Anda di halaman 1dari 21

DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN PT FREEPORT INDONESIA DALAM PENERAPAN

COMMUNITY DEVELOPMENT PADA PROGRAM CSR TERHADAP


PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN
MIMIKA PROVINSI PAPUA
(Studi pada program LPMAK dalam pelaksanaan CSR)

Harsalim Aimunandar Jayaputra (22116019)


Program Studi Magister Rekayasa Pertambangan
Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung

Email : Harsalimjayaputra@gmail.com

ABSTRAK

Keterdapatan keberadaan mineral tembaga di Papua, merupakan salah satu modal dasar
pembangunan, dalam pengusahaannya diupayakan agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat baik secara regional Papua maupun nasional. PT Freeport Indonesia
(PT. FI), sebagai satu-satunya perusahaan tambang yang mengusahakan mineral tembaga di Papua;
secara internal, dituntut untuk meningkatkan efesiensi dalam rangka meningkatkan keuntungan
perusahaan (private return). Di lain pihak, secara eksternal keberadaan PT FI, dituntut untuk memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya terhadap pengembangan sosial ekonomi di Papua maupun nasional.
Isu strategis yang menjadi fokus bahasan dalam kajian ini adalah terkait dengan isu local content
dan koordinasi/sinkronisasi terhadap program Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan
Kamoro (LPMAK) pada CSR dalam pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan oleh PT FI. Metode yang dilakukan dalam studi ini didasarkan pada pendekatan secara kualitatif
dan kuantitatif terhadap data-data yang terkait dengan dampak yang ditimbulkan oleh suatu usaha
pertambangan yang meliputi dampak usaha pertambangan terhadap perekonomian daerah,
ketenagakerjaan, kualitas pendidikan dan pengeluaran per kapita serta program pengembangan
masyarakat (community development) yang telah dijalankan.
Hasil kajian menunjukan bahwa koordinasi program perlu dilakukan bukan hanya pada program yang
secara langsung berasal dari PTFI, tetapi juga yang melalui LPMAK. Koordinasi yang selama ini dilakukan
baik antara pemerintah daerah, PTFI dan LPMAK, juga masih belum optimal, dan ini terlihat dengan adanya
programprogram yang Tumpang tindih

Kata Kunci : Community Development, CSR,LPMAK, Pengembangan Wilayah, PT FI.

1. PENDAHULUAN
Seperti yang diketahui pertambangan merupakan salah satu sektor yang diunggulkan dalam
memberikan divisa pendapatan terhadap suatu Negara. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena
pertambangan merupakan salah satu sektor penggerak pengembangan yang saling terkait terhadap
sektor lain. Sektor pertambangan dianggap memberikan multiplier effect bagi sektor lain di sekitar
lokasi tambang yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi dalam pengembangan wilayah
setempat.
Dewasa ini Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya mineral yang terdiri dari berbagai
jenis, mulai dari mineral batuan seperti batugamping dan batubara, mineral non logam seperti, dan
mineral logam seperti nikel, tembaga, perak, besi dan emas. Hal ini menyebabkan banyak investor dari
luar maupun dalam negeri ikut mengambil bagian dalam perkembangan perusahaaan di Indonesia. Di
beberapa daerah sumbangan sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
menempati urutan teratas dan jumlah penyerapan tenaga kerja yang sangat besar.
Salah satu perusahaan yang masih eksis dan terus beroperasi di Indonesia sampai saat ini
ialah PT. Freeport yang berlokasi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua. Keberadaan mineral tembaga
di Papua, yang merupakan salah satu modal dasar pembangunan, dalam pengusahaannya
diupayakan agar dapat memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya terhadap perekonomian
nasional maupun regional. Dalam skala nasional berfungsi memberikan kontribusi terhadap
pendapatan nasional. Dalam skala regional berfungsi memberikan manfaat regional antara lain
kesempatan kerja, peningkatan pendapatan daerah, pengembangan masyarakat, penciptaan
prasarana dan sarana, memperkecil kesenjangan antar daerah, dan memecahkan masalah tumpang
tindih. Dengan demikian, keberadaan mineral tembaga di Papua dapat dijadikan sebagai titik pusat
bagi pengembangan sumberdaya alam yang ada di wilayah Papua, serta mampu menjadi penggerak
utama yang dapat mendukung dan mendorong pemanfaatan seluruh potensi yang ada integral dengan
program dan sasaran pembangunan daerah.
Lokasi PT Freeport Indonesia beroperasi di daerah dataran tinggi Tembagapura, Kabupaten
Mimika, Provinsi Papua, Indonesia. Luas wilayah kontrak karya PTFI adalah 212.950 hektar.
Kabupaten Mimika yang beribukota di Timika, terletak antara 134°31’- 138°31’ Bujur Timur dan 4°60’-
5°18’ Lintang Selatan. Memiliki luas wilayah 19.592 km2 atau 4,75% dari luas wilayah Provinsi Papua.
Kabupaten ini memiliki 12 Distrik / Kecamatan. Distrik-distrik tersebut yaitu Mimika Barat, Mimika Barat
Jauh, Mimika Barat Tengah, Mimika Timur, Mimika Timur Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika Baru,
Kuala Kencana, Tembagapura, Agimuga, Jila dan Jita. Dari 12 distrik di Kabupaten Mimika, Distrik
Mimika Barat memiliki wilayah terluas yaitu 14,87% dan Distrik Kuala Kencana sebagai distrik yang
terkecil wilayahnya, yaitu hanya 2,61% dari keseluruhan wilayah Kabupaten Mimika. Wilayah
Kabupaten Mimika memiliki topografi dataran tinggi dan dataran rendah. Distrik yang bertopografi
dataran tinggi adalah Tembagapura, Agimuga dan Jila. Distrik-distrik selain ketiga distrik tersebut
merupakan distrik-distrik yang memiliki topografi dataran rendah. Distrik Mimika Baru, Kuala Kencana,
Tembagapura dan Jila adalah distrik yang tidak memiliki pantai. Sedangkan Distrik Mimika Barat,
Mimika Barat Tengah, Mimika Barat Jauh, Mimika Timur, Mimika Timur Tengah, Mimika Timur Jauh,
Agimuga dan Jita sebagian wilayah-wilayahnya berbatasan dengan laut, sehingga distrik –distrik ini
memiliki pantai.
Gambar 1. Peta Lokasi Kab Mimika dan PT. Freeport

Keberadaan Kota Timika tidak dapat dilepaskan dari beroperasinya PTFI setelah ditanda-
tanganinya kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia pada tahun 1967 di atas wilayah seluas 10
km2 di Pegunungan Ertsberg yang secara tradisional merupakan tanah ulayat Suku Amungme.
Pada tahun 1969, saat PTFI mulai beraktifitas, Kota Timika belum ada. Pada tahun 1970 lapangan
terbang dibangun untuk mendukung aktifitas pertambangan (konstruksi dan operasional).
Yaramaya/Timika yang pada mulanya merupakan daerah kosong dijadikan sebagai tempat
penumpukan barang dan pembangunan berbagai infrastruktur untuk mendukung operasional PTFI,
termasuk kantor-kantor kontraktor yang menjadi mitra kerja PTFI. Dengan beroperasinya PTFI
bersama para mitra kerjanya di Timika, menarik minat penduduk dari luar Timika dan luar Papua untuk
mengambil kesempatan di Timika. Sejak saat itu arus migrasi ke Timika seperti dari Bugis, Makasar,
Manado, dan daerah lainnya tidak dapat dibendung lagi.
Pada tahun 1972, masyarakat di wilayah suku Amungme, yang tinggal di Lembah Waa dan Tsinga
sekitar Tembagapura dipindahkan ke daerah Yaramaya yang sekarang dikenal dengan nama Timika.
Secara khusus orang Amungme tersebut ditempatkan di daerah yang sekarang dikenal dengan nama
Kwamki Lama. Namun tidak berapa lama kemudian, terjadi migrasi spontan ke daerah ini yaitu suku
Dani, Damal, Nduga, Moni dan Ekari.
Laju pertambahan penduduk semakin pesat karena pada tahun 1984 pemerintah Indonesia
melakukan program transmigrasi dengan menempatkan orang-orang asal Jawa di daerah-daerah
yang saat ini dikenal dengan sebutan SP (Satuan Pemukiman), yang kini sudah berada di 13 lokasi.
Pada perkembangan berikutnya Timika banyak didatangi oleh para usahawan secara spontan, untuk
mengambil kesempatan berusaha hampir di seluruh sektor ekonomi. Dengan demikian Timika menjadi
semakin padat oleh penduduk dengan berbagai aktivitas sebagaimana layaknya sebuah kota.
Di Kabupaten Mimika terdapat dua suku besar yang menjadi penduduk asli Mimika, yaitu
Amungme dan Kamoro ditambah lima suku kekerabatan yang lain yaitu Dani, Damal, Moni, Ekari, dan
Nduga.
 Suku Amungme
Suku Amungme adalah suku yang tinggal di Pegunungan Tengah sekitar Puncak Carstensz
terutama Lembah Waa, Aroanop dan Tsinga yang sekarang menjadi tempat beroperasinya PTFI.
Umumnya orang Amungme bertempat-tinggal menetap pada suatu wilayah dan tidak berpindah-
pindah, mereka meninggalkan tempat permukiman hanya sekedar untuk berburu dan meramu hasil
hutan. Pekerjaan utama mereka adalah sebagai berkebun di beberapa lokasi yang tidak jauh dari
tempat tinggal. Lahan yang dijadikan areal kebun umumnya adalah lereng-lereng bukit dengan
kemiringan sampai sekitar 450. Tanaman yang dibudidayakan adalah keladi dan patatas (ubi jalar),
yang merupakan makananpokok mereka, termasuk beberapa jenis sayuran lokal serta tanaman
palawija lainnya.
Suku Amungme menganut garis keturunan dari ayah (patrileneal). Dalam Suku Amungme
dikenal keluarga inti (ayah, ibu dan anak) yang disebut ongoi amungka, dan keluarga besar mencakup
sanak keluarga, paman, bibi disebut noat amungka. Sedangkan keluarga yang lebih besar disebut ndat
amungka. Kelompok keluarga tersebut di atas bisa terdiri dari beberapa marga/klan dan pembagian
kelompok keluarga ini didasarkan pada hak ulayat, yang disebut onadal.
Masyarakat Amungme adalah masyarakat egaliter yang tidak ada pemisahan tingkatan derajat
manusia. Semua manusia diperlakukan sama, tidak ada golongan budak ataupun ningrat. Sistem
kepemimpinan dalam masyarakat juga tidak berdasarkan pada keturunan, setiap orang memiliki
kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin asalkan memiliki kemampuan. Suatu rencana
biasanya dibicarakan secara bersama dan terbuka, masing-masing individu berhak berbicara dan
mengajukan pendapat.

 Suku Kamoro
Orang Kamoro atau orang Mimika menempati wilayah yang membentang dari Potowaiburu di
sebelah Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Kaimana sampai Nakai di bagian T imur yang
berbatasan dengan Kabupaten Asmat yang merupakan wilayah ulayat Suku Asmat, dan di sebelah
Utara sampai kaki Pegunungan Carstensz yang berbatasan dengan tanah ulayat Suku Amungme.
Wilayah tempat tinggal orang Kamoro berupa daratan yang ditumbuhi dengan hutan, rawa-rawa dan
hutan mangrove. Orang Kamoro banyak yang tinggal di tepi-tepi sungai besar terutama bagian hulu,
yang berdekatan dengan hutan sagu sebagai makanan pokok mereka.
Mata pencaharian utama orang Kamoro adalah memangkur sagu, mencari ikan dan kepiting
di tepi sungai atau pantai, serta meramu dan berburu babi hutan. Hampir semua kebutuhan hidup
orang Kamoro telah disediakan oleh alam, sehingga mereka hanya mengambil saja. Berkebun bukan
merupakan kebiasaan bagi mereka dan hanya diusahakan sekedarnya untuk memenuhi kebutuhan
akan sayuran.
Garis kekerabatan orang Kamoro cenderung bilateral, yang menarik garis kekerabatan melalui
garis bapak maupun garis ibu. Namun demikian masih terdapat kelompok orang Kamoro yang
menganut sistem matrilineal atau menarik garis kekerabatan hanya dari pihak ibu. Umumnya orang
Kamoro tinggal dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari beberapa rumah besar yang dihuni
oleh beberapa kelompok kerabat yang disebut taparu. Orang Kamoro mengenal dua macam taparu
yaitu taparu besar dan taparu kecil (lihat Suparlan 2001). Taparu memegang peranan penting dalam
sistem organisasi sosial penduduk setempat. Taparu selain sebagai organisasi sosial yang
berdasarkan kekerabatan juga merupakan satu kesatuan tempat tinggal. Setiap taparu biasanya
mempunyai hutan sagu sendiri-sendiri sebagai cadangan makanan untuk anggota kelompoknya.
Setiap anggota taparu memiliki kewajiban resiprokal antara satu dengan yang lain dalam kehidupan
sehari-hari yang disebut dengan hubungan aopao. Hubungan dimana mereka wajib untuk saling
tolong-menolong dalam kesusahan dan saling berbagi bila salah satu memperoleh pendapatan yang
cukup baik.
Dengan kehadiran PTFI, beberapa wilayah tanah ulayat Suku Kamoro yang berupa
permukiman, dusun sagu, dan areal perburuan di beberapa wilayah terkubur oleh tailing atau limbah
tambang, sehingga tidak bisa ditempati sama sekali. Wilayah yang paling parah adalah 4 wilayah DAS
yang dikenal dengan istilah wilayah DAS KAMM yaitu Daerah Aliran Sungai Kamora, Aikwa, Minajerwi
dan Mawati. Adapun Suku Kamoro yang berada di wilayah ini adalah orang Kamoro dari sub-suku
Nawaripi dan sub-suku Tipuka. Kelompok Suku Kamoro dari wilayah tersebut kemudian direkolasi ke
dalam 5 wilayah permukiman/kampung, yang berada jauh dari wilayah asalnya dan dari sumber
kehidupan mereka yaitu hutan sagu dan sungai/pantai untuk mencari ikan dan karaka. Kelima
kampung tersebut adalah Nawaripi, Nayaro, Koperapoka, Ayuka, dan Tipuka. Kelima kelompok
masyarakat Kamoro ini mendapat perhatian khusus dari PTFI sebagai kompensasi dari kerusakan
lingkungan tanah ulayatnya akibat operasional tambang.

 Suku Dani
Suku Dani merupakan kelompok suku dengan jumlah yang terbesar di Papua. Wilayah Suku Dani
adalah Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya. Suku Dani dikenal sangat agresif dan sering
melakukan ekspansi ke wilayah lain. Mereka sangat dikenal sebagai para petarung yang sangat
tangguh. Dari Lembah Baliem orang Dani melakukan ekspansi ke wilayah barat masuk ke wilayah
Ilaga dan sebagian Beoga, yang merupakan wilayah tradisional Suku Damal, selanjutnya mendesak
Suku Amungme yang berjumlah sedikit dan ke bagian Selatan mendesak suku Nduga. Suku Dani juga
dikenal sebagai petani kebun yang sangat handal dan mengenal puluhan varietas patatas sebagai
makanan pokok. Pada tahun 1940-anorang Dani mulai mengenal kentang yang kemudian mereka
budidayakan. Mereka telah menggunakan berbagai peralatan yang digunakan untuk bertani seperti
tongkat galian, kapak batu, alat pengikis, pisau dari tulang kasuari, tombak kayu, panah, dan lain
sebagainya.
Sama dengan suku lain asal pegunungan, kekerabatan merupakan system organisasi sosial utama
dalam masyarakat Suku Dani. Masyarakat Dani mengenal istilah rahang bawah dan rahang atas untuk
menggambarkan keterikatan Antara satu kelompok kerabat atau marga dengan kelompok kerabat
lainnya. Setiap kelompok kerabat berpasangan dengan satu kelompok kerabat lainnya sebagai suatu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan seperti layaknya rahang atas dan rahang bawah.
Orang-orang yang terikat dalam hubungan Antara rahang atas dengan rahang bawah mempunyai
kewajiban untuk saling membantu antara satu dengan yang lain agar sistem kekerabatan bisa berjalan
dengan baik. Ikatan hubungan antara rahang atas dan rahang bawah pada masyarakat Dani di Mimika
sempat hilang, karena kesibukannnya dalam upaya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Akibatnya masyarakat Dani menjadi tercerai berai dan tidak memiliki kekuatan dalam menghadapi
kelompok lain. Saat ini hubungan kekerabatan tersebut diaktifkan kembali untuk memperkuat
solidaritas masyarakat Dani mengingat tingkat persaingan antar kelompok suku semakin tinggi.

 Suku Damal
Orang Damal tinggal di sebelah Utara dan Selatan pegunungan Carstenzs tepatnya di Beura,
kawasan yang meliputi Beoga dan Ilaga dan berbatasan dengan wilayah Suku Dani. Orang Damal
menyebut diri mereka sendiri dengan Damalme, bahasa yang mereka gunakan disebut Damalkal
(bahasa Damal) yang tidak berbeda dengan bahasa orang Amungme. Pada kawasan selatan
Carstensz orang Damal hidup tersebar di delapan lembah yang terbentang mulai dari bagian hulu
sungai Ajkwa di barat hingga bagian hulu sungai Djots di sebelah timur. Pada sisi pegunungan tengah
orang Damal hidup berbatasan dengan Suku Moni, dibagian barat dan timur berbatasan dengan Suku
Taume, sedangkan bagian selatan berbatasan dengan penduduk pantai, yaitu Suku Mimika/Kamoro.
Menurut berbagai sumber, Suku Amungme merupakan bagian dari Suku Damal yang hidup dibagian
tengah pegunungan Carstenzs. Mata pencaharian utama orang Damal tidak berbeda dengan suku-
suku asal pegunungan lainnya yaitu sebagai petani kebun dengan tanaman utama keladi dan patatas
sebagai makanan pokok. Selain itu mereka juga berburu dan meramu hasil hutan. Hewan yang biasa
dibudidayakan adalah babi, hewan ini bukan untuk pemenuhan kebutuhan protein tetapi lebih sebagai
hewan budaya yang harus ada pada setiap kegiatan adat atau keagamaan. Pada dasarnya orang
Damal tidak berbeda dengan orang Amungme baik dalam sistem sosial, kepemimpinan,
matapencaharian, bahasa, dan lain sebagainya. Bahkan orang Damal merupakan induk dari Suku
Amungme sendiri.

 Suku Nduga
Orang Nduga yang ada di Timika mengaku berasal dari Mapenduma. Mereka bermigrasi ke
wilayah Alama dan Tsinga yang merupakan wilayah Suku Amungme. Alasan perpindahan selain
mencari lahan baru untuk pertanian juga areal perburuan, tetapi tidak diketahui kapan mereka
bermigrasi ke wilayah ini. Menurut seorang tokoh masyarakat Nduga pada tahun 1940-an saat
terjadinya perang dunia II mereka sudah menempati daerah Tsinga dan Alama. Di lokasi ini terjadi
asimilasi bahasa antara orang Nduga dan Amungme. Pada tahun 1940/1950-an orang Nduga
bermigrasi kembali ke Agimuga, saat Belanda membuka daerah tersebut sebagai areal pertanian dan
perkebunan kopi. Alasan migrasi selain tertarik dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Belanda
juga karena mereka tidak tahan dengan cuaca dingin di Tsinga dan Alama. Sebagian dari mereka ada
yang melanjutkan perjalanan ke Jita daerah pantai hak ulayat Amungme. Di Agimuga inilah mereka
menerima pekabaran Injil dan belajar bercocok- tanam secara lebih baik.
Pada sekitar tahun 1960-an saat Belanda membuka wilayah Kokonaokembali mereka bermigrasi
ke wilayah orang Kamoro tapi hanya sampai kedaerah Mapuru Jaya (Distrik Mimika Timur) dan
berinteraksi dengan SukuKamoro. Di tempat inilah mereka mulai belajar makan sagu,
kemudianmeneruskan perjalanan sampai di daerah Kwamki, bersamaan dengan turunnyaorang
Amungme wilayah pegunungan ke Kwamki, maka mereka pun hidupberdampingan kembali.

 Suku Mee/Ekari
Suku Mee pertama kali ditemukan oleh seorang pilot Belanda bernama Wissel di sekitar danau-
danau yang kemudian dikenal dengan nama Paniai. Suku Mee ini tidak mengenal konsep pemberian
atau hadiah. Segala sesuatu harus disewa, dikontrak atau dipinjamkan dengan perhitungan-
perhitungan yang menguntungkan. Sama halnya dengan suku-suku lain wilayah pegunungan, hal yang
berkaitan dengan kriminal dapat diselesaikan dengan pembayaran yang dianggap setimpal. Secara
umum budaya Suku Mee tidak berbeda dengan suku lainnya yang berasal dari pegunungan
(Amungme, Dani, Damal). Suku Mee merupakan etnik kedua terbesar di Papua setelah Suku Dani.
Sama dengan suku asal gunung lainnya orang Mee/Ekari bermatapencaharian sebagai petanikebun
dengan tanaman utama patatas/ubi-jalar. Ubi jalar dalam Bahasa Mee disebut ”nota” Yang merupakan
Makanan pokok mereka. Mata-pencaharian lain adalah berburu dan meramu serta memelihara babi.
Sama dengan suku lainnya, Babi merupakan Hewan budaya Dan hewan Investasi yang sewaktu-waktu
bisa dijual bila ada keperluan uang dalam jumlah besar.

 Suku Mowi

Wilayah Suku Moni berada di bagian barat dan utara Suku Amungme. Wilayah mereka berada di
wilayah Enarotali terutama distrik Sugapa, Italipa, Agisiga, Bugalaga, Omeo, Kugapa. Di beberapa
lembah sekitar Pegunungan Carstenzs mereka berbaur dengan orang Amungme, Dani dan juga
Nduga. Dibandingkan dengan suku-suku lainnya yang ada di Mimika jumlah orang Moni paling sedikit.
Cara bicara orang Moni lebih kuat dan lebih keras dibandingkan suku lainnya di wilayah pegunungan.
Kekuatan bicara menjadi modal utama untuk melakukan negosiasi dengan pihak lain. Oleh karena
itulah oleh beberapa pihak orang Moni dianggap lebih suka bernegosiasi dibandingkan dengan
berperang.

Dibandingkan dengan kelompok suku asal pegunungan lainnya, orang Moni dianggap lebih
unggul dalam teknologi tradisional, hal ini terlihat dari keterampilan dalam memagari halaman rumah,
rajutan noken, dan anak panah yang mereka gunakan bukan sekedar fungsional tetapi juga lebih
sebagai kebanggaan bagi pemiliknya. Anak panah mereka memiliki ukiran cukup baik. Orang Moni
mengaku memiliki jiwa sosial yang tinggi. Mereka hidup saling membantu misalnya untuk membuka
kebun, mendirikan rumah atau untuk keperluan lain. Kebiasaan lain yang diakui masih dilaksanakan
adalah meminjamkan babi kepada saudara yang mendapat masalah atau sebagai pejantan untuk babi
betina saudaranya. Hal ini dilakukan untuk menjamin jika mereka menghadapi kesulitan akan
mendapat bantuan dari keluarga yang pernah dibantu. Namun setelah mereka tinggal di wilayah
perkotaan kebiasaankebiasaan tersebut diatas mulai hilang. Masalahnya Adalah segala sesuatu di
kota diukur dengan uang. Kegiatan gotong-royong misalnya apabila dianggap akan mengganggu
aktivitas mencari uang tidak akan diikuti oleh anggota masyarakat.

PT. FI sebagai salah satu perusahaan pertambangan yang menghasilkan konsentrat tembaga
dalam perannya sebagai penghasil utama penerimaan negara dan devisa dituntut untuk meningkatkan
efesiensi perusahaan dalam rangka meningkatkan kemampuan produksi dan pemasaran. Di lain pihak,
secara regional diupayakan untuk berperan serta aktif mengembangkan wilayah melalui kebijakan
bantuan pengembangan wilayah baik melalui kontribusi alokasi dana secara langsung, program
kemitraan, penggunaan input-input perusahaan dalam rangka meningkatkan produktivitas
sumberdaya local atau melalui penggunaan sarana dan prasarana perusahaan oleh masyarakat
setempat dalam rangka merangsang pengembangan sumberdaya sektor-sektor lainnya ataupun
melalui transfer sikap budaya positif.

Masalah pokok yang dihadap adalah strategi dan upaya-upaya apakah yang diperlukan dalam
memanfaatkan keberadaan PT FI, berikut sarana dan prasarananya yang ada dalam kaitannya dengan
pengembangan wilayah dan pembangunan nasional, baik ditinjau dari kepentingan perusahaan,
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam tingat kesejahteraan suku suku asli di kabupaten
Mimika. Salah satu masalah pemberdayaan di Mimika adalah pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
yang selama ini terjadi masyarakat dilakukan dengan tidak melibatkan masyarakat. Pemerintah tidak
memberikan kesempatan kepada para pelaku nonpemerintah untuk terlibat. Pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat dimaksudkan hanya untuk mendistribusikan kebijakan, program maupun
pelayanan yang berasal dari pemerintah saja dan tidak diupayakan untuk memobilisasi potensi-potensi
yang ada di masyarakat. Belum lagi permasalaan yang datang dalam bentuk protes dari berbagai suku,
seperti masayarakat Amungme dan Kamoro, terutama berasal dari suku Amungme yang mana
menurut mereka keuntungan yang diambil oleh PT Freeport tidak sebanding dengan dampak sosial-
ekonomi bagi masyarakat 7 suku terutama 2 Suku asli Amungme dan Kamoro, walaupun dalam
pelaksanaannya PTFI sudah berupaya mengurangi dampak lingkungan namun belum berhasil dalam
kesejahteraan masyarakatnya.

Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian untuk mengetahui sampai sejauhmana kontribusi
PT FI yang telah diberikan kepada kepada masyarakat, permasalahan dalam mengintegrasikan
program pengembangan masyarakat di tingkat pemerintahan dengan PT FI, serta langkah-langkah
yang diperlukan dalam upaya meningkatkan manfaat keberadaan PT FI dalam tingkat kesejahteraan
pegembangan masyarakat di Kabupaten mimika. Hasil kajian diharapkan dapat dijadikan masukan
baik bagi Pemerintah pusat, Pemerintah Daerah maupun bagi PT FI dalam upaya merumuskan
kebijakan kebijakannya.

2. METODE PENELITIAN

Studi ini mengacu untuk mengetahui bagaimana dampak kegiatan penambangan PT. Freeport
indonesia dalam penerapan community development pada program csr terhadap pengembangan
wilayah kabupaten Mimika terutama tehadap program LPMAK sekaligus untuk mengetahui
sejauhmana pelaksanaan serta langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya meningkatkan manfaat
keberadaan PT FI dalam tingkat kesejahteraan pegembangan masyarakat terutama terhadap suku
suku asli yag terkena dampak dari keberadaan PT FI di Kabupaten mimika.

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah :


 Bagaimana dampak kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia terhadap
pengembangan daerah di sekitar tambang terutama yang berdampak pada suku asli Kabupaten
mimika.
 Sejauhmana penerapan program LPMAK dalam community development pada program CSR
yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten
Mimika

Penduduk yang tinggal di sekitar wilayah operasi tambang seringkali beranggapan kegiatan
pertambangan bersifat ekslusif dan tidak adil. Mineral yang diekstraksi umumnya diekspor ke luar
daerah. Penduduk umumnya beranggapan bahwa hasil dari kegiatan tersebut hanya dinikmati oleh
perusahaan dan pemerintah pusat. Sementara dampak kegiatan pertambangan terhadap penduduk
lokal dianggap tidak ada. Saat ini isu sensitif seperti di atas harus diakomodasi dalam seluruh kegiatan
pertambangan di Indonesia. Perusahaan harus melaksanakan program pemberdayaan masyarakat
sebagai bagian dari tanggung jawab social perusahaan (corporate social responsibility/CSR) kepada
penduduk yang tinggal di sekitar wilayah tambang.

Untuk menjawab rumusan masalah yang ada, dilakukan kajian pustaka dari berbagai sumber.
Data-data untuk penelitian ini diperoleh dari data sekunder yang berasal dari studi literatur serta data-
data kuantitatif dan kualitatif yang berasal dari sumber terkait. Pengolahan data dilakukan dengan
melakukan analisis terhadap parameter kesejahteraan masyarakat seperti PDRB, tingkat
pengangguran, kualitas pendidikan dan jumlah angkatan kerja menurut lapangan pekerjaan. Untuk
analisis terhadap pelaksanaan program CSR dilakukan dengan mengevaluasi penerapan program
CSR dalam pengembangan wilayah yang dijalankan oleh perusahaan yang kemudian data tersebut
dikumpulkan dan disusun sehingga membentuk kesatuan isi yang utuh sesuai dengan masalah yang
dibahas.

Kerangka Konsep

1. Corporate Social Responsibility


CSR di Indonesia adalah definisi Suharto (2006) yang menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis
yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan
pula untuk membangun sosialekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. Dari
definisi tersebut, dapat kita lihat bahwa salah satu aspek yang dalam pelaksanaan CSR adalah komitmen
berkelanjutan dalam mensejahterakan komunitas local masyarakat sekitar.
2. Community Development
Dunham seorang pakar community development (dalam Suharto, 1997: 99) merumuskan community
development adalah usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan
masyarakat, dan mengembangkan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri.
Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasiorganisasi swadaya dan
usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan
teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.
Lebih lanjut Dunham mengemukakan 4 (empat) unsur-unsur community development sebagai berikut :

 suatu program rencana dengan suatu fokus pada total kebutuhan masyarakat desa/ kampung
 bantuan teknis
 pengintegrasian berbagai kekhususan untuk bantuan masyarakat
 suatu penekanan utama atas bantuan diri dan partisipasi masyarakat

3. Community Development dalam peranan Corporate Social Responsibility


Konsep tentang Community Development (Comdev) berhubungan dengan studi Coorporate Social
Responsibility (CSR), terkadang antara keduanya cenderung disamakan oleh banyak orang, padahal dari
konsep sendiri, ada perbedaan yang akan sangat berpengaruh pada tataran penerapannya sendiri di
lapangan. Selanjutnya dibawah ini akan kami bedakan antara konsep dari Comdev dan CSR. Pada
beberapa hal, community development dapat juga didefinisikan sebagai penguatan potensi dan peran
masyarakat untuk meraih potensi individu melalui pengorganisasian kelompok masyarakat untuk bertindak
secara kolektif guna mengontrol kebijakan, proyek, program, dan kebijakan dengan mengefektifkan peran
individu-individu dalam masyarakat. Perkembangan CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainability development). Definisi pembangunan berkelanjutan menurut The World
Commission On Environment and Development yang lebih dikenal dengan The Brundtland Comission,
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat
ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka
(Solihin: 2009).
Pengenalan konsep sustainability development memberikan dampak kepada perkembangan devinisi dan
konsep CSR selanjutnya. Sebagai contoh The Organization for economic cooperation and Development
(OECOMDEV) merumuskan CSR sebagai “Kontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta
adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian bagi pemegang
saham, upah bagi para karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan, melainkan
perusahaan bisnis juga harus meberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-
nilai masyarakat”. Lembaga lain yang memberikan rumusan CSR sejalan dengan konsep sustainability
development adalah The World Business Council for Sustainability Development. Menurut organisasi ini
CSR adalah komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk berprilaku secara etis dan memberikan
kontribusi bagi pembangunan ekonomi, sementara pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup dari
para ekerja dan keluarganya demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat secara luas (Solihin : 2009).

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis secara kualitatif dan kuantitatif
terhadap data sekunder yang diperoleh dari sumber-sumber terkait sekaligus melakukan evaluasi terhadap
program community development yang telah dilaksanakan oleh PT. Freeport Indonesia di sekitar wilayah
penambangan sehingga diperoleh sejauhmana pengaruh dan dampak yang ditimbulkan oleh PT. Freeport
Indonesia terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Berau.

3. HASIL DAN DISKUSI

Program Pengembangan Masyarakat Dari PTFI

PT Freeport Indonesia (PTFI) berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat di


Papua, khususnya di Kabupaten Mimika. PTFI merupakan satu-satunya perusahaan swasta yang
menjadi mitra Pemerintah Indonesia di Papua selama lebih kurang 50 tahun. PTFI masuk ke Indonesia
(Papua) pada saat sebagian besar masyarakat belum tahu membaca, menulis dan berhitung,
infrastruktur masih sederhana dan kehidupan masyarakat masih tradisional. Sejak kehadirannya di
Papua, PTFI telah melakukan banyak sekali aktivitas dan program bagi untuk menunjang aktivitasnya
seperti pembangunan jalan, pembangunan kota, instalasi listrik, air dan transportasi. Namun juga telah
banyak melaksanakan program-program pengembangan masyarakat, sebagai bentuk tanggung jawab
sosial perusahaan. Program-progam pengembangan masyarakat tersebut (PTFI menyebutnya
Investasi Sosial) adalah Kesehatan, Pendidikan dan Ekonomi dan pengembangan kapasitas
kelembagaan adat lokal.
Kehadiran PTFI di Kabupaten Mimika yang pada tahun 1999 menjadi Kabupaten definitive dan
sebelumnya tahun 1973-1996 masih merupakan kecamatan di Kabupaten Fak-fak, secara langsung
juga memberikan dampak kepada 7 suku masyarakat yang tinggal di area sekitar PTFI. Suku
Amungme dan Suku Kamoro adalah dua suku utama, sementara 5 suku kekerabatan di antaranya:
Suku Dani, Suku Nduga, Suku Moni, Suku Damal dan Suku Ekagi yang semuanya berdomisili di
wilayah seputar PTFI.

a. Prinsip PTFI dalam menjalankan program pengembangan masyarakat


PTFI memiliki 4 (empat) prinsip panduan dalam menjalankan program pengembangan
masyarakatnya. Prinsip-prinsip panduan ini sesuai dengan kebijakan etis, sosial dan lingkungan
FCX (Freeport-McMoRan Inc.) serta standard-standar international yang berkaitan dengan
tanggung jawab social perusahaan dari industri-industri yang bergerak di bidang pemanfaatan
sumber daya alam.
1. Beroperasi sebagai pemangku kepentingan sektor swasta. PTFI berkomitmen untuk
memberikan dampak positif bagi masyarakat. dimana mereka beroperasi.
2. Membangun keberlanjutan. PTFI berkomitmen untuk menciptakan dan mendukung program-
program yang mentransfer keahlian kepada masyarakat lokal dan menghasilkan dampak
positif yang bertahan lama, yang berkelanjutan secara mandiri bahkan setelah tambang
ditutup.
3. Menjalin kemitraan. PTFI berkomitmen untuk membentuk dan meningkatkan kemitraan yang
mendayagunakan keahlian berbagai pemangku kebijakan untuk memenuhi pengembangan
bersama yang menguntungkan masyarakat.
4. Menjadikan masyarakat sebagai mitra dan sasaran pengembangan. PTFI memprioritaskan
program-program pengembangan masyarakatnya dengan terlebih dahulu melayani
masyarakat yang menerima dampak paling besar dari operasi-operasinya. Dampak dari
program pengembangan masyarakat PTFI menyebar dari: 10 wilayah area kontrak karyanya,
2) Kabupaten Mimika, 3) Propinsi Papua dan yang terakhir 4) Indonesia.

b. Strategi keberlanjutan program dan kemitraan


Strategi yang digunakan oleh PTFI untuk keberlanjutan dan kemandirian masyarakat adalah
dengan mewariskan program-program berkelanjutan pada masyarakat sasarannya sehingga ke
depannya tidak tergantung kepada bantuan PTFI (baik secara f inansial maupun natura). Dan
konsep ini dijabarkan dalam 3 fase, yaitu :
Fase 1: dari tahun 1967-1991
Fase membangun, dimulai dari awal operasional sampai saat ini. Dimana dalam fase ini
peran PTFI dalam pengembangan masyarakat porsinya cenderung masih lebih besar.
Fase 2: mulai tahun 1992
Fase integrasi, saat ini sampai penutupan tambang. Dalam fase ini diharapkan peran mitra
lain dalam pengembangan masyarakat memiliki peran yang lebih besar dari peran PTFI.
Fase 3: tahun 2041
Fase monitoring & evaluasi, paska tambang. Dalam fase ini pemerintah dan mitra lain
dalam pengembangan masyarakat sudah memiliki peran penuh dalam pengembangan
masyarakat di Papua sementara PTFI sudah tidak mengambil peran.
PTFI juga membina hubungan dengan masyarakat dan menjalankan program-program
pengembangan masyarakatnya melalui strategi kemitraan seperti yang tecantum dalam salah satu
prinsip-prinsip panduan yang tertera diatas. Salah satu strategi yang dilakukan PTFI dalam
implementasi programprogram pengembangan masyarakatnya adalah dengan menjalin kemitraan
bersama lembaga-lembaga adat yang menerima dana dari PTFI diantaranya: LPMAK (Lembaga
Pengembangan masyarakat Amungme Dan Kamoro), Lemasa (Lembaga Adat masyarakat
Amungme), Lemako (Lembaga Adat masyarakat Kamoro) Serta Yahamak.

c. Pendanaan investasi sosial PTFI


1. Dalam menyalurkan dana program investasi sosialnya, PTFI membagi menjadi 4
penyaluran pendanaan: Dana Operasional, dana ini dikelola langsung oleh divisi Community Affair
PTFI.
Digunakan untuk mengelola program-program pengembangan masyarakat:
 Program Kesehatan
 Program Pendidikan
 Program Pengembangan Ekonomi
 Program Infrastruktur Kampung
 Program Pembangunan Kapasitas
2. Dana Kemitraan, 1% dana CSR ini dikelola oleh mitra PTFI yaitu LPMAK (Lembaga
Pengembangan Masyarakat Suku Amungme & Suku Komoro). Dana ini merupakan 1% dari Gross
Revenue PTFI sehingga jumlah besaran angka bisa berubah tergantung hasil produksi.
Mekanisme penggunaan penyaluran dana ini adalah melalui pengajuan program dan anggaran
yang diajukan oleh LPMAK. Dana kemitraan ini digunakan untuk mendanai program yang
dijalankan oleh LPMAK:
 Program Kesehatan
 Program Pendidikan
 Program Pengembangan Ekonomi
 Kegiatan adat dan keagamaan
 Dana Abadi
3. Dana Proyek, dana ini dikelola oleh Dept Non Community Affair PTFI Dana ini dgunakan
untuk mendanai :
 Institut pertambangan Nemangkawi/IPN
 Asrama Tomawin
 Komite Kontribusi
 Proyek-proyek Khusus

4. Bantuan Kelembagaan, dana yang dikhususkan bagi kegiatan-kegiatan adat dari ke 7 suku
disekitar area PTFI.
Jumlah biaya investasi sosial PTFI selama 23 tahun terakhir (1994-2003) sendiri adalah
sebesar 1,3 Milyar US Dollar, yang dikelola LPMAK melalui dana kemitraan sebesar USD 634 Juta
Dollar dan yang dikelola langsung oleh PTFI melalui dana operasional divisi pengembangan
masyarakat sebesar USD 662 Juta.

