Anda di halaman 1dari 23

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan wilayah laut seluas
5,8 juta km2 yang terdiri dari atas wilayah territorial dengan luas 3,1 km2 dan wilayah
ZEEI dengan luas 2,7 km2. Wilayah daratan Indonesia terdiri atas 17.504 pulau dengan
garis pantai sepanjang 81.000 km (Diamar 2004). Dengan demikian sudah sepatutnya
rakyat Indonesia lebih terfokus pada pengelolaan sumberdaya laut yang hingga saat ini
belum dikelola secara optimum. Sungguhpun demikian pengelolaan yang ramah
lingkungan tidak boleh terlupakan walapun sumberdaya hayati laut yang dimiliki masih
berlimpah agar hasil yang diperoleh berkesinambungan hingga dapat dinikmati oleh
generasi mendatang.
Menurut Komnas Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut (Komnas Kajiskanlaut,
1998), potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia, di duga sebesar
6,26 juta ton per hatun, sementara produksi tahuanan ikan laut Indonesia pada tahun
1997 mencapai 3,68 juta ton. Ini berarti tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut
Indonesia baru mencapai 58,80%.
Berdasarkan data statistik perikanan tangkap tahun 2010, total hasil tangkapan
ikan di WPP-RI 713 yang meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores
dan Laut Bali, sebesar 626.000 ton, diantaranya adalah ikan-ikan pelagis kecil sebesar
252.000 ton, yang disusul oleh ikan pelagis besar 134.000 ton (Direktur Sumberdaya
Ikan 2012).
Pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia di berbagai wilayah tidak merata. Di
beberapa wilayah perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan
pemanfaatannya, sedangkan di beberapa wilayah yang lain sudah mencapai kondisi
padat tangkap atau overfishing. Salah satu penyebabnya adalah hak kepemilkan
barang publik (ikan) yang berlaku di Indonesia adalah milik bersama (common property)
yang akan berakibat terjadinya perspective Hardin (1968) dalam (Fauzi 2004) yaitu “the
tragedy of the common”. Hal tersebut akan membuat setiap orang cenderung akan
mengambil sumberdya hayati laut sebanyak-banyaknya sebelum diambil oleh orang
lain.
Rumpon merupakan salah satu alat bantu berupa pelampung atau rakit yang
terpasang secara statis atau dihanyutkan dan pada pelampung digantung untaian daun
kelapa yang berfungsi untuk memikat ikan pelagis untuk berkumpul disekitarnya (FAO
2012) dengan tujuan untuk meningkatkan hasil tangkapan dan mengefisienkan operasi
penangkapan. Alat ini mempunyai kontruksinya menyerupai pepohonan yang di
pasang (ditanam) di suatau tempat di laut yang berfungsi sebagai tempat berlindung,
mencarai makan, memijah (Ali 2013), dan berkumpulnya ikan, sehingga rumpon ini
dapat diartikan sebagai rumah ikan di laut. Selain itu rumpon juga dapat menjadi
sarana rekreasi bagi para wisatawan untuk memancing (Asikin 1985).
Kemajuan yang telah dicapai hingga saat ini mambuat rumpon telah menjadi salah
satu alternatif untuk menciptakan daerah penangkapan buatan dan manfaat
keberadaannya cukup besar sehingga nelayan dapat menghemat bahan bakar, karena
mereka tidak lagi mencari dan menangkap kelompok renang ikan dengan menyisir laut
yang luas. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dinas kelautan dan perikanan
kabupaten pangkep melakukan kegiatan survey lokasi penempatan rumpon sehingga
penempatan rumpon tersebut dapat sesuai dengan kriteria penempatan rumpon dan
memperoleh hasil yang optimal dan lestari.

1.2. Tujuan Kegiatan


Adapun tujuan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
 Melakukan survey lokasi fishing ground di perairan kecamatan liukang
tuppabiring utara dan selatan
 Mengetahui lokasi yang layak untuk penempatan rumpon
 Membuat peta lokasi penempatan rumpon

1.3. Sasaran
Kawasan perairan kecamatan liukang tuppabiring utara dan selatan
1.4. Keluaran
Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah
 Adanya data dan informasi mengenai lokasi yang layak untuk dijadikan tempat
pemasangan rumpon
 Adanya kajian lokasi yang layak untuk dijadikan tempat pemasangan rumpon
 Adanya peta lokasi yang layak untuk penempatan rumpon

1.5. Dampak
Dampak dari kegiatan ini adalah tersedianya informasi lokasi yang layak untuk
penempatan rumpon bagi masyarakat sehingga dapat meningkatkan hasil tangkapan
mereka.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Rumpon atau payao adalah alat pengumpul ikan (Fish Aggregating Device)
(Asikin 1985). Alat ini banyak digunakan untuk memikat ikan sehingga berkumpul di
dekitarnya. Rumpon tradisional telah digunakan oleh nelayan Indonesia dan Filipina
sejak awal tahun 1900 an. Rumpon tersebut terbuat dari rakit bamboo dan material lain
yang berfungsi memikat kelompok ikan dan dipasang menetap dengan menggunakan
jangkar dan tali dari bahan alami. Rumpon modern mulai dikembangkan sejak tahun
1979 oleh NOAA (National Oceanographic and Atmospheric Administration) di Hawaii,
American Samoa, Guam dan CNMI untuk membatu perikanan skala kecil dalam
menurunkan biaya bahan bakar dan meningkatkan hasil tangkapan ikan pelagis penting
dan mengurangi tekanan penangkapan pada wilayah terumbu karang (Anderson and
Gates 1996.

Prinsip kerja rumpon telah lama dikenal oleh masyarakat. Telah lama diketahui
bahwa ikan-ikan pelagis ternyata tertarik kepada benda-benda asing yang terapung
apung di permukaan laut. Selain ikan pelgis ternyata ikan demersal juga tertarik pada
benda asing disekitarnya (Furevik 1994). Dan bahkan sebutir buah kelapa yang hanyut
di pesisir pantai sering diikuti sambil bernaung oleh ikan kakap (Lutjanus fulfiflamma)
(Assir 2012).

2.1. Kriteria lokasi penempatan rumpon

Kriteria umum untuk lokasi penempatan rumpon di perairan, antara lain:


keberadaan ikan dilokasi tertentu tersebut di ketahui secara turun-temurun, kondisi
topografi dasar perairan yang datar, kedalaman perairan yang cocok, kondisi cuaca dan
kondisi perairan yang cukup tenang, jarak ke rumpon lain, dan muah terjangkau (Gates
et al. 1998).
2.1.1. Kondisi Topografi

Kondisi topografi harus diperhatikan dalam penempatan jangkar rumpon.


Setidaknya ada 1 km2 tempat yang datar untuk pemasangan rumpon. Hal ini
disebabkan pada tempat yang miring, jangkar akan mudah bergeser ke tempat yang
lebih dalam apabila rumpon ditempatkan pada dasar perairan yang miring (Gates et al.
1998).

2.1.2. Kedalaman perairan

Tali jangkar adalah bagian yang termahal pada rumpon, sehingga semakin
dalam perairan akan semakin mahal biaya yang dibutuhkan untuk pemasangan
rumpon. Di laut jawa kondisi kedalaman perairan maksimal hanya 200 m sedangkan di
perairn Indonesia bahagian timur umumnya sangat dalam (> 1000 m) sehingga
pemasangan rumpun cenderung ke dekat pesisir pulau. Menurut Gates et al (1998),
rumpon yang dipasang pada kedalaman kurang dari 500 m kurang efektif dalam
mengumpulkan tuna. Kedalaman yang ideal untuk rumpon tuna berkisar antara 1000 –
2000 m.

2.1.3. Kondisi perairan

a. Salinitas perairan

Umumnya ikan pelagis besar menyenangi salinitas perairan laut lepas yaitu 30-
35 ppt, sehingga salinitas perairan laut lepas di Indonesia bukan merupakan kendala.
Namun menurut Mallawa (2012) cakalang di Teluk Bone jarang tertangkap pada musim
hujan karena salinitas perairan Teluk Bone menurun.
b. Suhu perairan

Masing-masing jenis ikan menyenangi kondisi suhu perairan tertentu. Oleh


sebab itu suhu merupakan faktor oseanografi yang paling berperan pada keberadaan
ikan di suatu lokasi. Sebagai contoh cakalang tersebar di perairan yang besuhu 25 –
29oC (Matsumoto et al. 1981), sehingga pada saat angin pasat tenggara bertiup di
Indonesia, laut flores jarang ditemukan gerombolan ikan cakalang karena suhu perairan
saat itu berkisar 25oC yang dipengaruhi oleh arus dingin dari Australia. Kondisi
perairan di Selat Makassar berbeda dengan di Laut Flores karena air dating dari arah
utara yang bersuhu panas sehingga Saat itulah rumpon-rumpon di Selat Makassar
berisi gerombolan ikan cakalang.

c. Kesuburan perairan

Sungguhpun telah dikatakan bahwa laut indonesia memiliki suberdaya hayati


yang melimpah tetapi sayangnya di peairan tropis perairan laut umumnya tidak subur.
Hal ini disebabkan tidak adanya mekanisme otomatis penaikan massa air bawah
seperti di daerah beriklim empat, sehingga unsur hara yang turun ke dasar peraian
yang dalam tidak dapat naik ke permukaan laut (Ross 1982).

