Anda di halaman 1dari 2

Sumpah Pemuda dan Turbulensi Intelektual

Kaum Muda
Paul Randjang
Negara Indonesia baru saja mempringati hari sumpah pemuda ke-91. Dengan usungan tema
’’Bersatu Kita Maju’’, peringatan sumpah pemuda kali ini bukan menjadi satu acara seremonial belaka,
tetapi mengandung suatu peryataan politik yang menyatukan bangsa. Pada saat yang sama, peringatan
ini mengingatkan kita akan sejarah perjuangan seluruh elemen pemuda Indonesia.
Esensi Sumpah Pemuda
Sejatinya, peristiwa sumpah pemuda 1928, mengandung nilai penghormatan besar terhadap
kiprah politis pemuda sebagai eksponen perjuangan nasional. Sumpah pemuda menjadi produk
‘’intelektual’’ sebab ia dikerangkengi oleh gagasan dan niat untuk menjadikan Indonesia satu tanah air,
satu bangsa dan satu bahasa. Spirit dasar sumpah pemuda sebagai produk ‘’intelektual’’ ini amat sentral,
sebab dalam keserentakannya kelompok pemuda ‘’dibabtis’’ menjadi agen lokomotif sejarah dan masa
depan yang berperan merancang dan membahasakan intensi politis masyarakat. Kepiawaian dalam
menekan arogansi kolonialisme dan keberhasilan menggulingkan rezim totaliter Suharto dengan aksi
menduduki gedung DPR/MPR menjadi bukti, bahwa eksistensi pemuda sangat diakui bahkan sangat
dihormati dalam panggung sejarah Indonesia (Hardiman, 2013: 12). Terbukti, bahwa kelompok pemuda
kala itu tidak menuntut materi dan popularitas. Mereka jujur memperjuangkan kemaslahatan masyarakat
dengan mengusung semangat konvergen; datang dan bersatu karena terbentuknya suatu fondasi berpikir,
yang walaupun mereka berbeda secara latar belakang tetapi berhasil menemukan satu titik kesamaan,
sebagai bangsa yang sama berkomunikasi dengan bahasa yang sama pula. Karena itu, sumpah yang lahir
secara otentik dari rahim kesadaran dan alam pikiran pemuda memungkinkan berhasilnya perjuangan
bangsa dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Turbulensi Intelektual
Jauh selepas perjuangan historisitas pemuda, tampilan perjuangan pemuda di era kekinian justru
amat kontras. Boleh dikata, pemuda kekinian mengalami turbulensi intelektual yang membawa
kedukaan bagi kehormatan ‘’sumpah pemuda’’. Kalau dulu deklarasi sumpah pemuda bermaksud
menggelorakan semangat persatuan bangsa, kini gerakan demikian dikacaukan oleh beragam narasi dan
tindakan pemuda yang kadangkala mengakibatkan kegaduhan sosial. Kemajuan teknologi dan
kemudahan mengakses informasi juga berpotensi menyesatkan kaum muda pada era tak beradab. Hal
ini beralasan mengingat jamaknya warganet memviralkan status yang berbau SARA, hoaks dan gagasan
provokasi. Di sisi lain, kalau dulu kristalisasi sumpah pemuda menjadi sebuah pernyataan politik yang
menyatukan bangsa, kini upaya demikian dikhianati oleh perilaku pemuda yang mengejar kenikmatan

1
eksistensialisme semu, ‘’Materi, Popularitas dan Kekuasaan’’. Pemuda kekinian pun dengan sadarnya
masuk dalam suatu Social Engineering yang dirancang sedemikian rupa, sistematis dan terstruktur untuk
menghancurkan fondasi berpikir para pemuda penerus bangsa dengan satu tujuan untuk menghancurkan
Indonesia. Gerakan ini persis seirama dengan manuver politik Devide et Impera ala kolonial. Pada titik
ini, posisi pemerintah kadang dipertanyakan. Belakangan, pemerintah mulai menunjukkan taring
‘’totalitarianisme’’ dengan upaya pengontrolan kebenaran opini publik, kebebasan berpendapat,
keleluasaan daya kreasi dan ekspresi masyarakat (Peter Tan, 2018: 97). Ada juga pembrendelan buku-
buku kiri dan beragam batasan yang sifatnya regulasi, dan represi seperti pembubaran diskusi buku di
kampus. Dalam soal ini, spirit dasar sumpah pemuda dirintangi oleh pemerintah karena berusaha
mengambil alih diskursus publik dengan mengontrol cara berpikir masyarakat. Ada bahaya besar di
negeri ini, bahwa usaha merawat intelektualitas kaum muda dilumpuhkan oleh kebijakan yang tampak
melunturkan sumpah pemuda dan membuka paksa kunci perekat persatuan dan kesatuan.

Jalan Pulang

Sekalipun pemuda kekinian mengalami turbulensi intelektual yang serius, mereka masih memiliki
citra positif di mata publik. Hasil jajak pendapat baru-baru ini misalnya menunjukkan, bahwa jika pada
tahun 2015 ada 46,4 persen publik yang menilai positif citra pemuda, di tahun 2018 penilaian positif itu
naik 55,7 persen dan kemudian 66 persen pada tahun 2019 (Kompas, 28/10/2019). Publik juga sangat
optimis terhadap kiprah dan kemampuan pemuda dalam menghadapi persoalan bangsa lainnya, yaitu
mempertahankan pancasila sebagai ideologi bangsa, menjaga keragaman, hingga mewujudkan negara
Indonesia yang maju, berdaulat, dan disegani bangsa-bangsa lain. Dalam kaitan ini, momentum sumpah
pemuda yang baru saja diperingati pada 28 Oktober 2019, hendaknya menjadi saat tampan bagi pemuda
untuk membangun mentalitas dan moralitas yang lebih baik. Saat ini, Indonesia membutuhkan spirit
pemuda yang mampu mengkondisikan diri sebagai penggerak bangsa. Itu berarti, pemuda yang
menyandang gelar Agen of Change harus keluar dari zona nyamanya (comfort zone) dan berani
menjumpai persoalan-persoalan kekinian. Sebagaimana Filsuf Karl Raimund Popper (1902-1994)
tandaskan bahwa, we are not student of some subject matter but the student of problem (kita bukan
mahasiswa beberapa mata kuliah, melainkan mahasiswa persoalan). Inilah aktualisasi diri pemuda yang
pantas diandalkan di bumi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai