PENDAHULUAN
1.3. Sasaran
Kawasan perairan kecamatan liukang tuppabiring utara dan selatan
1.4. Keluaran
Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah
Adanya data dan informasi mengenai lokasi yang layak untuk dijadikan tempat
pemasangan rumpon
Adanya kajian lokasi yang layak untuk dijadikan tempat pemasangan rumpon
Adanya peta lokasi yang layak untuk penempatan rumpon
1.5. Dampak
Dampak dari kegiatan ini adalah tersedianya informasi lokasi yang layak untuk
penempatan rumpon bagi masyarakat sehingga dapat meningkatkan hasil tangkapan
mereka.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Rumpon atau payao adalah alat pengumpul ikan (Fish Aggregating Device)
(Asikin 1985). Alat ini banyak digunakan untuk memikat ikan sehingga berkumpul di
dekitarnya. Rumpon tradisional telah digunakan oleh nelayan Indonesia dan Filipina
sejak awal tahun 1900 an. Rumpon tersebut terbuat dari rakit bamboo dan material lain
yang berfungsi memikat kelompok ikan dan dipasang menetap dengan menggunakan
jangkar dan tali dari bahan alami. Rumpon modern mulai dikembangkan sejak tahun
1979 oleh NOAA (National Oceanographic and Atmospheric Administration) di Hawaii,
American Samoa, Guam dan CNMI untuk membatu perikanan skala kecil dalam
menurunkan biaya bahan bakar dan meningkatkan hasil tangkapan ikan pelagis penting
dan mengurangi tekanan penangkapan pada wilayah terumbu karang (Anderson and
Gates 1996.
Prinsip kerja rumpon telah lama dikenal oleh masyarakat. Telah lama diketahui
bahwa ikan-ikan pelagis ternyata tertarik kepada benda-benda asing yang terapung
apung di permukaan laut. Selain ikan pelgis ternyata ikan demersal juga tertarik pada
benda asing disekitarnya (Furevik 1994). Dan bahkan sebutir buah kelapa yang hanyut
di pesisir pantai sering diikuti sambil bernaung oleh ikan kakap (Lutjanus fulfiflamma)
(Assir 2012).
Tali jangkar adalah bagian yang termahal pada rumpon, sehingga semakin
dalam perairan akan semakin mahal biaya yang dibutuhkan untuk pemasangan
rumpon. Di laut jawa kondisi kedalaman perairan maksimal hanya 200 m sedangkan di
perairn Indonesia bahagian timur umumnya sangat dalam (> 1000 m) sehingga
pemasangan rumpun cenderung ke dekat pesisir pulau. Menurut Gates et al (1998),
rumpon yang dipasang pada kedalaman kurang dari 500 m kurang efektif dalam
mengumpulkan tuna. Kedalaman yang ideal untuk rumpon tuna berkisar antara 1000 –
2000 m.
a. Salinitas perairan
Umumnya ikan pelagis besar menyenangi salinitas perairan laut lepas yaitu 30-
35 ppt, sehingga salinitas perairan laut lepas di Indonesia bukan merupakan kendala.
Namun menurut Mallawa (2012) cakalang di Teluk Bone jarang tertangkap pada musim
hujan karena salinitas perairan Teluk Bone menurun.
b. Suhu perairan
c. Kesuburan perairan
Perairan yang subur dikarenakan adanya tersedia unsur hara yang dapat
digunakan oleh tumbuhan makro (alga) maupun tumbuhan renik (fito plankton) untuk
berkembang biak sehingga pada perairan tesebut tersedia tumbuhan makro dan renik
yang melimpah. Tumbuhan tersebut merupakan makanan bagi ikhtioplankton dan dan
zooplankton yang akan menjadi makanan bagi ikan-ikan yang berukuran lebih besar.