Di perairan tropis (Indonesia), hanya ditempat-tempat tertentu yang dapat terjadi


kenaikan massa air dari dasar perairan ke permukaan atau “upweeling” dan secara fisik
subur yaitu, padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove. Massa air yang
terangkat kepermukaan akan membawa unsur hara yang banyak terdapat di dasar
perairan. Sedangkan mangrove, padang lamun dan terumbu karang merupakan
perairan yang subur karena kemampuan organism tersebut menahan unsure hara yang
terbawa oleh air yang datang dari daratan (sungai).

Perairan yang subur dikarenakan adanya tersedia unsur hara yang dapat
digunakan oleh tumbuhan makro (alga) maupun tumbuhan renik (fito plankton) untuk
berkembang biak sehingga pada perairan tesebut tersedia tumbuhan makro dan renik
yang melimpah. Tumbuhan tersebut merupakan makanan bagi ikhtioplankton dan dan
zooplankton yang akan menjadi makanan bagi ikan-ikan yang berukuran lebih besar.

“upwelling” dapat terdeteksi melalui suhu permukaan perairan yang lebih rendah
karena air yang naik dari dasar perairan bersuhu lebih rendah dari periran yang ada di
permukaan. Selain itu lokasi “upwelling” dapat diperkirakan berdasarkan kontur dasar
perairan yang berbentuk miring (slope). Pada daerah tersebut, air yang bergerak
menabrak slope tersebut akan dibelokkan ke atas sehingga air akan bergerak ke
permukaan laut.

Di kepulauan spermonde arah arus permukaan berubah sesuai dengan kondisi


musim (Mahie 2010) sedangkan arus utama di Selat Makassar selalu datang dari arah
utara (Anonimus 1998) sehingga “upweeling” terjadi umumnya di perairan bagian utara
Kepulauan Spermonde. Nanti pada saat angin barat betiup dengan kencang barulah
perairan di bagian barat pulau juga terjadi kenaikan massa air. Berdasarkan kontur
dasar perairan, di Kepuauan Spermonde umumnya terjadi “upwelling” di bagian utara
yaitu di pulau Suranti hingga P. Kapopposang, P. Samatellue Lompo hingga P.
Sagara……... Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya sumberdaya ikan teri
(Stolephorus sp) yang tertangkap oleh Bagan Rambo di wilayah perairan tersebut. Ikan
teri adalah ikan-ikan pemakan plankton sehingga keberadaan ikan tersebut merupakan
pertanda bahwa perairan tersebut dalam kondisi subur.

Fitoplankton dan zooplankton yang melimpah di wilayah utara keplauan


spermonde merupakan sumber makanan utama bagi ikan pelagis kecil, misalnya ikan
kembung teri dan sardin. Ikan-ikan tersebut juga merupakan sumber makanan bagi
ikan pelagis besar sehingga keberadaan ikan pelagis kecil yang melimpah akan
menarik perhatian ikan-ikan pelagis besar untuk datang mencari makanan.

2.1.4. Kondisi arus


Arus dengan kecepatan yang melebihi 2 mil/jam dapat membuat pelampung
rumpon sedikit terbenam akibat tarikan arus. Arus yang kuat akan mempersulit
pegoperasian alat di lokasi rumpon. Oleh sebab itu informasi tentang kecepatan arus di
lokasi rumpon harus diketahui sebelum melakukan operasi penangkapan.

2.1.5. Kondisi angin

Angin dengan kecepatan lebih dari 15 mil/jam akan sangat menghambat operasi
penankapan di rumpon. Oleh sebab itu sebaiknya di lokasi lokasi penempatan rumpon
terdapat tempat yang aman untuk berlindung pada kondisi angin kencang ayng
mungkin dating tiba-tiba. Rumpon sebaiknya dioperasikan pada akhir musim barat agar
terdapat kondisi peairan yang tenang cukup panjang.

Jarak antar rumpon

Berdasarkan penelitian tuna biasanya bergerak dari rumpon sejah 4 mil sebelum dia
kembali ke rumpon semula sehingga disarankan jarak optimum antar rumpon yang
dapat memberikan hasil yang baik adalah 10 mil.

2.2. Biologi ikan target

Ikan-ikan yang menjadi target bagi rumpon pelagis adalah ikan-ikan pelagis
besar, misalnya cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus affinis),
madidihang (Thunnus albacares), Tuna mata besar (Thunnus obesus), albakor
(Thunnus alalunga) dan beberapa jenis ikan pelagis lain,misalnya lemadang
(Coryphaena hippurus) dan tenggiri (Scomberomorus sp). Selain itu ikan-ikan pelagis
kecil yang menjadi target pengumpulan, adalah kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta),
kembung perempuan (Rastreliger brachisoma), Simbula (Sardinella sirm), tembang
(Sardinella fimbriata), dan Selar bentong (Caranx crumenopthalmops).