3.1 Pembiayaan Program Sosial 2014

d. Kemitraan dengan LPMAK


LPMAK merupakan salah satu mitra PTFI dalam pelaksanaan program pengembangan
masyarakat, terutama masyarakat 7 suku yang berdomisili di area sekitar PTFI di Kabupaten Mimika.
PTFI merupakan donor tunggal LPMAK untuk mengelola dana kemitraan PTFI sebesar 1% dana CSR.
Sejarah berdirinya LPMAK sendiri pun diawali dengan keinginan Presiden Soeharto untuk
akselerasi pembangunan di Papua sehingga pada tahun 1996 dibentuklah PWT2 (Program
Pengembangan Wilayah Timika Terpadu) yang diketuai oleh Ketua Bappeda Irian Jaya namun hanya
berlangsung selama 2 tahun dikarenakan hasil audit sosial yang dilakukan oleh CODE Indonesia
merekomendasikan bahwa pengelolaan program dari dana ini harus direstrukturisasi dan perencanaan
dana dibekukan sampai ada lembaga penganti.
Tahun 1999 diganti menjadi LPMIRJA (Lembaga Pengembangan masyarakat Irian Jaya) dimana
ketika LPMIRJA dibentuk PTFI harus menjelaskan kepada masyarakat mengenai pengertian dana 1%,
untuk siapa dan untuk apa dana tersebut akan digunakan. Akan tetapi penjelasan ini belum dapat
menghilangkan persepsi masyarakat yang keliru tentang pemanfaatan dana ini. Masyarakat masih
berpikir bahwadana 1% harus bisa langsung dinikmati oleh masyarakat dan mereka juga ingin
mendapatkan pelayanan sebagai peserta program sesegera mungkin. Sehingga LPMIRJA banyak
mengalami tekanan sosial dan f isik dalam mengimplementasikan program. Tahun 2002 dibentuk
LPMAK yang menjadi mitra PTFI dalam mengelola dana kemitraan 1% untuk pengembangan
masyarakat terutama masyarakat 7 suku yang berdomisili di area sekitar PTFI di Kabupaten Timika.
LPMAK sebagai sebuah lembaga non profit yang mengelola dana kemitraan PTFI memiliki struktur
kepengurusan yang diwakili oleh berbagai elemen kepentingan seperti PTFI, pemerintah, lembaga
adat dan gereja. Dengan adanya keterwakilan dari berbagai elemen seperti PTFI sebagai donor dan
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan diharapkan program-program LPMAK dapat bersinergi
dengan program-program pengembangan PTFI dan Pemerintah.

Jenis Program CSR yang dilakukan


Program-program Pengembangan Masyarakat PTFI merupakan penggerak bisnis utama dari rencana
rencana operasional PTFI dan tanggung jawab sosial PTFI terhadap masyarakat, terutama masyarakat 7
suku yang berdomisili di area sekitar PTFI untuk itu program-program yang dijalankan oleh PTFI baik
melalui dana operasional yang dijalankan divisi Community Affair PTFI atau Dana Kemitraan yang dikelola
oleh mitra PTFI, LPMAK pada prinsipnya adalah berdasarkan kebutuhan masyarakat, terutama
masyarakat 7 suku yang berdomisili di area PTFI.
Jenis-jenis program CSR yang dilakukan PTFI dan LPMAK adalah :

Gambar 3.2 Struktur Pengelola Dana Kemitraan (LPMAK)


a. Kesehatan
PTFI membangun fasilitas-fasilitas kesehatan di beberapa tempat seperti di Tembaga Pura, RS standar
internasional di Kampung Banti (Rumah Sakit Waa Banti) dan juga Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM)
di Timika. Selain itu, terdapat klinik kesehatan di Timika, yang dikelola Community Health Development
(CHD), termasuk klinik khusus penyakit TBC, klinik khusus penyakit menular seksual (karena maraknya
kasus HIV/AIDS di Papua, khususnya di Kabupaten Mimika) dan klinik khusus Malaria. Menurut informasi
yang didapatkan dari pihak PTFI, pada tahun 2014 kedua Rumah Sakit yang dikelola oleh PTFI dan
mitranya, terdapat lebih kurang 100.000 orang pasien rawat jalan dan 12.000 orang rawat inap dan
seluruhnya free of charge atau gratis. Selain itu, pasien TBC berkurang dari 7000 orang menjadi 1700
orang, dan diharapkan akan terus berkurang pada tahun-tahun yang akan datang. Program kesehatan ini
dilaksanakan secara kolaboratif antara PTFI, Pemkab Mimika dan LPMAK. PTFI dan LPMAK, juga
mendukung program Kesehatan dengan menyediakan boat klinik yang memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat mulai dari pantai Timur hingga pantai Barat dan dapat melakukan operasi kecil di atas
kapal.

b. Pendidikan
Kampanye Pendidikan masih terus digalakan di Kabupaten Mimika, dikarenakan masih banyak orang
tua dari ke 7 suku ini yang masih belum menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka.
Infrastuktur pendidikan terbaik di Papua, terdapat di Kabupaten Mimika, dan merupakan kontribusi dari
PTFI. Te l ah b an yak gedung sekolah dari tingkat SD sampai SMA di bangun di Kabupaten Mimika baik
oleh Pemerintah Kabupaten Mimika yang memiliki sentra pendidikan, PTFI dan LMPAK juga membangun
sekolah asrama Taruna Papua dengan kapasitas 1000 siswa. Konsep sekolah asrama menjadi alternatif
bagi siswa yang berasal dari kampung-kampung yang tersebar Di Kabupaten Mimika yang ingin
melanjutkan ke SMP atau SMA dikarenakan tidak tersedianya SMP atau SMA di kampung mereka. Namun
sayangnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya masih terbilang kecil terutama dikalangan
suku Kamoro yang secara budaya hidupnya komunal dan berpindahpindah. Hal Ini juga disebabkan karena
orang tua sulit berpisah dan mengirim anak-anak mereka ke sekolah asrama di Kabupaten Mimika.