“upwelling” dapat terdeteksi melalui suhu permukaan perairan yang lebih rendah
karena air yang naik dari dasar perairan bersuhu lebih rendah dari periran yang ada di
permukaan. Selain itu lokasi “upwelling” dapat diperkirakan berdasarkan kontur dasar
perairan yang berbentuk miring (slope). Pada daerah tersebut, air yang bergerak
menabrak slope tersebut akan dibelokkan ke atas sehingga air akan bergerak ke
permukaan laut.
Angin dengan kecepatan lebih dari 15 mil/jam akan sangat menghambat operasi
penankapan di rumpon. Oleh sebab itu sebaiknya di lokasi lokasi penempatan rumpon
terdapat tempat yang aman untuk berlindung pada kondisi angin kencang ayng
mungkin dating tiba-tiba. Rumpon sebaiknya dioperasikan pada akhir musim barat agar
terdapat kondisi peairan yang tenang cukup panjang.
Berdasarkan penelitian tuna biasanya bergerak dari rumpon sejah 4 mil sebelum dia
kembali ke rumpon semula sehingga disarankan jarak optimum antar rumpon yang
dapat memberikan hasil yang baik adalah 10 mil.
Ikan-ikan yang menjadi target bagi rumpon pelagis adalah ikan-ikan pelagis
besar, misalnya cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis),
madidihang (Thunnus albacares), Tuna mata besar (Thunnus obesus), albakor
(Thunnus alalunga) dan beberapa jenis ikan pelagis lain,misalnya lemadang
(Coryphaena hippurus) dan tenggiri (Scomberomorus sp). Selain itu ikan-ikan pelagis
kecil yang menjadi target pengumpulan, adalah kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta),
kembung perempuan (Rastreliger brachisoma), Simbula (Sardinella sirm), tembang
(Sardinella fimbriata), dan Selar bentong (Caranx crumenopthalmops).
Ikan-ikan pelagis besar datang ke rumpon untuk mencari mangsa berupa ikan-
ikan pelagis kecil, sedangkan ikan-ikan pelagis kecil datang ke rumpon terutama karena
sifat ketertarikannya pada benda asing, dan bukan karena faktor mencari makanan.
Sumbe makanan bagi ikan-ikan pelagis kecil adalah plankton yang bebas terbawa oleh
arus laut. Plankton tidak memiliki kemampuan untuk berkumpul di sekitar rumpon
karena terbawa oleh arus kemana saja, sehingga kecil kemungkinan ikan-ikan pelagis
kecil datang ke rumpon untuk mencari plankton. Ketertarikan pada benda asing dan
pada makanan) saling mendukung maka penempatan rumpon sebaiknya di tempat di
perairan yang subur (terdapat plankton yang melimpah).
Ikan tuna umumnya tertarik pada rumpon pada jarak 0 – 5 mil laut. Khusus pada
tuna sirip kuning mampu mendeteksi keberadaan rumpon pada jarak 4 – 19 km Tuna
cenderung lebih tertarik pada benda alami misalnya batang kayu tetapi perbedaan
ketertarikan pada rumpon alami atau rumpon buatan tidak signifikan,. Tuna selalu
berada di rumpon bersama dengan spesies tuna lainnya atau bersama dengan non
tuna. (Moreno et al. 2007). Tuna ekor kuning cenderung beruaya dekat pantai
sedengkan tuna mata besar beruaya lebih jauh dari pantau (Itano and Holland 2000)
Untuk mendeteksi sebaran suhu permukaan laut secara garis besar digunakan
citra NOAA yang akan menggambarkan sebaran suhu permukaan laut. Hasil dari citra
tersebut dapat dideteksi perairan mana yang memiliki suhu permukaan terendah
dibandingkan suhu perairan disekitarnya.