Ikan-ikan pelagis besar datang ke rumpon untuk mencari mangsa berupa ikan-
ikan pelagis kecil, sedangkan ikan-ikan pelagis kecil datang ke rumpon terutama karena
sifat ketertarikannya pada benda asing, dan bukan karena faktor mencari makanan.
Sumbe makanan bagi ikan-ikan pelagis kecil adalah plankton yang bebas terbawa oleh
arus laut. Plankton tidak memiliki kemampuan untuk berkumpul di sekitar rumpon
karena terbawa oleh arus kemana saja, sehingga kecil kemungkinan ikan-ikan pelagis
kecil datang ke rumpon untuk mencari plankton. Ketertarikan pada benda asing dan
pada makanan) saling mendukung maka penempatan rumpon sebaiknya di tempat di
perairan yang subur (terdapat plankton yang melimpah).

Ikan tuna umumnya tertarik pada rumpon pada jarak 0 – 5 mil laut. Khusus pada
tuna sirip kuning mampu mendeteksi keberadaan rumpon pada jarak 4 – 19 km Tuna
cenderung lebih tertarik pada benda alami misalnya batang kayu tetapi perbedaan
ketertarikan pada rumpon alami atau rumpon buatan tidak signifikan,. Tuna selalu
berada di rumpon bersama dengan spesies tuna lainnya atau bersama dengan non
tuna. (Moreno et al. 2007). Tuna ekor kuning cenderung beruaya dekat pantai
sedengkan tuna mata besar beruaya lebih jauh dari pantau (Itano and Holland 2000)

Cakalang (Katsuwonus pelamis) adalah ikan peruaya. Cakalang dewasa biasa


ditemukan bersama juvenil tuna sisip kuning dan tuna mata besar di sekitas rumpon.
(Marsh 2006)

2.3. Aspek Sosial kemasyarakatan pemasangan rumpon

Pemasangan rumpon di sembarang tempat dapat menimbulkan konflik sosial


akibat pencurian ikan yang telah terkumpul di sekitar rumpon dan perebutan wilayah
penangkapan oleh nelayan yang datang dari berbagai daerah otonom yang berdekatan.
Konflik tersebut dapat terjadi berdasarkan beberapa factor, yaitu konflik kelas, konflik
otoritas, konflk agaria dan konflik primordial (Satria 2003 dalam Wardhani 2007).
2.4. Aspek Hukum

Penempatan rumpon didasarkan pada pengguna rumpon, misalnya rumpun


akan digunakan oleh alat purse seine dengan kapasitas kapal yang akan
memanfaatkannya. Misalnya sebuah rumpun akan digunakan sebagai alat bantu pada
purs seine yang dioperasikan dengan kapal purse seine, maka penempatan rumpon
harus sesuai dengan izin operasi purse seine yang sesuai dengan keputusan Menteri
Pertanian Nomor 392/Kpts/IK.120/4/1999 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan.

2.5. Penggunaan teknik penginderaan jauh

Untuk mendeteksi sebaran suhu permukaan laut secara garis besar digunakan
citra NOAA yang akan menggambarkan sebaran suhu permukaan laut. Hasil dari citra
tersebut dapat dideteksi perairan mana yang memiliki suhu permukaan terendah
dibandingkan suhu perairan disekitarnya.
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kepulauan Spermonde pada ….. hingga


2014. Data yang diperoleh data primer dan data sekunder berupa………………

3.2. Rincian Pekerjaan


 Melakukan desk studi untuk informasi awal mengenai lokasi fishing ground yang
ada di perairan kecamatan liukang tuppabiring utara dan selatan
 Melakukan survey lokasi penangkapan melalui metode kuesioner dan
wawancara.
 Melakukan survey lokasi fishing ground dengan metode visual sensus dan
menggunakan GPSMapSounder
 Pembuatan peta lokasi yang layak untuk dijadikan tempat pemasangan rumpon
 Presentasi Hasil Kegiatan.
 Pembuatan laporan Hasil Kegiatan.

3.3. Peralatan dan Material dari Penyedia Jasa Konsultansi


Penyedia jasa konsultansi wajib memiliki peralatan pendukung pelaksanaan
kegiatan seperti Underwater Camera, GPS Map dan Peralatan lain yang dapat
membantu pelaksanaan Kegiatan.
3.4. Personil

JumlahPersonil
No. Klasifikasi Tenaga Ahli Kualifikasi Pengalaman
(OB)
Tenaga Ahli
1 Ahli manajemen Kelautan 1 org x 3 bln S2 Manajemen 5 tahun
(Ketua Tim) Kelautan
2 Ahli Perikanan 1 org x 2 bln S1 Perikanan 3 tahun
Tenaga Pendukung
1 Asisten Ahli Perikanan 1 org x 3 Bln S1 Perikanan 2 tahun
2. Surveyor 1 org x 10 Hari S1 Ilmu Kelautan 3 tahun
3. Kartografer 1 org x 1 bln S1 bersetifikat GIS 3 tahun
4. Tenaga Administrasi 1 org x 3 Bln SMA sederajat -

Kualifikasi personil untuk pekerjaan ini adalah sebagai berikut :


a. Tenaga ahli yang dibutuhkan untuk kegiatan Survey Lokasi Penempatan Rumpon
adalah sebagai berikut :
1. Ahli Managemen Kelautan
Tugas dan Tanggung Jawab :
 Sesuai dengan bidang keahliannya bertanggung jawab dalam pelaksanaan
pekerjaan dari sejak perencanaan sampai penyelesaiannya hingga diterima
dengan baik oleh pemberi pekerjaan
 Bekerjasama dengan tenaga ahli lainnya guna menciptakan suasana kerja yang
harmonis dan efektif
 Melakukan koordinasi dan asistensi dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan
bidang keahliannya
 Mempelajari dokumen yang terkait dengan kegiatan serta memberikan analisa
terhadap sumberdaya pesisir dan laut.
 Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan
 Membantu penyusunan kerangka kegiatan dan peta kerja serta melakukan
analisa terhadap data dan informasi berdasarkan data hasil kajian
2. Ahli Perikanan
Tugas dan Tanggung Jawab :
 Sesuai dengan bidang keahliannya bertanggung jawab dalam pelaksanaan
pekerjaan, sejak perencanaan sampai penyelesaiannya hingga diterima dengan
baik oleh pemberi pekerjaan.
 Bekerjasama dengan tenaga ahli lainnya, dibawah koordinasi Tim Leader guna
menciptakan suasana kerja yang harmonis dan efektif.
 Dibawah koordinasi TL, bekerjasama dengan tenaga ahli lainnya menyusun
rencana kerja dan kerangka laporan.
 Mempelajari dokumen yang terkait dengan kegiatan serta memberikan analisa
terhadap aspek-aspek perikanan.
 Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan survei : jumlah dan kelimpahan
sumberdaya ikan
 Menetapkan kerangka studi yang menjadi acuan kerja tenaga ahli lainnya.
 Memberi masukan kepada setiap tenaga ahli dalam menyusun rencana survei
memenuhi aspek-aspek perikanan.

3.5. Jadwal Pelaksanaan


Jadwal kegiatan secara detail dapat dilihat tabel di bawah ini :

BULAN
NO KETERANGAN
I II III

1 Persiapan
2 Survey Pendahuluan
3 Analisis
Survey lokasi Fisihing
4
Ground
Pembuatan Draft
5
Laporan
6 Presentasi Laporan Akhir
7 Finalisasi Laporan Akhir
Penyerahan Laporan
8
Akhir
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Alat tangkap yang beroperasi di perairan Kepulauan Spermonde yang biasa
memanfaatkan rumpon.

Dari hasil survey yang diadakan di beberapa pulau didapatkan bahwa alat
tangkap yang beroperasi di perairan kepuauan spermonde yang berpangkalan di
sekitar lokasi tersebut didapatkan bahwa ada delapan alat yang biasa melakukan
penangkapan di perairan yang dekat dengan rumpon atau tepat pada rumpon yang
telah terpasang. Alat tangkap tersebut tertera pada table 1 berikut ini.

Tabel 1. Alat tangkap yang beroperasi di kepulauan Spermonde yang memanfaatkan


Rumpon

No. Alat Tangkap Pangkalan Daerah Penangkapan


1 Purse Seine Pulau Badi Peraian sekitar kapopposang
2. Pole and line Pelabuhan Perairan sekitar Kapopposang
Awerrangnge, Barru dan Gondongbali
3. Jaring insang
hanyut
4. Jaring insang P. Salemo P. Saugi Perairan sekitar P Salemo
menetap
5. Pancing tonda P. Badi
6. Pancing cumi-cumi P.Balang Lompo Perairan sekitar P.Balang
Lompo
7.. Pancing tuna P.Sarappo, ,
P. Kodingareng
8. Pancing rinta’
Sumber: data primer
4.2. Analisis kondisi oseanografi perairan di sekitar rumpon yang telah terpasang

Hasil pengukuran kondisi oseanografi di sekitar rumpon yang telah dipasang


pada beberpa posisi menunjukkan data yang seragam hal ini disebabkan perbedaan
parameter oseanografi di perairan Indonesia utamanya di persiran Kepuauan
Spermonde tidak mengalami fluktuasi yang besar sehingga berdasarkan suhu dan
sainitas rumpon dapat dipasang dimana saja di perairan tersebut. Suhu perairan pada
beberapa rumpun berkisar antara . Salinitas perairan.