c. Ekonomi
Penjelasan dari Kepala Biro Ekonomi 7 suku LMPAK menjelaskan bahwa Program-program ekonomi
LPMAK mengarah bagaimana setelah paska freport ditutup jadi lebih ke pemberdayaan masyarakat untuk
mandiri :
1. Pengembangan agribisnis
2. Ekonomi mandiri
3. Pengembangan
Tahun 2008 di tahun pertama total tabungan binaan berkisar Rp2 milyar dan meningkat thn 2014 menjadi
Rp14,2 milyar karena pengembangan oleh masyarakat sendiri. Dalam Program Pengembangan ekonomi
kampung dibuat kios kampung fungsinya menjual barang-barang kebutuhan masyarakat dan membeli
produksi masyarakat dengan menggunakan harga normal untuk menurunkan harga tengkulak. Dikelola
oleh masyarakat dan didampingi oleh mahasiswa fresh graduate (sarjana penggerak kampung) dari unipa.
Bagaimana menyiapkan kemandirian ekonomi paska tambang: sekarang sudah mulai digerakan
peternakan ayam dan telur, dahulu peternakan hanya babi. Program peternakan ayam dengan kapasitas
100.000 ekor yang yang diusahakan oleh suku Dani dan Damal. Selain itu, juga terdapat Laboratorium
inseminasi ternak babi. Ternak babi yang yang diusahakan secara tradisional, umumnya berkembang biak
sekali dalam setahun, namun dengan adanya program ini menjadi 3 kali setahun dengan 12 ekor yang
biasanya hanya 3-4 ekor. Sekarang masyarakat sudah mulai bangun peternakan ayam dengan didampingi
LMPAK dan sudah banyak yang berhasil bahkan ada yang tabungannya Rp300 juta.
Dalam bidang pertanian dan UMKM, PTFI bersama LPMAK membina beberapa koperasi. Di high land,
terdapat komoditas kopi dengan luas 100 ha yang diintroduksi ke masyarakat. Sedangkan di dataran
rendah, terdapat komiditi coklat dan di daerah pesisir komoditi kelapa (program 1001 atau 1 kampung 1000
kelapa). Baru dijalankan pengembangan industri sagu rakyat. Kerjasama dengan Unipa dan IPB untuk
memetakan potensi sagu karena 40% sagu mati sia-sia. Dibangun pabrik sagu semi modern dan juga
swasembada gula cair. Dibangun juga grosir untuk menampung hasil produksi masyarakat dan menjual
kebutuhan masyarakat dikarenakan masyarakat belum siap berkompetisi dengan pasar dan untuk
menghindari tengkulak.

d. Infrastruktur
PTFI telah berkontribusi cukup banyak dalam hal pembangunan infrastruktur di Kabupaten Mimika. Hal
ini karena PTFI hadir sebelum kabupaten Mimika terbentuk. Misalnya pembangunan jalan raya dari Kuala
Kencana hingga ke pusat kota, air bersih, bandara, fasilitas olah raga yang juga dapat dipakai untuk Pekan
Olahraga Nasional (PON), penyediaan sarana dan prasarana transportasi seperti jalan, bis dan bahkan
helicopter bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan
oleh PTFI dibagi menjadi dua, yakni pembangunan infrastruktur dataran tinggi, dan pembangunan
infrastruktur dataran rendah. Selain untuk keperluan operasional PTFI, pembangunan infrastruktur tersebut
juga sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat. Contoh pembangunan
infrastruktur di dataran tinggi adalah pembangunan lapangan terbang perintis di Oroanop, pembangunan
klinik, sekolah dan juga infrastruktur pendukung di SP 9 dan SP 12.
Selain program-program diatas, PTFI juga bekerja sama dan mendukung pengembangan Lembaga
Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) dan Lembaga Masyarakat Adat Kamoro (Lemasko). PTFI juga
membina beberapa yayasan seperti Yu Amako, yang merupakan yayasan dari masyarakat pemilik hak
ulayat dan terkena dampak langsung PTFI, Wartsing dan juga Yayasan HAM dan Anti Kekerasan
(Yahamak). PTFI juga bermitra dengan Keuskupan Mimika, Unipa, Uncen. Terdapat 70 mitra PTFI yang
terbagi menurut bidang nya seperti pendidikan, keuangan, ekonomi, kebudayaan, adat dan agama,
kesehatan, infrastruktur dan pengembangan pertanian dataran tinggi. Kontribusi PTFI terhadap
pengembangan ekonomi lokal juga sangat besar. Menurut informasi yang diperoleh dari responden PTFI,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LPEM UI tahun 2013, kontribusi PTFI terhadap PDRB
Kabupaten Mimika adalah sebesar 94%, terhadap PDRB Provinsi Papua sebesar 45% dan terhadap
Indonesia sebesar 0.8%. Biaya investasi sosial selama kurun waktu 16 tahun terakhir adalah sebesar US$
1.3 Milyar atau sekitar Rp. 17 Trilyun.

Pendekatan “bottom up” yang didasari oleh kebutuhan dan tuntutan masyarakat di Kabupaten
Mimika terutama masyarakat 7 suku sebagai pemegang hak ulayat menjadi strategi yang digunakan agar
program yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, namun masih banyak
kendala yang dihadapi PTFI dan LPMAK untuk lebih mengefektifkan program-program yang selama ini
diimplementasi terutama dalam hal perencanaan, implementasi dan monitoring, diantaranya :
1. Tidak terintegrasinya program-program pengembangan masyarakat PTFI dan LPMAK dengan
program-program pemerintah sehingga berkesan program PTFI dan LPMAK berjalan sendiri dan
kurang bersinergi dengan program pemerintah. Hal ini masih menjadi isu yang masih terjadi dan belum
ditemukan strategi penyelesaian yang tepat. Kemitraan dengan pemerintah dalam program
pengembangan masyarakat di Timika tidak dibangun berdasarkan kebutuhan bersama. sehingga
program-program PTFI dan LPMAK masih kurang bersinergi dengan program pemerintah.
2. Tidak adanya mekanisme formal dari pemerintah kabupaten untuk terlibat penuh dalam proses
perencanaan, implementasi dan monitoring programprogram PTFI Dan LPMAK. Selama ini proses
perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi program dilakukan sendiri oleh PTFI Dan
LPMAK. Bahkan dalam penyusunan rencana strategis LPMAK dibantu dengan difasilitasi oleh pihak
akademisi. Koordinasi yang terjalin antara pemerintah dengan PTFI Dan LPMAK dalam proses
perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi masih sangat minim.
3. Musrenbang yang harusnya bisa menjadi sebuah mekanisme formal untuk mensinergikan PTFI,
LPMAK dan Pemerintah Kabupaten serta menjadi forum koordinasi untuk proses perencanaan
program dan anggaran yang menyeluruh antara PTFI, LPMAK dan pemerintah Kabupaten masih
dianggap belum berfungsi dengan maksimal dikarenakan dalam forum musrenbang ini PTFI dan
LPMAK kurang mendapatkan peran untuk menyampaikan program-program yang akan dijalankan
serta mendiskusikan kemitraan antara LPMAK, PTFI dan pemerintah kabupaten dalam implementasi
program. Kepala divisi Community affair dan Kepala Biro Ekonomi 7 suku LPMAK bahkan
menginformasikan bahwa selama ini PTFI dan LPMAK diundang hanya sebagai pemantau.
4. Belum adanya mekanisme koordinasi menyeluruh dalam implementasi serta monitoring dan evaluasi
program-program PTFI dan LPMAK dengan seluruh SKPD dan Bappeda. Diakui oleh PTFI bahwa
koordinasi implementasi program baru dilakukan di tataran kecamatan. Belum ada mekanisme
koordinasi untuk implementasi dan monitoring evaluasi program di tataran Kabupaten dengan seluruh
SKPD dan Bappeda Kabupaten atau Propinsi. Kalaupun ada koordinasi tidak dilakukan dengan
pendekatan kelembagaan, melainkan melalui pendekatan personal serta good will dari para kepala
SKPD terkait.
5. Terlalu banyak kepentingan terhadap PTFI yang dibawa ke ranah pengambil keputusan, sehingga
permasalahan makin kompleks.
6. Klaim hak ulayat oleh masyarakat, misalnya masayarakat mengklaim ayahnya atau kakeknya
membantu explorasi tambang PTFI, dan mereka minta kompensasi dalam bentuk uang atau diminta
untuk diangkat menjadi karyawan PTFI dengan level atau tingkatan yang tinggi. Untuk tuntutan yang
seperti ini, cara yang digunakan untuk menghadapinya adalah dengan pendekatan per individu atau
perkeluarga. Namun apabila berkaitan dengan lingkungan, biasanya yang datang 1 kampung atau
suku. Terkadang menyebabkan operasional tambang terhenti karena terjadi pemalangan.
7. Tidak adanya mekanisme formal dalam koordinasi perencanaan, implementasi, monitoring dan
evaluasi program-program PTFI, LPMAK dengan pemerintah Kabupaten. Strategi yang dibuat oleh
PTFI dan LPMAK agar terlibat, adalah dengan menempatkan perwakilan pemerintah dalam Badan
Musyawarah (BM) dan Badan Pengurus (BP). Yang ditempatkan adalah Bupati (BM) dan Kepala
DPRD (BM) dan Ketua Bappeda Kabupaten Mimika (BP) bersama dengan PTFI sebagai lembaga
donor. Namun sayangnya perwakilan pemerintah didalam struktur ini belum bisa menjembatani
koordinasi kemitraan yang ingin dibangun oleh PTFI dan LPMAK dalam perencanaan, implementasi,
monitoring dan evaluasi program.
8. Transparansi dari pemerintah Indonesia tentang keterbukaan dana yang mereka terima dari
perusahaan-perusahaan pertambangan, tidak hanya dari PTFI. PTFI telah sepakat untuk
menyampaikan kepada publik berapa yang di-share kepada pemerintah Indonesia. Namun Indonesia
belum menjadi anggota International Council on Mining and Metals (ICMM) sehingga mereka tidak
menyampaikan secara terbuka melaporkan berapa yang diterima dari perusahaan tambang. Apabila
disampaikan secara terbuka oleh pemerintah Indonesia, maka masyarakat akan dapat memahami dan
mengerti lebih jelas dana dalam APBD yang merupakan kontribusi PTFI, dari Pusat dan lain-lain.

4. KESIMPULAN
Pada dasarnya dana yang di terima oleh masyarakat di Kabupaten Mimika sudah sangat banyak,
baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun dari PTFI. Program yang didanai dari dana-dana
ini juga sudah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui program pemberdayaan
ekonomi, pendidikan maupun kesehatan. Namun hasilnya masih kurang optimal, karena dalam
pelaksanaannya kurang koordinasi antara pemerintah dengan perusahaan, khususnya di tingkat
kabupaten. Pada tingkat kecamatan/distrik, koordinasi sudah lebih baik untuk implementasi program.
Walaupun sebenarnya untuk mengoptimalkan koordinasi dan sinerji sudah dibentuk forum, namun masih
belum berjalan secara efektif. Selain itu pemerintah daerah seharusnya berperan sebagai koordinator
pembangunan, dan perusahaan lebih mendukung program-program pembangunan yang sudah
direncanakan oleh pemerintah, bukan sebaliknya.
Koordinasi program juga perlu dilakukan bukan hanya program yang secara langsung berasal dari
PTFI, tetapi juga yang melalui LPMAK. Koordinasi baik antara pemerintah daerah, PTFI dan LPMAK, juga
masih belum optimal, dan ini terlihat dengan adanya programprogram yang Tumpang tindih.

Untuk saran terhadap program CSR yang telah diterapkan, dapat dijlalankan melalui :
a) Integrasi yang komprehensif dalam perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi akan
programprogram pengembangan PTFI, LPMAK dengan Program program pemerintah Kabupaten
maupun Propinsi. Sehingga program pengembangan masyarakat yang dilakukan di kabupaten Mimika
bisa lebih efektif dan tidak tumpang tindih. PTFI dan LPMAK Sebagai mitra pemerintah daerah dalam
pengembangan masyarakat di Kabupaten Mimika mengharapkan adanya komitmen yang besar dari
pemerintah dalam memimpin koordinasi kemitraan antara pemerintah, PTFI dan LPMAK. Masih
kurangnya inisiatif dan komitmen dari pemerintah daerah terutama dalam mengkoordinasikan
kemitraan merupakan kesulitan dan tantangan besar yang harus dihadapi oleh PTFI dan LPMAK.
b) Mekanisme yang dijadikan sistem dalam pemerintahan di Kabupaten untuk hubungan kemitraan dan
koordinasi dengan PTFI dan LMPAK dalam program-program pengembangan masyarakat. Sebisa
mungkin untuk menggunakan mekanisme yang sudah ada seperti musrenbang, namun harus
diperbaiki mekanismenya dan diikat dalam sebuah payung hukum yang mengikat seperti perda yang
dapat mengatur kemitraan dan koordinasi antara PTFI dan LPMAK dengan pemerintah. Berdasarkan
informasi dari staf PTFI yang melakukan studi banding ke Kabupaten Andara yang telah sukses dalam
mengatur kemitraan antara pemerintah kabupaten dengan perusahaan dalam setiap perencanaan dan
implementasi program yang diatur dalam perda.
c) Dibutuhkan keterbukaan terhadap penganggaran setiap program dan pembagian tugas dan tanggung
jawab yang jelas antara PTFI dan Pemkab Mimika. Misalnya, PTFI dapat mengkonsentrasikan program
pengembangan masyarakat di daerah High Land yang sulit akses, karena PTFI memiliki alat
transportasi yang mumpuni untuk mengakses daerah-daerah pegunungan sulit akses. Sedangkan
Pemkab Mimika di daerah dataran rendah yang relatif lebih mudah akses.
d) Mengoptimalkan Badan Pengurus dan Badan Musyawarah di struktur LPMAK yang merupakan
perwakilan banyak elemen seperti masyarakat, lembaga adat, pemerintah yang sebenarnya bisa
menjadi mekanisme pengawasan dan konsultative dalam program-program pengembangan
masyarakat.
e) Peningkatan kapasitas Pemerintah good governence dari level desa, distrik, Kabupaten dan Propinsi
untuk mengoptimalkan tata kelola kemitraan dengan pihak-pihak luar seperti perusahaan atau
lembaga-lembaga donor lain dalam program-program pengembangan masyarakat di Kabupaten
Timika. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan harus mengambil peran pengawasan terhadap
bantuan yang didapat dari sumber sumber lain seperti perusahaan atau lembaga untuk
mengoptimalkan pengembangan masyarakat di kabupaten Mimika.
REFERENSI

[1] Ambadar, J., 2008. Corporate Social Responsibility dalam Praktik di Indonesia. Edisi 1, Penerbit Elex
Media Computindo.
[2] Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
[3] Alkadri, Djayadiningrat HM. 2002. Bagaimana Menganalisis Potensi Daerah? Konsep dan Contoh
Aplikasi. Di dalam : Ambardi UM, Prihawantoro S, penyunting. Pengembangan Wilayah dan Otonomi
Daerah. Jakarta : Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Hlm 96 -
120.
[4] Drs. Triswan Suseno, Drs. Ridwan Saleh, Drs. Ijang Suherman, Ir. Darsa Permana ,Drs. Bambang
Yunianto Drs. Jafril dan Usep Sabur. 2015. Kajian Manfaat Pt.Freeport Indonesia Bagi Papua.
Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral Badan Penelitian Dan Pengembangan Teknologi
Mineral Dan Batubara Pusat Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Mineral Dan Batubara.
Bandung
[5] Deliza Magdalia Faruwu. 2013. Penerapan Community Development Pada Program Csr PT Freeport
Indonesia Dibidang Ekonomi
[6] Siti Munawaroh, Riane Johnly, Pio Tinneke M. Tumb. 2013. Peranan lembaga pengembangan
masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) dalam pelaksanaan Program Kewirausahaan di
Kabupaten Mimika Papua.
[7] Soetjipto, R. 2012. Mengembangkan Sumber Daya secara berkelanjutan, Laporan Lembaga
Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro Kabupaten Mimika Papua: Affiliate of Freeport-
McMoran Copper & Gold.
[8] [2014] Laporan Tahunan PT.Freeport Indonesia, Tbk Tahun 2014.
[9] Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Mimika 2012 – 2105

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Anda mungkin juga menyukai