III. METODOLOGI PENELITIAN
JumlahPersonil
No. Klasifikasi Tenaga Ahli Kualifikasi Pengalaman
(OB)
Tenaga Ahli
1 Ahli manajemen Kelautan 1 org x 3 bln S2 Manajemen 5 tahun
(Ketua Tim) Kelautan
2 Ahli Perikanan 1 org x 2 bln S1 Perikanan 3 tahun
Tenaga Pendukung
1 Asisten Ahli Perikanan 1 org x 3 Bln S1 Perikanan 2 tahun
2. Surveyor 1 org x 10 Hari S1 Ilmu Kelautan 3 tahun
3. Kartografer 1 org x 1 bln S1 bersetifikat GIS 3 tahun
4. Tenaga Administrasi 1 org x 3 Bln SMA sederajat -
BULAN
NO KETERANGAN
I II III
1 Persiapan
2 Survey Pendahuluan
3 Analisis
Survey lokasi Fisihing
4
Ground
Pembuatan Draft
5
Laporan
6 Presentasi Laporan Akhir
7 Finalisasi Laporan Akhir
Penyerahan Laporan
8
Akhir
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Alat tangkap yang beroperasi di perairan Kepulauan Spermonde yang biasa
memanfaatkan rumpon.
Dari hasil survey yang diadakan di beberapa pulau didapatkan bahwa alat
tangkap yang beroperasi di perairan kepuauan spermonde yang berpangkalan di
sekitar lokasi tersebut didapatkan bahwa ada delapan alat yang biasa melakukan
penangkapan di perairan yang dekat dengan rumpon atau tepat pada rumpon yang
telah terpasang. Alat tangkap tersebut tertera pada table 1 berikut ini.
Pada saat penelitian ini dilaksanakan pada bulan …. Suhu perairan berkisar
antara …… - ……..,salinitas berkisar antara …… s/d ………. Kondisi tersebut masih
berada dalam kisaran toleransi ikan-ikan pelagis besar dan kecil, sehingga
pemasangan rumpon dapat ditempatkan dimana saja asalkan tidak menghalangi alur
pelayaran. Agar rumpon dapat terlihat dari kapal yang melintas sebaiknya beberapa
buah rumpon dipasang berjajar.
Perbandingan menggunakan
rumpon dengan tidak
Lebih banyak dengan
22% rumpon
Tidak menentu
Ya
89%
Tidak
Kendala lain adalah ikan-ikan yang tertangkap di rumpon cenderung lebih kecil
dibandingkan dengan ikan yang bergerak dalam kelompok. Pada umumnya ikan tuna
sirip kuning yang tertangkap di dekat rumpon adalah juvenile tuna ekor kuning yang
berumur 0 – 1 tahun, dengan panjang ke cagak 49 cm dan bobot 2,3 kg. Tuna ukuran
sedang 60 – 100 cm dengan bobot 4,5 – 20,4 kg jarang tertangkap dekat rumpon,
sedangkan tuna dengan ukuran > 100 cm dengan bobot > 20,4 kg tertangkap oleh
pancing ulur dekat rumpon pada kedalaman 160 – 280 m (Armstrong and Oliver 1996).
Menganai aturan jarak antar rumpon sejauh ini menurut nelayan belum ada yang
secara tegas menjelaskan bahwa penempatan rumpon harus dengan jarak tertentu.
Karena pada dasarnya nelayan cukup terbuka dengan nelayan lainnya untuk
menangkap ikan pada rumpon yang sama sehingga tidak ada alasan untuk mereka
membuat rumpon baru didekat rumpon yang lama.
Gambar 8 & 9. Tampilan fish finder meliputi kedalaman, titik dan potensi ikan pada
rumpon
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S.A. 2013. Degradasi stok, pengelolaan dan konservasi ikan terbang di selat
Makassar dan laut flores Sulawesi selatan. Hal 45-58. Dalam I. Burhanddin dkk.
Membangun sumber daya kelautan Indonesia: gagasan dan pemikiran guru
besar unversitas Hasanuddin. IPB Pres dan Hasanuddin University Press.
Anonimous. 1998. Indonesia: Atlas Sumberdaya Kelautan. Badan Koordinasi Survey
dan Pemetaan Nasional.
Asikin, T. 1985. Petunjuk Teknis Usaha Perikanan Payao. INFIS Manual Seri no. 13.
Direktorat Jenderal Perikanan. 26 hal.