4.3. Analisis kondisi oseanografi perairan di lokasi daerah penangkapan ikan.

Pada saat penelitian ini dilaksanakan pada bulan …. Suhu perairan berkisar
antara …… - ……..,salinitas berkisar antara …… s/d ………. Kondisi tersebut masih
berada dalam kisaran toleransi ikan-ikan pelagis besar dan kecil, sehingga
pemasangan rumpon dapat ditempatkan dimana saja asalkan tidak menghalangi alur
pelayaran. Agar rumpon dapat terlihat dari kapal yang melintas sebaiknya beberapa
buah rumpon dipasang berjajar.

4.4. Kondisi topografi dasar perairan

Sebagaimana telah diketahui bahwa ikan-ikan dalam beruaya hampir selalu


berada pada kedalaman yang sama (Ayodhyoa 1981) sehingga pada dasar perairan
yang miring (memiliki kontur isodepth yang berdekaan) dapat dipastikan menjadi alur
ruaya ikan. Oleh sebab itu untuk pemasangan rumpon tempat yang dekat dengan
slope tersebut adalah tempat yang ideal. Selain pertimbangan alur ruaya ikan, kondisi
kontur yang miring dapat berfungsi sebagai pembelok arah arus sehingga daerah
sebelah barat pulau merupakan tempat yang cukup subur pada saat musim angin
Barat. Tempat ini sangat cocok untuk pemasangan rumpon. Namun dengan
pertimbangan bahwa jangkar rumpon akan tergeser ke tempat yang lebih dalam apabila
dipasang pada tempat yang miring maka sebaiknya dicari tempat yang datar seluas
kira-kira 1 km2 untuk tempat pemasangan rumpon yang berjarak kurang dari 5 km dari
jalur ruaya ikan.

Dikepulauan spermonde, tempt yang ideal untuk pemasangan rumpon


tuna/cakalan adalah di sebelah timur P. Kapopposang. sebelah barat P. Gondongbali,
sebelah timur P. Suranti, sebelah barat P. Kodingareng. Sebelah barat P. Barrang
Caddi. Sebelah barat P. Sarappo. Sebelah barat P. Badi.

4.4. Pendapat masyarakat terhadap penggunaan rumpon

Dari hasil wawancara di masyarakat kepulauan Spermonde didapatkan jawaban


yang membenarkan bahwa penggunaan alat bantu rumpon dalam kegiatan
penangkapan memberikan hasil yang lebih baik (Tabel 2 dan Gambar. 3).

Tabel 2. Perbandingan antara masyarakat yang menggunakan rumpon dengan tidak


menggunakan rumpon.

Perbandingan menggunakan rumpon dengan tidak Jumlah


Lebih banyak dengan rumpon 12
Tidak lebih baik 0
Sama saja 2
Tidak menentu 4

Perbandingan menggunakan
rumpon dengan tidak
Lebih banyak dengan
22% rumpon

11% Tidak lebih baik


67%
Sama saja

Tidak menentu

Gambar 1. Perbandingan antara nelayan pengguna rompon dan tidak meggunakan.


Tabel 3. Alasan pemanfaatan Rumpon

Alasan memanfaatkan rumpon Jumlah


Lebih mudah mendatangkan ikan 2
Lebih mudah menandai daerah penangkapan 3
Hasil tangkapannya lebih pasti 6
Hasil tangkapan lebih banyak 7

Alasan Memanfaatkan Rumpon Sebagai


Alat Bantu
Lebih mudah
39% 11% 17% mendatangkan ikan
33%
Lebih mudah
menandai daerah
penangkapan

Gambar 2. Alsan pemanfaatan rumpon sebagai alat bantu

Tabel 4. Tanggapan nelayan

Hasil tangkapan menutupi operasional Jumlah


Ya 16
Tidak 2

Hasil tangkapan menutupi


ongkos Operasional
11%

Ya
89%
Tidak

Gambar 3. Tanggapan nelayan mengenai fungsi rumpon


4.5. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemasangan rumpon

Biasanya kendala yang dihadapi saat pemasangan rumpon adalah adanya


konflik kepentingan pada area pemasangan atau pemanfaatan ikan-ikan yang telah
terkumpul di area penangkapan (catchable area) rumpon oleh orang lain yang bukan
pemilik alat tersebut.

Kendala lain adalah ikan-ikan yang tertangkap di rumpon cenderung lebih kecil
dibandingkan dengan ikan yang bergerak dalam kelompok. Pada umumnya ikan tuna
sirip kuning yang tertangkap di dekat rumpon adalah juvenile tuna ekor kuning yang
berumur 0 – 1 tahun, dengan panjang ke cagak 49 cm dan bobot 2,3 kg. Tuna ukuran
sedang 60 – 100 cm dengan bobot 4,5 – 20,4 kg jarang tertangkap dekat rumpon,
sedangkan tuna dengan ukuran > 100 cm dengan bobot > 20,4 kg tertangkap oleh
pancing ulur dekat rumpon pada kedalaman 160 – 280 m (Armstrong and Oliver 1996).

4.6. Keuntungan yang dapat diraih dari pemasangan rumpon di perairan

Menurut para nelayan keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan


rumpon dalam mengumpulkan ikan adalah hasil tangkapan yang diperoleh lebih
banyak, penggunaan bahan bakar minyak juga relatif lebih rendah karena
berkurangnya aktivits pengejaran ikan. Selain hasil tangkapan yang meningkat dan
penghematan bahan bakar, pemasangan rumpon di perairan jug dapat membantu
pelestarian ikan terbang di Selat Makassar karena ikan tersebut dapat bertelur pada
daun-daun kelapa yang terpasang pada rumpon (Ali 2013).

4.7. Penentuan Lokasi Rumpon

Berdasarkan keterangan nelayan di kepulauan spermonde bahwa dalam


menentukan lokasi yang cocok untuk pemasangan rumpon pertimbangan utamanya
adalah substrat perairan. Substrat berpasir atau dikenal dengan istilah lokal “garasa”
adalah yang paling direkomendasikan oleh nelayan untuk dioperasikan rumpon pada
wilayah tersebut.
Metode yang dilakukan oleh nelayan untuk mengetahui jenis substrat tersebut
sangat sederhana yaitu dengan menggunakan penyanda’ atau tali yang diikatkan ke
batang besi sebagai pemberat lalu diturunkan hingga ke dasar perairan. Jika pemberat
yang diturunkan terasa melengket didasar perairan berarti pada lokasi tersebut tidak
cocok karena substratnya berlempung, sebaliknya jika pada saat pemberat diturunkan
di dasar perairan terasa kasar maka itu menandakan pada lokasi tersebut cocok untuk
pengoperasian rumpon karena substratnya berpasir.

Secara ilmiah penentuan lokasi rumpon berdasarkan substrat pasir dapat


dibenarkan karena pada daerah dengan substrat pasir merupakan indikasi bahwa di
tempat tersebut memiliki kondisi kecepatan arus yang cukup besar sehingga substrat
halus yang mengandung banyak unsur hara akan terbawa oleh arus dan tersuspensi di
kolom air sehingga membuat perairan tersebut subur.

Pertimbangan lain nelayan untuk penentuan lokasi pemasangan rumpon adalah


jika benar-benar pada lokasi tersebut diketahui secara langsung oleh nelayan banyak
ikan. Maka nelayan kemudian menandai lokasi dengan membaring titik tersebut dengan
tenda-tanda alam disekitarnya, lalu menempatkan rumpon pada titik tersebut.

Menganai aturan jarak antar rumpon sejauh ini menurut nelayan belum ada yang
secara tegas menjelaskan bahwa penempatan rumpon harus dengan jarak tertentu.
Karena pada dasarnya nelayan cukup terbuka dengan nelayan lainnya untuk
menangkap ikan pada rumpon yang sama sehingga tidak ada alasan untuk mereka
membuat rumpon baru didekat rumpon yang lama.

Umumnya nelayan spermonde mengoperasikan rumponnya pada kedalaman 12-


40 m. Bahan rumpon terdiri dari batu atau beton sebagai pemberat, daun kelapa atau
ranting-ranting pohon sebagai aggregator, tali sebagi pengikat pemberat, aggregator
dan pelampung, serta gabus (stirofom) ataupun bambu sebagai pelampung sekaligus
penanda. Jenis ikan yang banyak ditemui pada lokasi penempatan rumpon di perairan
spermonde adalah ikan bete bete, bambangan, dan sarisi. Paling banyak ditemui
rumpon diperairan spermonde adalah di sebelah barat Pulau Sabutung dan sebelah
utara Pulau Saugi.
Gambar 4. ciri rumpon tradisional nelayan spermonde

Gambar 5 & 6. Menurunkan transduser fish fider untuk mengetahui kedalaman,


menandai titik lokasi serta mengetahui potensi ikan pada lokasi
Gambar 7. Survey selam untuk mengetahui kondisi rumpon serta identifikasi jenis ikan
disekitarnya

Gambar 8 & 9. Tampilan fish finder meliputi kedalaman, titik dan potensi ikan pada
rumpon
DAFTAR PUSTAKA

