Anda di halaman 1dari 7

Nama : Widia ningsih

NIM : 044616811
Tugas Hukum Ketenagakerjaan

1. Dalam dunia kerja hubungan antara perusahaan dan karyawan tidak selalu berjalan
mulus. Resiko terkena pemutusan hubungan kerja atau yang lebih dikenal dengan
istilah PHK ini akan selalu ada kapan saja dan di mana saja dengan berbagai alasan.
Apalagi sejak Pandemi Covid-19 melanda Indonesia, jumlah PHK meningkat sangat
drastic sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan ada 29,4 juta orang
terdampak pandemi Covid-19. Salah satu alasan mem-PHK yang banyak digunakan
di masa pandemic adalah karena alasan force majure/keadaan memaksa.
Pertanyaan :
a. Apakah PHK dalam keadaan Force Majure oleh perusahaan masih memerlukan
penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ? hubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
b. Langkah atau tahapan apa saja yang seharusnya dilakukan perusahaan sebelum
melakukan PHK dimasa Pandemi Covid-19 ?
Jawaban :
a. Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kapada
Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan hal sebagai berikut:
- Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh
- Membujuk dan/atau menyuruh pekerja buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
- Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan
berturut-turut atau lebih
- Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh
- Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang
diperjanjikan
- Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, Kesehatan
dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tesebut gidak
dicantumkan pada perjanjian kerja
Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan salah satu dari
penjelasan di atas yang diadukan pekerja/buruh oleh Lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja tanpa penetapan Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.

Dari contoh kasus tersebut perusahaan dalam keadaan force majeur jadi tidak
memerlukan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

b. Ketentuan Pasal 151 UU no 13 Tahun 2003 menetapkan tiga tahapan yang harus
ditempuh dalam hal pengusaha hendak memutuskan hubungan kerja yaitu :
- Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh, dan pemerintah dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan
kerja. Berdasarkan penjelasan ketentuan ini frasa “dengan segala upaya”
merujuk pada aktivitas atau kegiatan positif yang pada akhirnya dapat
mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja, termasuk antara lain
pengaturan ulang jam kerja, Tindakan penghematan, restrukturisasi atau
reorganosasi metoda kerja dan upaya untuk mengembangkan pekerja/buruh.
- Bilamana dengan segala upaya yang dilakukan tidak dapat dihindari
pemutusan hubungan kerja maka maksud untuk memutuskan hubungan kerja
wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota
serikat pekerja/buruh
- Jika perundingan tersebut benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh
setelah memperoleh penetapan dari Lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial

2. Sejak Pandemi Corona Virus Desiase 19 (Covid-19) melanda Indonesia banyak


perusahaan yang terdampak dan merugi sehingga melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja yang berujung pada terjadi perselisihan antara Perusahaan dan Pekerja. Dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan), PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Sejak Undang-Undang Nomo 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
terdapat perubahan yang signifikan terkait alasan, proses dan hak-hak yang harus
diterima ketika terjadi PHK baik oleh Pekerja, Perusahaan maupun lembaga peradilan.
Pertanyaan :
Buatlah perbedaan alasan PHK dan hak-hak normatif yang harus diterima antara
aturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ?

Jawaban :
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
- perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima
pekeja/buruh;
- perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan
atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian;
- perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami
kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun ;
- perusahan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur);
- perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
- perusahaan pailit;
- adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh
pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai
berikut:
1. menganiaya, menghina secara kasar atau
2. mengancam pekerja/buruh;
3. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang -
undangan;
4. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama
3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha
membayar upah secara tepat waktu sesudah itu;
5. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh;
6. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar
yang diperjanjikan; atau
7. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak
dicantumkan pada perjanjian kerja;
- adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh
pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan
hubungan kerja;
- pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus
memenuhi syarat:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat -
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran
diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri;
- pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut -turut
tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah
dan telah dipanggul oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
- pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan
ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6
(enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan
akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak
pidana;
- pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah
melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
- pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
- pekerja/buruh meninggal dunia

hak-hak normatif antara lain:


1. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang,
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima.
2. Uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dengan
ketentuan berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2
(dua) bulan upah.
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3
(tiga) bulan upah.
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun,
4 (empat) bulan upah.
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun,
5 (lima) bulan upah.
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah.
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun,
7 (tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun,
8 (delapan) bulan upah.
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

3. Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,
2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan)
tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua
belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima
belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18
(delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21
(dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24
(dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan
upah
4. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke
tempat pekerja/buruh diterima bekerja;
c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja Bersama

3. Pasal 64 UU Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa :


Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pertanyaan :
a. Jika merujuk pada Pasal 64 UU Nomor 13 Taun 2013 tersebut Outsourcing dibagi
menjadi dua yaitu pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja/buruh.
Berikan penjelasan Saudara terhadap hal tersebut ?

Jawaban :
Pemborongan pekerjaan yaitu pengalihan suatu pekerjaan kepada vendor
outsourching, dimana vendor bertanggung jawab sepenuhnya terhdap pekerjaan
yang dialihkan beserta hal-hal yang bersifat teknis (pengaturan operasional)
maupun hal-hal yang bersifat non teknis (administrasi kepegawaian), pekerjaan
yang dialihkan oleh vendor adalah rupiah per satuan kerja. Contohnya yaitu
pemborong pekerjaan cleaning service, jasa pembasmian hama dan jasa catering
dll.

Penyedia jasa pekerja / buruh yaitu pengalihan suatu posisi kepada vendor
outsourching, dimana vendor menempatkan karyawanya untuk mengisi posisi
tersebut. Vendor hanya bertanggung jawab terhadap manajemen karyawan
tersebut serta hal-hal yang bersifat nonteknis lainnya, sedangkan hal-hal yang
teknis menjadi tanggung jawab perusahaan selaku penguna dari karyawan vendor
b. Terkait ketentuan Outsourcing, Mahkamah Konstitusi pernah melakukan pengujian
dan telah menerbitkan Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 yang berdampak pada
pro dan kontra di kalangan Pekerja/Buruh. Apa yang Saudara pahami terkait
putusan MK Tersebut
Jawaban :
Amar Putusan MK menyatakan :
a. Frasa ‘perjanjian kerja waktu tertentu’ dalam pasal 65 ayat (7) dan pasal 66 ayat
(2) huruf b UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, tambahan Lembaran negara Republik
Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam
perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-
hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian
perusahaan yang melaksanakan sebahagian perkerjaan Borongan dari
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
b. Frasa ‘perjanjian kerja waktu tertentu’ dalam pasal 65 ayat (7) dan pasal 66 ayat
(2) huruf b UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, tambahan Lembaran negara Republik
Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam
perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi
pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian
perusahaan yang melaksanakan Sebagian pekerjaan Borongan dari perusahaan
lain.
Sikap pekerja dalam menyambut putusan MK tidak senada ada yang gembira da juga
yang mencibir. Yang gembira menganggap putusan MK menyatakan outsourching dan
PKWT sebagai praktik illegal. Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 memberi efek kejut
dan menilai bahwa PKWT yang sudah ditandatangani sebelum Putusan MK
bertentangan dengan putusan MK. Padangan ini dinilai betapa mereka belum
memahami isi putusan MK tersebut. Sementara yang mencibir justru berpendapat MK
melegalisasi dan mengkonstitusionalkan system outsourching dan PKWT. Untuk
menyelaraskan pemahaman tentang eksistensi dan peluang outsourching dan PKWT,
yang perlu dikaji adalah pertimbangan dan amar putusan MK. Ada dua model, pertama
outsourching dilakukan dengan menerapkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT) secara tertulis. Model kedua menerapkan prinsip pengalihan Tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourching.
Sumber : Modul Hukum Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

Anda mungkin juga menyukai