Assir, A. 2012. Analisis desain,konstruksi dan kinerja fyke net untuk penangkapan ikan
karang ramah lingkungan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Armstrong, W.A. and C.W. Olive. 1996. Recent use of fish aggregating devices in the
eastern tropical pacific tuna urse-seine fisheries: 1990 – 1994. Administrative
report Lj-96-
02.(https://swfcs.noaa.gov/UploadedFiles/Divisions/FRD/Fishery_Monitoring/Tun
a/LJ-96-02 Text.pdf 3 Agustus 2008)
Bagur, D. 2009. Where the Fish Are: an angler’s Guide to Fish Behavior. McGraw Hill.
164 p.
Diamar, S. 2004. Penataan Ruang Berbasis Geografi Negara Kepulauan: Beberapa
Catatan. Hal.: 55-67 dalam Rais. J, dkk. (eds). Menata Ruang Laut Terpadu.
Pradnya Paramita, Jakarta.
Direktur Sumberdaya Ikan. 2012. Rencana Pengelolaan Perikanan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia 713 (RPP WPP-RI 713). Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau kecil, Jakarta.
Food Agricultural Orgnization. 2012. Anchored Fish Aggregasting Devices (FADs) for
Artisanal Fishers. Advisory note. Regional Fisheries Livelihoods Programme for
South and Southeast Asia (RFLP).
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 259 hal.
Furevik, D.M. 1994. Behaviour of Fish in Relation to Pots. P.28-44. In: Ferno, A. and
Olsen S. [eds.]. Marine Fish Behaviour in Capture and Abundance Estimation.
Fishing NewsBooks. Oxford, UK.
Anderson, J. and P.Gates. 1996. Secretariat of the Pacific Community Fish
Aggregating Device (FAD) Mannual Volume I Planning FAD Programmes
Secretariat of the Community Coastal Fisheries Programme Capture Section.
Gates, P.D, G.L.Preston, and L.B. Chapman. 1998. Secretariat of the Pacific
Community Fish Aggregating Device (FAD) Mannual Volume III Deploying and
Maintaining FAD System. Secretariat of the Community Coastal Fisheries
Programme Capture Section.
Gates, P.D, G.L.Preston, and L.B. Chapman. 1998. Secretariat of the Pacific
Community Fish Aggregating Device (FAD) Mannual Volume III Deploying and
Maintaining FAD System. Secretariat of the Community Coastal Fisheries
Programme Capture Section.
Itano, D.G. and K.N. Holland. 2000. Movement and Vulnerability of bigeye (Thunnus
obesus) and yellowfin tuna (Thunnus albacores) in relation to FADs and Natural
Aggregation Points. Aquat. Living Resour.: 213-223
Komnas Kajiskanlaut, 1998.
Mallawa, A. 2012. Aspek Perikanan dan Prediksi Tangkapan Per Unit Upaya Ikan
Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Luwu Teluk Bone, Sulawesi Selatan.
Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Marsh, J. 2006. Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis). Final Report. Monterey Bay
AquariumSeafoodWatch.(storage.montereybayaquarium.org/cr/cr_seafoodwatch/
content/ media/MBA_Seafoodwatch_Skipjack tuna report)(3 Agustus 2006)
Matsumoto, WM., R.A. Skillman and A.E. Dizon. 1981. Synopsis of Biological Data on
Skipjack Tuna, Katsuwonus pelamis. NOAA, Honolulu 92 p.
Moreno, G., L. Dagorn, G. Sancho and D. Itano. 2007. Fish Behaviour From Fisher’s
Knowledge: The Case Study of Tropical Tuna Around Drifting Fish Aggregating
Device (DFADs). Can.J. Fish.Aquat Sci. 64:1517-1528.
Ross, D.A. 1982. Introduction to Oceanography. 3rd ed. Prentice Hall, Inc. NJ. 544 p.
Wardhani, M.K. 2007. Konflik Nelayan di Selat Madura (Kajian Produk Hukum dan
Perundangan Indonesia). J. Kelautan (1): 1-37.