Ali, S.A. 2013. Degradasi stok, pengelolaan dan konservasi ikan terbang di selat
Makassar dan laut flores Sulawesi selatan. Hal 45-58. Dalam I. Burhanddin dkk.
Membangun sumber daya kelautan Indonesia: gagasan dan pemikiran guru
besar unversitas Hasanuddin. IPB Pres dan Hasanuddin University Press.
Anonimous. 1998. Indonesia: Atlas Sumberdaya Kelautan. Badan Koordinasi Survey
dan Pemetaan Nasional.
Asikin, T. 1985. Petunjuk Teknis Usaha Perikanan Payao. INFIS Manual Seri no. 13.
Direktorat Jenderal Perikanan. 26 hal.
Assir, A. 2012. Analisis desain,konstruksi dan kinerja fyke net untuk penangkapan ikan
karang ramah lingkungan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Armstrong, W.A. and C.W. Olive. 1996. Recent use of fish aggregating devices in the
eastern tropical pacific tuna urse-seine fisheries: 1990 – 1994. Administrative
report Lj-96-
02.(https://swfcs.noaa.gov/UploadedFiles/Divisions/FRD/Fishery_Monitoring/Tun
a/LJ-96-02 Text.pdf 3 Agustus 2008)
Bagur, D. 2009. Where the Fish Are: an angler’s Guide to Fish Behavior. McGraw Hill.
164 p.
Diamar, S. 2004. Penataan Ruang Berbasis Geografi Negara Kepulauan: Beberapa
Catatan. Hal.: 55-67 dalam Rais. J, dkk. (eds). Menata Ruang Laut Terpadu.
Pradnya Paramita, Jakarta.
Direktur Sumberdaya Ikan. 2012. Rencana Pengelolaan Perikanan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia 713 (RPP WPP-RI 713). Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau kecil, Jakarta.
Food Agricultural Orgnization. 2012. Anchored Fish Aggregasting Devices (FADs) for
Artisanal Fishers. Advisory note. Regional Fisheries Livelihoods Programme for
South and Southeast Asia (RFLP).
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 259 hal.
Furevik, D.M. 1994. Behaviour of Fish in Relation to Pots. P.28-44. In: Ferno, A. and
Olsen S. [eds.]. Marine Fish Behaviour in Capture and Abundance Estimation.
Fishing NewsBooks. Oxford, UK.
Anderson, J. and P.Gates. 1996. Secretariat of the Pacific Community Fish
Aggregating Device (FAD) Mannual Volume I Planning FAD Programmes
Secretariat of the Community Coastal Fisheries Programme Capture Section.
Gates, P.D, G.L.Preston, and L.B. Chapman. 1998. Secretariat of the Pacific
Community Fish Aggregating Device (FAD) Mannual Volume III Deploying and
Maintaining FAD System. Secretariat of the Community Coastal Fisheries
Programme Capture Section.

Gates, P.D, G.L.Preston, and L.B. Chapman. 1998. Secretariat of the Pacific
Community Fish Aggregating Device (FAD) Mannual Volume III Deploying and
Maintaining FAD System. Secretariat of the Community Coastal Fisheries
Programme Capture Section.
Itano, D.G. and K.N. Holland. 2000. Movement and Vulnerability of bigeye (Thunnus
obesus) and yellowfin tuna (Thunnus albacores) in relation to FADs and Natural
Aggregation Points. Aquat. Living Resour.: 213-223
Komnas Kajiskanlaut, 1998.
Mallawa, A. 2012. Aspek Perikanan dan Prediksi Tangkapan Per Unit Upaya Ikan
Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Luwu Teluk Bone, Sulawesi Selatan.
Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Marsh, J. 2006. Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis). Final Report. Monterey Bay
AquariumSeafoodWatch.(storage.montereybayaquarium.org/cr/cr_seafoodwatch/
content/ media/MBA_Seafoodwatch_Skipjack tuna report)(3 Agustus 2006)
Matsumoto, WM., R.A. Skillman and A.E. Dizon. 1981. Synopsis of Biological Data on
Skipjack Tuna, Katsuwonus pelamis. NOAA, Honolulu 92 p.
Moreno, G., L. Dagorn, G. Sancho and D. Itano. 2007. Fish Behaviour From Fisher’s
Knowledge: The Case Study of Tropical Tuna Around Drifting Fish Aggregating
Device (DFADs). Can.J. Fish.Aquat Sci. 64:1517-1528.
Ross, D.A. 1982. Introduction to Oceanography. 3rd ed. Prentice Hall, Inc. NJ. 544 p.
Wardhani, M.K. 2007. Konflik Nelayan di Selat Madura (Kajian Produk Hukum dan
Perundangan Indonesia). J. Kelautan (1): 1-37.

Anda mungkin juga menyukai