Anda di halaman 1dari 12

Krisis Air Bersih Sedunia; Ekses dari Penerapan Sistem Demokrasi Kapitalis

Posted on 05/2014 by Kamila Aziza Rabiula

Gambar : http://www.4life.com

Apa jadinya hidup kita tanpa air? Pertanyaan ini mengusik pikiran saya beberapa minggu yang
lalu.Personally, I had several incidents related to running out of water during stayed at
Jatinangor.

Di kosan saya yang dulu, karena air kosan mati saya pernah pergi kuliah hanya cuci muka dan
gosok gigi, tanpa mandi, karena berbagi air yang tersisa dengan teman. Karena air kosan mati,
saya pernah terpaksa nebeng mandi ke tempat lain. Karena air kosan mati, teman saya yang
beprinsip ‘gak mau tau pokoknya harus mandi sebelum kuliah’ akhirnya bela-belain mandilah
pake air minum aqua galon. OMG.

Di kosan yang sekarang, hal yang sama kembali terulang, dua kali di bulan Maret kemarin.
Kejadian pertama, matinya air gak terlalu kerasa dampaknya. Kejadian ke-2 bertepatan dengan
Hari Air Sedunia tanggal 22 Maret, ini rada parah. Sore hari pas saya dan seorang temen lagi
masak, air mati. Padahal lagi masak yang butuh pake air. Galon air minum kita berdua abis dan
temen-temen yang punya galon air minum belom pada balik. Jadi pake air dari kamar
mandi. Geuleuh sih tapi mau gimana lagi. Nyuci bekas masak juga ditunda dulu.

Nggak lama kemudian, ibu dan adik saya yang abis dari Bandung mampir ke kosan sambil mau
nebeng solat. Pas adzan magrib mau wudhu, airnya gak ada. Akhirnya kita rame-rame
menginvasi kosan teman yang lain buat nebeng solat. Kemudian pulanglah ibu dan adik saya
sementara saya nunggu isya biar sekalian. Udan balik kosan, lagi asik laptopan di kamar,
datanglah beberapa teman kosan rada rusuh gitu. Gak taunya mereka ngangkutin air minta dari
kosan teman yang tadi pake ember buat persediaan. Emang sih jaraknya nggak terlalu jauh, kalo
jalan paling 10 menitan, tapi hah-heh-hoh bawa embernya itu loh.

Abis tahajud, taunya giliran saya dan temen-temen yang lain yang kebagian tugas minta air
kayak tadi malem, soalnya gak cukup buat wudhu untuk sholat subuh berjamaah. Jam 4 dini hari,
masih gelap, kebetulan pada pake jilbab dan kerudung warna gelap, berjalan beriringan bawa-
bawa ember isi air, lewat trotoar jalan raya pula (soalnya kosan kita pinggir jalan raya), udah
kayak aliran pemujaan apa nggak sih? Haha..bakal inget terus deh sama kejadian itu. Menjelang
siang, air sudah menyala lagi dan kami bisa beraktivitas seperti sedia kala. Alhamdulillaah :)

Beberapa kejadian tersebut akhirnya bikin saya mikir dan pada akhirnya mengerucut pada suatu
kesimpulan bahwa kita nggak bisa hidup tanpa air. Kita memerlukan air di hampir
sebagian besar aktivitas kita; Mandi, Cuci, Kakus (MCK), masak, kebutuhan minum, dll.
Manusia bisa bertahan tidak makan selama 1 bulan, namun tak bisa bertahan 1 minggu tanpa air.
Manusia sendiri pun 60 % komposisi tubuhnya, 70 % otaknya dan 80 % darahnya adalah air.

Manfaat air, khususnya air bersih yang layak minum untuk tubuh pun jangan ditanya lagi, sangat
banyak : menjaga keseimbangan cairan tubuh, mengontrol kalori, merawat kondisi kulit, sebagai
bahan bakar pembentuk otot, membantu fungsi ginjal, meningkatkan kesegaran, konsentrasi dan
produktivitas, mengatasi kelelahan, mencegah nyeri, melancarkan BAB, melawan penyakit, dan
meningkatkan kinerja otak.

Momen mengangkut ember air dini hari itu membuat saya merasakan : Oh jadi gini ya rasanya
kesusahan mendapatkan air. Oh jadi gini ya capeknya berusaha mendapatkan air. Apa kabarnya
ya mereka yang mengalami hal seperti ini, yang bukan hanya sehari-dua hari seperti saya, tapi
sudah sekian lama bahkan menderita hanya karena air? Bagaimana kondisi ketersediaan air di
daerah konflik dan daerah-daerah yang kesulitan mendapatkan akses air bersih?

Ciliwung, Indonesia
Good water is LIFE (charitywater.org)

Children push a cart with water containers along a damaged street in Aleppo, Syria
(photo by Reuters)
People gather to get water from a well in the village of Natwarghad in the western Indian
state of Gujarat (photo by Reuters)
A resident washes clothes in a polluted pond in Xiangfan, Hubei province, China (photo
by Reuters)
Two boys fill a container with drinking water from a leaking pipe over polluted water in
Noida in the northern Indian state of Uttar Pradesh (photo by Reuters)

Gambar-gambar heart-breaking lainnya bisa dilihat di sini

Biar lebih tergambar segimana penting posisi air dalam kehidupan kita dan fakta tentang krisis
air yang sedang dihadapi dunia sekarang ini, tonton dulu video berikut yaaa..

Sudah tergambar?

Akhirnya saya mengerti kalo bukan karena betapa penting dan strategisnya ketersediaan air,
kayaknya dunia nggak perlu mempunyai satu hari khusus buat memperingatinya. World Water
Day atau Hari Air se-Dunia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 22 Maret ini nggak lain
ditujukan sebagai sarana untuk memfokuskan perhatian dunia pada pentingnya air bersih dan
advokasi untuk pengelolaan sumber daya air bersih. Hari internasional ini pertama kali secara
resmi diusulkan dalam Agenda 21 tahun 1992, Konferensi PBB tentang Lingkungan dan
Pembangunan (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil. Kemudian Majelis Umum PBB merespon
dengan menetapkan tanggal 22 Maret 1993 sebagai Hari Air Dunia pertama.
Setiap tahunnya, Hari Air Sedunia diperingati dengan tema yang berbeda-beda dan tema untuk
tahun 2014 ini, adalah “Water And Energy”. Selain itu, situs Aljazeera mempublikasikan pula
sebuah ringkasan laporan PBB yang berisikan warning bahwa dalam beberapa dekade
mendatang dunia akan menghadapi krisis ganda yang terus memburuk terkait air dan listrik.

World Water Day 2014

Mengingat hal tersebut, rasanya seperti digampar bolak-balik. Malu sekali. Saya yang tinggal di
daerah yang aksesbilitas terhadap air masih terbilang mudah dan air berlimpah, meski sesekali
ada gangguan, seringkali bersikap boros dan menghambur-hamburkan air. Mandi guyur-guyur
aja seenak jidat, nyuci baju ngebilasnya nggak kira-kira, nyuci peralatan masak dengan posisi
keran terus dinyalakan, air minum kalo nggak habis dan disimpan semalaman lantas dibuang, dll.
Sedangkan di sisi lain banyak orang-orang membutuhkan air yang sudah saya hamburkan.

Melihat kondisi seperti ini, tentu saya harus mengubah sikap. Saya nggak boleh lagi boros dan
menghambur-hamburkan air. Namun jika hanya mengubah sikap pribadi saya pikir tidaklah
cukup, rasanya harus ada upaya lain yang dilakukan. Tapi apa? Sebelum menentukan langkah
untu menyelesaikan suatu masalah, tentu kita harus mengetahui terlebih dahulu apa akar
masalahnya, sehingga solusi dan aksi yang dilakukan pun tepat sasaran dan sesuai. Jangan
sampai upaya yang kita lakukan hanya mengatasi gejala yang timbul saja, tanpa mengoreksi apa
penyebab yang sesungguhnya. Apa yang menyebabkan manusia bisa sampai kesusahan
mendapatkan akses air?

Ada teori yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah populasi manusia yang semakin
bertambah. Ledakan populasi diklaim menuntut bumi untuk bekerja lebih keras sehingga bumi
tidak lagi mampu atau terbatas untuk memenuhi seluruh kebutuhan manusia sebagaimana
mestinya (baik itu pangan termasuk akses air). Alasan tersebut membawa kita pada sebuah solusi
yakni pembatasan populasi melalui KB dan kebijakan 2 anak cukup untuk membiarkan bumi
bisa ‘bernafas’ dan tetap bisa memenuhi kebutuhan manusia. Terus terang, tori tersebut banyak
menimbulkan tanda tanya bagi saya, apalagi setelah membaca terjemahan ayat berikut, rasanya
sangat kontradiktif :

“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah
rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis)
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (TQS. Hud [11] : 6)
Allah telah menjamin rezeki semua makhluk. Semua. Tidak terkecuali. Air disini termasuk
dalam rezeki yang setiap manusia seharusnya bisa untuk mendapatkannya. Terlebih dalam Islam,
air termasuk dalam golongan kepemilikan umum, milik rakyat, semua berhak mengakses tanpa
pandang bulu.

“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api “

(Hr. Abu Daud, Sunan Abu Daud, 2/596 – 952)

Tapi kenapa realitasnya hari ini, di belahan bumi yang satu ada manusia yang memiliki beribu
liter air secara berlimpah, namun disisi lain ada manusia yang setelah bekerja sekeras apapun
tetap menderita kekurangan air? Adakah Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah itu salah?
Tentu tidak. Mengingat kebenaran Al-Qur’an terjamin hingga akhir zaman, maka itu artinya
kesalahan ada pada diri manusia. Tapi apa?

Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed.” ― Mahatma
Gandhi

Akhirnya saya menemukan jawabannya. Krisis air ini terjadi tidak lain karena keserakahan
manusia. Keserakahan yang lahir dari pola pikir dan paradigma Barat yang salah, dan naasnya
pola pikir dan paradigma tersebut telah menjelma menjadi sebuah sistem kufur bernama
Sekularisme-Demokrasi-Kapitalisme; dimana sistem tersebut saat ini diterapkan hampir di
semua negara di dunia, termasuk Indonesia, dan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang keliru.
Keserakahan manusia hari ini justru telah dilegalkan oleh sistem itu sendiri.

Kapitalisme dalam bahasa arab disebut faham ro’sumaliyah (ra’sun=kepala dan maaliyah=harta)
artinya yang ada dikepala hanya harta saja. Artinya paham kehidupan yang menjadikan
standar/tolok ukur bahagia atau sengsara ada pada harta kekayaan sehingga menghalalkan segala
cara untuk mendapatkannya tanpa peduli halal-haram dalam syariat Islam. Mengapa tanpa
mengindahkan syari’a Islam? Karena kelahiran Kapitalisme sendiri dibidani oleh Sekulerisme,
yang menganggap bahwa tidak ada pengaturan Islam dalam ranah publik dan negara. Paradigma
kapitalis terhadap air digagas pertama kali oleh pihak barat dalam rangka mengusai sumber-
sumber air di negara-negara dunia ketiga.

