Anda di halaman 1dari 3

POTRET PEMBANGUNAN PESISIR DAN KELAUTAN ,TANTANGAN DAN HARAPAN1

Oleh
Leonardo Marbun
Direktur Eksekuti P3MN

Pengantar
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar, dengan panjang garis pantai
95.181 km(2), terpanjang keempat setelah Kanada, Amerika dan Rusia. Garis pantai
tersebut merupakan kontribusi yang diberikan oleh banyaknya pulau kecil maupun
besar yang menaburi 5,8 juta Km2 laut Indonesia, meliputi: perairan kepulauan atau
laut Nusantara dengan luas 2,3 Juta Km 2, perairan territorial dengan luas 0,8 juta Km 2,
dan perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2,7 juta Km 2. Sebagai negara yang
kaya raya akan sumberdaya pesisir dan laut kita memang patut berbaga diri, tapi hari
ini kebanggaan tersebut hanyalah kenangan manis, karena sebagian besar sumberdaya
pesisir dan laut telah mengalami kerusakan yang luar biasa dan terjadinya kemiskinan
pada masyarakat.
Kenyataann ini, telah menempatkan Indonesia yang dulunya dikenal sebagai
negara pengekspor ikan, berbalik menjadi pengimport untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Dalam kurun 5 tahun terakhir, kebutuhan ikan nasional melonjak hingga
lebih dari 1,2 juta ton seiring pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai 1,34%
pertahun. Krisis perikanan tidak hanya menjadi trend nasional karena badan pangan
PBB (FAO) memperkirakan total permintaan ikan dunia dan produk perikanan akan
terus meningkat. Pertumbuhan penduduk dunia yang mencapai 1,8 persen per tahun
dan meningkatnya konsumsi ikan dunia yang sudah mencapai 19 kg per kapita per
tahun membuat kebutuhan ikan dan produk perikanan sampai 8 tahun ke depan
mencapai 50 juta ton. Sementara itu, ketersediaan sumber daya perikanan global
mengalami defisit hingga 9-10 juta ton per tahun.(www.antara.co.id, 16/04/2007)
Ironisnya, pemerintah masih tetap menganggap bahwa potensi perikanan masih
cukup banyak. Bahakan pemerintah tetap membuat kebijakan-kebijakan guna
meningkatkatkan produksi perikanan. Pemerintah melakukan tekanan struktural
melalui kebijakan peningkatan produksi hasil tangkap perikanan untuk tambahan
devisa negara di luar sektor migas, dengan manipulasi data yang menyatakan bahwa
data potensi lestari sumber perikanan per tahunya ada 6,4 juta ton, padahal data
tersebut sudah kadaluwarsa. Faktanya, pendapatan nelayan tradisional menurun
drastis dari tahun ketahun karena sumberdaya ikan mengalami overfishing (kelebihan
tangkap). Penurunan hasil tangkapan nelayan kecil telah berakibat pula meningkatnya
jumlah nelayan miskin . Dari 16 juta jiwa nelayan 75 % diantaranya berada dibawah
garis kemiskinan. Ironisnya, kemiskinan ini ditanggapi oleh pemerintah dengan cara
tidak rasional melalui rencana relokasi nelayan dari tempat tinggalnya. Kemiskinan
nelayan juga semakin nyata dengan beralihnya kultur kelautan ke profesi lain seperti
menjadi tukang ojek dan buruh bangunan.
Kebijakan tersebut, juga telah berdampak berkembangnya penetras modal
(kapitalisme ) dengan memperkenalkan modernisasi perikanan tangkap dengan
berbagai jenis yang justru merusak dan menggagu kehidupan nelayan tradisional
seperti munculnya alat tangkap sejenis trawl, dll. Kebijakan padat modal lewat
pengembangan tambak udang skala besar, dengan mengalih funsikan hutan mangrove
menjadi indutri tambak skala besar. Akibatnya sebagian besar nelayan tradisional yang
1
Disampaikan pada HUT P3MN ke-13 dan Pertemuan Simpul KSM , di Desa Rugemuk 13 Juli s/d
1 Agustus 2009
2
World Research Institute (2001)
dulunya menggunakan alat tangkap sederhana tersingkirkan dengan masuknya arus
modal di pedesan pesisir dan menjadi buruh-buruh di tambak-tambak skala besar.
Perkenalan alat tangkap modern dan pengembangan tambak skala besar telah
menimbulkan bencana ekologis. Fakta nyata telah seringnya desa-desa pesisir terkena
banjir , angin puting beliung karena tergerusnya sumberdaya mangrove . Berdasarkan
cacatan Departemen Kehutanan (dephut), garis pantai Indonesia yang panjangnya
81.000 kilometer, sejatinya ditumbuhi ekosistem mangrove seluas 9,36 juta hektar
(9.361.957,59 hektar). Akan tetapi hasil identifikasi Dephut pada tahun 2000, hanya
tersisia 2,5 juta hektar (2.548.209,42 hektar) mangrove yang kondisinya tergolong
baik. Dengan demikian, areal mangrove yang rusak sudah mencapai sekitar 70 persen.
Data Departemen Kelautan dan Perikanan RI (DKP), hingga tahun 2005
menunjukkan luas tambak Indonesia hampir mencapai 800,000 hektar, dengan
rata-rata kenaikan jumlah luasan setiap tahunnya berkisar 14%. Belum lagi
peruntukan untuk usaha perkebunan dan industri. Pantas saja, bahwa kurun
waktu 10 tahun terakhir 70 persen mangrove (hutan bakau) yang berada di
seluruh pesisir Indonesia lenyap. Di beberapa daerah pesisir, kerusakan
mangrove sudah sangat parah hingga mencapai 90 persen.
Bencana demi bencana terus berdatangan di negeri ini, mulai dari Tsunami,
gempa bumi, longsor dan banjir. Bencana abrasi terjadi di lebih dari 750 desa di
wilayah pesisir Indonesia pada periode tahun 1996 hingga 1999. Bencana banjir juga
demikian, hingga tahun 1999 saja, sedikitnya 7,000 desa terkena bencana banjir,
bahkan jumlah ini semakin besar ditahun 2003 yang mencapai 12,000 desa, dimana
90% diataranya merupakan desa pesisir yang telah kehilangan ekosistem hutan
mangrove-nya. Bahkan untuk Pulau Jawa, salah satu pulau yang menjadi fokus
ekspansi industri pertambakan di Indonesia, mengalami peningkatan jumlah desa
pesisir yang terkena banjir hingga 4 kali lipat untuk periode tahun 1996 hingga 2003,
dengan jumlah 3,000 desa pesisir.
Dampak lain dari kebijakan sektor pesisir dan laut yang belum memiliki
kerangka pembangunan berkelanjutan adalah adalah rusaknya modal sosial dan
keswadayaan nelayan akibat kegagalan pendekatan kelembagaan. Terbentuknya KUD
Mina, TPI, & INTAM (intensifikasi Tambak), terkhir PEMP bukanya memberikan
keuntungan bagi nelayan kecil, malah sebaliknya yakni berkembangnya budaya
patronase dan tengkulak di desa-desa pesisir. Berkembangnya budaya patron-klien
(toke-buruh) pada masyarakat nelayan bukanlah karena nilai-nilai sosial yang
terbangun diantara sesama warga melainkan karena tidak berfungsinya lembaga-
lembaga ekonomi bentukan negara. Dengan demikian negara telah membiarkan
terjadinya kemiskinan berkelanjutan. Selanjutnya, telah terjadi pembiaran konflik
berkepanjangan antara nelayan tradisional dengan pukat harimau. Konflik tersebut
hingga hari ini tetap berlangsung dan telah banyak menimbulkan korban jiwa. Di
Pantai Timur Sumatera Utara dari tahun 1990-2005 sudah 75 orang tewas ditbarak
pukat harimau dan ratusan nelayan kehilangan peralatan tangkap.

Tantangan

Melihat kenyataan atas kondisi keberlanjutan pesisir dan laut saat ini, dan
adanya krisis golbal yang telah melanda hampir seluruh negara-negara di belahan
dunia baik krisis makanan (food), krisis keuangan (financial) dan krisis Fuel (minyak),
maka tantangan akan semaki berat. Selain itu, pemanasan global sebagai dampak
perubahan iklim, yang akan berakibat menaiknya pemukaan air laut akan berdampak
besar bagi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir. Akankah pesisir dan laut kita akan
terus digerus hanya karena kepentingan jangka pendek? Semuanya tergantung
bagaimana kita menyikapi keadaan ini. Tantang akan semakin berat, karena proses-
proses eksploitasi sumberdaya alam pesisir masih akan terus berlanjut. Saat ini
sedikitnya dua undang-undang yakni UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan
yang berdampak bagi kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir umumnya. UU No.27
tahun 2007 telah membuka ruang terjadinya pengusahaan wilayah pesisir oleh
perorangan, badan usaha dan kelompok masyarakat melalaui pemberian HP3(hak
pengusaan, pesisir dan perairan). Jika masyarakat tidak siap dan memenhai diri untuk
dapat mengakses sumberdaya pesisir dan laut, tidak tertutup kemungkinan terjadinya
peminggiran atas hak pengelolaan di wilayah pesisir oleh masyarakat. HP3
mengamantakan zonasi pemanfaatan perairan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap
dan budidaya . HP3 memberikan peluang bagi prvivatisasi sumberdaya pesisir selama
20 tahun dan dapat diperpanjang dan dialihkan kepada pihak lain. Demikian halnya
dengan hadirnya UU Perikanan yang memberikan arti perikanan sebagai kesatuan
dalam kerangka bisnis perikanan. Dengan demikian ikan yang seharusnya menjadi
sumber pangan rakyat juga tidak tertutup kemungkinan hanya dikuasai demi urusan
bisnis bukan urusan pemenuhan pangan rakyat. Pada hari-hari terakhir juga telah
muncul Peraturan Menteri No.5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap,
tertuma pasal 74 yang menuai pro kontra. Dalam pasal tersebut disebutkan adanya
kluster perikanan berdasarkaan koordinat daerah penagkapan ikan. Dengan danya
pembagian kluster ini maka nelayan tradisional akan dihadapkan dengan pengusaha
besar dalam wilayah Pengelolaan Perikanan yang sama.

Harapan

Di masa yang akan datang harapannya adalah pesisir tetap lestari, masyarakat
bisa mandiri sejahtera. Tetapi dalam mewujudkanya perlu kita bangun kepercayaan .
Fukuyama (1995) menyebut kepercayaan (trust) sebagai bentuk modal sosial.
Menurutnya, negara dengan masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi
(high-trust society) seperti Jepang dan Amerika Serikat akan mampu mencapai
keberhasilan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang kepercayaan rendah
(low-trust society) seperti Cina dan Korea. Pertanyaannya apakah masyarakat nelayan
tergolong high-trust society ?
Membangun kepercayaan bukanlah suatu hal yang mudah, karena selama ini,
kita sduah sering dihadapakan pada realita munculnya rasa indivdualisme dan
pragmatisme (kepentingan sesaat). Oleh karena itu, dalam rangka mewujudnaya
pesisir yang lestari dan masyarakat sejahtera mandiri, harsulah dibangun atas landasan
kepercayaan, antara sesama warga dan anatara pihak-pihak yang mendukung
pembangunan berkelanjutan dengan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai