Anda di halaman 1dari 4

NAMA : KIKIS SUKMA MULYANAGARA

NIM : 042928509

MATKUL : HUKUM TELEMATIKA

A. Permasalahan
Implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah berdampak terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional yang mengalami perlambatan dan penurunan penerimaan
negara, peningkatan belanja negara, sehingga diperlukan berbagai upaya pemerintah
untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus
pada belanja untuk kesehatan, social safety net, serta pemulihan perekonomian termasuk
untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Dalam upaya pencegahan penyebaran
Covid-19, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas
Sistem Keuangan Untuk menangani Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan. Perppu ini berisi kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extra
ordinary) untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitass sistem keuangan,
termasuk memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk
penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun. Namun di balik melonjaknya anggaran
negara untuk mencegah Covid-19, penerimaan negara di sektor perpajakan dipastikan
mengalami penurunan. Sri Mulyani menegaskan penerimaan Perpajakan turun akibat
kondisi ekonomi melemah, dukungan insentif pajak dan penurunan tarif PPh, serta PNBP
juga mengalami penurunan sebagai dampak jatuhnya harga komoditas. Untuk itu, guna
membantu sektor penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah memutuskan untuk
mengambil kebijakan di sektor pajak, selain pemberian insentif. Kebijakan perpajakan
tersebut adalah pengenaan pajak untuk seluruh transaksi elektronik yang tidak berwujud
atau jasa, sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf b dan Pasal 6 Perppu 1/2020. Menurut Sri
Mulyani, kebijakan ini diambil oleh pemerintah mengingat terjadinya peningkatan
transaksi elektronik selama social/physical distancing. Hal ini juga menjadi bagian untuk
menjaga basis pajak pemerintah. “Selama ada pembatasan mobilitas orang, sangat besar
pergerakan transaksi elektronik. Pemajakan ini dilakukan untuk menjaga basis pajak
pemerintah. Saat ini semua serba online, makanya menyasar online,” kata Sri Mulyani
dalam streaming konferensi pers di Jakarta, Rabu (1/4). Sri Mulyani mengingatkan bahwa
pemajakan ini tidak hanya berlaku untuk pelaku usaha online di dalam negeri, namun
juga berlaku untuk pelaku usaha online luar negeri yang memiliki significant economic
presence di Indonesia walaupun belum menjadi Bentuk Usaha Tetap (BUT). Adapun
bentuk pengenaan pajaknya adalah pemungutan dan penyetoran PPN atas impor barang
tidak berwujud dan jasa oleh platform LN. Selain itu pengenaan pajak kepada SPLN yang
memiliki significant economic presence di Indonesia dengan perdagangan melalui sistem
elektronik. “Ini juga berlaku untuk subyek pajak luar negeri yang memiliki significant
economic presence di Indonesia walaupun tidak BUT. Seperti ZOOM itu banyak
digunakan di Indonesia sekarang, dan Netflix tetap bisa jadi subyek pajak luar negeri,”
tambahnya.
Sumber : detik.com

B. Soal dan Penyelesaian


1) Salah satu cara penggunaan transfer elektronik adalah menggunakan internet banking
atau mobile banking sebagai aplikasinya. Uraikan pendapat saudara mengenai
keamanan dari penggunaan aplikasi tersebut?
Jawaban: Perbankan di Indonesia bertujuan melaksanakan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasional ke arah peningkatan rakyat banyak. Dalam menjalankan fungsinya, beberapa
bank menyediakan berbagai macam jasa perbankan, di antaranya yaitu electronic
banking (e-banking). Tersedianya transaksi layanan e-banking merupakan wujud
modernisasi kegiatan usaha perbankan yang pengaturannya tidak terlepas dari Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan, jelas diamanatkan Pasal 6 huruf n yang menyatakan bahwa selama tidak
bertolak belakang dengan Undang-Undang maupun peraturan yang berlaku, bank
boleh membuat dan menjalankan kegiatan usaha apapun, tentunya dengan
mengedepankan prinsip kehati-hatian. Meski begitu, ragam risiko bisa terjadi sewaktu-
waktu pada nasabah pengguna transaksi layanan e-banking seperti terjadinya
kegagalan sistem karena jaringan lemah atau terputus, pembobolan rekening oleh
pelaku tidak bertanggung jawab serta risiko finansial nasabah. Menanggapi risiko
tersebut sudah sepantasnya perbankan merancang suatu security features yang
merupakan upaya untuk memelihara kepercayaan nasabah perihal keamanan transaksi
elektronik (Raditio, 2014). Security features tersebut tidak terlepas dari penerapan
regulasi payung hukum nasabah. Regulasi perlindungan hukum untuk nasabah
pengguna layanan e-banking sendiri dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu self-
regulation adalah aturan yang dibuat oleh bank untuk mencegah terjadinya
kekosongan hukum, regulasi ini lebih mengutamakan prinsip kehati-hatian bank dalam
melangsungkan kegiatan usahanya (prudential banking principle), selanjutnya
government regulation merupakan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah dengan
tujuan menjamin bahwa perlindungan hukum jelas diberikan untuk masyarakat yang
memanfaatkan kemudahan transaksi dengan e-banking. Nasabah yang dirugikan dapat
melakukan pengaduan ke hadapan Otoritas Jasa Keuangan andaikata bank tidak dapat
menyelesaikan pengaduan tersebut. Nasabah dapat mengajukan penyelesaian sengketa
melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi.