Dalam konferensi air dan lingkungan internasional yang diselenggarakan tahun 1992 di Dublin
Irlandia, dicetuskan The Dublin Statement on Water and Sustainable Development (yang lebih
dikenal dengan Dublin Principles, dan dimana Indonesia juga turut meratifikasinya), disebutkan
bahwa salah satu dari prinsip dalam Dublin Principles itu adalah “water has an economic value
in all its competing uses and should be recognized as an economic good”. Prinsip ini telah
mengubah paradigma terhadap air yang sebelumnya dianggap sebagai barang sosial menjadi
barang ekonomi dan komoditi yang bisa diperjual-belikan. Apa yang terjadi? Manusia berlomba-
lomba memiliki air dengan tujuan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan, tapi
juga dijadikan sebagai mesin penghasil uang. Kondisi ini
diperparah dengan diterapkannya sistem politik demokrasi, dimana sistem tersebut berdiri diatas
4 pilar, yang salah satunya adalah kebebasan kepemilikan. Ya, lo bebas memiliki apapun yang lo
mau, asal lo punya uang. Kebijakan privatisasi dan swastanisasi air yang dilegalkan oleh
pemerintah yang juga liberal dan kapitalistik pun akhirnya tak bisa dihindarkan. Air yang
sebenarnya cukup digunakan oleh semua makhluk (ingat Allah pu menjamin hal ini), akhirnya
tidak terdistribusi secara merata karena terpusat pada mereka yang berkepala uang tadi. Have
money, have water. No money, no water. Akhirnya pihak yang terkena imbasnya adalah
umat, especially the poor.

(A book title) The Age of Commodity : Water Privatization in


Southern Africa

Ditambah dengan proses pemanfaatkan air yang cenderung boros, kurang efektif dan efisien
serta pengolahan limbah yang tak sesuai standar baik itu limbah industri, pertanian, penduduk,
dll (karena prinsipnya nggak mau ribet ngolah, pokoknya maunya untung/manfaatnya aja yang
sebesar-besarnya, sedangkan untuk pengeluaran dalam pengelolaan limbah ditekan sekecil-
kecilnya) menyebabkan pemborosan air dan meningkatnya polutan, baik yang berefek langsung
kepada air, atau polutan udara, tanah, dll yang berefek tak langsung terhadap perubahan iklim
dan siklus ketersediaan air. Efeknya? Persediaan air bersih semakin menipis, dan air bersih yang
tersisa turut tercemar juga oleh polutan limbah. Inilah yang menyebabkan krisis air sedunia,
terutama air bersih, terjadi. Masih belum percaya? Tonton video berikut ini sampai beres..

Banyak pihak yang prihatin dengan kondisi krisi air sedunia ini akhirnya turun tangan untuk
menyelesaikan masalah. Tentu hal ini patut diapresiasi. Namun sayang, kerangka berpikir yang
digunakan masih menggunakan paradigma sekularisme-demokrasi-kapitalisme sehingga solusi
yang dihasilkan bersifat parsial dan pragmatis, tidak menyelesaikan masalah hingga ke akar.
Masalah krisis air sedunia ini didefinisikan sebagai kurangnya sumber/alat pemuasan (air itu
sendiri) untuk berbagai kebutuhan yang terus bertambah seiring bertambahnya populasi manusia.
Sehingga solusinya merujuk pada peningkatan produksi saja.

Sesungguhnya, solusi yang tepat untuk masalah ini bukanlah kurangnya alat pemuas dan
bertambahnya kebutuhan, melainkan pada pendistribusian kekayaan di antara manusia. Allah
SWT menciptakan manusia di bumi ini, dan di bumi ini pula Allah menciptakan kebutuhan
hidupnya. Allah SWT memberitahukan bahwa Allah telah menempatkan di bumi ini alat pemuas
yang cukup bagi semua manusia yang ada, sehingga tidak akan ada masalah jika
pendistribusiannya baik.

Katakanlah: ‘Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua
masa, dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb
semesta alam’. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam
empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (TQS.
Fushshilat [41] : 9-10).

Berbanding terbalik dengan Islam, Islam memposisikan air sebagai harta milik umum, bukan
sebagai barang komersial, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya :

”Kaum muslimin itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api”. (HR Abu
Dawud).
ISLAM; our way of life

Inilah paradigma pengelolaan sumber daya air dalam Islam. Konsekuensinya, penguasa tidak
memiliki hak sedikitpun untuk mengambil sumber air dan menyerahkan pada individu tertentu.
Penguasa hanya diberikan tanggung jawab dan kewenangan mengelolanya agar terpenuhi
kebutuhan air bersih bagi seluruh masyarakat. Berdasarkan paradigma tersebut, maka Islam tidak
akan membiarkan sumber daya air dan pengelolaan industri air bersih perpipaan dikuasai oleh
korporat-korporat swasta maupun negara asing karena itu dapat mengarah pada salah satu bentuk
penjajahan asing atas negara. Islam juga melarang keras untuk membiayai pembangunan sumber
daya air melaui hutang yang mengakibatkan negara terjajah. Sebagaimana firman Allah :

“Allah SWT sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang mukmin”. (TQS An-Nisa ayat 141)

Islam memandang bahwa penguasa berhak untuk ‘memagari’ lahan-lahan konservasi yang
merupakan tempat cadangan air tanah dan wajib memulihkan fungsi-fungsi sumberdaya air yang
telah rusak sekaligus memelihara dan menjaga agar tidak rusak (An Nabhani. T. An-Nizhomul
Iqtishody fil Islam. Darul Ummah. Beirut. 2004). Islam juga memandang air sebagai salah
satu kebutuhan dasar masyarakat yang harus dapat diakses dengan mudah oleh tiap individu
masyarakat. Sehingga industri air bersih perpipaan harus dikelola secara efektif dan efisien oleh
negara sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan individu masyarakat.

Pengaturan masalah sumber daya air adalah salah satu kebijakan Islam yang terintegrasi dengan
sistem aturan lainnya berlandaskan syariat Islam. Sumber-sumber pemasukan negara dan pos-
pos pengeluarannya telah diatur sedemikian rupa sehingga mampu membiayai dan
menyejahterakan masyarakat. Selain itu, negara juga akan memberlakukan standarisasi yang
sesuai dalam masalah pengolahan limbah sehingga diharapkan tidak perjadi pencemaran
sedemikin rupa terhadap air dan lingkungan. Untuk itu maka negara harus memanfaatkan
berbagai kemajuan sains dan teknologi dan memberdayakan para pakar terkait. Melalui bidang
pendidikan baik formal maupun informal, dilakukan edukasi sejak dini mengenai pemanfaatan
lingkungan dan sumber daya alam termasuk air yang berstandarkan Islam, dan masih banyak
upaya lainnya yang akan dilakukan oleh negara baik yang bersifat preventif maupun kuratif.
Sistem inilah yang dikenal dengan Daulah Khilafah Islamiyyah yang telah terbukti dalam sejarah
mampu memberikan keamanan dan kesejahteraan kepada rakyatnya selama 13 abad abad
lamanya.

So, apa yang bisa kita lakukan untuk segera mengakhiri masalah krisis air sedunia ini?

1. Mengubah perilaku kita yang boros dan hambur dalam menggunakan air.
2. Menyadarkan, mengingatkan, mengedukasi orang sekitar (keluarga, kawan, dll)
mengenai pembiasaan penggunaan air yang tidak hambur dan boros.
3. Boleh atas nama personal/individu jika mau menyumbang atau mendonasikan uang untuk
organisasi yang concern menangani masalah tersebut. Tapi ingat hal tersebut bukanlah
solusi utama dan tidak menyelesaikan akar permasalahan, namun hanya langkah taktis
dan jangka pendek untuk membantu saudara-saudara kita di luar sana yang membutuhkan
akses air bersih saat itu juga.
4. Ikut memperjuangkan diterapkannya kembali syariah dalam naungan Khilafah yang
menjadi solusi tuntas masalah krisis air sedunia. Karena hanya ketika berhukum dengan
hukum Allah SWT lah dan menerapkan aturan Allah secara menyeluruhlah, umat bisa
mendapatkan berkah dan ridho-Nya.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman & bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit & bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

(TQS. Al-A’raf ayat 96)

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
Berkatalah ia: “Ya Robbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta,
padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?”. Allah berfirman: “Demikianlah, telah
datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini
kamu pun dilupakan”.

(TQS. Thaha ayat 124-126)

Wallahu a’lam bishawab.

Anda mungkin juga menyukai