-masing sekitar pukul 7 malam. Seusai mengetahui keluarga
mereka sudah pulang, pemblokiran Jalan Lintas Sumatera berakhir sekitar pukul 20.00 WIB.

c. Akibat konflik
Efek dari konflik ini adalah sebagai berikut :

Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dunia pertambangan dan sistem


otonomi daerah.
Meningkatnya sikap tindakan masyarakat yang cenderung mengganggu ketertiban
umum seperti pemblokiran jalan raya.
Rentan dipolitisasi oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan dan agenda jangka
pendek.
Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.

d. Penyelesaian Konflik
Sampai hari ini, belum ada niat baik dari Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan
konflik ini. Pemerintahan Daerah Kabupaten Mandailing Natal juga terkesan tutup mata
dengan konflik yang telah mulai mengarah ke anarkisme.

Anda mungkin juga menyukai