Secara yuridis, keamanan penggunaan aplikasi e-banking ini sendiri diatur dalam UU
No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dikarenakan jaminan
kepastian hukum yang diberikan pihak bank kepada nasabah pada dasarnya undang-
undang inilah yang melindungi konsumen termasuk halnya nasabah secara umum.
Lebih lanjut, penggunaan layanan jasa e-banking juga diatur dalam Pasal 26 ayat (2)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, dengan demikian secara
peraturan perundang-undangan bahwa seorang nasabah di lindungi oleh hukum yang
terkait.

2) Bagaimana pengaturan pajak transaksi online menurut RUU Omnibus Law? apakah
jika ini diberlakukan akan memberi nilai positif terutama terhadap perkembangan
kegiatan siber? Jelaskan.
Jawaban: Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019
tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), seluruh perusahaan
digital/pedagang online di Indonesia diharuskan memiliki izin usaha. Berdasarkan
peraturan ini, pemerintah sudah berancang-ancang dan menunjukkan
keseriusannya untuk meregulasi perusahaan digital/pengusaha online termasuk
dalam ihwal penarikan pajak. Adanya pajak untuk pelaku e-commerce/
perusahaan digital ini juga dijadikan sebagai kompensasi dari potential loss yang
dihasilkan oleh meringannya peraturan pajak di RUU Omnibus Law. Sebelumnya,
dalam draf RUU omnibus law perpajakan tersebut, pemerintah telah merencanakan
memungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) dari kegiatan
PMSE atau e-commerce luar maupun dalam negeri. Dengan ketentuan sedemikian
rupa, pengaturan pajak transaksi online menurut RUU Omnibus Law tentu membawa
nilai positif atas hasil dari pajak perusahaan digital mau pun pelaku e-commerce yang
tujuannya bukan hanya menjamin eksistensi mereka secara legal, tetapi juga
mengikutkan mereka berpartisipasi aktif dalam pembangunan serta kemajuan nega ra
dalam kancah dunia siber, baik membantu terbangunnya infrastruktur, iklim usaha yang
lebih kompetitif dan berkeadilan, namun juga mewujudan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

3) Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah yang menggunakan


transaksi online? Jelaskan.
Jawaban: Penggunaan layanan jasa e-banking juga diatur dalam Pasal 26 ayat (2)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang menetapkan peraturan
perundang-undangan bahwa seorang nasabah di lindungi oleh hukum yang terkait.
Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang ITE telah menjadi payung hukum bagi
penyelenggaraan kegiatan transaksi elektronik, yang diselenggarakan oleh bank.
Undang-Undang ITE telah mengatur mengenai tanggung jawab yang fair antara
penyelenggara sistem elektronik bank dan nasabah. Memenuhi prinsip hubungan
keperdataan nasabah dengan bank, maka bank bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan penyelenggaraan teknologi informasi yang menggunakan jasa pihak
penyedia jasa. Demikian pula pihak penyelenggara jasa tersebut akan terikat dengan
segala ketentuan sebagai pihak terkait bank.

C. Sumber dan referensi

BMP Hukum Telematika Universitas Terbuka.


Artikel “Hukum Teknologi Informasi [Telematika]: Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem
Elektronik Perbankan Dalam Kegiatan Transaksi Elektronik Pasca UU No. 11 Tahun 2008”
yang diakses melalui
https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=665:
tanggung-jawab-penyelenggara-sistem-elektronik-perbankan-dalam-kegiatan-transaksi-
elektronik-pasca-uu-no-11-tahun-2008&catid=107&Itemid=187 pada tanggal 20 November
2022.

Artikel “How Banks are Securing the Safety of Digital Banking in Indonesia” yang diakses
melalui https://cfds.fisipol.ugm.ac.id/2018/07/12/how-banks-are-securing-the-safety-of-
digital-banking-in-indonesia/ pada tanggal 20 November 2022.

Anda mungkin juga menyukai